Chapter 7
***
"Masuk, Kak."
Delon mengangguk, lalu mulai memasuki rumah bernuansa putih itu. Kemudian, Angga menyuruh Delon untuk duduk di sofa ruang tamu.
"Rumah lo sepi ya," gumam Delon sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Angga mengangguk. "Orang tua gue kerja. Pulangnya malam terus. Gue udah sering sendiri di sini. Makanya kalo Darel main ke sini, gue seneng banget."
Delon hanya mengangguk-angguk mengerti. "Oh iya, Darel mana?" Hampir saja ia melupakan adiknya itu.
"Ada, di kamar gue. Masih tidur dia. Tapi, Kak-"
"Tapi kenapa?" potong Delon saat melihat raut wajah Angga yang berubah.
"Darel ...."
"Darel kenapa, Ngga?!"
***
"Apa benar selama aku pergi ke rumah Ibu kemarin, Darel masuk rumah sakit?" Dinda—istri Yuda menatap suaminya dengan tatapan mengintimidasi.
"Iya, kenapa?" balas Yuda.
"Kok kamu nggak kasih tau aku? Emangnya Darel kenapa? Kok bisa sampai masuk rumah sakit gitu?" tanya Dinda bertubi-tubi.
"Ya aku nggak tau lah. Tanya aja sendiri sama anaknya."
"Aku tau semuanya, kamu nggak usah bohong gitu, Mas. Kamu kunciin Darel di gudang sampai anak itu hampir kehabisan napas, iya ‘kan?"
Yuda mengernyitkan dahinya. Dari mana istrinya bisa tahu? Ah, pasti si sulung yang mengadu.
"Iya, kenapa?"
"Mas, kamu nggak boleh begitu. Sekarang, Darel itu anak kamu juga. Kamu nggak boleh memperlakukan Darel kayak gitu," ucap Dinda dengan nada lemah, dengan tujuan untuk meluluhkan hati suaminya.
"Din, Darel udah langgar peraturan yang aku buat. Nggak bisa dibiarin gitu aja," elak Yuda.
Dinda menatap Yuda lama, kemudian kembali bersuara, "Sekarang aku tanya sama kamu. Selama 17 tahun ini, apa Delon nggak pernah langgar peraturan kamu itu? Apa Delon selalu nurut sama kamu, dan nggak pernah menentang kamu? Nggak, ‘kan? Pasti Delon juga pernah menentang kamu, kan? Tapi, apa kamu pernah menghukumnya dengan hukuman berat seperti ini? Dengan hukuman yang bisa aja bikin Delon kehilangan nyawanya?"
Yuda kalah telak. Ia hanya diam, karena semua yang dikatakan Dinda adalah kenyataan. Yuda tidak pernah menghukum Delon dengan cara kejam seperti ini. Saat Delon melanggar peraturan yang Yuda buat, Yuda hanya menegur Delon. Tidak lebih, tidak dengan penyiksaan fisik.
Dinda berdiri dari duduknya, menatap Yuda tajam, lalu berucap, "Aku menyesal menikah sama kamu, Mas."
Kemudian, Dinda pergi meninggalkan Yuda sendirian. Dengan rasa bersalah yang menjalar di hatinya, Yuda duduk di tepi kasur sambil terus berpikir. Apa ia salah?
Yuda menggelengkan kepalanya. "Nggak, Darel memang pantas diperlakukan seperti ini."
***
Darel membuka matanya saat seseorang menepuk pelan lengannya berkali-kali. Ternyata, pelakunya adalah orang yang membuat Darel harus pergi ke rumah Angga. Delon, kakaknya.
Darel kembali memejamkan matanya saat tahu Delon ada di sisinya. Ia masih marah, tentu saja. Salah jika Delon berpikir Darel sudah tidak marah.
"Darel, pulang yuk. Istirahatnya di rumah aja," ajak Delon.
Darel malas membuka matanya yang terasa panas kalau hanya untuk melihat kakaknya yang sedang memohon kepadanya.
"Rel, kakak lo jemput nih," ucap Angga kemudian.
Darel juga marah kepada Angga. Kenapa Angga memberitahu Delon bahwa ia ada di sini? Padahal, Darel sudah berpesan agar jangan memberitahu Delon.
"Rel, gue tau lo nggak tidur," ucap Delon kemudian.
Darel mendecak lalu terpaksa membuka matanya. Ah, sial. Kenapa semuanya berputar?
"Ayo pulang," ajak Delon.
Darel mengerjapkan matanya beberapa kali. "Nggak. Aku mau di sini aja, nemenin Angga."
"Eh, nggak-nggak. Gue udah biasa sendiri. Lo pulang aja, Rel," sela Angga.
Darel menatap Angga dengan tatapan memohon. Namun, Angga tak menghiraukannya. Ia berada di pihak Delon saat ini.
Darel merubah posisinya menjadi duduk. "Ya udah, pulang," ucap Darel final. Ia tidak mau berdebat lama-lama, ia ingin cepat istirahat.
Delon menghela napas lega. Ternyata tidak banyak perlawanan dari Darel.
"Ngga, makasih, ya. Gue sama Darel pulang dulu," pamit Delon.
Angga mengangguk. "Iya, santai aja, Kak. Hati-hati, ya."
"Ayo, Rel."
Darel mengikuti langkah Delon setelah melambaikan tangannya kepada Angga.
Sampai di mobil, Darel langsung bersandar sambil memejamkan matanya.
"Pusing, ya?" Darel hanya menggeleng.
"Tapi, badan lo panas. Beneran nggak pusing?"
"Aku turun kalo Kakak masih terus ngomong," ancam Darel.
"Okay okay. Kita bicara di rumah aja, ya?" Darel mengangguk singkat, kemudian kembali memejamkan matanya.
***
Begitu sampai di rumah, Darel langsung masuk ke kamarnya, tanpa menghiraukan Dinda yang memanggilnya berkali-kali.
Delon menghampiri Dinda, lalu menyalaminya. "Darel marah sama aku, Bun."
"Kenapa lagi, hm?" tanya Dinda lembut.
"Hehe, ada masalah dikit lah, Bun," balas Delon sambil memamerkan deretan gigi putihnya.
"Bunda ngerti, kalo kalian lagi ada masalah. Tapi, jangan sampai ribut, ya? Jangan bikin Adek drop. Jangan kelewat batas."
"Sip, Bun."
"Kalian selesaiin masalah kalian masing-masing, ya. Kalian udah besar, Bunda yakin kalian bisa selesaiin semuanya sendiri. Kakak jaga Adek, ya? Bunda capek banget hari ini."
Delon mengangguk. Ia tahu Dinda baru saja pulang dari rumah neneknya pagi tadi. Pasti sangat melelahkan.
"Aku ke kamar dulu ya, Bun."
Delon pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri. Kemudian, Delon pergi ke kamar Darel untuk mengecek anak itu. Tadi, Darel agak demam, ‘kan?
"Rel?" Delon membuka pintu kamar Darel, dan menemukan Darel yang berbaring di kasurnya.
"Darel?" Delon menepuk pelan lengan Darel berkali-kali.
"Hm?" balas Darel masih memejamkan matanya.
"Bangun sebentar, Rel. Gue mau ngomong," ucap Delon, berharap Darel menurutinya.
"Nggak, aku pusing banget," tolak Darel mentah-mentah.
"Rel, sebentar aja, ya? Gue cuma mau ngomong sedikit."
"Nggak."
"Darel, gue mau jelasin soal tadi. Gue minta maaf. Gue tau-"
"Aku bilang aku nggak mau, Kak!" kesal Darel.
Ia tiba-tiba mengubah posisi tidurnya menjadi duduk, yang menyebabkan kepalanya kembali berdenyut kencang, serta detak jantungnya yang bekerja lebih cepat karena intonasi suaranya yang cukup tinggi tadi.
"Akh."
"Darel-"
Delon membantu Darel untuk kembali berbaring. Delon duduk di tepi kasur, dengan tangan kanannya mengusap pelan dada Darel. "Stt, tenang dulu ...."
Darel terpejam sambil terus mengatur napasnya hingga kembali normal.
Delon mengambil gelas berisi air dari atas meja belajar Darel, lalu memberikannya kepada Darel. "Minum dulu, Rel."
Darel menepis tangan Delon hingga gelas kaca itu jatuh dan terpecah belah di lantai. Delon menarik napas panjang. Tahan, ia tidak boleh emosi saat ini. Delon tahu, suasana hati Darel sangat buruk saat ini. Hal ini biasa terjadi, dan Delon sudah biasa pula menghadapinya.
"Lo mau apa?" tanya Delon dengan nada sehalus mungkin. Tangan kirinya terukur untuk mengusap peluh yang membasahi dahinya.
"Pusing," keluh Darel.
"Sebentar, ya. Gue ambil obat penurun panas dulu."
Darel hanya diam. Banyak sekali hal yang ia lalui hari ini. Sikapnya juga berubah-ubah. Darel tak bisa selamanya seperti ini. Ia harus bisa mengontrol emosi. Ya, Darel sering kehilangan kendali emosinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro