Bab 3
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Sepanjang pelajaran Rousenna senantiasa berdoa agar waktu cepat berlalu. Begitu guru keluar kelas, Rousenna buru-buru ke belakang sekolah untuk menemui sang pengagum rahasia. Dia sangat penasaran dengan pengagum rahasianya. Apakah pemuda itu seseorang yang populer di sekolah? Jantung Rousenna menjadi berdetak lebih cepat hanya dengan membayangkannya.
"Rousenna!" seru Hujan dari belakang.
Ingin hati langsung ke sana, tetapi Hujan malah memanggilnya. Rousenna harus membujuk Hujan untuk membiarkannya pergi seorang diri. Dia tidak ingin pertemuan pertamanya kali ini harus diganggu dengan jahilnya Hujan. Untunglah remaja itu akhirnya berhasil dibujuk dengan sogokan gelato cokelat paling terkenal di kota itu.
"Aku akan mendapatkan kejadian romantis itu bagaimanapun caranya!"
Bukan Hujan namanya jika dia terima begitu saja ditinggalkan. Hujan buru-buru ke kantor kepala sekolah tempat Soran mengawasinya, jaga-jaga jika dia membuat masalah sebagai penjelajah ataupun sebagai murid. Seperti biasa, setelah tiba di sana, Hujan langsung merengek meminta Soran untuk mengikuti Rousenna.
"Aku bukan pelayanmu," ujar Soran setelah mendengkus kesal. Namun, walaupun begitu, dia tetap menuruti permintaan Hujan. Entah karena dia muak mendengar rengekan itu atau karena luluh.
"Hehe, Anda memang bukan pelayan saya, Tuan Pengawas, tapi Anda adalah pengawas yang terbaik," ujar Hujan girang kemudian memeluk Soran.
"Sudahlah, jika kau mau melihat kisah cinta mereka, lihatlah sepuasmu. Aku ingin menghubungi pihak Central dahulu." Dengan pelan, Soran melepaskan diri dari pelukan Hujan. Dia bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruangan.
Hujan duduk di tempat duduk Soran. Di hadapannya, sebuah layar lebar menampilkan punggung Rousenna.
Rousenna berlari secepatnya ke belakang sekolah. Debaran jantungnya semakin cepat. Senyuman tidak pernah luntur dan semakin merekah ketika dia sudah dekat dengan tempat tujuan. Hingga ....
"Kakak? Apa yang Kakak lakukan di sini?" tanya Rousenna bingung.
Senyumannya luntur seketika karena kekecewaan. Tidak tahu mengapa tidak ada si pengagum rahasia itu di sini, malahan sang Kakak yang sedang bersandar di tembok sembari membaca buku entah apa itu. Rowan menutup bukunya. Dia mengalihkan pandangan ke Rousenna yang tengah bersungut-sungut dan menendang kerikil. Remaja kelas 3 SMA itu sedikit terkekeh.
"Rousennaku, Rousennaku yang manis, rembulan yang menyinari malam-malamku serta mentari yang menerangi siangku, bagaimana pelajaranmu hari ini?"
Mendengar ini, Rousenna terpaku. Kalimat itu adalah kalimat pembuka pada setiap surat MErah Saga sebelumnya.
Tidak berhenti di sana, Rowan kembali berbicara. "Kuharap kau tidak mengabaikan kelas karena menunggu waktu ini. Aku senang jika kau menyukai kue yang kubelikan padamu kemarin. Sudah berhari-hari kau mengingankan kue itu. Tidak satu waktu pun dari pagi, siang, sore, dan malam aku tidak mendengar rengekanmu yang ingin dibelikan kue."
Rousenna mengangkat wajahnya untuk melihat Rowan. Dia tertegun, menelan ludahnya dan kini terpaku melihat wajah sang Kakak. Remaja mungil itu bahkan tidak berkedip.
Melihatnya, Rowan semakin terkekeh. "Rousennaku sayang, Rousennaku yang manis, duniaku serta kehidupanku, bukankah kau ingin bertemu denganku? Mengapa diam saja dan tidak berkata apa pun? Apakah kau tidak ingin berjalan-jalan dan menghabiskan waktu bersama denganku?" tanya Rowan menyadarkan Rousenna.
"Merah Saga?" tanya Rousenna ragu-ragu.
"Itu aku."
Wajah Rousenna langsung memerah sepenuhnya. Ingin rasanya Rousenna mengubur diri sekarang.
Selama ini nyatanya Rousenna bertukar surat cinta dengan kakaknya sendiri. Rowan hanya menggelengkan kepala dan tersenyum melihat Rousenna yang memerah. Dia memeluk sang didi dan mengelus pelan rambutnya. Tanpa peringatan Mingjue mengecup pucuk kepala Rousenna.
Tubuh Rousenna membatu, dia tidak memiliki kemampuan untuk bergerak. Kakinya lemas dan seketika itu dirinya hampir terjatuh. Namun, Rowan buru-buru menangkap gadis itu sebelum terjatuh dan memeluknya.
Hujan berteriak histeris melihat pemandangan ini di ruang kepala sekolah. Dia ingin rasanya langsung berlari ke sana dan menonton secara langsung, tetapi dia sadar posisinya sekarang tidak memungkinkan. Gadis itu sampai berguling-guling di lantai karena terlalu bersemangat.
Di luar ruangan, Soran buru-buru menyegel ruangannya agar suara Hujan tidak terdengar dari luar. Bisa-bisa timbul gosip yang tidak menyenangkan jika ada yang mendengar teriakan histerisnya. Soran tidak ingin reputasinya hancur karena seorang elf remaja yang sedang kecanduan cerita cinta picisan.
"Apa sebenarnya yang menarik dari romansa picisan seperti itu? Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikir seorang gadis," gumam Soran. Dia kemudian melanjutkan pembicaraan yang sebelumnya sempat terhenti dengan pihak Central.
Di belakang sekolah, Rowan dan Rousenna masih betah dengan posisi saling berpelukan mereka. Kaki Rousenna masih terasa lemah hingga rasanya dia tidak mampu berdiri sendiri. Rowan di satu sisi menepuk-nepuk pelan punggung adiknya.
Langit sudah berubah warna menjadi jingga. Namun, kedua orang itu masih betah dengan posisinya tanpa sepatah suara. Rousenna yang masih terlalu malu karena mencerna semua ini menenggelamkan wajahnya pada dada bidang saudaranya. Berbeda dengan Rousenna yang masih betah, Rowan tidak cukup sabar untuk tetap berlama-lama di tempat itu. Lagipula, mereka tinggal di bawah atap yang sama. Jadi untuk apa berlama-lama di belakang sekolah?
"Rousenna, hari sudah semakin sore. Nyamuk sudah mulai bermunculan. Bagaimana jika kita pulang sekarang? Apa kau sanggup berjalan?" tanyanya karena menyadari Rousenna masih menopangkan tubuhnya pada Rowan.
Rousenna tidak menjawab, dia hanya menggelengkan kepala.
"Apakah kau ingin kugendong?" tanya Rowan lagi sembari mengelus rambut Rousenna. Ingin hati dia mencium pucuk kepala gadis itu, tetapi melihat kondisi adiknya, Rowan mengurungkan niat.
Lagi, Rousenna tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala.
Senyuman Rowan merekah mendapat jawaban Rousenna. Dia melepaskan pelukannya kemudian menggendong Rousenna di punggungnya. Di satu sisi, adiknya melingkarkan tangan di leher saudaranya. Setelahnya, Rowan melangkahkan kaki untuk pulang.
"Rousennaku, mungkin ini terlalu mengejutkanmu. Namun, aku tidak pernah berbohong. Aku sungguh-sungguh jatuh cinta pada pandangan pertama dari awal aku melihatmu. Setidaknya sejauh yang kuingat, kau adalah cinta pertamaku."
Wajah Rousenna yang telah kembali ke warna aslinya kembali memerah mendengar pengakuan cinta dari saudaranya.
"Mungkin kau akan kaget dan mungkin kau akan membenciku setelah ini. Bagaimanapun, perasaanku padamu tidak seharusnya ada. Dahulu aku berpikir itu hanya perasaan cinta yang normal sebagai saudara. Namun, kini aku menyadari perasaanku berbeda, itu perasaan yang leih dari itu. Aku paham jika setelah ini kau membenciku," ujar Rowan sendu.
Mendengar nada bicara Rowan yang sedih, buru-buru Rousenna menjawab, "Tidak, Kak! Rousenna tidak akan pernah membencimu!" Gadis itu lalu mengeratkan pelukannya dan menyandarkan kepala di bahu Rowan.
Senyuman Rowan kembali begitu mendapat jawaban dari adiknya. Hatinya menghangat dan secercah harapan terbesit di sana.
Rowan menghentikan langkahnya tiba-tiba. Dia menoleh ke belakang, melihat Rousenna yang menopangkan kepala di pundaknya. Dengan sedikit usaha, Rowan mengecup pelipis adiknya.
"Rousennaku Sayang, maukah kau menjadi pacarku?"
****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro