Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Indira - 15

Sudah sepuluh menit yang lalu Indira terbangun, namun ia belum mau beranjak dari kasur, di mana pria yang ia cintai tidur tepat di sampingnya. Saat ini Indira sedang menatap Juan, pria itu tidur pulas. Wajahnya tenang, dan tidak terlihat berbahaya seperti saat dia memegang pistol tadi malam.

Indira bergidik hanya dengan mengingat kemarahan Juan tersebut, seolah Juan baru saja keluar dari neraka dan ingin menghabisi seseorang. Untung amarah itu segera reda begitu Indira memeluknya, mengiyakan perkataan pria itu. Indira mengira setelahnya Juan akan bercinta dengannya---karena jika sedang marah itulah yang paling diinginkan Juan biasanya---tapi tidak, Juan hanya memeluknya kemudian tidur. Tadi malam Juan lebih dulu tidur daripada Indira, saat tengah malam lewat barulah ia bisa tidur.

Indira ingin menyentuh wajah Juan tapi takut pria itu bangun, ia hanya memperhatikan saja. Bagaimana mulutnya yang sedikit terbuka menghembuskan napas, bagaimana keningnya yang berkerut dalam tidur. Juan memiliki rahang tegas, yang akan menegang jika ia marah. Sesungguhnya Indira tidak pernah benar-benar takut akan kemarahan Juan, hingga tadi malam. Rasanya seperti ia berhenti bernapas. Apalagi ketika Juan mengatakan akan menembak dirinya sendiri, ia ingin memukul Juan saat itu karena leluconnya yang tidak lucu.

Indira menyadari betapa berartinya Juan untuknya. Juan adalah hatinya, merupakan kebahagiaannya, dan masa depannya. Ia tersenyum, sebentar lagi mereka akan menikah. Tapi tiba-tiba ia cemberut ketika mengingat sifat cemburu Juan yang mengerikan, ia harus menemukan cara agar Juan mengurangi sifatnya itu. Juan harus tahu dan tidak ragu bahwa ia mencintainya, menginginkannya, hanya dia.

Mata Juan terbuka perlahan dan menatap Indira yang juga menatapnya. Untuk sesaat Juan tampak manis karena kelihatan linglung.

"Pagi," ujar Indira lembut seraya tersenyum.

"Pagi," Juan menutup mata lagi.

"Masih belum mau bangun?" Indira mengusap pipi Juan.

"Hhmm."

"Baiklah," Indira duduk, mengikat rambutnya asal. "Lanjutkan tidurmu, aku akan melihat Gisel."

''Sudah jam berapa?" tanyanya masih dengan menutup mata.

"Jam tujuh."

"Berikan aku waktu sepuluh menit lagi, nanti aku bangun."

Indira mengecup cepat pipi Juan. "Nggak perlu, tidurlah lebih lama kalau kamu mau."

"Kita harus ke rumah sakit." ujar Juan dengan nada serak. "Kamu bilang ibu ingin bertemu denganku."

"Itu bisa menunggu, kita punya waktu seharian." Indira turun dari tempat tidur, tapi Juan menarik tangannya. "Apa?" Dia menatap Juan.

"Mana ciuman selamat pagiku?"

Indira terkekeh. "Tadi aku sudah menciummu."

"Di pipi tidak termasuk."

Indira menggeleng, ia menaikkan satu kakinya ke ranjang, memajukan tubuhnya dan meletakkan bibirnya di atas bibir Juan. Indira bermaksud memberi kecupan ringan namun Juan memiliki keinginan lain.

Juan menyatukan bibirnya, melumat secara menyeluruh setiap bagian mulut Indira. Juan mengerang, memperdalam ciumannya. Indira memejamkan mata, membuka bibirnya dan membiarkan lidah Juan masuk. Ia melenguh, bergetar dengan setiap jilatan lidah Juan. Napas Indira tersengal-sengal saat Juan memindahkan ciumannya ke leher, ia meremas rambut Juan.

"Kamu bilang hanya ciuman," dengan tak berdaya ia mengingatkan. Juan menghisap lehernya, meremas payudaranya.

"Oh, Tuhan, kamu membuatku gila, Indira. Aku tidak pernah berhenti ingin menciummu, ingin berada di dalammu."

"Aku bahkan belum menggosok gigi, Juan," punggung Indira melengkung, menggigit bibirnya demi menahan engahan.

"Aku tetap menyukainya," kata Juan di dadanya. "Aku harus berhenti sebelum aku menindihmu sekarang," kalimat Juan lebih kepada dirinya sendiri, nyatanya dia tak juga berhenti, lidahnya menyusuri leher Indira dari atas ke bawah, membuat leher wanita itu menjadi basah.

"Tolong hentikan aku, Indira." Juan menggeram.

Indira tidak bisa, tidak mau. Bibirnya hanya terengah tanpa bisa mengucapkan apapun.

Ketukan di pintulah yang membuat Juan berhenti, ia memeluk Indira, sudah menghentikan cumbuannya.

"Aku akan melihatnya," Indira menjauh, turun dari kasur. "Itu pasti Gisel, Gisel selalu mengetuk pelan." Indira menetralkan napasnya sebelum berjalan lebih jauh.

Juan mengangguk, menyugar rambutnya beberapa kali. "Aku akan mandi." Ia lompat dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Indira sempat melihat bagian depan celana Juan yang menggembung sebelum pria itu hilang di balik pintu.

****


Indira menemukan Gisel yang bersimbah air mata di depan pintu. Pipinya merah, dan ia menarik-narik ingusnya. Gisel masih mengenakan piyamanya.

"Ada apa, sayang?" Indira menunduk, mengangkatnya untuk digendong. "Kok nangis?"

"Mba Dewi jahat," katanya marah. Kadang Gisel memanggil Tante pada Dewi, kadang Mba, sesuka anak itu saja. Dan akhir-akhir ini Dewi sering menjadi 'jahat'.

"Mba Dewi kenapa lagi?"

Gisel mengalungkan kedua tangannya di leher Indira. "Gisel mau beli bubur kacang ijo tapi mba Dewi nggak bolehin. Tukang jualnya masih ada di depan, Tante. Tante, Gisel mau bubur kacang ijo." Gadis kecil itu merengek.

"Nanti Tante yang masakin ya, sayang."

Gisel menggeleng. "Gisel mau sekarang, Tante. Gisel mau yang dijual ibu-ibu itu."

"Ibu penjualnya pasti udah pergi, sayang."

"Nggak," Gisel membantah. "Tadi Gisel lari cepat-cepat ke kamar papa biar tukang jualnya nggak pergi. Ayo kita lihat, pasti masih ada di depan. Banyak yang beli, Tante."

Indira menghela napas. "Tapi---"

Bibir Gisel bergetar, detik berikutnya dia menangis. "Gisel lapar, Gisel mau makan."

"Makan nasi saja ya, sayang," Indira mengusap air matanya, membujuk anak itu agar berhenti menangis. "Si mbok pasti sudah masak ikan yang enak."

"Gisel nggak mau," lagi-lagi ia menggeleng. "Kalau Tante Dira nggak mau belikan buburnya, Gisel minta uang aja, biar Gisel beli sendiri."

Indira tidak bisa menahan senyum melihat usaha Gisel tersebut. Ia bukannya tidak mau membelikan Gisel bubur itu, tapi perut Gisel mudah bermasalah kalau jajan sembarangan. Pernah Gisel minta beli bakso keliling, karena Indira tidak tahu ia belikan saja, malamnya Gisel sakit perut dan harus dibawa ke rumah sakit. Indira tidak mau hal itu terulang lagi. Tapi melihat wajah memelas Gisel sekarang pun ia tidak tahan. Akhirnya ia membawa Gisel keluar, penjual bubur itu sudah tidak ada.

"Tukang buburnya sudah pergi," Gisel menangis lagi, kali ini lebih kencang. Indira jadi merasa bersalah. "Turunin Gisel, Tante." Gisel menggeliat turun.

"Gisel mau ke mana?"

"Kejar tukang buburnya."

"Kita bisa suruh si mbok masak bubur, sayang."

"Bubur si mbok nggak enak." Bagaimana mungkin ia bisa tahu bubur buatan si mbok tidak enak sementara si mbok belum pernah membuat bubur untuknya.

Tanpa memakai selop Gisel berlari ke halaman. Indira mengejar anak itu, mereka sama-sama tidak pakai selop. Gisel tidak terganggu sedikutpun kaki kecilnya yang telanjang menyentuh tanah berbatu, ia terus berlari hingga keluar pagar. Sementara Indira kerap meringis merasakan tusukan batu di telapak kakinya, larinya menjadi lambat karena harus menahan sakit di kakinya.

"Masih kelihatan?" Indira sampai di samping Gisel, Gisel menatap jauh ke arah penjual bubur yang baru saja keluar komplek.

"Tante Dira jahat," teriaknya. "Sama kayak Tante Dewi." Nah sekarang Dewi kembali menjadi tante. "Tukang buburnya udah pergi, udah jauh.''

"Maafin tante, ya." Indira menghela napas saat Gisel kembali menangis lagi. Anak itu duduk di jalan dan merengek.

"Gisel mau bubur kacang ijo."

"Tapi ibu penjual buburnya sudah pergi, sayang." Indira berjongkok di dekat Gisel, hendak menyentuhnya namun Gisel menolak.

"Kenapa, Ra?" suara yang tidak asing terdengar dari belakang. Indira berbalik dan melihat Bima. Bima tampaknya baru saja selesai lari pagi, pakaiannya tidak jauh berbeda dengan yang dipakainya waktu lari malam tempo hari.

"Oh---", Indira sudah akan menjawab tapi Gisel memotong.

"Gisel mau bubur kacang ijo, Om. Tapi penjualnya udah pergi.'' adunya dengan memelas.

Bima tersenyum, menyerahkan bungkusan di tangannya. "Kamu bisa ambil punya om, tadi Om beli, buat kamu saja."

"Bima---"

"Nggak apa-apa, Ra," Bima menatap Indira. "Kamu nggak lihat bibirnya udah maju seperti itu? Dia pasti akan menangis."

Bima benar, Gisel tampaknya benar-benar menginginkan bubur tersebut.

Gisel tidak langsung mengambil plastik yang di tangan Bima, anak itu memandang Indira minta persetujuan. Indira mengangguk.

"Ambil saja, sayang."

Gisel berdiri dengan senang, ia meraih bungkusan tersebut. Tanpa disuruh ia mengucapkan terimakasih. "Makasih, Om."

Bima tersenyum, mengusap kepalanya. "Siapa nama kamu?"

"Gisel, Om."

Bima menatap Indira, bertanya lewat tatapannya.

"Anak Juan." kata Indira.

Bima mengangguk, sejenak hanya memandang Gisel, kemudian ia melirik Indira.

"Bagaimana? Kamu sudah memutuskan?"

Indira tahu apa yang dimaksud Bima. "Aku berterimakasih karena kamu mau membantu dengan membayar biaya operasi ibuku," ujarnya. "Tapi aku nggak bisa terima uang kamu."

Bima menatap ke arah rumah Indira. "Karena Juan?"

"Kami akan segera menikah, Bima. Aku nggak ingin ada rahasia di antara kami, tadi malam aku cerita sama Juan dan dia mau membantuku. Aku sungguh-sungguh berterimakasi untuk niatmu yang baik."

"Aku sudah pernah bilang kalau kamu bisa menemuiku kalau membutuhkan apapun, Ra. Itu bukan janji bualan, aku serius."

"Aku tahu, karena itulah aku berterimakasih padamu."

Tatapan Bima masih terarah ke rumah Indira. "Kamu yakin ingin bersama pria seperti Juan, Ra? Maksudku, menurutmu dia nggak terlalu...sangar?"

Indira tertawa. "Juan pria yang baik, kamu hanya belum mengenalnya."

"Tapi sekarang dia nggak terlihat baik menurutku."

Bima yang tak kunjung memindai pandangan membuat Indira penasaran, ia berbalik mengikuti pandangan Bima. Indira terkesiap dan cepat-cepat berbalik lagi.

"Dia seperti ingin mematahkan leher seseorang, Ra."

"Juan nggak suka melihat aku dekat-dekat denganmu." gumam Indira pelan, merasa gusar sekarang.

"Aku bisa melihatnya."

"Sebaiknya kami pergi," Indira meraih tangan Gisel. "Makasih untuk buburnya."

"Nggak masalah," Bima mengangkat bahu. "Dan jangan khawatir, bubur itu sehat. Aku mengenal penjualnya, kamu jangan takut Gisel sakit perut."

Indira tersenyum. "Sekali lagi makasih."

Juan berdiri di teras dengan kedua tangan di dalam saku celana, matanya mengikuti Indira berjalan ke rumah. Gisel melompat-lompat kecil karena senang, plastik buburnya diapegang kuat-kuat. Sedikitpun tidak merasakan dinginnya tatapan ayahnya.

"Pa, Gisel mau gendong." Gisel menaikkan tangannya pada Juan. Juan menggendongnya, membawanya masuk ke dalam. Indira mengikuti ke dari belakang, ia menerka-nerka apakah Juan marah.

Indira memilih pergi mandi setelah Juan mendudukkan Gisel di kursi makan. Ia akan membuat dirinya segar lebih dulu sebelum menghadapi kemarahan Juan. Ia berganti pakaian, memakai kemeja longkar dan celana jeans. Kancing terakhir kemejanya baru saja terkancing saat Juan memeluknya dari belakang, pria itu mencium sisi wajahnya.

"Kamu nggak marah?" Indira memegang tangan Juan yang berada di perutnya, merasakan betapa kuat tangan itu.

"Aku nyaris berlari dan menghajarnya," Juan merujuk pada Bima. "Tapi aku menahan diri. Selama tangannya tidak berada di tubuhmu, aku juga akan menahan tanganku."

"Berhentilah cemburu, Juan." Katanya, membalik tubuh agar menatap Juan.

''Aku sedang berusaha."

"Kamu nggak percaya padaku?"

"Aku percaya, Indira," Juan menarik pinggang Indira semakin dekat padanya. "Tapi kamu harus bersabar, belum pernah aku sepencemburu sekarang. Rasanya aku ingin memecahkan kepala semua laki-laki yang berani mendekatimu. Terkadang aku memang mengerikan, mudah marah dan sering tidak masuk akal," ucapnya sembari mengusap pipi Indira dengan lembut. "Tapi percayalah, aku tidak akan menyakitimu dengan tanganku."

Indira menyandarkan pipinya pada sentuhan Juan yang lembut. "Kita akan sama-sama berusaha, Juan. Aku senang kamu mau mengontrol kecemburuanmu, itu sangat berarti untukku."

"Sementara untukku, kamulah yang paling berarti, Indira. Oleh karena itu aku ketakutan, aku takut kamu menyerah denganku dan pergi untuk seseorang yang lebih baik dariku."

"Berapa kali harus kukatakan kamulah yang paling sempurna untukku, juan."

"Itu sekarang, bagaimana---"

Indira meletakkan jari telunjuknya di bibir Juan. "Nggak ada bagaimana! Selamanya hanya kamu yang kuinginkan, Juan."


















Tbc....


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro