Chapter 15
"Dinda."
Dinda yang sedang memotong sayuran langsung menoleh saat sang kepala rumah tangga memangilnya.
"Iya, Mas?"
Yuda menghampiri Dinda, berdiri di sebelahnya. Dinda melanjutkan aksi memotongnya. "Ada apa?" tanya Dinda lagi.
"Rean nggak akan ganggu kita lagi."
Dinda menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia tersenyum sendu sambil menatap Yuda. "Makasih, Mas."
"Sama-sama. Rean udah dibawa ke luar kota, dan tetap dijaga di sana. Dia nggak akan ke sini lagi."
"Darel udah tau?"
Yuda mengangguk, walau Dinda tak dapat melihatnya karena wanita paruh baya itu kembali memotong sayuran. "Aku udah kasih tau, tapi kayaknya salah, ya, kalau aku kasih tau dia?"
"Seharusnya nggak salah. Darel berhak tau, kan?"
Yuda mengangguk.
"Emang kenapa?"
"Darel nggak bilang apa-apa. Dia cuma senyum terus pergi."
Dinda menghela napas. "Pasti Darel sedih."
Yuda mengernyit. "Seharusnya dia senang."
"Darel sayang sama Mas Rean, Mas. Walaupun udah disakiti berkali-kali, Darel tetap sayang sama dia."
"Tapi Darel takut, kan, kalau ketemu Rean?"
"Darel masih sedikit trauma aja."
Yuda menghela napas. Dinda berpisah dengan Rean dan menikah dengannya agar Darel bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Namun, Yuda malah memberikan luka yang sama di hati anak itu. Lagi-lagi, rasa bersalah menyergap relung hatinya.
Yuda berjanji, ia akan membahagiakan Darel. Ia akan memberikan apa yang selama ini belum didapatkannya. Darel berhak bahagia.
***
Sejak pulang sekolah tadi, Delon tidak menemukan keberadaan Darel di mana-mana. Pasti anak itu sedang di kamar.
Delon pikir, Darel akan keluar saat makan malam. Nyatanya tidak. Darel tetap menjadi saat dibujuk untuk makan malam di bawah. Akhirnya, Dindalah yang membawakan makanan ke kamar Darel.
Delon menanyakan kepada Yuda mengapa Darel menjadi murung seperti ini. Yuda menghentikan gerakan tangannya. Menaruh sendok di piring, sepertinya sudah tidak nafsu lagi.
"Suasana hatinya memang jadi naik-turun begitu. Padahal, tadi setelah pulang dari rumah sakit dia ceria banget, tapi sekarang malah murung begini."
Delon tentu paham dan sudah menebak Darel akan sering seperti ini di kemudian hari. Benar saja, ‘kan.
Setelah makan malam, Delon mengetuk pintu kamar si adik. Ia membuka pintu saat mendengar sahutan yang menyuruhnya masuk dari dalam dan menemukan Darel yang duduk di balkon.
Delon mengambil selimut yang tidak terlalu tebal di lemari Darel, lalu menghampiri si adik.
"Udah malem juga, kenapa malah di luar?" tanya Delon sambil melilit tubuh Darel dengan selimut yang dibawanya. Darel hanya diam, membiarkan kakaknya membuatnya terlihat seperti kepompong.
Setelah Delon duduk di samping Darel, Darel langsung memanggilnya.
"Kak."
"Kenapa?"
"Tadi, Ayah bilang sesuatu." Darel menunduk. Delon tebak, apa yang ayahnya bilang penyebab Darel jadi murung seperti ini.
"Bilang apa?"
"Ayah Rean .... Kata Ayah, Ayah Rean udah ditangkap lagi."
"Kenapa lo sedih? Harusnya lo seneng, dia nggak akan ganggu lo sama Bunda lagi."
Darel menghela napas. Pupil matanya yang bergetar menatap Delon. "Gimanapun juga, Ayah Rean itu ayah kandung aku, Kak. Aku sayang Ayah. Aku masih berharap keluarga aku sama Ayah Rean baik-baik aja. Tapi Ayah Rean malah—"
"Jangan diinget lagi," potong Delon. "Lupain."
"Aku juga lagi berusaha ...."
Delon mengusap puncak kepala Darel sambil tersenyum. "Mending bicarain yang lain. Gimana hasil pemeriksaan lo tadi?"
Darel menggeleng. "Pasti buruk. Bunda nangis."
Delon tahu hasilnya akan buruk. Belakangan ini Darel lebih sering merasa lelah daripada biasanya. Nafsu makannya menurun. Delon tidak bisa membantu apa-apa. Ia hanya mencoba menghibur sang adik jika suasana hatinya sedang buruk. Seperti sekarang ini.
"Jangan sedih dong. Nanti Bunda ikut sedih."
Darel mengeluarkan sebelah tangannya dari dalam selimut untuk mengusap matanya yang berair. "Aku capek."
"Darel."
"Ayah sama Bunda udah ngabisin uang banyak buat aku, kan? Dan hasilnya sia-sia."
Delon hanya diam. Ia tahu, selama ini Darel memendam seluruh keluh kesahnya. Biarlah malam ini Darel mengungkapkan semuanya. Ditemani angin malam yang menusuk tulang, Darel melanjutkan kata-katanya hingga menjadi cerita panjang.
"Aku lahir dengan keadaan kayak gini. Aku nggak bisa nolak. Aku selalu dibatasi sama Bunda, sering dilarang-larang. Aku nggak bisa main sama anak-anak lain. Aku tetep nurut sama Bunda, karena aku tau, itu buat aku juga. Aku tetep minum obat-obat pahit itu walau aku nggak suka pahit. Tapi, kenapa aku nggak sembuh-sembuh juga, Kak? Salah aku apa?"
Delon membawa tubuh Darel ke pelukannya. Setelah sekian lama, akhirnya Darel kembali menangis. Di bawah bulan yang tak cukup terang, Darel menumpahkan semuanya. Delon hanya mampu mengucapkan kata-kata penyemangat yang sudah familiar di telinga Darel. Darel muak dengan kata-kata itu. Karena pada akhirnya, ia tak akan bisa bangkit lagi.
Yuda memang sudah memperlakukannya dengan baik. Keluarga tidak terpecah belah lagi. Rean pun sudah tak akan mengganggunya lagi. Namun, bolehkah Darel meminta satu hal lagi?
Darel ingin sembuh. Darel ingin terbebas dari rasa sakit yang dideritanya selama ini. Darel ingin hidup bebas tanpa hambatan. Ia ingin seperti anak lain yang bisa beraktivitas sesukanya. Darel menginginkan itu semua.
"Jangan nangis dong." Delon mengusap air mata Darel menggunakan kedua ibu jarinya. "Lo boleh marah, lo boleh sedih, karena itu hak lo. Tapi, jangan dipikirkan terus-menerus. Jangan terlalu larut sama kesedihan lo. Gue nggak mau lo drop lagi cuma karena ini."
Darel hanya mengangguk kecil mendengar petuah dari kakaknya.
"Kita semua sayang sama lo. Lo nggak sendiri. Kalau lo jatuh, gue bakal jadi orang pertama yang bantu lo buat bangkit. Ayah dan Bunda juga bakal selalu ada buat lo. Jadi, jangan sedih lagi, ya?"
Darel tersenyum dengan mata yang masih sembab. Kemudian ia kembali memeluk Delon.
"Makasih, Kak."
"Lo nggak perlu bilang makasih, ini memang tugas gue sebagai kakak lo."
"Terserah Kakak. Yang penting, aku cuma mau bilang makasih."
Delon mengusap kepala Darel sampai anak itu terlelap. Doakan agar Darel masih bisa membuka matanya di kemudian hari.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro