Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 1

Selamat pagi, ibu. Hoam... rasanya masih ngantuk. Hai, namaku Reyla Silviana, aku adalah seorang siswi dari SMA Widayala 3. Hari ini pagi yang cerah! Sahabatku Kiaria akan menjemputku pagi ini, jadi aku harus bersiap-siap.

"Oiii... Reyla, ayo berangkat!"

"Eeh...biarkan aku ganti baju dulu, aku berangkat." ucap Reyla pada ibunya.

Aku sangat senang karena beberapa hari lagi, di sekolah kami akan ada perayaan memperingati hari ulang tahun sekolah, kelas kami akan berpartisipasi membuka Cafe dengan menjual berbagai kue manis.

"Eh, Reyla kenapa senyum-senyum gitu dari tadi, mikirin apa hayoo.." goda Kiaria. "E-eehh... engga ada, aku ga mikirin apa-apa." tukas Reyla.

"Tapi wajahmu berkata lain tuh, liat kamu merona." pancing Kiaria.

"Hehe...dia merona pasti gara-gara mikirin aku." Seorang anak laki-laki berpakaian seragam SMP Widayala menghadang Reyla dan Kiara, sembari mengatakan hal yang begitu narsis.

Seketika Reyla merasa, bahwa hari ini, yang ia anggap sebagai hari bahagia telah berubah menjadi hari yang suram.

"APA MAKSUD PERKATAANMU TADI?! VINSENT BODOH!"

Anak laki-laki itu bernama Vinsent, teman sekelas Kiaria dan Reyla. "Apasih? Emang yang kukatakan salah? Dasar pendek."

"Apa kau bilang?! Kemari kau. Jangan lari! Dasar tukang tebar pesona!"

Vinsent adalah temanku sejak kelas 2 SD, entah kenapa kami selalu berada di kelas dan sekolah yang sama. Aku berteman dengan Kiaria semenjak kelas 6 SD, kami berteman dengan baik pada awalnya karena kami punya banyak kesamaan, Kiaria juga sering membantuku dengan banyak hal. Bisa dikatakan, kalau aku menginginkan seorang kakak perempuan, pastilah Kiaria yang terbaik.

Aahh... sudah sampai. Capek sekali rasanya jalan kaki, adu-du duh. Aku menabrak seseorang, dan saat aku mengangkat kepalaku, aku mendapati bahwa itu Riyan.

"Ma-maaf!" aku berkata kepadanya lalu berlari meninggalkan yang lainnya. Riyan adalah laki-laki yang berbakat di bidang komputer, karena bakatnya itu dia sering mengikuti lomba teknisi SMA sebagai perwakilan sekolah. Bukan hanya itu saja. Dia juga perhatian, dan sering tersenyum dengan mata hangatnya itu. Dia selalu membuat hati para gadis meleleh, tapi entah kenapa Kiaria tak pernah bereaksi kepadanya. Mungkin karena dia sudah menganggap tokoh-tokoh anime sebagai pacarnya. Kiaria memang sangat suka dengan film-film anime, tak peduli genre apapun itu.

"E-eh... kita ditinggal nih jadinya." kata Kiaria yang masih bersama Vinsent. "Yaudah, ayo Vinsent!" Ujar Kiaria. Ketika ia menoleh ke arah Vinsent, Kiaria kaget karena Vinsent kelihatan sangat marah. Kiaria memutuskan untuk berjalan sendiri ke kelas.

Sesampai di kelas, Kiaria memarahi Reyla. "Oi... Reyla, kamu tau apa yang kamu lakukan tadi, kamu ninggalin aku!"

"Hee... maaf lah Kiaria aku kan malu." kekeh Reyla.

JDOK! "Ngapain malu, orang kamu masih pake baju juga!" Kiaria memukul kepala Reyla. "Ria, jangan pukul aku, nanti aku bisa jadi telmi!"

JDOK! "Kamu tuh udah telmi dari dulu."

"Aduh...ngapain dipukul lagi?!"

"Karena seru!" ucap Kiaria sambil menjulurkan lidahnya. Reyla mengusap kepalanya yang masih terasa sakit sambil merengek.

Tak lama setelah itu, Vinsent datang dan duduk dibangkunya. Ia melihat Reyla yang masih mengusap kepalanya dan berniat menjahilinya.

"Hei pendek-" Vinsent berhenti mengucapkan kalimatnya, karena ia melihat Riyan yang sedang mendekati Reyla. Katanya, "Hei, Reyla, kenapa kamu mengusap kepalamu?"

"Huuh... Aku habis dipukul Ria... Gara-gara aku lebih cepat ke kelas!" jawab Reyla sambil merengek. "Eeh... tapi kamu juga salah, kenapa kamu meninggalkan kawan-kawanmu?" kata Riyan lagi sambil mengusap kepala Reyla dengan tangannya yang besar. Seketika pipi Reyla menjadi merah merona. Vinsent yang sedari tadi memperhatikan terlihat sangat marah, dan kembali ke tempat duduknya. Dari kejauhan, nampak Kiaria yang memperhatikan mereka bertiga, lalu menyeringai.

Bu Indah memasuki kelas, dan ia pun mulai mengajar. "Aduh, pensilku jatuh," keluh Reyla. Reyla membungkuk untuk mengambil pensilnya. Lalu dia pun melihat sebuah tangan yang meraih pensil itu dan memberikannya kepada Reyla.

"Ini, punyamu kan?" Tanya Riyan. "Iya, um.. terima kasih." ujar Reyla. 'Riyan memang cowok idaman deh,' ucap Reyla dalam hati senang.

Pelajaran selanjutnya adalah olahraga. Sebelum mereka sekelas pergi ke ruang ganti, guru kami memberikan baju olahraga baru. Semua anak sangat senang menerimanya kecuali Vinsent, ia hanya menatap baju itu lalu pergi ke ruang ganti dengan cepat.

'Aku penasaran kenapa hari ini dia sangat acuh, padahal pagi tadi ia masih baik-baik saja,' pikir Reyla saat ia melihat Vinsent meninggalkan ruangan kelas.

Para anak perempuan langsung menuju ruang ganti. Saat kami mencoba baju olahraga yang baru, kami kaget karena lengan dan celananya cukup pendek. Celananya di atas lutut. Banyak dari mereka yang merasa tidak nyaman, tapi ada juga yang menikmatinya.

"Mau tidak mau harus dipakai, ini perintah dari sekolah." tegas Kiaria meyakinkan teman-teman perempuannya. Banyak yang masih ragu, mereka takut kalau diolok anak laki-laki. Untungnya Kiaria bisa meyakinkan mereka semua.

Semua sudah berkumpul di lapangan. Si guru olahraga lagi-lagi meniup peluitnya dengan keras. "Aah... kenapa sih peluitnya ditiup keras-keras?" Salah satu teman Reyla, Intan, mengeluh. "Mungkin cuma kebiasaan, jangan diambil hati." kata Kiaria menenangkan.

"Baik, cukup ribut-ributnya! Sekarang, untuk anak perempuan, larilah tiga putaran, lalu bermainlah voli atau basket. Untuk anak laki-laki, larilah lima putaran, lalu bermainlah basket atau sepak bola!"

"Apa? Pak, itu terlalu banyak, apakah Anda mencobai tenaga kami?!" keluh para anak laki-laki.

"Diam! Apa kalian punya martabat sebagai seorang pria kalau disuruh lari lima putaran? Dengar! Hari ini, khusus kepada para laki-laki yang tak mampu lari lima putaran akan memakai rok minggu depan." Para perempuan tertawa kecil. Anak-anak lelaki terdiam dengan muka masam, membayangkan mereka memakai rok.

Setelah berlari tiga putaran, kami para perempuan berdiskusi untuk membagi tim basket dan voli. Para perempuan dibagi menjadi dua kelompok, sedangkan para lelaki dibagi menjadi empat kelompok; dua untuk bermain sepak bola, sisanya untuk basket dan voli. Aku berada di tim basket karena berpikir untuk menambah tinggi badanku.

Aku meminta Kiaria untuk bergabung dan ia setuju. Aku senang karena ia mau satu tim bersama denganku walau ada ledekan yang keluar dari mulutnya, "Baiklah, kamu memang tak berdaya ya kalau tidak ada aku!"

Pemanasan dimulai kembali sebelum kami mulai permainan, untuk berjaga-jaga agar tubuh kami tak terkena cedera. Saat Reyla merentangkan tangannya, ia merasa tangannya menyenggol sesuatu. Ternyata tangan Reyla tak sengaja mengenai dada Riyan. Dia pun meminta maaf, "Maaf, apa kamu terluka?"

"Tidak, aku tidak apa-apa." jawab Riyan. "Ngomong-ngomong, aku baru tau kamu bisa main basket."

"Umm... sebenarnya aku tidak terlalu bisa main basket sih, karena tinggiku tidak mendukung. Jadinya aku hanya bisa mengoper ke teman yang lebih tinggi."

"Haha... minumlah banyak susu kalau seperti itu."

"OIII! Reyla, ayo cepat, jangan diterusin pacarannya. Kita butuh kamu nih!" teriak Kiaria dari kejauhan. "Ihh... apaan sih, aku kagak punya pacar, aku datang nih!" ucap Reyla kesal sambil tersipu malu.

"Semua sudah hadir kan? Setelah bapak pikir-pikir, Bapak rasa tidak adil untuk kalian perempuan melawan laki-laki, jadi kita bagi saja kelompoknya berdasarkan absen. Untuk kelompok voli, absen 1-14 akan dibagi menjadi 2 kelompok, sementara absen 15-25 akan bermain basket."

'Yah...aku ga sekelompok ama kiaria, dia ada di tim voli,' keluh Reyla. Untungnya Reyla bisa sama Riyan.

Sesaat setelah memikirkan hal tersebut, Riyan mendatangi Reyla dan berkata kepadanya. "Hai Reyla, kita se-tim jadi mohon kerjasamanya ya." Sambil tersenyum, ia mengulurkan tangannya. Saat aku ingin menjabat tangannya tiba-tiba Vinsent datang dan menjabat tangan Riyan. "Iya, mohon kerjasamanya ya." kata Vinsent sembari memaksa untuk tersenyum. Reyla tau akan hal itu, tapi ia diam saja.

"Oi, Reyla," panggil Intan. "Kamu disuruh Pak Guru untuk mengambil bola dari gudang."

"Hmm... aku ikut, tidak baik membiarkan seorang gadis kecil sendirian." goda Vinsent.

"Huuh... aku tidak keci!l" tukas Reyla

"Iya deh iya!" tawa Vinsent. "Kamu kecil tapi manis." ucap Vinsent sambil berbisik.

"Hah? Kamu bilang sesuatu, Vinsent?"

"T-tidak, tidak, aku tidak mengatakan apapun!" jawab Vinsent gugup sambil menoleh ke arah yang lain. "Oh, baiklah. Eh, wajahmu merah! Apa kamu demam?"

Secara spontan Reyla mengulurkan tangannya untuk mengecek suhu tubuh Vinsent. Vinsent diam saja saat tangan Reyla hendak menyentuh dahinya. Reyla terus mengulurkan tangannya. Makin dekat, lebih dekat, sampai menyentuh dahinya...

Seketika muka Vinsent menjadi panas dan merah, layaknya tomat.

"Eh? kepalamu panas banget dah. Apakah kamu merasa tidak enak badan? Kalau iya, kamu bisa beristirahat di UKS..." ujar Reyla.

Wajah Reyla sangat dekat dengan wajah Vinsent, sehingga Vinsent dapat merasakan detak jantungnya bergerak dengan sangat cepat.

"Eh eh, aku nggak pa-pa kok!" teriak Vinsent yang malu, lalu buru-buru berjalan ke arah gudang.

"Anak itu kenapa ada masalah apa Reyla?" tanya Riyan sedikit penasaran. Air mukanya sulit dibaca.

"Entahlah... dari dulu emang gitu. Abaikan saja." sahut Reyla sembari mengibas-ibaskan tangannya. "Udahlah! Kan kami emang mau ngambil bola! Bentar ya?"

"Oo, iya. Kami atur posisi dulu." Riyan pun mengajak rekan-rekan setimnya untuk berdiskusi.

Sementara itu, Reyla menyusul ke arah gudang. Agaknya Vinsent sudah duluan masuk karena pintunya terbuka.

"Oi... Vinsent, kamu di dalam?" Reyla memanggil Vinsent, tapi tidak ada jawaban. "Udah ditinggal aja. Mana anaknya?" Reyla bergumam kesal sembari memasuki gudang.

Agak gelap, tetapi meski begitu Reyla masih bisa melihat bola basket yang terlantar di atas rak. Gawatnya, rak itu agak tinggi.

"Hari ini sial mulu..." umpat Reyla. Reyla sampai harus meloncat-loncat demi mencapai bola itu. Syukurlah karena akhirnya ujung jari Reyla mampu menggelincirkan bola itu dan menjatuhkannya ke kepala Reyla. "Aduh!"

Hantaman bola itu membuat Reyla kehilangan keseimbangannya. Karena tersandung kakinya sendiri, Reyla pun terjatuh.

Reyla menutup matanya rapat, menunggu rasa sakit di belakangnya tiba. Aduh... masa kesialan hari ini tambah satu lagi?

Hei.

Hei...

"Hei, Reyla buka matamu. Kamu tidak apa-apa kan?"

Reyla membuka matanya dan mengangkat kepalanya. Ia melihat muka lelaki di atasnya. Ternyata, itu Riyan. Reyla sempat bingung kenapa Riyan ada di gudang. Tapi ia menjauhkan logikanya jauh-jauh.

Riyan memegangi punggung Reyla, menahannya jatuh. Andaikan saat itu mereka tidak sedang berada di gudang yang kotor, pasti suasananya romantis.

"E-eh... iya, nggak pa-pa." Reyla tersadar dan buru-buru menarik dirinya. "Makasih." Reyla berterima kasih dengan menundukkan kepalanya, ia merasa wajahnya sangat panas.

Riyan yang melihat ekspresinya pun bingung. "Eem... syukurlah kalau kamu ga pa-pa, masa aku diem aja liat kamu jatuh gitu?" kekeh Riyan. "Katanya Vinsent nemenin kamu. Mana anaknya?"

"Aku tidak tau, dia sudah tidak ada disini sejak aku datang. Aku mencoba memanggilnya tapi tidak ada jawaban." Reyla membungkuk dan mengangkat bola basket yang tadi menimpa kepalanya. "Kayaknya dia sempet masuk sih, soalnya tadi pintunya terbuka."

"Ooh, gitu." Riyan mengangguk. "Yaudah, kita balik yuk."

Saat pelatih melihat bola basket yang dipegang oleh Reyla, pelatih meniup peluit dan permainan dimulai. Permainan sudah berjalan selama lima belas menit, tapi Vinsent tetap tidak hadir. Tidak ada yang tau ia pergi kemana.

"Reyla, Vinsent dimana? Kita ga mungkin bisa menang tanpa dia. Perempuan di tim kita sangat lemah, laki-lakinya ga ada yang berguna selain Riyan!"

"Maaf, aku juga tak tahu Vio. Dia bilang dia mau menemani aku mengambil bola, tapi saat aku menyusulnya ke gudang dia tidak ada disana."

Peluit berbunyi. Kembali waktunya memulai permainan sekali lagi.

Aku mencoba menghindari lawanku sembari dribbling. Aku cukup mahir dalam mengelak. Disaat aku akan mengoper bola, aku merasakan sakit pada kakiku, mungkin karena aku jatuh di gudang tadi. Aku memaksakan mengoper lalu jatuh ke tanah. Sayangnya bola yang kuoper kehilangan fokus sehingga malah ter-oper pada tim lawan. Guruku menghentikan permainan dan menyuruh Riyan membawaku ke UKS.

Reyla berjalan ke-UKS dengan pincang. Untungnya ada Riyan yang menahan Reyla, sehingga Reyla tidak jatuh. Tapi timnya menjadi kacau karena pemain terbaik mereka meninggalkan lapangan. Riyan juga sepertinya sangat ingin bermain, jadi terkadang dia melamun sambil berjalan lebih cepat atau menengok kebelakang.

Reyla merasa tidak enak dengan Riyan. Reyla berkata kepada Riyan untuk kembali bermain dan meninggalkannya. "Riyan, kalau kamu sangat ingin bermain, bermain saja. Aku tidak pa-pa, sebentar lagi sampai ke UKS kok!" Riyan melihat Reyla dengan mata memelas. "Sungguh, kau tidak apa-apa?" Reyla mengangguk. "Iya, pergilah."

Sebelum Riyan pergi, dia menengok kanan kiri dan membawaku ke tembok agar Reyla lebih mudah berjalan. Lalu dia pun melambaikan tangannya dan pergi dengan senyuman terima kasih di wajahnya.

Awalnya aku senang karena dapat membantunya, tapi setelah aku melihat tangga yang ada di depanku, aku merasa menyesal membiarkan dia pergi. Tapi mau tidak mau hal itu sudah terlanjur. Aku mencoba menaikinya perlahan-lahan sambil menahan rasa sakit akibat kakiku yang terkilir.

Di saat Reyla kehilangan keseimbangan, Reyla hampir jatuh, tapi dia merasa ada seseorang yang menahannya. Saat Reyla berbalik ke belakang, dia melihat Vinsent di belakangnya. Vinsent berkata kepada Reyla, "Bodoh, ditinggal sebentar aja gabisa, bikin khawatir orang aja."

Sambil mengatakan itu, dia menggendong Reyla ke UKS.

Entah kenapa, pada saat itu jantungku berdegup dengan sangat kencang, sehingga aku merasa Vinsent bisa mendengarnya. Aku memberanikan diri melihat wajah Vinsent saat itu, dan ekspresi yang terlintas di wajahnya adalah sebuah kekhawatiran yang besar diikuti dengan wajahnya yang sedikit memerah.

Di UKS, Vinsent merawat kaki Reyla dengan baik. "Rasa sakitnya berkurang." timpal Reyla.

Tak lama setelah pelajaran olahraga berakhir, Kiaria buru-buru menyusul Reyla.

Brak!

Kiaria membuka pintu dengan sangat keras, lalu berteriak. "Reyla, kamu kena-"

Sesaat kalimat Kiaria berhenti. Ia melihat keadaan di sekitarnya, lalu kembali menutup pintu. "Oh, maaf aku mengganggu urusan kalian- ekhem, aku pergi dulu..."

"Tunggu, apa?! Ria, jangan pergi!"

Brak!

Kiaria pun menutup pintunya. Terciptalah keheningan sesaat.

Dengan canggung, Vinsent pun tertawa. "Kamu bisa jalan?" tanya Vinsent. "Eh, oh, u-um.. bisa sedikit." Reyla mencoba untuk turun dari kasur dan berjalan. Rasa sakitnya masih terasa, walau tidak seburuk yang tadi.

"Hah..." Vinsent menghela nafas. "Eh- oh..." Sebelum Reyla sempat menoleh, Vinsent sudah mengangkat tubuhnya. Tak lama kemudian, dia menggendong Reyla sampai ke kelas. Entah sial atau untung yang Reyla dapatkan, sampai ditahan saat jatuh oleh dua cowok terpopuler di kelasnya.

Sesampainya di depan kelas, Vinsent tak menurunkan Reyla begitu saja, ia membawanya ke bangkunya. Seisi kelas sempat menggoda mereka macam-macam. Tapi semuanya terdiam ketika melihat sorot mata Kiaria dan Vinsent yang tajam. Dalam hati Reyla ia berkata, 'Aku ga tau mereka ini dianggap malaikat atau apa'. Riyan yang sedari tadi memperhatikan mereka menyeringai, entah apa yang ia pikirkan sehingga membuatnya tertawa licik. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro