File 2, Page 2
Taehyung
Siapa bilang kalau kanto polisi tidak bisa jadi tempat kejadian perkara?
Sekarang aku tahu kalau bisa. Mungkin ini jadi sedikit lucu, karena kantor polisi sekarang dikelilingi garis polisi berwarna kuning.
Kejadiannya tadi malam. Aku kurang tahu persis bagaimana tepatnya, tapi tahu-tahu sudah ada gadis yang berteriak, si cleaning service di hotel itu. beberapa polisi langsung keluar dan tak lama, salah satunya kembali sambil berteriak, “Opsir Johnny mati tertembak.”
Sesuatu yang lucu untuk sesuatu yang mencekam. Aku padahal berniat untuk pulang secepat mungkin tapi tahu-tahu tertahan lagi di kantor polisi selama beberapa jam. Aku baru diizinkan pulang sejam sebelum matahari terbit.
Ya, mari kita ambil sisi positifnya. Aku masih bisa melihat matahari terbit. Wah. Dan sekarang, matahari justru muncul sambil menertawaiku.
Aku tahu betapa berantakannya aku. Dasi sudah kulepas dari kemeja, ada noda kopi di kemejaku berkat 5 gelas kopi yang aku habiskan. Untungnya ini kopi, bukan bir atau alkohol. Aku benar-benar kelihatan seperti gelandangan.
Sebenarnya aku punya rumah. Dan aku punya seseorang yang menunggu di rumah. Oh, bukan seseorang. Tapi seekor. Seekor anjing. Yah, itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Tiga jam lagi dan aku harus kembali ke kantor polisi. Semua ini jadi makin menyebalkan. Padahal kupikir mereka akan meluangkan paling tidak sehari untuk berkabung karena salah satu polisi baru saja mati mengenaskan kemarin. Tapi libur itu lebih mirip mitos bagi mereka, entah sadar atau tidak.
Satu kasus pembunuhan belum selesai dan sekarang ada pembunuhan baru, dan aku diminta jadi saksi. Apa setelahnya aku akan jadi tertuduh lagi? Polisi di kantor itu benar-benar lucu.
Kenyataannya, sebanyak apapun kopi yang aku minum, tetap saja tidak bisa membuatku lupa bahwa aku ditetapkan jadi tersangka. Tersangka pembunuhan Hoseok. Kurasa berikutnya aku akan coba minum nata de coco, siapa tahu aku jadi lupa diri.
Aku bangun dari kursi di dekat jendela, membiarkan kaki melangkah sempoyongan keluar dari supermarket.
Kepalaku terasa benar-benar berat, namun aku masih bisa mengomel begitu membuka pintu dan seorang wanita menabrakku dengan tubuh kecilnya.
“Hei, jalan pakai mata dong!”
Oke, Kim. Pemilihan kalimat yang salah. Orang berjalan dengan kaki, bukan mata.
Gadis itu menunduk dan bergumam “maaf” dengan pelan, membuatku menoleh dan berusaha melihat wajahnya.
Matanya sembab, bengkak, hanya butuh dua detik untuk menebak itu efek menangis semalaman. Rambutnya sedikit berantakan, dan dia kelihatan baru bangun tidur dengan sandal kelinci dan sweater rajut abu-abu itu.
Namun ada sesuatu yang familier pada gadis ini. Sesuatu yang memunculkan kalimat seperti “hei, kita bertemu lagi” atau “sudah lama sekali” dalam benakku. Tapi tak satu pun dari kalimat itu yang keluar dari bibirku.
Karena di detik berikutnya setelah aku ingat nama gadis ini—dan sekarang aku tahu alasan kenapa dia terasa tak asing bagiku—yang ada justru aku kehilangan keseimbangan, tubuhku miring kemudian ambruk. Dan ketika dia menoleh, aku hanya bisa tersenyum seperti orang idiot sebelum semuanya berubah gelap.
*
“Taehyung, sudah sadar?”
Mataku terasa begitu berat, entah kekuatan apa yang membuatku berhasil membuka mata, mengerjap beberapa kali, sebelum menemukan sosok wanita dengan nampan berjalan ke arahku.
“Syukurlah. Bisa bangun? Kurasa kau butuh makan.”
Dia duduk di pinggir ranjang, tangannya terselip di belakang punggungku dan mendorongku, membuatku merubah posisi menjadi duduk. Aku bersandar pada headboard setelahnya.
Butuh beberapa detik bagi otakku untuk merangkum semuanya, untuk mengingat satu nama. Rima. Han Rima. Ya, nama gadis ini.
“Maaf merepotkan, Rim. Pertemuan pertama yang buruk,” kataku selagi mengembuskan napas kasar. Suara tawanya yang pelan terdengar, dan begitu aku menoleh, matanya yang agak membengkak menyipit, tersenyum.
“Aku terkejut kau masih ingat namaku.”
Kau terlalu istimewa untuk dilupakan. Aku tadinya mau bilang begitu, tapi kalimat itu tersangkut di tenggorokanku. Rima mendekat dengan bubur di kedua tangannya. “Mau kusuapi?”
Jawabannya hanya “ya” atau “tidak”, tentu saja. Tapi aku tidak terlalu tertarik untuk menjawab, dan aku sendiri cukup penasaran kenapa bisa berbaring di sini. Bahkan aku tak tahu ini di mana.
“Apa yang terjadi?”
Dia menoleh, tertawa. Mungkin pikiranku sudah terbaca dengan mudah olehnya. Seingatku, dari pertama kali mengenalnya di sekolah, dia memang punya kekuatan untuk membaca pikiran laki-laki, terutama aku.
Rima menyendoki bubur dan mengarahkan sendok ke dekat mulutku sambil menjelaskan, “Kau pingsan tadi. Kita tidak sengaja bertabrakan di depan pintu supermarket. Aku rasa kau cukup familier, tapi begitu aku mengenalmu, kau tiba-tiba pingsan. Jadi aku memapahmu dan membawamu ke apartemenku,” katanya. “Kuharap kau tidak keberatan.”
“Tidak. Sama sekali tidak,” buru-buru aku membalas, “maaf aku justru merepotkanmu.”
Dia menggeleng pelan, kembali menyuapiku begitu aku menelan bubur yang dia suapkan sebelumnya. Bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis, tapi perhatianku masih tercuri oleh matanya yang sembab. “Sudah lama sekali lho, Tae. Bagaimana kabarmu?”
Kurasa baik bukanlah kata yang tepat untuk diucapkan. Aku buruk. Aku seorang tersangka. Dan aku pingsan, dibawa ke apartemen wanita oleh wanita, menunjukkan betapa lemahnya aku. Tapi aku tak ingin memberatkan, jadi... oke. Baik kata yang tepat. Setidaknya untuk saat ini.
“Aku baik. Kau sendiri bagaimana?” Rima kelihatan mau menggerakan mulut namun aku langsung menambahkan, “Menurutku kau kelihatan... entahlah. Tidak baik, mungkin?”
Matanya membulat sesaat, memberi ekspresi semacam “ ketahuan ya”. Namun dia tersenyum, sayangnya senyumnya berubah jadi sedikit janggal. “Tidak apa-apa. Kalau maksudmu karena mataku, aku baik-baik saja. Efek mengiris bawang tadi pagi.”
Dia berbohong. Aku tak perlu bukti, tapi dia berbohong. Pilihan yang buruk, aku ini pendeteksi kebohongan berjalan. Bukan karena aku menguasai ilmu psikologi atau semacamnya, tapi aku tidak mau kelihatan ironis karena menjadi seorang pembohong yang dibohongi. Kali ini aku memilih untuk percaya, meski percaya mata sembab karena memotong bawang itu jelas konyol sekali.
Kami menghabiskan waktu berikutnya dengan bicara tentang keseharian. Rima bilang dia sibuk menjadi editor di sebuah majalah fashion, dan aku bilang belakangan ini aku sibuk mengajar mata kuliah genetika di kampus. Rima sempat tertawa dan kaget begitu aku bilang aku seorang dosen.
“Kau bahkan dulu dihukum karena bilang sepuluh kali sepuluh hasilnya dua puluh,” semburnya sambil tertawa.
“Sekarang aku bahkan hafal nama-nama biologi hewan dan tumbuhan. Manusia bisa berubah, Rim.”
Dia tertawa, membereskan mangkuk dan nampan kemudian berdiri, siap berjalan keluar kamar. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan baru sadar ada foto di atas meja rias. Foto Rima. Dan orang lain yang familier. Ya Tuhan, itu Jungkook? Jungkook yang itu?
Aku baru saja mau bertanya, namun suara Rima lebih dulu kedengaran.
“Ngomong-ngomong, aku dengar kau dan Marie, si pirang seksi itu, dekat. Bagaimana perkembangannya?” Rima bertanya dan berbalik, kakinya nyaris melewati pintu.
Marie. Entah kenapa nama itu sudah lama sekali tidak kudengar. Namun tak peduli berapa lama, efeknya masih sama. Hatiku masih sedikit teremas.
Aku tertawa, tapi anenya tenggorokanku terasa bergetar hebat.
“Kami menikah,” aku mencoba menjawab, berharap itu kata yang tepat untuk diucapkan. Rima kelihatan siap untuk memberi selamat, tapi aku tak ingin mendengarnya. Aku tak pantas diberi selamat.
“Yah, setahun yang lalu, kami memutuskan untuk bercerai.” []
*
Arata's Noteu:
Kalau kata band kotak mah, pelan pelan sajaaa~♬♬🙈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro