Indira - 5
Keesokan harinya Juan dan Indira menjadi buah bibir di hampir semua departemen di perusahaan yang memproduksi barang-barang berat tersebut.
Indira, masih baru tiba di lobi, dan sudah mendapat tatapan penasaran dari beberapa pasang mata yang kebetulan berpapasan dengannya. Ia mengernyit bingung menerima pandangan aneh itu, karena biasanya tak ada yang memperhatikannya sampai seperti itu.
Bahkan satpam yang biasa menyapanya kini menunduk---hal yang sama-sekali tidak pernah terjadi. Paling-paling hanya menyapa dan tersenyum, bukan menunduk. Apa yang salah dengan mereka semua.
Meski merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya, ia menurunkan pandangan memeriksanya sekali lagi. Seperti perkiraannya, pakaiannya rapi dan sopan. Karena tidak menemukan kesalahannya, Indira melenggang masuk ke ruangannya.
Kalau di luar tatapan yang mengarah padanya berupa intipan diam-diam yang tidak terlalu kentara, beda halnya ketika Indira berjalan ke kubikelnya.
Pembicaraan dengan suara-suara berisik tiba-tiba terdiam begitu dia masuk. Indira menatap mereka bingung, sedikit melambatkan langkahnya ingin mencari tahu apa yang terjadi. Namun teman-teman seruangan dengannya itu hanya menatapnya saja, tidak bicara sepatah katapun.
Indira duduk dengan pikiran berkecamuk. Ia mencari-cari ponselnya di tas. Saat ponsel itu ia temukan, dicarinya kontak Lia. Lia pasti tahu apa yang terjadi di kantor sekarang.
Lia tidak mengangkat teleponnya, Indira berdecak lalu menghubunginya lagi. Lagi-lagi temannya itu tidak menjawab. Indira melirik jam tangannya, masih ada beberapa menit lagi sebelum jam kerja dimulai. Ia memutuskan untuk mencari Lia, berharap menemukan jawaban untuk hal membingungkan yang tengah dialaminya saat ini.
Indira berdiri, baru saja hendak berjalan saat ibu Lusi menghampirinya dengan map di tangan kanannya.
''Pagi, Bu," Indira menyapa.
"Pagi, Ra," wanita itu menyerahkan map tersebut kepadanya.
Indira menatap map itu. "Laporannya ada yang salah, Bu?"
Ibu Lusi menggeleng. "Itu rincian produk yang mesti kamu sortir," katanya. "Laporan yang kamu kasih nggak ada yang salah."
"Oh," Indira mengira laporannya salah. "Baik, Bu. Kapan ibu ingin saya menyerahkan hasil sortirannya?"
"Nggak usah buru-buru," jawabnya sembari tersenyum, kalau bisa Indira tambahkan, senyum yang sangat manis. "Yang penting jangan sampai ada kesalahan."
"Baik, Bu," Indira mengangguk. Ia menunggu ibu Lusi bicara karena sepertinya masih ada yang belum dikatakan wanita itu. Karena dia tak kunjung bicara, Indira berdehem. "Kalau nggak ada yang mau ibu katakan lagi, kalau nggak keberatan saya ingin keluar, Bu. Mau cari sarapan," Indira beralasan.
Gantian ibu Lusi yang berdehem. "Sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan, tapi saya bingung bagaimana bilangnya."
Indira menatap wanita yang lebih tua itu. "Bilang saja, Bu."
"Hhhmm," ia terdiam, orang-orang yang berada di ruangan itu juga diam, seolah sudah tahu pertanyaan yang akan ditanyakan kepala bagian mereka. "Kamu...kamu sama pak Juan pacaran, ya?"
Indira tampak syok mendengar pertanyaan tersebut. Tidak menyangka ia akan mendapatkannya dengan cara seperti ini. Indira belum tahu akan menjawab apa, karena memang tidak menyangka akan ada yang bertanya. Seharusnya ia memikirkannya, untuk berjaga-jaga. Supaya dirinya tidak seperti ayam yang baru saja menelan batu besar.
"Dari mana ibu tahu?" Bodoh! Indira merutuki dirinya. Kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirnya. Seharusnya ia langsung menyangkalnya saja.
"Gosip sudah tersebar, Ra," kata wanita itu, membalikkan badannya menghadap orang-orang yang berkumpul. "Saya yakin mereka juga sedang membicarakan kalian. Iya, kan?" Orang-orang itu mengangguk bersamaan. Ibu Lusi kembali melihat Indira. "Jadi gosip itu benar atau tidak?"
"Nggak benar, Bu." Indira menjawab, berusaha membuat suaranya meyakinkan. Untuk melengkapi kebohongannya ia tertawa sumbang. "Orang seperti pak Juan mana mungkin suka sama saya, Bu. Menurut ibu sendiri, mungkin nggak pak Juan punya pacar pegawai rendahan seperti saya?"
Ibu Lusi terlihat berpikir sejenak. "Tapi kamu cantik, Ra," ia menilai penampilan Indira dari atas ke bawah lalu kembali lagi ke atas. "Baik, ramah lagi."
"Tapi yang lebih cantik dari saya juga banyak, Bu. Yang pasti saya nggak ada hubungan apa-apa dengan pak Juan. Kalau ibu nggak percaya ibu bisa tanya pak Juan sendiri."
"Masalahnya," ia mengetuk-ngetuk jari ke dagunya. "Pak Juan nggak menyangkal. Jadi saya nggak tahu kebenarannya."
"Maksud ibu pak Juan bilang bahwa kami pacaran?" Indira ingin mengerang. Sebenarnya apa yang diinginkan Juan.
"Pak Juan memang nggak mengiyakannya, tapi menyangkalpun nggak."
Indira merasa lega. "Nggak menyangkal bukan berarti iya, Bu Lisa." Akhirnya Indira bisa bernapas. "Mungkin pak Juan menganggap gosip itu hanya lelucon."
"Mungkin juga, sih. Tapi semalam kalian datang bersama, kan, ke ulang tahun anak saya? Bagaimana kalian bisa berada di mobil yang sama?"
Skakmat!! Indira tidak menemukan jawaban untuk pertanyaan itu.
*****
"Gilak. Semua orang membicarakan kamu sama pak Juan, Ra." Ujar Lia bersemangat. Saat ini mereka sedang makan siang di kantin kantor, mereka sengaja memilih meja paling sudut agar bisa mengobrol tanpa didengar orang lain. "Beritanya sudah sampai ke mana-mana." Tambahnya berlebihan.
Indira menatap kosong nasi gorengnya yang masih tersisa banyak. ''Mungkin karena semalam aku dan Juan pergi bersama ke acara ulang tahun Dimas, anaknya Bu Lusi. Aku nggak nyangka gosipnya sampai separah ini."
"Nggak akan separah sekarang kalau pak Juan langsung membantah gosip itu. Tapi memangnya kamu senang kalau pak Juan menyangkal?"
"Entahlah, Lia." Indira menghela napas. "Aku juga bingung. Sebelumnya Juan nggak pernah ingin hubungan kami diketahui orang, tapi semalam, dengan dia mengajakku naik ke mobilnya, sama saja dia mengumumkannya secara tidak langsung."
"Kalian sudah bicara?"
"Setelah gosip itu?"
"Hhmm."
Indira menggeleng. "Teleponnya nggak diangkat."
Indira dan Lia keluar dari kantin setelah membayar makanan mereka. Lia mendorong pintu kaca kantin tersebut, menunggu Indira keluar baru melepas pintunya.
Dalam perjalanan menuju ruangannya, Indira melihat Juan di Lobi, hendak keluar. Yang membuat Indira tidak bisa melepas tatapannya dari pria itu adalah wanita yang berada di samping pria itu.
Bukan sekali-dua kali Juan bekerjasama dengan seorang wanita, tak sedikit dari wanita itu berwajah cantik. Tapi gerakan di antara mereka selalu sopan dan tanpa sentuhan fisik seperti sekarang.
Juan memegang pinggang wanita itu dengan ringan, menuntunnya menuruni tangga lobi. Bahkan membukakan pintu untuk wanita itu. Indira meringis mengingat dirinya tidak pernah dibukakan pintu oleh Juan.
Indira mengakui wanita itu memang sangat cantik. Bertubuh molek dan dibalut setelan mahal. Sepatunya saja terlihat mengagumkan.
Hunjaman rasa sakit belum pernah mendera hatinya seperti saat ini, seperti ditusuk duri tak kasatmata. Ingin rasanya Indira memegang dadanya demi meredakan nyeri itu.
"Wanita itu cuma partner bisnis pak Juan, Ra," Lia menarik bahu Indira. "Aku yakin itu."
Indira melihat mobil itu pergi. Betapapun Indira ingin mengenyahkan kerasahan di hatinya, nyatanya tak bisa. Indira membalikkan badan dan membiarkan Lia mendorongnya lembut menuju ruangan mereka.
Dan sepertinya apa yang dilihatnya juga dilihat...semua orang. Kalau pagi tadi orang-orang melihatnya dengan tatapan penasaran, kali ini dengan pandangan...mengasihani. seolah mencibir dirinya yang tidak tahu diri.
Padahal tadi dia sudah menyangkal apapun yang mereka katakan. Indira tidak tahu di mana letak kesalahannya.
****
Setiap Juan pulang Indira selalu senang, selalu menanti-nanti melihat pria itu karena di kantor mereka jarang bertemu. Hanya sesekali, itupun hanya waktu berpapasan. Tapi tidak sekarang, Indira tidak senang melihat pria itu.
Indira dengan sengaja membanting-banting spons pencuci piringnya, namun Juan tidak memperhatikan aksi merajuknya. Indira merengut kesal.
"Kamu tidak perlu masak malam ini, aku sudah membeli makanan." Juan mengecup puncak kepala Indira sekilas, kemudian meletakkan plastik makanannya di depan Indira. "Kita makan bersama, tapi aku mandi dulu."
"Aku sudah makan," ujar Indira, mengambil wadah tempat makanan yang dibeli Juan itu. Indira berbohong; tapi saat ini ia sedang tak ingin berduaan dengan Juan. Indira perlu menenangkan perasaannya lebih dulu sebelum menghadapi godaan dari Juan, Indira jarang sekali bisa menahan diri jika berkaitan dengan Juan.
"Kapan?" Juan tidak jadi pergi ke kamar, ia menatap Indira. "Kenapa kamu tidak bilang? Ck, harusnya aku tidak beli sebanyak ini kalau kamu sudah makan."
Indira hampir mencak-mencak karena Juan tidak merasakan suasana hatinya yang buruk. "Bisa dimasukkan ke kulkas, besok dipanaskan."
"Tapi rasanya tidak seenak kalau baru dimasak seperti sekarang, Dira. Yasudahlah kalau kamu sudah makan."
Indira terperangah melihat Juan keluar dari dapur. Seandainya tatapan bisa membunuh, saat ini kepala Juan pasti sudah berdarah-darah.
Meski sambil mendumel, Indira tetap menyiapkan makanan Juan, ia mengaturnya di meja makan. Seharusnya kemarin Indira berkeras meminta pelayan saat Juan menolak sampai Gisel tinggal bersama mereka. Kalau ada pelayan ia tidak perlu menyiapkan semua ini. Sekarang karena cuma ada mereka berdua, terpaksa Indira yang melakukan tugas melayani kebutuhan Juan.
Makanan yang dibeli Juan terlihat enak, Indira nyaris mengakui kebohongannya pada Juan, nyaris. Indira menahan matanya agar tidak tertarik pada hidangan lezat itu. Cepat-cepat dia menyelesaikan tugas kecil tersebut.
Juan datang dengan aroma sabun. "Hhhmm, baunya enak," katanya, menarik kursi untuknya sendiri. Juan menarik piringnya yang sudah berisi nasi, memilih-milih lauk yang ingin dimakannya.
Indira menjilat bibirnya tanpa sadar, tiba-tiba perutnya lapar. Ia menggeleng, menenangkan perutnya agar tidak bereaksi terhadap aroma nikmat tersebut. Lebih baik aku pergi dari sini, ia membatin.
"Mau ke mana?" Juan memanggilnya saat akan pergi.
"Aku kan sudah makan, Juan. Jadi ngapain aku di sini? Aku mau menonton TV."
"Temani aku dulu, Dira."
"Kamu makan sendiri dulu malam ini," Indira menolak, berjalan pergi dari ruang makan, mengabaikan Juan yang terus memanggilnya.
Baru saja Indira duduk di sofa; bahkan TV belum ia nyalakan, Juan datang dengan membawa piringnya.
"Kamu ngapain?" Indira menggeser bokongnya agar Juan bisa duduk.
"Makan." Jawab pria itu asal.
"Kenapa di sini, Juan?"
"Aku ingin makan sambil menonton," Juan mengambil remot dari tangan Indira, mengganti siaran TV sesuai seleranya. Berita pasar.
Indira menatap kesal, tapi tidak ingin berdebat dengan Juan. Sebagai gantinya ia menaikkan kakinya ke pangkuan Juan menjadi setengah berbaring di sofa itu.
Juan tidak keberatan, pria itu malah menaikkan piringnya sedikit agar tidak terkena kaki Indira. Juan benar-benar makan sambil menonton.
Indira menderita karena lapar. Aroma makanan itu benar-benar enak.
Karena kebohongannya, tengah malam Indira terbangun karena kelaparan.
"Juan." Dipukul-pukulnya punggung Juan.
"Hhmm." Juan bergumam tidak jelas.
"Juan."
"Apa, Dira?" Sebelah matanya terbuka. "Kenapa?"
Indira meringis. "Aku lapar."
"Lapar?"
Indira mengangguk.
Juan bangun, duduk di tempat tidur. "Kamu belum makan malam, kan?"
Indira mengangguk lagi.
"Ck," Juan menyibakkan selimut dari tubuhnya. "Untung masih ada sisa makananku tadi. Kamu tidak membuangnya, kan?"
"Aku masukin ke kulkas."
"Masih bisa dipanaskan. Ayo ke dapur." Juan turun lebih dulu dari tempat tidur.
"Tapi...tapi aku benar-benar lapar, Juan. Aku nggak yakin sanggup berdiri memanaskan makanan itu."
Juan menatapnya dengan pandangan aneh. "Aku yang akan memanaskan. Cepat, berdiri. Atau kamu juga harus digendong ke dapur?"
Indira menggeleng cepat, buru-buru turun. Sambil mengikuti Juan ke dapur, Indira memegangi perutnya.
"Duduk." Indira patuh, duduk di kursi makan.
Juan mengeluarkan makanan sisanya tadi dari kulkas kemudian mulai memanaskannya. Beberapa saat kemudian pria itu meletakkan makanan itu di depan Indira. Juan menuang air putih ke gelas dan memberikannya juga.
Kalau Juan mengatakan air liurnya menetes Indira akan percaya, karena sekarang dia benar-benar tidak tahan menunggu lebih lama lagi untuk menyantap makanan itu. Indira meniup-niup lebih dulu sebelum memasukkannya ke mulut. Ia mengerang.
"Kamu benar-benar belum makan malam?" Juan meletakkan tangannya di meja, menjadikan telapak tangannya tumpuan.
Indira mengangguk.
"Kenapa kamu bohong tadi?"
"Aku kesal." jawab Indira.
"Kesal? Padaku?"
"Pada siapa lagi?" Indira mencibir.
''Kenapa?"
''Aku tidak tahu?"
"Kamu berbohong lagi, Dira."
"Pokonya aku tidak tahu."
"Karena wanita itu?"
"Wanita yang mana?" Indira pura-pura tidak tahu.
Meski begitu Juan sudah tahu. "Itu kulakukan agar gosip berhenti berjalan di kantor. Wanita itu bukan siapa-siapa." Juan menatap Indira. "Kenapa kamu menyangkal hubungan kita?"
Sendok Indira berhenti di tengah jalan. "Kamu sendiri yang nggak mau orang lain tahu."
"Aku tidak menyangkalnya, kamulah yang tidak mengakuiku sebagai pacarmu. Kamu tahu? Rasanya seperti ditolak."
Indira terperangah, selama ini mereks pacaran?? "Oh, jadi karena itu kamu memeluk wanita itu tadi siang."
''Aku tidak memeluknya, Dira."
"Memegang pinggangnya, sama saja."
"Kamu sudah menyangkal gosip itu, supaya gosip itu benar-bebar hanya sebuah lelucon aku melakukannya."
"Lalu sekarang apa?"
Tiba-tiba rahang Juan mengeras. "Terserah padamu." Juan keluar dari dapur dengan marah. Sementara Indira terlalu lapar untuk peduli. Indira menghabiskan semua yang ada di piringnya.
Saat ia kembali ke kamar, Juan sudar tidur. Indira naik dan berbaring di sebelah pria itu, kemudian ia merasakan tangan Juan memeluk pinggangnya.
Indira tersenyum, bingung kenapa sekarang dia tidak kesal lagi. Indira mendekatkan tubuhnya hingga menyentuh kulit Juan, membaringkan kepalanya di lengan Juan, tak lama kemudian ia tertidur.
Tbc...
Hola...hola...
Sejauh ini, bagaiman dengan Juan dan Dira?
Beri saran dan komentar ya😉😉😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro