Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Indira - 4

"Makasih, ya," Indira mengembalikan helm kepada Lia. Setelah pulang kantor Indira singgah ke supermarket. Karena jalan ke rumah Lia searah, ia menumpang motor temannya itu.

"Biasa saja, Ra. Searah juga," Lia meletakkan helm yang diberikan Indira tadi di depan. "Kalau gitu aku pulang, ya."

"Hati-hati."

Lia membunyikan klakson sekali lalu pergi. Indira menarik pintu supermarket. Udara dingin di dalam membuatnya merasa sejuk. Seharian berkutat dengan pekerjaan membuat tubuhnya gerah.

Pagi tadi Juan mengatakan ingin makan udang diasam manis. Karena di kulkas tidak ada udang terpaksa ia mampir untuk membelinya. Sebenarnya Juan tidak memaksanya memasak makanan itu, namun Indira takkan puas sebelum menghidangkan makanan yang diinginkan pria tersebut. Indira senang membuat Juan senang. Entah kenapa, menunggu-nunggu Juan menatap padanya dan memberinya senyuman---walau sekecil apapun---adalah saat-saat yang menyenangkan bagi Indira.

Penjaga swalayan menyapanya. "Selamat datang, selamat belanja."

Sebelum menuju rak yang berisi ikan-ikan, Indira pergi mencari kebutuhan pribadinya lebih dulu. Ia mengambil keranjang untuk tempat belanjaannya.

Indira mengingat-ingat apa yang ingin dibelinya sembari melihar rak-rak yang berisi segala jenis produk. Satu-persatu keperluannya ia masukkan ke keranjang.

Hanya butuh waktu beberapa menit bagi Indira mendapatkan semua barang-barang keperluannya, keranjang yang dipegangnya sudah lumayan penuh.

Kemudian Indira memilih udang, memastikan tanggal kedaluarsanya. Selain udang Indira juga membeli ikan tuna. Ia sangat suka menggulai ikan itu. Ia bisa menghabiskan lebih dari satu piring nasi bila memakannya dengan ikan tuna gulai.

Kalau untuk bumbu, Siska sudah menyiapkan semuanya. Indira hampir tidak percaya sekretaris Juan itu membeli bermacam-macam bumbu di kulkasnya.

Setelah semua yang diinginkannya ada di keranjang, Indira membawanya ke kasir. Sambil mengantri, ia memeriksa kembali belanjaannya. Indira meletakkan keranjangnya ke lantai karena terlalu berat bila diangkatnya terus, apalagi antrian cukup panjang.

Swalayan itu lumayan ramai. Indira memperhatikan mereka yang hilir mudik mencari sesuatu di rak-rak yang ada di sana. Ada yang datang sendiri seperti dirinya, ada pula yang datang bersama pasangannya, dan tak sedikit yang datang bersama ibunya. Tatapan Indira berpindah dari orang yang satu ke orang yang lain. Salah satu dari orang yang dipandanginya ternyata Bima.

Bima langsung tersenyum begitu melihat Indira, pria itu menaikkan tangannya seolah memperjelas kehadirannya.

"Belanja?" tanya Bima seraya melihat keranjang Indira.

"Ya iyalah, masa berobat," Indira bercanda. "Kamu beli apa?"

"Ini," Bima menaikkan mie lidi tiga bungkus di tangannya. "Mama nyuruh belikan, katanya besok mau masak mie goreng." Pria itu melirik antrian kemudian kembali ke Indira. "Punyaku gabungin ke keranjang kamu saja, ya. Soalnya kalau ngantri di belakang akan lama."

"Boleh. Boleh. Masukin saja."

"Ini uang untuk membayar mie-ku." Bima memberikan dua uang seratus ribu pada Indira.

"Eh," Indira menatap bingung uang yang dipegang Bima. "Harga mie-nya nggak sampai segitu, Bim."

"Nggak apa-apa," Bima tersenyun. "Hitung-hitung upah kamu berdiri di sini."

Indira cemberut. "Kalau untuk upahku, itu kurang."

Bima tertawa. "Kekurangannya nanti kita bicarakan di belakang." Bima tidak membiarkan Indira menolak uangnya, pria itu memaksa wanita itu memegang uang tersebut kemudian pergi keluar, menunggu Indira selesai.

"Laki-laki memang seperti itu," seorang ibu muda mencolek punggung Indira. "Sudah terima saja, kaum pria senang memberi uang pada wanitanya." Wanita itu tersenyum penuh arti.

Indira ingin mengatakan kalau dia bukan wanitanya Bima, tapi bibirnya tak mau bicara. Indira melihat uang yang telah menjadi gumpalan mirip bola di tangannya kemudian menolehkan kepala keluar. Ia melihat Bima sedang menelepon.

Akhirnya tiba giliran Indira membayar. Diletakkannya belanjaannya ke atas meja kasir. Setelah semua dihitung dan Indira membayar, tiba-tiba Bima sudah ada di sampingnya.

"Biar aku yang bawa," pria itu mengambil alih plastik belanjaan Indira, plastik mie Bima tadi sudah dipisahkan supaya tidak tergabung dengan barang-barang Indira. "Mobilku di depan."

"Aku bisa pulang naik taksi, Bima." Indira sedikit tidak enak merepoti Bima, apalagi mereka masih baru kenal.

"Rumah kita sebelahan, Ra. Ngapain naik taksi? Kalau naik mobilku bisa hemat ongkos. Sudah, naik saja." Bima mendorong pelan punggung Indira agar naik ke mobilnya.

"Uang kamu tadi masih banyak lebihnya lho, Bim." Indira memberitahu setelah mereka berada di jalan.

"Sudah kamu simpan saja. Kalau kamu merasa nggak enak, lain kali kamu traktir aku saja."

Indira tertawa. "Ini akal-akalan kamu saja, kan? Bilang saja kamu mau makan sama aku."

Bima menoleh sekilas. "Kamu mau, Ra?"

''Mau apa?"

''Makan malam bareng aku."

''Eh?" Senyum hilang dari wajahnya. Indira tidak menyangka Bima menganggap serius perkataannya.

****

Ketika Indira sampai di rumah, Juan sudah pulang. "Dari mana?" Juan menatap Indira dan plastik yang dibawa wanita itu.

''Dari supermarket." Indira menunduk, mencium sekilas bibir Juan. Niat Indira hanya memberi kecupan ringan, namun Juan memegang tengkuknya dan tidak membiarkannya pergi.

Bibir Juan membelainya dalam sapuan ringan hingga membuat sekujur kulit Indira menggelenyar. Lenguhan tanpa sadar lolos dari mulutnya. Plastik belanjaannya jatuh ke lantai saat Juan menariknya ke pangkuan.

"Plastiknya, Juan." Bisik Indira terengah-engah di bibir pria itu. Dengan kedua tangan melingkar di leher Juan, ia menatap iris gelap kekasihnya.

Tangan Juan membuka kancing kemeja Indira, tangannya menyusup ke dalam dan menangkup payudaranya. Meremasnya pelan hingga membuat Indira menggigit bibir bawahnya demi menahan desahan keluar dari mulutnya.

"Jangan menahan suaramu," kata Juan, menyelipkan tangannya ke bawah bra Indira, menyentuh kulit telanjang payudara Indira. Napas Indira semakin menggebu.

"Aku tadi membeli telur, Juan." Indira masih mencoba. "Aku takut telurnya pecah."

"Aku lebih takut telurku yang pecah kalau menahan lebih lama lagi."

"Kamu..." Indira terperangah mendengar kata-kata Juan.

"Kenapa? Mesum?" Juan menambah kekuatan remasannya. "Sudah berapa bulan kita bersama, Dira. Seharusnya kamu sudah tahu." Juan membuka kemeja Indira seluruhnya. "Tempat tidur atau sofa?"

****

"Laporan yang diminta Bu Lusi kemarin sudah siap, Ra?" tanya Lia.

"Sudah," Indira mendengak. "Kamu mau laporannya sekarang?"

"Hooh, kalau memang sudah siap."

Indira membuka lacinya paling bawah dan mengeluarkan map warna coklat. "Aku menyelesaikannya tadi malam.''

"Makasih, ya." Lia tersenyum kemudian berjalan pergi. Baru beberapa langkah ia berjalan, punggungnya berbalik. "Oh ya, nanti malam acara ulang tahun anak sulung ibu Lusi. Kamu ikut, kan?"

"Aku belum tahu," jawab Indira. "Kalau kamu?" Sudah dari seminggu yang lalu Ibu Lusi, kepala bagian mereka mengundang mereka ke acara ulang tahun putra sulungnya. Indira tidak yakin ingin pergi ke sana.

"Aku ikut, lumayan dapat makanan gratis. Kamu ikut dong, Ra. Yang lain juga banyak yang ikut kok."

"Aku usahain, ya."

"Kabari saja kalau bisa, biar kita perginya bareng."

"Oke."

Ponsel Indira berbunyi.

''Halo?" Indira hampir tidak percaya Juan meneleponnya di jam kerja. Biasanya hanya satu-dua pesan, itupun jarang.

"Kamu datang ke ulang tahun Dimas?"

"Dimas?"

"Anak Ibu Lusi, kepala bagianmu."

"Oh," Juan juga tahu siapa bos Indira. "Belum tahu. Tapi aku ingin pergi."

"Setelah pulang kantor, tunggu aku di lobi. Kita berangkat sama."

"Iya."

Juan tidak bicara lagi. Indira pikir telepon telah terputus, ia melihat layarnya, ternyata masih tersambung.

"Dira?" Nada suara Juan menjadi berat.

"Iya?"

"Bisa ke ruanganku sekarang?"

"Ruanganmu?" Kening Indira bertaut. "Ngapain?"

"Sial!" Juan merutuk. "Tidak jadi. Sekarang kututup teleponnya. Ingat nanti sore tunggu aku di lobi."

Indira menatap lama ponselnya yang mati, bingung dengan tingkah Juan barusan.

Juan tidak pernah memperlihatkan hubuhngan mereka di depan umum, apalagi sampai menyuruh Indira datang ke ruangannya. Bahkan Juan baru saja meminta Indira pergi bersamanya ke ulang tahun putra ibu Lusi.

Indira menggeleng, tidak menemukan jawaban untuk kebingungannya.

Jam lima sore, ketika Indira turun, ia menemukan mobil Juan berhenti di lobi. Indira ragu sejenak saat akan masuk ke mobil.

"Apa yang kamu cari?"

"Hah?" Indira menoleh pada Juan.

Juan melajukan mobilnya. "Matamu berkeliaran ke sana ke mari."

Oh. "Aku takut ada orang yang melihatku masuk ke mobilmu."

Gantian Juan yang menoleh. "Memangnya kenapa kalau ada orang yang melihatmu bersamaku?" Nada suara Juan berubah ketus.

"Masalahnya bukan ada padaku," kata Indira. "Tapi padamu. Kamu pasti nggak mau tertangkap menghabiskan waktu dengan pegawai rendahan sepertiku."

"Aku bukan hanya menghabiskan waktu denganmu," ujar Juan kelewat santai. "Aku tidur denganmu."

Wajah Indira menjadi merah, kemudian Juan menambahkan. "Lagipula aku tidak peduli pada apa yang dipikirkan orang. Siapapun yang dekat denganku adalah urusanku sendiri."

Indira menolehkan kepalanya keluar, tiba-tiba merasa kepanasan. Juan mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku, dua kancing teratas terbuka hingga memperlihatkan kulit coklatnya. Mendengar Juan Membahas hubungan mereka membuat Indira teringat semua percintaan yang mereka lakukan.

"Kenapa?" tanya Juan, menatap Indira yang lebih banyak diam.

Indira menggeleng tapi tidak memindahkan tatapannya.

"Kamu sakit?" Juan mengulurkan tangan ke kening wanita itu. "Tidak panas."

"Aku panas di dalam," batin Indira kurang ajar.

"Indira?" kalau Juan sudah memanggilnya seperti itu, itu berarti pria itu mulai tidak sabar.

"Aku nggak sakit, Juan."

"Lihat aku!"

Indira menghadap Juan. "Kenapa wajahmu merah?" Detik berikutnya Juan mengerti. Pria itu tertawa kecil---tawa langka yang sangat disukai Indira. "Kamu malu dengan apa yang kukatakan tadi?"

"Kamu terlalu blak-blakan, Juan.''

''Apa yang salah dengan yang kukatakan, Dira? Kita memang tidur bersama, kan? Kenapa kamu malu? Kita sudah sering melakukannya.''

"Jangan membahasnya lagi, Juan." Indira menatap tajam.

"Setuju," lagi-lagi Juan terkekeh. "Aku lebih suka melakukannya daripada membahasnya."

Semua yang hadir di acara itu terkejut melihat Indira turun dari mobil Juan. Semakin terperangah ketika Juan selalu berada di samping Indira sepanjang acara malam itu.

Mulut-mulut penggosip sudah gatal ingin bercerita, namun karena Juan ada di sana mereka tidak berani.

Juan mengucapkan selamat ulang tahun pada Dimas, memberi tiket jalan-jalan sebagai hadiah.

Lia adalah salah satu yang sangat penasaran dengan apa yang terjadi. Begitu Juan mengobrol dengan teman-teman bisnisnya, ia menarik tangan Indira.

"Kali ini kamu nggak boleh bohong lagi, Ra. Apa hubunganmu dengan pak Juan?" Mereka berada di lorong yang tak ada orang, Walau begitu Lia tetap berbisik.

"Nggak ada apa-apa antara aku dan pak Juan. Kami hanya kebetulan pergi bersama."

"Kamu harap aku percaya?" Lia menaikkan alisnya. "Padahal dari tadi kalian berdua lengket terus macam sol sepatu yang dikasih lem kambing?"

"Kamu memang harus percaya, Lia. Pak Juan mana mungkin mau sama gadis sepertiku." Indira sendiri meringis mendengar ucapannya.

"Aku sahabat kamu, Ra. Aku nggak akan bilang sama orang lain. Aku cuma pengin tahu saja." Lia menangkup kedua tangannya dan menatap Indira penuh harap. "Kalian pacaran, kan?"

Indira menggigit bibir bawahnya. "Tapi jangan bilang-bilang, ya."

"Sumpah," Lia membentuk huruf v dengan jarinya.

"Aku...kami...memang bersama." Ujar Indira pelan.

Lia menepuk tangan sekali. "Sudah kuduga. Nasi kotak kemarin juga dari pak Juan, kan?"

Indira mengangguk, tersenyum lemah.

"Kalian...ehem," Lia menelan ludah. "Tidur bersama. Iya, kan?"

Indira terkesiap, otomatis melihat ke sekeliling. "Kamu---"

"Nggak ada orang di sini, Ra. Nggak ada yang dengar, kok." Lia nyengir.

"Aku nggak mau jawab pertanyaan itu."

"Kamu nggak perlu menjawab, Ra," kata Lia masih nyengir. "Sekali lihat ke pak Juan orang langsung tahu dia tipe pria yang nggak bisa tahan selibat. Kamu pacarnya, nggak harus jadi orang ber-iq tinggi untuk tahu dia tidur dengan siapa.''

"Tutup mulutmu, Lia," Indira berbisik tajam. "Sebelum ada orang yang mendengar."

"Baiklah. Baiklah," Lia tertawa. "Pak Juan sedang mencarimu kayaknya," ia menunjuk Juan yang memang sedang menelengkan kepalanya ke setiap sisi ruangan. "Aku selalu berdoa punya suami macam pak Juan, Ra. Kamu beruntung bisa dapatin seperti dia."

"Aku belum menikah dengannya, Lia. Kalau-kalau kamu lupa." gumam Indira masam.

"Pak Juan sudah kamu pegang, Ra. Hanya butuh satu langkah lagi untuk menggenggamnya."

Indira menggeleng. Andai Lia tahu pria seperti apa Juan itu. Tapi Lia memang tidak tahu.

Juan bukan pria yang mudah 'ditangkap'. Indira ragu akan ada saat di mana ia dapat menggenggam Juan.





Tbc...


Aku datang lagii😍😍😍

Semoga suka ya😄😄😄

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro