Chapter 14
***
Setelah insiden yang terjadi minggu lalu, kini Rafa dan Delon sudah resmi berbaikan. Mereka juga terlihat akrab. Bahkan banyak yang heran dengan akrabnya mereka berdua yang tiba-tiba.
"Ck, gue berasa jadi artis deh sekarang." Rafa berucap setelah menyeruput es tehnya.
Delon mengangkat sebelah alisnya, matanya memicing menatap Rafa. Delon ingin bertanya, kenapa? Namun, mulutnya masih penuh dengan mie ayam Cue Ena.
Rafa yang paham dengan sinyal yang Delon lontarkan kembali bersuara. "Itu tuh orang-orang. Kenapa liatin kita sampe segitunya deh? Heran gue."
"Udahlah, biarin aja. Lagian sejak kapan lo peduli sama orang yang merhatiin lo," timpal Delon setelah menelan mie ayamnya.
"Iya juga sih. Eh, si Darel kemana gue belum liat dia seharian ini."
"Nggak masuk."
"Lah kenapa, itu anak nggak pa-pa, kan?"
"Nggak pa-pa. Hari ini jadwal dia check up makannya nggak masuk." Rafa manggut-manggut dengan bibir membentuk huruf ‘o’.
"Darel sakit apa, sih? Udah beberapa kali gue liat dia kaya sesek napas gitu."
Gerakan tangan Delon yang akan menyuapkan makanan terhenti. Selera makannya langsung menghilang, saat kembali mengingat kondisi Darel yang akhir-akhir ini mudah sekali drop. Jujur saja, Delon takut.
Delon menatap sayu pada Rafa, "Jantung."
Rafa tersedak es teh yang sedang ia minum. Tenggorokannya terasa panas sekarang. Cowok itu menepuk dadanya. Kaget dengan fakta yang ia dengar. Rafa tidak menyangka kalau penyakit Darel seserius itu.
"Serius?" Rafa masih tak percaya.
"Menurut lo wajah gue ini ada aura-aura bercandaan?" tanya Delon ketus.
"Ya, enggak sih. Cuma nggak nyangka aja gitu, gue kira cuma bengek biasa—aduh." Rafa meringis saat Delon melempar sendok ke arahnya.
Rafa melotot seram Delon pun tak mau kalah cowok itu balas melotot pada Rafa.
"Ehm, ntar gue main ke rumah lo ya, mau ketemu Darel." Rafa mengalah, situasi yang sempat panah kembali seperti semula.
"Nggak."
"Dih, gue kan mau ketemu Darel."
"Nggak boleh ada yang deket-deket Darel apalagi, lo!" tekan Delon diakhir kalimat.
"Buset jahat banget sih. Gue udah beneran tobat kali." Rafa berseloroh dengan raut kesal.
Delon tetap keukeh dengan pendiriannya. "Sekali enggak ya enggak."
Rafa mendengus, ternyata Delon jauh lebih keras dari apa yang ia kira.
***
Darel merasa sedikit bosan setelah melakukan beberapa pemeriksaan dan melakukan beberapa tes lab yang sangat melelahkan. Ayah dan Bunda berpamitan katanya ingin menemui dokter yang menangani Darel di ruangannya.
Akhirnya Darel memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi rumah sakit yang sudah seperti rumah kedua baginya. Kakinya memijak di setiap lorong yang ia lewati. Hingga tibalah ia pada sebuah ruangan yang dipenuhi oleh anak-anak kecil berkepala pelontos.
"Asalamualaikum," ucap Darel saat membuka pintu.
"Wa alaikum salam. Kak Darel!" Beberapa dari mereka yang mengenal Darel memekik girang. Sudah lama Darel tidak main ke sini.
Gadis kecil dengan beanie coklat yang membungkus kepalanya berlari mendekat. Dengan sigap Darel berjongkok mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan gadis itu.
"Kak Darel."
"Hai, Princess Selila."
"Kak Darel kemana aja? Kok nggak main-main kesini lagi sih?" Gadis cilik bernama Selila itu menyedekapkan kedua tangannya di depan dada dan melengos tak ingin melihat Darel, pura-pura marah ceritanya.
Darel meringis, menggaruk tengkuk lehernya. "Hehe, maaf. Kakak sibuk. Nih tapi sekarang udah kesini lagi, kan?" kata Darel menggodanya dengan menjawil pipi tirus milik Selila.
"Iih, jangan pegang-pegang aku kan lagi marah sama kakak," balas Lila polos.
"Kak, sini main sama kita aja kalau Lila nggak mau main sama kakak." Boby anak dengan gigi ompong menyahut. Anak cowok itu melirik sinis pada Selila.
"Ihhh nggak boleh Kak Darel ke sini kan mau main sama Lila bukan sama Boby."
"Kamu kan marah jadi nggak pa-pa dong kalau kak Darel main sama kita."
Duh, Darel jadi pusing sendiri diperebutkan seperti ini.
"Eh, udah-udah. Kita main sama-sama ya. Jangan ada yang berantem, oke?"
"Lila nggak gitu kita main sama-sama. Semua yang ada di sini kan teman," kata Darel mencoba menjelaskan.
"Tapi Lila nggak mau kalau kakak main sama mereka."
"Kenapa?"
"Kalau kata Suster Nita, cemburu. Cemburu itu apa sih, Kak?"
"Eh, cemburu itu, rahasia. Anak kecil belum boleh tau."
Selila mengerutkan alisnya padahal dia sangat penasaran dengan arti dari kata tersebut. Pasalnya, Suster Nita sering mengucapkan kata-kata itu sambil emosi.
"Udah ayo kita main."
Siang itu Darel menemani mereka bermain. Mulai dari bermain bola, bermain boneka, sampai bermain kuda-kudaan, dan ya, kalian pasti tau siapa yang jadi kudanya. Bagi Darel melihat tawa-tawa bahagia yang keluar dari bibir mereka adalah kesenangan tersendiri. Di usia mereka yang masih terbilang kecil mereka harus merasakan sakit yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawa mereka. Ya, mereka adalah para anak-anak pengidap kanker.
Saking asiknya Darel sampai lupa jika dirinya tidak boleh merasa kelelahan.
***
Dinda terus menangis dalam pelukan Yuda. Setiap kata yang dokter Agung ucapkan seperti belati yang menyayat batinnya. Dinda sudah merasakan ini sebelumnya. Maknnya tadi pagi dia sempat ragu dan takut saat Darel akan melakukan chek up, mengingat kondisi Darel yang beberapa minggu ini memang menurun drastis.
Yuda memijit pelipisnya dengan sebelah tangan. Tangannya yang satu mengelus lembut bahu Dinda mencoba menenangkan.
Dokter Agung sebenarnya juga tidak tega menyampaikan hal ini. Tapi, baik buruknya keadaan pasien harus tetap ia bicarakan.
"Apa nggak ada jalan lain, Dok?" Yuda bertanya rendah, terlihat lelaki itu yang nampak fruatasi. Ia benar-benar menyesal karena selama ini tidak terlalu memperhatikan Darel dan malah terlihat acuh padanya.
Dokter Agung menggeleng. "Pemasangan ring dan cangkok jantung sudah pernah kita lakukan sebelumnya. Tapi nyatanya jantung Darel memang sudah tidak bisa diajak bekerja sama lagi."
"Lakukan yang terbaik untuk anak saya. Saya mohon. Berapapun akan saya bayar."
"Ini bukan perkara uang, Pak. Mencari donor jantung sangatlah susah. Kami dari rumah sakit juga sudah memasukkan Darel kedalam daftar pasien yang butuh donor di urutan paling teratas," kata Dokter Agung mencoba tidak terbawa emosi.
"Kalau gitu ambil jantung saya, Dok." Dinda menyeka air yang mengalir dimatanya.
"Din."
"Ambil dan berikan pada Darel."
"Maaf, Bu, ada syarat-syarat tertentu untuk menjadi pendonor, orang yang masih hidup dan sehat tidak bisa menjadi pendonor."
Dinda makin histeris dia tidak ingin kehilangan Darel. Tidak, Darel harus selalu bersamanya.
"Sstt, Din, tenang. Kita berusaha bareng-bareng jangan kaya gini kalau Darel liat pasti dia sedih."
"Anakku, Mas."
"Iya, aku tau. Sabar dulu ya nanti aku kerahin semua anak buahku buat cari pendonor secepatnya buat Darel."
"Aku udah janji nggak akan biarin Darel pergi dari kita." Dinda sedikit tenang. Meski hatinya masih sangat sakit saat melihat hasil pemeriksaan Darel kali ini yang benar-benar buruk. Sungguh di luar ekspektasinya.
"Kalau begitu hubungi kami kalau ada donor untuk Darel, Dok."
Dokter Agung mengangguk seraya tersenyum dengan sendu.
"Pasti, Pak."
Yuda dan Dinda mengundurkan diri dari ruangan Dokter Agung. Begitu membuka pintu Darel duduk dikursi tunggu yang ada di depan ruangan. Tadi, setelah bermain dengan anak-anak itu akhirnya Darel diusir oleh Suster Nita karena jam tidur siang telah tiba. Setelah memastikan semua bocah tertidur Darel berniat menyusul Bunda dan Ayah.
Darel bangkit dengan senyum yang mengembang, menyambut Ayah dan Bunda. Mata bunda sembab, lagi-lagi bunda menangis karena dirinya. Darel menghela napas, meredam sesak yang menghimpit dadanya.
"Bunda."
"Maaf, ya, Sayang. Kamu pasti nunggu lama," kata Dinda dengan memaksakan senyumnya.
"Nggak pa-pa."
Yuda mendekat dan merangkul bahu Darel.
"Makan dulu, yuk. Ayah laper."
"Boleh."
"Kamu mau makan apa?"
Darel berpikir sejenak banyak sekali yang ingin ia makan tapi sayangnya banyak pula pantangannya.
"Ayam KFC empat biji." Darel nyengir, Dinda dan Yuda saling lirik.
"Kalau Ayah sih nggak masalah. Coba tanya Bunda," bisik Yuda ditelinga Darel.
"Bundaaaa," rengeknya manja. "Ayam KFC, ya." Darel menggigit bibir dalamnya.
Akhirnya Dinda mengalah dan mengangguk.
"YES!" pekik Darel girang.
"Ayah, ayo. Kita beli ayam yang banyak deh, jangan cuma empat."
"Kamu mau porotin Ayah?"
"Iya dong uang Ayah kan banyak nggak akan habis kalau cuma beli ayam."
"Sepabrik-pabriknya bakal ayah beliin kalau itu bikin kamu bahagia, Nak." Yuda bergumam pelan. Darel sudah ngacir duluan meninggalkan ayah dan bundanya.
"Ayah! Bunda! Ayo!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro