Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Indira - 3

Sudah lewat pukul enam ketika Indira sampai di rumah yang baru dibeli Juan. Indira membayar ongkos taksi kemudian turun.

Rumah itu tidak memiliki pagar sehingga ia dapat melihat langsung rumah bertingkat dua tersebut. Indira tanpa sadar tersenyum. Di sanalah ia akan tinggal bersama Juan dan...Gisel. Indira merasa keputusan untuk memilih rumah itu---dan bukannya rumah besar yang dipilih Juan---sudah benar. Untuk alasan apapun ia tidak berhak memperoleh hunian mewah yang tidak dibeli dari uangnya sendiri.

Indira menaikkan tasnya yang merosot ke bahu. Angin malam berembus halus menggelitik kulitnya yang terbuka. Ia harus segera masuk jika tak ingin membeku di luar. Baru saja Indira akan berjalan hendak memasuki halaman saat seseorang bicara padanya.

''Kamu penghuni baru rumah ini, ya?"

Indira menolehkan kepalanya, matanya melihat seorang pria bertubuh tinggi dan tegap. Pria itu tampaknya sedang berlari malam. Keringat terlihat membasahi kaos tanpa lengannya dan handuk yang menggantung di lehernya yang panjang. Ada headset di sebelah telinga pria itu, sementara yang lain terjatuh di dadanya.

Ia adalah pria yang cukup tampan, Indira mengakui dalam hati. Rambutnya basah dan berantakan. Lewat lampu jalan, Indira dapat memastikan mata pria itu cukup jenaka. Senyumnya memancarkan keramahan.

Indira tidak bisa tidak membalas senyum manisnya, ia mengangguk.

''Bima," pria itu mengulurkan tangannya, tertawa kecil saat melihat tangan itu ternyata basah akibat keringatnya. "Maaf," katanya sembari menarik tangan kemudian melapnya di celananya yang kering lalu mengulurkannya kembali. "Sekarang sudah kering."

Indira tertawa dan menggeleng pelan. Ia menjabat tangan besar itu, masih terasa lembab di tangannya sendiri.

"Indira," ujarnya. "Panggil Dira saja."

Bima menunjuk rumah di sebelah rumahnya. "Kita tetanggaan. Rumahku tepat di samping rumahmu."

"Oh, ya?" Indira senang bisa berkenalan dengan tetangga barunya. "Kuharap aku bisa jadi tetangga yang baik."

"Aku juga," lagi-lagi Bima tersenyum. Bima memperhatikan Indira. Jelas memperlihatkan ketertarikan. Indira masih mengenakan setelan kerjanya, rok pensil di bawah lutut dan kemeja pas badan. Hari ini ia memakai sepatu dengan hak 8cm, membuat kakinya terlihat panjang. Indira memiliki kulit putih yang mulus, wajahnya yang manis saat ini sedang tersenyum. Bima mencuri lihat ke jari wanita itu, tidak ada cincin. Perasaan lega yang dirasakannya sangat konyol, ia sendiri tidak tahu kenapa bisa begitu. Tapi untuk memuaskan hatinya, pria itu bertanya.

"Sudah menikah?"

"Belum," jawab Indira, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

Bima mengangguk. "Aku melihat mobil truk menurunkan perabot semalam," ujarnya. "Kupikir yang akan tinggal di sana pengantin baru." Untuk menutupi kelancangannya Bima terkekeh. "Soalnya perabot yang diturunkan lumayan banyak."

Indira hanya tersenyum. "Kamu sering lari malam seperti sekarang?" Ia mengganti topik pembicaraan, sedikit tidak nyaman membahas rumah barunya.

Bima memasukkan tangan ke saku celana olahraganya. ''Sesekali, kalau kebetulan pulang cepat. Lebih enak lari di malam hari, tidak ribut. Suasananya tenang."

Indira setuju. Pasti menyenangkan bisa mengeluarkan keringat seusai bekerja. Mungkin ia akan mencobanya kapan-kapan. Bima sepertinya tidak keberatan Indira ikut lari bersamanya.

Bima teman yang enak diajak mengobrol. Pria itu menceritakan tentang keadaan sekitar perumahan itu. Di mana letak pasar tradisional terdekat, supermarket tempat belanja bulanan, rumah sakit terdekat, Bima memberitahu semuanya pada Indira. Indira dengan senang hati mendengarkan semua yang dikatakan Bima. Sesekali Bima menyelipkan humor dalam kalimatnya, hingga Indira tertawa.

Tak terasa telah bermenit-menit berlalu. "Eh, aku masuk dulu ya." Indira berkata. "Kamu juga kayaknya harus mandi, sebelum terlalu malam."

"Oh, iya. Iya." Bima menggaruk kepalanya. "Aku jadi membuatmu mendengarkan ceritaku."

"Nggak apa-apa," kata Indira. "Aku senang, aku jadi tahu lingkungan tempatku tinggal. Kapan-kapan aku boleh ikut denganmu lari?"

"Tentu saja boleh. Pasti seru kalau ada yang menemani."

Indira mengangguk. "Aku masuk, ya."

Bima menunggu sampai Indira hilang di balik pintu sebelum membalikkan badan untuk pulang. Namun dia terkejut mendengar klakson  yang tiba-tiba berbunyi. Hampir saja ia tertabrak.

"Maaf," katanya, karena memang dirinya yang tidak memperhatikan jalan. Itulah akibatnya kalau ia terlalu terpesona. Bima menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum bodoh mengingat pertemuannya dengan Indira.

Mobil hitam itu berlalu dari depannya, kemudian memasuki halaman rumah Indira.

Bima baru saja akan pergi, namun berhenti karena penasaran dengan mobil itu.

Juan keluar dari mobil tersebut. Dengan jas di siku dan memegang tas kerjanya, pria itu masuk ke rumah itu.

Bima mengerutkan kening. Bertanya-tanya tentang pria yang baru saja keluar dari mobil itu.



*****


"Diraa." Juan memanggil Indira. Ia meletakkan tas dan jasnya di meja ruang tamu, setelahnya ia melepas jam tangannya dan meletakkannya di tempat yang sama.

"Di dapur." Terdengar suara Indira yang menyahut.

Juan memperhatikan seisi ruangan, memuji selera sekretarisnya yang lumayan bagus. Warna dan jenis perabot yang dibeli wanita itu memang seleranya.

Indira sedang berkutat di dapur ketika Juan datang. Indira belum mengganti bajunya, namun rambut wanita itu sudah digulung di puncak kepalanya, memperlihatkan lehernya yang putih.

"Mau kopi?" Indira membalikkan badan saat merasakan kehadiran Juan. Wajah pria itu tegang. "Ada masalah apa?" tanyanya lagi tatkala Juan hanya menggeleng.

Juan membuka kulkas, mendapati kulkas itu penuh dengan berbagai jenis makanan. Juan mengingatkan diri sendiri untuk berterimakasih pada sekretarisnya karena sudah melakukan pekerjaannya dengan baik. Juan menarik minuman kotak dari sana lalu menutup kulkas.

"Tidak ada." Jawabnya, melemparkan kotak kosong di tangannya ke tempat sampah setelah menandaskan isinya. ''Bagaimana? Kamu suka apa yang dilakukan Siska pada rumah kita?"

Rumah kita. Kata-kata itu terdengar manis di telinganya.

Indira mengangguk, ia menghampiri Juan dan memeluk pinggang pria itu. ''Aku tahu seleranya pasti bagus."

Juan memegang tengkuk Indira, menundukkan kepalanya lalu menempelkan bibir di bibir wanita itu. Indira memejamkan mata, mendesah pelan ketika lidah Juan membelainya.

Juan menggodanya, melumat lembut namun terukur. Memindai kecupannya antara bibir atas dan bawahnya. Juan memeluk pinggang Indira semakin melekat di dadanya, menaikkannya agar lebih pas di tubuhnya.

Juan mengerang di mulut kekasihnya itu, tangannya turun ke bokongnya, meremasnya pelan sebelum kembali ke pinggang Indira. Indira mengalungkan tangannya ke tengkuk Juan, memberikan dirinya melayang dalam luapan gairah yang ditimbulkan belitan ahli lidah Juan. Juan luar biasa pandai menggunakan lidahnya. Indira nyaris lupa memijak bumi, lututnya gemetar dan tak berdaya.

Indira pasti sudah pingsan karena nikmat kalau Juan tidak segera mengurai cumbuan itu. Napas Juan terengah-engah di bibir Indira. Mata pria itu menatapnya seperti melihat hidangan lezat yang ingin sekali dimakannya.

Tangan Indira turun ke dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, kemudian turun ke dadanya, merasakan betapa keras bagian tubuh Juan yang itu. Otot-otot lengannya yang terbentuk oleh olahraga teratur selalu sedap dipandang, membuktikan betapa kuat pria itu.

"Bagaimana sidangnya?" Tutur Indira dengan nada pelan. Juan takkan mau bicara jika tidak dipancing. Indira bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa sampai seperti sekarang? Padahal Juan sepertinya tidak banyak melakukan apa-apa selain mengatakan suka dan ingin menjadikannya kekasih. Mereka tidak berkencan seperti pasangan pada umumnya. Tidak berbagi cerita keseharian, malah Juan baru akan bicara kalau ditanya. Kalau pasangan dimabuk cinta lainnya, pasti saling memberi kabar kalau sedang tidak bersama. Yah minimal mengirimkan pesan.

Jangan harapkan hal itu terjadi pada Juan. Indira penasaran apakah Juan bisa cemburu? Pasalnya Indira sendiri kerap cemburu ketika melihat wanita-wanita yang bekerja dengan Juan. Mereka semua tidak sepertinya yang berpenampilan biasa. Wanita-wanita itu sangat modis dan melakukan perawatan wajah yang tidak murah. Indira mana sanggup mengikuti gaya seperti itu.

Indira juga ingin tahu apa arti dirinya untuk Juan. Apakah ia boleh mengajukan keberatan pada wanita-wanita yang dekat dengan pria itu. Apakah Juan akan marah dan merasa terganggu karena ia ikut campur?

Sejauh ini Indira tidak pernah mengeluh. Apakah karena itu Juan memilihnya? Seorang wanita yang tunduk dan tak membuatnya repot?

Indira takkan pernah tahu jawabannya kalau tidak mencari tahu. Masalahnya adalah ia terlalu pengecut untuk melakukan hal itu.

"Lancar seperti yang kuharapkan," jawab Juan. Tangannya mengusap punggung Indira. "Viona akhirnya melepas Gisel setelah mendapat banyak uang dariku."

"Aku takkan menyerahkan anakku demi uang, berapapun banyaknya.'' Indira pasti akan mempertahankan anaknya, tak diragukan lagi.

"Gisel bukan anak kandungnya."

"Tapi Gisel hidup bersamanya, Juan. Gisel sudah menganganggap Viona ibunya, Gisel sayang pada Viona." Gisel baru empat tahun, hanya Viona yang ia anggap Ibu. Setelah sekarang Viona melepaskannya, wanita itu tidak akan menemui Gisel lagi.

"Viona tidak menyayangi Gisel." Juan memberitahu. "Tapi sekarang itu tidak penting lagi. Aku takkan pernah mengijinkan wanita itu mengganggu Gisel. Sekarang Gisel tanggung jawabku sepenuhnya."

Indira meletakkan kepalanya di bahu Juan, menghirup aroma harum pria itu. ''Aku akan jadi temannya, Juan."

****

"Rapat sampai di sini. Saya berharap semua pihak dapat memberikan kinerja terbaiknya. Saya sangat menghargai orang-orang yang berdedikasi pada perusahaan." Juan mengakhiri rapat. Ia berdiri, mengancingkan jasnya. "Di rapat berikutnya saya menginginkan laporan yang lebih bagus."

Yang hadir di sana mengangguk, ikut berdiri seperti Juan. Juan keluar dari ruang rapat sembari mengobrol dengan salah satu kepala bagian di perusahaannya. Ketika tiba di depan pintu ruangannya, Juan memanggil sekretarianya.

"Ke ruangan saya sekarang."

Siska mengetuk dua kali kemudian masuk. "Ada apa, pak?"

Juan mengeluarkan amplop dari dalam laci, ia meletakkannya di meja. "Untukmu," katanya.  "karena sudah bekerja dengan baik."

Siska terkesiap melihat isi amplopnya. "Terimakasih, Pak," ia tersenyum lebar. "Sudah menjadi tugas saya menjalankan perintah bapak dengan sebaik-baiknya."

Juan mengangguk. "Jadwalkan makan siang hari ini dengan Nusantara Group."

"Tapi pak, bukannya seharusnya besok?"

"Besok saya ada janji dengan pengacara saya, katakan saja pada mereka besok saya tidak bisa."

"Baik, Pak," Siska menjawab cepat. ''Makan siang hari ini, jam 12 siang siang?"

Juan menundukkan kepalanya melihat ponselnya yang bergetar. Alisnya mengernyit melihat pesan dari Indira. Juan menyuruh Siska pergi. "Sekarang kamu boleh keluar."

Hingga berada di luar senyum lebar Siska tak hilang. Ia mendekap amplop itu di dadanya.


****

"Kamu yakin?" Indira memajukan tubuhnya ke dekat Lia.

"Yakin seratus persen," jawab temannya itu. "Suamiku sangat senang kalau aku perhatian padanya. Itu bukti kalau kita sayang pada pasangan kita. Nggak harus memberikan barang-barang mahal, Ra. Cukup tanyakan kabarnya. Tanya apakah dia sudah makan, lagi apa, pokoknya yang mirip-mirip seperti itulah."

Karena pekerjaan mereka tidak terlalu banyak, Indira dan Lia mengerjakannya dengan santai sembari mengobrol. Saat mengobrol-ngobrol ringan tiba-tiba saja topik pria terlintas dalam pembicaraan mereka.

Lia yang sudah menikah merasa perlu memberitahu hal-hal yang diketahuinya pada Indira. Indira tertarik dengan cerita Lia hingga ia bertanya beberapa hal.

"Mereka nggak akan terganggu kalau kita mengiriminya pesan terus?"

"Ya nggak terus juga, Dira. Sesekali saja, itu lebih ampuh dari ciuman."

Indira ragu. Juan tampaknya suka menciumnya. Apa iya menanyakan kabar Juan lebih ampuh dari ciuman untuk pria itu?

"Ngomong-ngomong, Ra, tumben kamu tertarik cerita tentang cowok? Biasanya juga kamu ogah."

"Eh?"

"Kamu sudah punya pacar, ya?" Lia tersenyum penuh arti. "Siapa. Siapa? Anak kantor ini juga?"

Indira jadi salah tingkah, menatap ke mana saja selain pada Lia. Lia tertawa.

"Itu berarti iya."

"Aku nggak ada bilang iya, Lia."

"Wajah dan tingkahmu sudah memberitahuku, Dira. Kamu nggak pintar bohong. Akhirnya kamu punya pacar juga. Cantik-cantik kok jomblo. Sekarang kasih tahu aku, siapa cowok beruntung itu?"

"Nggak ada. Aku nggak punya pacar, Lia."

"Baiklah. Baiklah. Aku tahu kamu bohong tapi aku nggak akan maksa. Kalau kamu sudah siap cerita panggil aku. Aku siap menjawab semua keingintahuan kamu," Lia mengerling.

Indira kembali mengerjakan pekerjaannya. Tatapannya sesekali pergi ke arah ponselnya. Ia menatap Lia, Lia sedang menunduk ke leptopnya.

Indira meraih ponselnya, menggoyang-goyangkannya sebentar lalu ia mengetikkan kalimat di sana.

Sudah jam makan siang. Jangan lupa makan, ya.

Indira cepat-cepat mengirimnya sebelum berubah pikiran.

Setelah pesan itu terkirim, Indira membacanya ulang. Seketika dia menjadi malu. Apa yang akan dipikirkan Juan saat membaca pesan itu?

Indira menunggu Juan membalas pesannya, jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan tidak sabar. Hingga bermenit-menit kemudian tidak ada balasan dari Juan. Padahal pesan tersebut telah dibaca.

Indira menghela napas. Memangnya apa yang dia harapkan?

Indira memasukkan ponselnya ke dalam laci, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Mulai sekarang dia harus mengerti kalau Juan tidak seperti pria lain, tidak juga seperti suami Lia yang suka dengan perhatian. Juan adalah Juan.

Indira larut dalam pekerjaannya hingga tidak terasa waktu telah berjalan cukup lama sejak dia mengirim pesan tak berbalas itu.

"Kamu sudah jelas berbohong padaku," nada suara Lia merajuk.

Indira mendongak, Lia meletakkan nasi kotak ke meja Indira. "Dari seorang pria yang tidak diketahui namanya," ujar Lia. "Dari rumah makan mewah pula," Lia mencibir. ''Pokoknya kamu harus memberitahuku, Dira.''

Indira menatap kotak nasi itu, jadi tersenyum setelah sempat galau karena pesannya tidak digubris.

Juan akan tetap seorang Juan. Tidak ada yang seperti dia.








Tbc...


Hola...hola...
Aku datang lageee😍😍😍

Hope you like this part😙😙😙😙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro