Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Indira - 17

"Jaga kata-katamu, Juan!" Indira menatap tajam. "Ada Gisel.".

Juan menatap putrinya, Gisel sedang memperhatikannya dengan serius. Juan menghela napas. "Apakah tidak ada cara lain selain bertemu baj....si Bima itu?" Juan hampir menyebutkan kata-kata kasarnya lagi.

"Kalau nggak biar aku saja yang bicara dengan Bima," Indira menawarkan.

"Oh?" Alis Juan menukik tajam.

"Harus ada yang bicara dengan Bima, Juan. Dia dokter yang merawat ibu, mau nggak mau kita harus melakukannya." Indira mencoba membuat nada suaranya sebiasa mungkin, ia tidak mau Juan salah mengartikan kata-katanya. Juan dan sifat cemburunya bukan hal yang mudah dipisahkan.

"Sebenarnya aku punya rencana lain."

"Apa?"

"Ibu kita pindahkan ke rumah sakit lain."

"Ya, Tuhan," Indira melongo. ''Sampai segitunya kamu nggak mau bicara sama Bima? Jangan konyol, Juan. Ibu nggak perlu dipindahkan ke manapun. Salah satu dari kita hanya perlu bicara dengan Bima dan masalah selesai."

"Sudah jelas bukan kamu orangnya," sergah Juan.

Indira mengangkat bahu. ''Itu berarti kamu yang bicara." Indira menghampiri Gisel. "Ayo, sayang. Kita cari makan siang." Ia menggendongnya, berjalan menjauhi Juan.

Gisel memandang dari atas bahu Indira. "Papa nggak ikut?"

"Nanti papa nyusul." Indira sengaja meninggalkan Juan sendiri. Juan terlihat kesal, dan Indira hampir memutar matanya ketika kecemburuan Juan datang lagi.

Dua jam kemudian mereka sudah di dalam mobil dalam perjalan pulang. Sebelum meninggalkan rumah sakit tadi, Juan memberikan kartu debit pada Kirana. "Gunakanlah kalau kamu memerlukan sesuatu, jadi kamu tidak harus menelepon kakakmu. Jangan menolaknya, sebentar lagi aku akan jadi kakakmu juga. Aku senang bisa membantu." Kirana refleks memeluk Juan saat itu juga, sedangkan Indira mengusap air matanya.

"Bagaimana tadi?" Gisel tidur di pangkuannya, ia merapikan letak kepala anak itu di dadanya agar Gisel bisa tidur dengan nyaman. Indira tidak sempat bertanya pada Juan tadi saat di rumah sakit karena ada ibunya, ia sudah tidak sabar mengetahui akhir pembicaraan Juan dan Bima.

Juan meliriknya sekilas. "Aku masih tidak menyukainya."

Indira sudah menduga bagian yang satu itu. Raut wajah Juan langsung berubah ketika mendengar nama Bima disebut, apalagi bertemu dan bicara berdua dengannya. Indira bersyukur tidak ada insiden mukul-memukul. Yah, kedua pria itu adalah makhluk dewasa, sudah seharusnya tidak ada adu jotos hanya karena masalah sepele, kan?

"Apa yang dikatakan Bima? Apakah dia sudah mendapat pendonor yang cocok?"

"Dia sedang mengusahakannya," kata Juan. "Ada beberapa dalam pemeriksaan kesehatab. Mungkin dua-tiga hari lagi dia memberitahu kita. Dia cukup profesional dalam pekerjaannya, kuharap dia tetap seperti itu."

Kalimat Juan ambigu, Indira sedikit bingung. "Maksudmu?"

"Beberapa kali dia menyiratkan masih menyukaimu," dengusnya. "Padahal aku sudah bilang kita akan menikah. Kalau bukan karena peringatanku yang cukup jelas, dia pasti mengatakan akan menunggu jandamu."

"Jangan berlebihan." Indira menegur.

"Itu kenyataannya, Indira. Dia bahkan tidak malu memberitahuku dia menyukaimu."

"Apa yang salah dengan Bima menyukaiku? Yang penting aku hanya menganggapnya sebagai teman. Kamu pasti melakukan hal yang sama kalau menyukai perempuan."

"Mengatakan rasa sukaku pada calon suaminya?" tanya Juan dengan nada mengejek. "Aku tidak mau melakukan hal konyol seperti itu. Aku akan merebut gadis itu bila aku benar-benar menyukainya."

"Siapa tahu Bima juga berniat seperti itu?" Indira berhasil membuat Juan memperhatikannya sedikit lebih lama, syukurlah lalu lintas tidak padat.

"Dia harus berhadapan denganku lebih dulu, sayang. Akan kupastikan dia menyesal kalau bertindak lebih jauh dari yang sudah dilakukannya sekarang."

****

Juan dibangunkan oleh suara berisik dari kamar mandi. Ia menoleh melirik jam, masih jam lima pagi. Lagi-lagi suara itu terdengar, suara orang yang sedang muntah. Juan mengerjap beberapa kali, begitu kesadaran menghampirinya ia melompat dari tempat tidur dan berlari ke sumber keributan. Indira sedang melap mulutnya ketika Juan masuk.

"Ada apa?" Juan memperhatikannya dari atas ke bawah. "Kamu kenapa?" Indira mengetatkan jubah tidurnya, matanya yang merah membuatnya sulit berbohong. Akhir-akhir ini ia memang lebih sering mual dan muntah. Indira memiliki firasat bahwa dirinya hamil, namun ia juga punya keraguan karena ia rutin suntik kb. Memang tamu bulanannya terlambat, nyaris...ya Tuhan, ia lupa kapan terakhir kali dia suntik.

Keadaan ibunya yang semakin parah membuat pikirannya hanya fokus ke kesehatan ibunya. Indira selalu mengkhawatirkan ibunya hingga lupa pada sesuatu yang mesti rutin dilakukannya. Ia memejamkan mata, sudah jelas sekarang, kemungkinan ia sedang hamil sangat besar. Nyaris seratus persen.

"Indira, ada apa?" Juan memegang pipinya. Indira tidak sanggup menatap Juan, apa yang akan dikatakan Juan jika ia benar-benar hamil? Juan yang menyarankan Indira untuk memakai kontrasepsi, itu berarti pria itu belum siap memiliki anak. Sekarang bagaimana?

"Mungkin aku masuk angin," jawabnya. "Aku nggak tahu, tiba-tiba tadi aku mual."

Juan memandang wajahnya, memegang pipi Indira tetap mengarah padanya ketika Indira mencoba berpaling. Indira ketakutan, Juan seolah tahu kondisinya.

"Sudah berapa lama?"

"Baru pagi ini," Indira berbohong. Indira menutup mulutnya dengan tangan ketika mual itu datang lagi, dia muntah. Padahal sebelumnya mualnya sudah reda. Juan memegangi rambut Indira, memijit tengkuk wanita itu dengan lembut.

"Kita ke rumah sakit saja, Indira."

Indira menggeleng, dia muntah lagi, ia merasakan perutnya tercengkram. Rasanya semua bagian dalam perutnya akan ikut keluar bersama cairan menyakitkan itu. Saat muntahnya selesai Indira sudah tidak punya tenaga lagi, Juan menggendongnya ke tempat tidur. Ia menerima air putih yang diberikan Juan.

"Kamu pucat, Ra," Juan meletakkan telapak tangannya di kening Indira. "Masuk angin tidak mungkin separah itu."

Indira memilih tetap memejamkan mata, ia benar-benar kelelahan. Perlahan ia tertidur, jatuh ke dalam mimpi yang tidak ia mengerti. Ketika ia terbangun untuk yang ke dua kali, matahari sudah tinggi dan Juan tidak ada di sampingnya.

Mualnya tidak kembali, tapi sekarang kepalanya yang pusing. Ia sampai harus berpegangan ke dinding agar tidak jatuh.

****

Indira tersenyum menatap dirinya di cermin besar yang memperlihatkan tubuhnya dibalut gaun yang sangat indah, gaun pengantinnya. Gaun itu terbuat dari sutra berwarna putih gading, jatuh hingga menutupi kakinya. Gaun tersebut berpotongan sederhana, tanpa lengan dan dipenuhi batu-batu indah yang berkilau diterpa cahaya. Senyumnya semakin lebar saat Juan berjalan mendekat padanya.

Tiga hari lagi mereka menikah, dan siang ini Indira melakukan pengepasan terakhir gaun pengantinnya---setelah dua kali harus dibesarkan---Indira dengan kesal menerima kalau berat badannya bertambah. Lucunya Juan tidak keberatan, pria itu malah terdengar senang. "Itu berarti kamu bahagia." Itu katanya, yang dibalas Indira dengan bibir cemberut.

Juan memeluk pinggang Indira, mengecup puncak kepalanya dan ikut memandang sosok yang ditampilkan cermin. "Sangat cantik. Pengantinku."

Indira tersenyum. Juan tidak membutuhkan pengepasan ulang untuk jasnya, pertama kali mencoba setelannya langsung pas. Juan hanya ikut menemani Indira. Indira dengan setengah hati menolak, dan bersyukur Juan memaksa ikut. Indira senang ditemani Juan.

"Aku bertambah gemuk setiap menitnya," ujar Indira memperhatikan dadanya yang bertambah besar. Ia semakin yakin bahwa dirinya hamil, tapi belum berani memeriksakannya ke dokter atau membeli tespek. Pusing dan mualnya masih sering datang, tapi Indira bisa menahan agar tidak muntah bila ada Juan. Indira memutuskan memeriksakannya bersama Juan setelah mereka menikah nanti. Saat itu mereka sudah menjadi suami istri, Juan pasti tidak keberatan dengan kehamilannya. Jika ia benar-benar hamil.

"Aku menyukaimu apa adanya."

"Meskipun aku berubah jadi bola pimpong?" Satu lagi yang membuat Indira ragu memberitahu Juan perihal perasaannya yang mengatakan bahwa ia sedang hamil, hingga sekarang ia tidak tahu bagaimana perasaan Juan padanya. Tak sekalipun Juan mengatakan mencintainya. Juan mau membiayai pengobatan ibu, bahkan menawarkan diri---dengan memaksa---membiayai sekolah Kirana, sekarang Juan bertanggung jawab sepenuhnya atas Indira. Tapi Indira menginginkan cinta Juan.

"Meskipun kamu berubah jadi bola pimpong," Juan mengecup ceruk lehernya. "Berubah jadi ikan paus pun aku tetap menyukaimu."

*****

"Bima bilang keadaan ibu stabil, ibu bisa menunggu hingga pernikahan kita," Juan menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, ia memeluk perut Indira. Indira jadi mual lagi, sekuat tenaga ia menahan agar tidak berlari ke kamar mandi.

Juan baru pulang kerja, belum berganti baju dan berbau keringat dan parfum yang dipakainya pagi tadi. Indira meletakkan tangannya di rambut Juan, menyisirnya dengan jari.

"Ibu sangat bersemangat waktu bertelepon tadi," ibunya mengatakan sudah tidak sabar melihat Indira menikah, ia berjanji untuk tetap sehat.

"Bagaimana perasaanmu?" Juan mendengak, menatap Indira. "Sebentar lagi kamu jadi istriku."

"Aku senang," ujarnya, tidak bisa fokus antara menahan mual dan bicara.

"Aku lebih dari senang," Juan tersenyum lebar. Kebahagiaan pria itu terlihat jelas, Indira merasa buruk dengan berbohong padanya. "Aku tidak bisa tidur nyenyak, menunggu kamu mengucapkan janji setiamu padaku."

Indira tidak bisa menahannya lagi, ia melompat dan berlari ke kamar mandi. Pada akhirnya ia muntah lagi, ia memejamkan mata, kali ini Juan tidak akan percaya bila ia berbohong lagi. Mana ada masuk angin yang berlangsung setiap hari.



Tbc...






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro