Indira - 2
Indira menutup pintu di belakangnya, aroma makanan langsung tercium ketika ia semakin masuk ke dalam. Juan sedang membuka bungkusan di dapur mini yang ada di ruangan itu.
"Baunya enak," katanya seraya menghampiri Juan.
Juan hanya memakai celana bokser tanpa atasan. Indiri berusaha menepikan pikiran mesumnya melihat pemandangan tubuh kokoh tersebut. Ia meletakkan tasnya asal di tengah perjalanan menuju Juan.
"Masakan cina," ujar Juan, berbalik sekilas kemudian kembali mengeluarkan makanan yang dibelinya itu. "Kamu sudah makan malam?"
Indiri berniat untuk berbohong lagi untuk hal yang sama namun urung. "Belum. Apakah aku bisa mendapat sedikit?"
"Aku membeli lebih, aku tahu kamu pasti belum makan malam. Badanmu memang tidak kurus, tapi bukan berarti kamu bisa tidak teratur makan."
Indira meringis. 'Badanmu tidak kurus' yang dikatakan Juan adalah indikasi untuk mengatakannya gemuk. Indira menurunkan pandangan ke tubuhnya, meringis lagi ketika apa yang dikatakan Juan memang benar. Tapi gemuk? Ia kurang setuju dengan pelukisan itu. Tubuhnya tidak gemuk tapi berisi.
"Kamu tidak gemuk," suara Juan menghentikan Indira menilai ukuran bokongnya. "Aku suka tubuhmu seperti itu. Jangan pernah berani menurunkan berat badanmu."
"Ini badanku, suka-sukaku ingin melakukan apa." Indira ingin sekali menyuarakan protesannya, tapi tidak berani. Alih-alih dia hanya mengangguk.
"Aku akan menunggumu selesai mandi," Juan telah selesai menata semua makanan di atas meja bahkan pria itu menuang anggur. "Kita makan bersama."
"Aku nggak keberatan makan dulu baru mandi," Indira memberi Juan senyuman manisnya tapi tampaknya tidak berhasil karena kemudian pria itu berkata.
"Tapi aku keberatan."
"Aku nggak bau kok, serius. Kalau kamu nggak percaya," ia berjalan semakin dekat ke Juan hingga tinggal sedikit jarak di antara mereka. "Kamu bisa cium sendiri."
Indira terkejut ketika tiba-tiba tangan Juan memeluk pinggangnya, pria itu menarik Indira melekat padanya. Napasnya menjadi tidak teratur saat Juan menunduk, bibir pria itu hampir menyentuh bibirnya.
"Kamu memang tidak bau," ucap Juan di bibir Indira. ''Bahkan beraroma nikmat.'' Katanya menambahkan. "Tapi akan lebih segar kalau kamu mandi dulu baru makan."
"Ba...baiklah," Indira tergagap. "Sepuluh menit. Beri aku waktu sepuluh menit."
Juan mengecup singkat bibir Indira kemudian memutar bahunya. Ia mukul bokong perempuan itu sebelum berkata, "sepuluh menit. Cepatlah, aku kelaparan."
Indira dengan patuh masuk ke kamar mandi. Sepuluh menit lebih sedikit ia keluar dari sana. Ia mengambil asal gaun tidurnya yang sudah ada di dalam lemari dua pintu yang disediakan pihak hotel. Di lemari itu ia berbagi tempat dengan Juan. Satu pintu untuknya dan satu pintu lagi untuk Juan. Gaun satin hijau botol dengan tali satu. Merasa terlalu terbuka, Indira melapisi gaun tidur seksi itu dengan jubah berwarna senada. Karena rambutnya tidak basah, Indira menggulung saja rambutnya. Setelah itu ia pergi menemui Juan.
"Sekretarisku bilang kamu sudah memilih rumah," Juan berkata setelah menelan makanan di mulutnya. "Kenapa bukan rumah bercat coklat tua itu yang kamu pilih?"
Juan dan Indira duduk bersebelahan. Juan tidak membiarkannya duduk di seberang. Indira tidak mengerti dengan sikap konyol itu. Biasanya pasangan lebih suka duduk berhadap-hadapan supaya bisa saling memandang. Indira tidak suka berdebat karena sudah tahu hasilnya. Juan selalu tidak bisa dibantah.
"Rumah yang itu terlalu besar kalau untuk dihuni dua orang, Juan. Yang aku pilih lebih sederhana, tapi nyaman. Aku suka."
"Bukan karena harganya?" tanya Juan sambil menatap Indira penuh selidik.
"Sebenarnya karena itu juga," batin Indira. Ia menggeleng. "Sungguh, aku suka rumah yang kupilih. Aku mengatakan pada sekretarismu agar dia yang memilih perabot untuk rumah itu."
"Dia sudah bilang padaku," Juan mengangguk. "Tapi sebenarnya aku lebih suka kau sendiri yang memilih perabotnya."
"Aku harus bekerja," Indira menolak halus. "Tidak masalah sekretarismu yang memilih perabotnya, Juan."
"Kapan kamu mempermasalahkan sesuatu," Juan berujar masam. "Kamu selalu menerima semua yang terjadi padamu."
Indira meminum air putih karena sulit menelan. Untuk beberapa detik dia hanya menatap makanannya. "Kamu salah. Aku keberatan dengan kamu yang menyembunyikan hubungan ini, Juan." kata hatinya suram.
Setelah makan malam, mereka duduk di sofa. Juan menonton berita pasar sementara Indira bermain game di ponselnya. Beberapa saat berlalu, Indira mulai mengantuk. Ia menguap, permainan dalam ponselnya tidak menarik lagi.
"Mau ke mana," Juan memegang tangan Indira yang akan pergi.
"Aku ngantuk, mau tidur duluan." Lagi-lagi dia menguap.
"Temani aku dulu," Juan menepuk pahanya. "Tidur di sini."
Indira menatap tidak yakin. "Aku bisa tidur di tempat tidur, Juan. Jaraknya nggak terlalu jauh dari sini."
"Tidur di pangkuanku tidak separah itu," Juan menarik tangan Indira. "Tidurlah."
Indira tidak punya pilihan selain menurut. Lagipula undangan tersebut terlihat menggoda. Indira bergerak perlahan. Juan membantu kepalanya agar nyaman di pangkuannya.
Kulit paha Juan terasa hangat, bahkan dibalik lapisan celananya. Rasa kantuk yang sebelumnya ia rasakan, menguap entah kemana. Indira malah ikut menonton berita yang sama sekali tidak ia mengerti. Pembawa acara membicarakan mengenai harga saham dan tetek bengeknya. Indira sama sekali paham.
Setelah beberapa saat terdiam tiba-tiba Juan berkata. "Lusa sidang perceraian terakhirku. Gisel akan tinggal denganku. Itu sebabnya aku berkeras membeli rumah. Kamu tidak keberatan Gisel tinggal dengan kita, kan?"
Juan jarang membicarakan kehidupan rumah tangganya yang berantakan. Tapi Indira tahu banyak, setidaknya lebih banyak dari yang orang lain tahu.
Juan dijodohkan dengan gadis pilihan ayahnya demi kepentingan bisnis. Juan tidak mencintai wanita itu begitupula sebaliknya. Beberapa tahun setelah mereka menikah istri Juan mengadopsi bayi perempuan, Gisel. Juan tidak keberatan namun tidak menyayangi anak itu pada awalnya. Tapi bertahun-tahun tinggal bersama dan memanggilnya Papa, menimbulkan rasa sayang seorang ayah di diri Juan untuk Gisel. Juan berusaha mendapatkan hak asuh untuk putri kecilnya itu, tak peduli walaupun harus mengeluarkan banyak uang. Calon mantan istrinya adalah wanita pengkeruk yang gila harta.
"Itu rumahmu," kata Indira pelan. "Siapapun boleh tinggal di sana jika kamu mau." Indira sudah pernah bertemu dengan Gisel beberapa kali. Gadis berusia empat tahun itu adalah anak yang manis dan tampaknya menyukainya juga.
"Bukan jawaban seperti itu yang kuinginkan," ujar Juan. Pria itu dengan santai meletakkan satu tangannya di perut Indira dan tangan lain memegang remot.
Indira tersenyum melihat rahang Juan yang mengeras. Pria itu mudah sekali marah. Ia mengulurkan tangan demi mengusap dagu Juan. "Aku senang bisa tinggal bersama Gisel, Juan. Dia gadis baik dan manis. Dia akan jadi temanku kalau kamu lembur."
Juan meraih tangan Indira yang terangkat dan menciumnya. "Akan ada pelayan. Kalian bukan cuma berdua."
Indira menatap Juan lama, ia tergoda menanyakan status hubungannya dengan Juan, namun lagi-lagi dia tidak berani. Akhirnya ia kembali mengarahkan pandangan ke telivisi. Ia merasakan tangan Juan mengusap rambutnya. "Bagaimana keadaan ibumu?"
Indira tidak mengira Juan akan menanyakan tentang ibunya. "Kata Kirana ibu sudah nggak pusing-pusing lagi. Kirana akan segera menghubungiku kalau ada apa-apa dengan ibu."
"Kamu yakin tidak memerlukan bantuanku?"
Indira menggeleng pelan. Sudah terlalu banyak ia menerima dari Juan. Bila ia meminta lebih banyak lagi takkan ada batasan dalam dirinya. Kejadian pagi tadi di kantor, ketika Juan seperti tidak mengenalnya, sudah mampu menyakiti hatinya. Indira tidak ingin ikatan yang tak bisa dilepas. Ia tahu kemungkinan dirinya tersakiti selalu ada, bahkan besar.
Ia bukan siapa-siapa. Anak yatim dengan ibu yang sakit-sakitan dan harus membiayai sekolah adiknya. Indira memang cantik. Tapi wanita cantik di luar sana juga banyak. Kepahitan kenyataan itu tak pernah meninggalkan pikiran Indira.
"Kalau butuh sesuatu katakan padaku. Aku ada bukan untuk pajangan, Dira." Juan tidak pernah berkata-kata manis namun Indira tidak pernah tidak terpesona pada pria itu. Juan memang suka memerintah, tapi itu memang sudah sifat pria berkuasa sepertinya. Dan Indira tidak sering mengeluh dengan sifat Juan yang itu.
"Aku tahu," kata Indira dengan senyuman. "Pajangan nggak ada yang setampan kamu."
Sudut bibir Juan terangkat, hanya sedikit. "Sudah larut sebaiknya kita tidur sekarang," seru pria itu sembari mematikan TV.
Indira menjerit ketika tiba-tiba Juan mengangkatnya.
"Aku bisa jalan sendiri, Juan." Ia berpegangan di bahu Juan agar tidak jatuh. "Turunkan aku."
"Nanti," Juan mengabaikan protesan Indira. "Di tempat tidur."
Juan membawa Indira melintasi ruangan menuju kasur tanpa kesulitan sedikitpun. Lalu pria itu menjatuhkan Indira di kasur. "Lepaskan jubahmu," kata Juan tanpa tedeng aling-aling.
Pipi Indira merona namun ia membuka ikatan jubahnya dan meletakkannya di lantai. Bahan tipis itu lebih banyak memperlihatkan tubuhnya daripada menutupi. Payudaranya yang membusung hanya dilapisi satin tipis, dan bayangan celana dalamnya terlihat dari balik gaun tersebut.
Pandangan Juan mengarah padanya. Panas dan sarat akan gairah. Pria itu berbaring di sisi Indira. Indira mengira pria itu akan mencumbunya tapi ternyata tidak.
"Tidurlah," Juan menarik Indira agar berbaring, ia memeluk pinggang wanita itu. "Aku hanya ingin memelukmu."
"Kamu yakin?" Pria itu terasa keras di pinggulnya.
"Jangan menggodaku, Dira. Aku tahu kamu masih nyeri karena tadi malam. Sekarang tidurlah."
Pipi Indira ternyata bisa lebih merah lagi. Miliknya memang masih nyeri. Ia membenamkan wajahnya di dada Juan, meraup kehangatan yang mampu pria itu berikan.
*****
Dua hari kemudian sekretaris Juan memberinya kunci rumah setelah jam kerja usai.
"Semua perabot yang diperlukan sudah diisi. Tapi kalau menurutmu masih ada yang kurang kamu bisa menghubungiku." Wanita itu memberikan nomor ponselnya pada Indira. "Pelayan baru bisa datang besok. Untuk malam ini kamu bisa mengurus semua kebutuhanmu sendiri, kan?" Alisnya menaik tajam, seolah mengejek Indira.
"Tentu saja bisa," diremehkan oleh wanita itu adalah hal terakhir yang ia inginkan sekarang. Indira memaksa senyumnya lantas bertanya. "Apakah ada pesan dari pak Juan?"
Wanita itu pasti sudah tahu hubungannya dengan Juan. Tak jarang pandangannya terlihat sinis pada Indira. Seolah Indira telah merebut tempatnya.
"Pak Juan mengurus persidangannya hari ini. Beliau akan menemuimu di sana setelah urusannya selesai. Semua barang-barangmu sudah dipindahkan ke rumah itu."
Indira mengangguk, sudah tidak sabar menjauh dari wanita itu. "Terimakasih, Siska." Katanya. "Aku akan menghubungimu kalau ada yang kuinginkan mengenai rumah itu."
Sebelum pulang ke rumah barunya---atau lebih tepatnya rumah baru Juan---Indira menelepon Kirana.
"Bagaimana kata dokter?"
''Seperti biasa," Kirana menghela napas. "Ibu harus segera menjalani tlansplantasi ginjal, kak. Cuci darah saja nggak cukup." Kirana diam sejenak. "Apa yang harus kita lakukan, kak?"
Indira mengusap pipinya. "Biar kakak yang memikirkannya."
"Tapi biayanya nggak sedikit, kak."
"Kakak sudah bilang biar kakak yang memikirkannya, Kirana. Kamu cukup sekolah dan belajar. Jangan sampai sekolah kamu terganggu, ngerti?"
"Ngerti, kak." Jawab Kirana lemah.
"Yasudah kakak udahin dulu, nanti kakak telepon lagi." Baru sedikit ia memutuskan sambungan, ponselnya berdering lagi. Telepon dari Juan.
"Teleponmu sibuk," sergah Juan sebelum Indira sempat mengatakan sepatah katapun. "Kamu menelepon siapa?"
"Kirana," jawabnya tidak bersemangat.
"Ada apa?" Nada suara Juan berubah cemas.
"Nggak apa-apa."
"Tapi suaramu aneh, Dira."
"Aku cuma kelelahan."
Dari seberang terdengar Juan bicara dengan seseorang kemudian kembali bergumam padanya. "Siska sudah memberimu kunci rumah?"
"Sudah."
"Kamu dalam perjalanan pulang?"
"Iya."
"Baiklah, aku akan langsung pulang begitu semuanya selesai di sini."
''Hhmm."
"Indira, ada apa?" Suara Juan menjadi tajam.
"Aku sudah bilang nggak apa-apa, Juan. Aku cuma kelelahan."
"Tidak biasanya kamu irit bicara."
"Aku belajar darimu."
Lagi-lagi sunyi di seberang. "Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa." Juan mematikan telepon.
Indira menatap langit yang mulai gelap. "Ya Tuhan, tunjukkan padaku apa yang harus kulakukan," bisiknya pelan.
"Butuh tumpangan?" Lia dan motornya berhenti di samping Indira.
Indira sudah akan mengiyakan namun segera ingat kalau sekarang ia tinggal di perumahan mewah. Lia pasti bertanya-tanya bagaimana Indira bisa tinggal di sana.
"Nggak usah, Lia. Aku mau mampir ke supermarket dulu." Katanya sembari tersenyum.
"Kalau begitu aku duluan ya."
Indira menatap kepergian Lia. Pasti enak jadi temannya itu. Bekerja hanya untuk dirinya sendiri. Orangtuanya bukan orang susah.
"Berhentilah mengasihani dirimu sendiri," Indira mendesis pada dirinya. "Setidaknya kamu masih sehat dan bisa bekerja, Dira."
Tbc...
Semoga suka dengan part ke-2 ini yess 😍😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro