1
Suasana kota New York masih penuh hingar bingar seperti hari-hari sebelumnya. Kota yang sangat ramai dan indah secara bersamaan. Telah 10 tahun lamanya kira-kira sejak pertama kali aku menapakan kakiku di negeri yang katanya sangat maju ini.
Semua seolah bagaikan kenangan yang indah tapi juga tragis. Wajah pria itu seolah menghiasi langit malam New York yang tak pernah berbintang. Ada kerinduan teramat hebat saat harus kusebut namanya, Kak Joe. Aku ingin sekali mendengarkan rayuan menggelikannya sekali lagi, mendengar petikkan gitarnya untuk terakhir kalinya. Tapi harapan itu harus aku pendam selamanya. Seperti kata banyak orang, cinta tak harus memiliki.
Saat ini aku berada di Central park. Ada seorang malaikat kecil yang bersamaku tengah bermain sepak bola bersama anak-anak lain di salah satu sudut taman. Anak itu bahkan belum sempat memanggil Kak Joe sebagai Ayah. Aku sangat ingat bagaimana Kak Joe menanti kehadirannya. Siang malam ia meracau tentang nama yang ia persiapkan untuk anaknya nanti kepadaku. Dan, Jovin, nama itu benar-benar indah.
"Ini, minum dulu," ucap seseorang seraya mengulurkan minuman kaleng dingin ke arahku.
"Makasih, Kak Ren." jawabku. Minuman kaleng merah itu kuambil dari genggamannya.
"Hei, Jov, kalau capek, istirahat dulu." Kak Reno berteriak ke arah Jovin yang tampak sudah berpeluh-peluh karena semangat bermain bersama temannya. Mereka bahkan baru saja berkenalan di taman ini, tapi entahlah kenapa bisa begitu dekat.
Aku meneguk minuman soda itu sedikit. Kak Reno duduk di sebelahku seraya meminum minuman yang juga sama dengan milikku.
"Apa kamu tidak ada keinginan untuk kembali ke Indonesia?" tanya Kak Reno tiba-tiba padaku pelan.
Aku terdiam. Aku juga bingung saat Papa dan Mama menanyakan hal yang sama beberapa hari lalu. Aku rindu suasana di Indonesia, apalagi makanannya. Tapi, kenangan di sini sangat berat untuk aku lepaskan. Ditambah lagi fakta bahwa tempat peristirahatan terakhir Kak Joe juga di kota ini. Aku semakin tidak ingin meninggalkan New York.
"Aku rasa mama dan papa ingin kita kembali." Kak Reno sedikit gusar saat mengatakannya. Ia juga sangat tahu tentang hal yang memberatkan aku untuk kembali ke Indonesia.
Aku menghela napas perlahan. "Pasti mama papa menelpon kamu kemarin, kan?"
"Iya, tapi aku tahu kamu pasti tidak ingin kembali. Jadi, aku tidak bisa memberi harapan pada mereka."
Aku dan Kak Reno telah melangsungkan pernikahan beberapa tahun lalu. Semuanya berjalan lancar tanpa kendala hingga hari ini. Bahkan aku sampai tidak ingat saat dimana kami pernah bertengkar satu sama lain. Oh, aku ingat beberapa hari lalu, kami bertengkar karena keputusan Kak Reno membelikan game console untuk Jovin di hari ulang tahunnya. Aku rasa itu terlalu berlebihan untuk anak yang masih berusia 10 tahun.
Tetapi fakta bahwa Kak Reno sangat menyayangi Jovin membuat hatiku sedih seketika. Ya, aku teringat Kak Joe. Ia pasti akan memperlakukan Jovin demikian dan kami pasti berargumen karena aku tidak setuju.
Meski begitu, aku sangat jarang bisa bertemu Kak Reno. Ia begitu sibuk sehingga kami hanya dapat menghabiskan waktu di akhir pekan. Dan itu pun tidak selalu. Terkadang ia juga harus pergi ke luar kota di akhir pekan.
"Yuk, pulang vin. Udah mau sore," Ajak Kak Reno padaku. Ia juga memanggil Jovin yang tengah asyik bermain untuk pulang bersama kami.
Kami bertiga pun meninggalkan central park dengan mobil Kak Reno.
Sebenarnya selama lima tahun ini, keadaan kami sedang tidak baik-baik saja. Kak Reno telah memutuskan untuk meninggalkan keluarganya demi bersamaku. Jadi, sebenarnya ia juga lebih suka untuk tinggal di New York daripada harus kembali ke Indonesia. Di sini, kami hidup dengan cara kami dan tak ada seorangpun yang mampu mengintervensi pilihan kami.
Keluarga kecil kami tidak lagi tinggal di apartemen mewah Kak Reno sebelumnya. Kami memilih untuk pindah ke tempat yang lebih sederhana seraya menabung untuk membeli rumah nanti jika kami sudah menjadi Permanent Resident. Semuanya damai dan tidak ada satu hal pun yang memberatkan kami.
Tibalah kami di apartemen kami yang sederhana. Tidak ada rutinitas istimewa setiap harinya, Kak Reno bekerja, dan aku juga sibuk dengan bisnis jastip ke Indonesia kecil-kecilan yang saat ini sedang aku kembangkan sendiri. Dan Jovin? Dia seperti anak-anak seusianya yang lain, sibuk dengan gawai.
"Aku hari ini mau ngirim paket dulu, kamu ke atas dulu aja ya kak, sama Jovin," ucapku saat kami baru sampai di tempat parkir apartemen kami.
"Aku mau ikut," Jovin merengek.
"Udah Jovin disini aja, Papi cuma bentar kok. Kamu sama Papa Reno dulu ya."
Jovin tampak memanyunkan bibirnya saat mendengar jawabanku. "Pokoknya aku mau ikut."
"Ya udah, kalau ikut sama Papi jangan nakal ya, harus dengerin nasehat Papi," kata Kak Reno.
Aku dan Jovin pun pergi menuju salah satu supplier yang telah menjadi langgananku. Dan Kak Reno harus kembali ke apartemen terlebih dahulu. Jovin selalu senang saat ikut denganku ke kantor supplier itu, bagaimana tidak? Ia sudah pasti akan mendapatkan beberapa camilan dan permen yang selalu aku batasi saat di rumah.
Saat aku sedang mengisi beberapa formulir dan menyelesaikan pembayaran. Aku baru sadar, Jovin menghilang entah kemana. Aku masih sangat ingat bahwa kami keluar mobil bersama-sama.
Pikiranku kacau, aku mencarinya di setiap sudut bangunan dan mencarinya di sekitar sini. Hasilnya tetap nihil.
"Kak, biar kami bantu cek cctv." Salah satu staff mengajakku ke ruang keamanan di bangunan itu. Mereka mencoba mencari hasil rekaman cctv hari ini dan berhasil menemukan video saat aku dan Jovin tiba beberapa waktu yang lalu.
Jantungku serasa berhenti berdetak saat itu juga. Tangisku pecah saat mengetahui Jovin diculik.
_To be continued_
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro