Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

File 2, Page 5

Rima

Di sisi lain aku merasa sedikit bersalah. Aku sudah bertunangan, dan membawa seorang laki-laki ke dalam apartemenku terasa kurang pantas.

Tapi niatku baik kok. Sumpah.

Taehyung berjongkok di depan pintu sambil memakai sepatu, mengikat tali sepatunya sekali lagi kemudian berdiri.

“Thanks,” katanya sembari menepuk pundakku. Aku tersenyum namun mengangkat sebelah alis.

“Astaga, Tae. Jangan bilang kau dosen bahasa Inggris juga.”

“Kau bercanda? Aku lebih sayang negara sendiri,” dia tertawa karena ucapannya sendiri, “atau... oke. Lidahku lebih cocok bicara bahasa Korea daripada bahasa Inggris.”

Kami berdua masih sama-sama tertawa ketika keluar dari pintu. Aku menutup pintu apartemenku dan mengantar Taehyung untuk berjalan ke lift.

“Kau tidak perlu mengantarku, Rim.” Taehyung menekan tombol lift agar tidak tertutup lebih dulu, seolah memberiku kode untuk keluar, tapi aku tidak beranjak sedikit pun, tetap pada posisiku, berdiri di sampingnya.

“Aku mau ke minimarket. Jadi sekalian saja,” tukasku. Yah, walaupun ide ke minimarket itu baru muncul sekitar tiga detik yang lalu. Taehyung menatapku sejenak, nampak ragu. Tapi akhirnya dia menutup pintu dan menekan tombol ‘1’ pada lift.

“Hei, Tae.” Aku mencoba membuka percakapan baru dan dia langsung menoleh. “Boleh aku tanya sesuatu?”

Taehyung mengangguk tanpa bicara. Kedua tangannya ia larikan ke dalam saku celananya, dan dia kelihatan tenang sekali. Anehnya mengeluarkan satu pertanyaan saja membuatku pusing. Di saat seperti inilah baru aku sadar memberi jawaban jauh lebih mudah daripada bertanya.

“Boleh aku tanya kenapa kau dan Marie bercerai?”

“Benar-benar ingin tahu?”

“Itu sebabnya aku bertanya.”

“Jangan endus hidup orang, Kawan. Kita bahkan baru bertemu. Urus hidupmu sendiri, Rim.”

Untungnya, percakapan itu hanyalah sebuah skenario yang diciptakan otakku. Sebuah skenario berdasarkan spekulasi. Akan lebih baik aku tidak bertanya. Untuk beberapa alasan.

Jadi aku memutuskan untuk mengganti pertanyaannya.

“Bagaimana rasanya menikah?”

Taehyung menoleh, bibirnya masih tertutup rapat. Namun sesuatu di dalam tatapannya memberi efek semacam rasa terindimasi, dan itu membuatku menyesal. Tidak seharusnya aku bertanya.

“Maksudku... um. Lupa—”

“Mau menikah?”

“Eh?”

Kali ini keningku mengerut. Aku menatap Taehyung karena kalimatnya barusan. Awalnya kupikir dia bercanda—dari dulu aku tahu kalau ada sesuatu yang aneh dari cara laki-laki ini menyampaikan lelucon—tapi ini bukanlah salah satu candaannya. Dia serius. Dan aku makin yakin karena di detik berikutnya dia yang balik bertanya.

“Mau menikah dengan Jungkook?”

Oke. Aku salah. Biar aku tarik kata-kataku. Menjawab pertanyaan juga sulit. Dan mendapati nama Jungkook dalam pertanyaan itu membuatnya semakin sulit.

Harusnya aku bilang “ya”, aku tahu itu jawabannya. Tapi kali ini aku ragu. Aku tidak bisa memberi jawaban yang akurat. Maaf, Taehyung.

“Aku tidak bisa jawab sekarang.” Raut wajah Taehyung mudah sekali ditebak. Dia kebingungan, tapi aku sudah menduganya.

Untuk mempermudah keadaan aku bisa saja menjawab dengan jawaban “ya” atau “tidak”. Mudah. Tapi memikirkan mana yang tepat untuk dijadikan jawaban pertanyaan Taehyung tida semudah yang dibayangkan. Dan itu jelas akan memalukan karena sayang sekali, aku bukan cenahyang yang punya kemampuan membaca masa lalu maupun masa depan.

Lift berdenting dan pintu terbuka. Taehyung seharusnya keluar, seharusnya kami berdua keluar. Tapi aku tetap di tempat karena Taehyung tak beranjak dan masih menatapku.

Sebelum pintu lift tertutup lagi, aku mendorong Taehyung keluar. Namun aku tidak ikut bersamanya. Lupakan soal ke minimarket. Kulkasku masih penuh. Persediaan wanita masih ada di lemari kamar mandi. Tidak ada yang perlu dibeli. Sejak awal, tidak ada.

“Rim, kenapa?” Taehyung berbalik agar bisa berhadapan denganku.

Aku tahu apa yang Taehyung maksud. Pasti jawabanku tadi. Aku menekan tombol pintu lift agar tertutup kemudian mundur, tersenyum pada Taehyung.

“Aku akan menjawabnya kalau kita bertemu lain kali. Bye, Tae. Senang akhirnya bertemu denganmu lagi.”

Dan pintu lift tertutup.

Aku ingin bilang semuanya, tapi itu konyol. Karena pada dasarnya aku bahkan ragu akan apa yang terjadi. Yang aku tahu hanya ada sesuatu. Perasaanku tidak bagus. Spekulasiku akan apa yang terjadi buruk. Dan Jungkook terus bertingkah aneh.

Aku ingin curiga. Tapi tidak bisa. Dan itu menyebalkan. Aku tidak mengerti bagaimana seharusnya otak perasaan bekerja sama untuk melakukan sesuatu sekarang justru berjalan di jalan yang berbeda.

Harusnya aku tanya Taehyung. Dia bilang dia dosen genetika, bukan? Mungkin saja ini termasu penyakit karena ada masalah pada genku. Gen atau DNA, atau apapun itu.

Aku menengadahkan kepala dan memandangi langit-langit lift, dan di saat yang sama ponselku bergetar. Kakakku menelpon.

“Halo?”

“Rim, kau sibuk?” Keningku mengerut karena kakakku baru saja melewatkan bagian basa-basi yang biasanya kami lakukan tiap kali bertelepon. Tapi aku memutuskan untuk mengikuti arus.

“Tidak. Minggu ini libur,” kataku. Pintu lift terbuka dan aku keluar sembari menempelkan ponsel di telinga kiri.

“Bagus.”

“Apanya yang bagus?”

“Datanglah ke rumah sakit, Rim. Aku butuh teman bicara.”

“Tapi kita sedang bica—”

“Astaga, Rim. Kumohon, datang ke sini. Akan kupesankan taksi.” Kakakku berteriak di telepon, kedengaran begitu depresi. Bukannya ingin berpikir yang bukan-bukan, hanya saja dia membuatku berpikir begitu waktu dia bicara lagi.

“Serius, Rima. Datanglah. Sebelum aku berubah dari psikiater jadi pasien karena depresi.”

*

Kakakku masih menggeram, menautkan jarinya dan menjadikan tangannya sebagai sandaran dahinya. Ini sudah kesekian kalinya dia menggeram sejak aku datang ke rumah sakit.

“Demi Tuhan, Kak Daniel, katakan apa yang salah padamu!” Aku sudah bosan dengan sikapnya. Dia bilang butuh teman bicara, tapi satu-satunya yang kudengar darinya hanya geraman.

Kami menempati kantin, dan syukurnya kantin sepi. Kurasa itu juga sebabnya Daniel memilih untuk bicara di sini. Hm, oke. Dia bukan bicara. Dia menggeram.

Daniel mengangkat kepalanya, menatapku sesaat sebelum sekali lagi menggeram. Aku hampir saja melayangkan kepalan tanganku ke meja—atau mungkin ke kepalanya—tapi untungnya akhirnya bicara.

“Aku stres.”

“Kebanyakan mengurus orang gila?” tanyaku, setengah bercanda. Tapi kurasa aku gagal. Suasana ini jelas jauh dari lucu. Aku menelan gumpalan aneh di kerongkonganku lalu menggeleng.

“Oke, maaf,” kataku cepat. “Jadi kenapa?”

“Aku bisa gila.”

“Kak Dan, serius? Jangan buat aku mengelilingi lapangan yang sama dua kali.” Kali ini aku yang menggeram. Aku memutar mata jengah. “Jelaskan alasannya”

Daniel diam sesaat, kelihatan sedang memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Kedua tangannya yang bertautan kini saling menjauh dan mengepal. “Aku dapat pasien baru. Tapi rasanya aku yang jadi pasien.”

“Ada apa dengan pasienmu?”

“Dia jadi saksi kunci di kasus pembunuhan yang baru terjadi, dan... dan aku...” Daniel tidak menyelesaikan kalimatnya karena dia menggeram. Lagi. Sejujurnya aku sudah muak, tapi geramannya kali ini benar-benar memberi kesan bahwa dia benar-benar depresi sekarang.

Aku mencoba meraih tangan Daniel, mengenggamnya, membiarkan ibu jariku menyentuh buku-buku jemarinya. Kali ini helaan napas yang dia buat.

“Dia terus bicara dan bilang kalau dia melihat pembunuhan,” ujar Daniel sambil memejamkan mata. Aku ingin bertanya kasus siapa yang sebenarnya dia bicarakan, tapi aku mendapati diri menahan napas begitu dia menjawab bahkan sebelum aku bertanya.

“Pembunuhan Hoseok.”

Daniel menundukkan kepala kemudian menggeleng entah karena apa. Sebelah tangannya bergerak untuk menyugar rambut sementara helaan napas lainnya keluar dari mulutnya.

“Gadis itu mungkin berhalusinasi. Tapi ucapannya membuatku gila,” Daniel bicara lagi, “dan sekarang aku bahkan ragu dengan diriku. Astaga, seharusnya aku tidak menerima permintaan Kak Seokjin untuk jadi asistennya.”

“Kenapa begitu?”

“Karena itu bukan pembunuhan. Tidak ada yang membunuhnya. Hoseok. Dia mati sendiri.”

Kalimat Daniel kali ini tidak menjelaskan apa-apa, justru menimbulkan pertanyaan baru. Banyak pertanyaan baru.

Aku tahu kabar mengenai Hoseok. Grup SNS alumni sekolah membicarakan itu belakangan ini, beberapa bilang reuni dibubarkan. Awalnya aku bersyukur tidak hadir, tapi sekarang aku penasaran.

Dan sekarang, aku penasaran soal Daniel.

“Kak Dan, kau...” dia menengadahkan kepalanya yang sebelumnya tertunduk, “... kau tahu darimana?”

Daniel mendadak melotot. Dia memandangiku seakan aku baru saja menanyakan sesuatu yang kritikal. Dan dia diam.

“Kak Dan, kenapa?”

Dia menggeleng.

“Kak Dan!” Dia justru berdiri dari kursinya dan berbalik. Buru-buru aku melakukan hal yang sama dan menahan tangannya.

“Kau tahu dari mana, Kak Daniel?”

Sesaat hening, kantin terasa lebih hening dari biasanya. Butuh lima detik sampai akhirnya Daniel berbalik, menatapku.

“Karena Hoseok sendiri yang bilang begitu.” []

*

Arata's Noteu:

Nyempetin update, ciaa. Anw I will go to Jogja this day, itung itung refreshing bentar. Ada yang di Jogja? Lol. Nanya aja sih. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro