Bagian 8 - Terbongkar
Lena merasa tidak perlu izin pada Mike jika hanya pergi ke apotek dekat perumahan. Kebetulan Mike sedang ada meeting di akhir pekan itu. Ia ingin membeli obat tidur karena akhir-akhir ini tidak bisa tidur memikirkan Anna yang tak kunjung membaik.
"Loh, ibunya Anna." Seseorang menyapanya. Lena menoleh.
"Eh ibu." Lena mengenali orang tersebut. Seorang wanita yang berusia hampir setengah abad dengan wajah ramah dan kacamata berframe kecil. Wanita tersebut adalah wali kelas Anna.
"Anna bagaimana? Sudah sehat?"
Lena memaksakan seulas senyum. "Masih demam bu."
"Wah saya turut bersedih. Semoga cepat sembuh. Sudah lama sekali Anna sakit. Sampai sering izin sekolah."
Lena mengerutkan kening. "Anna kan baru lima hari izin," batinnya. Kemudian teringat persoalan bully sebelumnya. "Bu, bagaimana Anna di sekolah?"
"Sejujurnya saya khawatir bu. Nilainya semakin jatuh. Apakah Anna ada masalah di rumah? Saya dengar anda baru menikah lagi. Suami baru anda meminta saya untuk berkomunikasi dengan dia saja soal Anna. Katanya ibu banyak urusan sehingga sulit diganggu.
Anna kembali heran. Ia tidak merasa sibuk. Dan mengapa Mike meminta agar guru Anna berkomunikasi dengannya dibanding pada Lena.
"Tidak, dia tidak ada masalah di rumah."
Guru Anna mengangguk-angguk.
"Bu, saya dengar Anna di-bully?" lanjut Lena. Guru di hadapannya tersebut tampak terkejut.
"Bully?"
"Iya. Kata suami saya Anna di bully di sekolah. Semenjak itu dia mulai murung."
Kali ini alis guru Anna yang berkerut. "Saya tidak pernah mendengar Anna di-bully."
"Loh?"
"Malah teman-temannya khawatir dengan Anna. Kadang-kadang Anna menangis di sekolah dan teman-temannya selalu menghiburnya. Mereka sampai rela tidak istirahat ke kantin untuk menemani Anna. Karena itu saya pikir ada masalah di rumah. Tapi suami ibu 'bilang tidak ada masalah, mungkin masih belum terbiasa dengan keluarga baru.'"
Lena merasa ada yang tidak beres.
"Ibu coba bawa ke psikolog. Siapa tahu ada masalah yang dia tidak berani bilang. Saya juga khawatir dia sering izin tidak masuk sekolah. Kadang-kadang ayah barunya menjemput di tengah-tengah jam belajar, bilang 'Anna minta dijemput pulang,'" lanjut guru Anna.
"Eh?" Lena terkejut. Sebuah fakta baru yang ia dengar. Mike tidak pernah mengantar Anna pulang sebelum waktunya. Bahkan sebelum Anna jatuh sakit, Anna terkadang pulang lebih sore dengan kegiatan ekstrakulikuler melukis.
"Memangnya Anna sering tidak masuk sekolah? Anna kan baru izin semenjak demam ini. Lima hari."
"Lima hari...?" wajah ramah dibalik kacamata tersebut terlihat kebingungan. "Bulan lalu saja Anna sepuluh hari izin. Enam hari tidak masuk dan empat hari dijemput sebelum pelajaran selesai."
Pikiran kemana-mana dan jantung berdegup kencang. Ia tidak jadi membeli obat tidur. Bahkan meninggalkan guru Anna yang kebingungan dengan apa yang terjadi.
Ia harus mengkonfirmasi Mike apa yang sebenarnya ia dan Anna lakukan pada waktu-waktu tersebut. Mike tadi pagi izin meeting di hotel kawasan Ancol. Tanpa pikir panjang, Lena melajukan mobilnya ke hotel yang disebut Mike.
Namun saat itu tidak ada yang menggunakan ruang meeting kecil, sementara ballroomnya digunakan untuk acara tertutup salah satu dinas pemerintah. Lena juga tidak menemukan Mike di kafetaria atau tempat makan hotel tersebut.
Entah apa yang dipikirkan Lena, tanpa sadar ia bertanya apakah ada yang menyewa kamar atas nama suaminya. Ia terkejut saat resepsionis menyebutkan sebuah nomor kamar. Dengan buru-buru Lena menuju kamar yang dimaksud.
Ia menggedor kamar dihadapannya. Cukup lama hingga pintu dibuka.
Tampak Mike muncul di balik pintu mengenakan kimono handuk putih yang terpasang asal. Wajah Mike yang tadinya kesal, berubah pucat seketika ketika melihat Lena dihadapannya.
Pikiran Lena berkecamuk antara apa yang dilakukan Mike di situ dan perihal Anna.
"Aku ingin menanyakan sesuatu tentang Anna," kata Lena dengan gemetar.
Mike hanya terpaku di tempat dan melongo.
"Mike... ada apa?" sebuah suara manis wanita terdengar dari dalam.
Dengan spontan Lena masuk ke kamar, melihat ada apa di dalam tanpa bisa dicegah Mike.
Tampak Crystal buru-buru menutupi tubuhnya yang telanjang di tempat tidur. Baju-baju dan pakaian dalam berserakan di lantai kamar yang dilapisi karpet tebal.
Lena terpaku melihat apa yang ada di hadapannya. Pikirannya sontak membeku untuk melindungi hatinya. Ia tidak menangis. Hanya terdiam. Baru setelah tangan dingin Mike menyentuh lengannya, Lena berlari keluar.
"Lena!" Mike berteriak ingin mengejar namun ia tidak mengenakan apapun di balik handuk kimono tersebut. Wajah Mike memerah. Buru-buru ia mengambil smartphone-nya dan menekan sebaris nomor.
***
Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepala Lena saat memecah jalanan Jakarta yang tidak sepadat biasanya karena hari itu adalah akhir pekan. Tangannya tidak berhenti gemetaran dan nafasnya memburu. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan namun ia tidak terisak.
Sampai di rumah, ia bergegas ke kamar Anna. Meraih anak semata wayangnya yang panas. Tangisnya pecah saat itu.
Tidak butuh waktu lama bagi Lena untuk kemudian menggendong Anna. Entah kekuatan dari mana ia bisa menggendong Anna turun dari lantai dua dan menuju mobil. Ia berteriak tidak sabar pada satpam rumah untuk membuka pintu.
Lena mengesampingkan perasaannya tentang Mike dan Crystal. Ia merasa harus membawa Anna ke rumah sakit. Ia mempunyai kenalan seorang dokter di salah satu rumah sakit besar.
"Anna... Annaku..." gumam Lena berkali-kali. Anna membunyikan klakson tidak sabar dan menginjak gas sedalam yang dimungkinkan.
Menadadak mobil di belakang menabrak mobil yang dikendarai Lena dengan keras. Mobil Lena terhempas dan terdorong oleh mobil di belakangnya hingga menabrak sebuah pohon dipinggir jalan. Lena dan Anna yang tidak menggunakan sabuk pengaman menabrak kaca depan mobil.
Lena terlempar keluar dengan wajah lebih dulu. Kesadaran perlahan menghilang saat melihat mobilnya terbakar. Tangannya tergantung di udara ke arah mobil.
"Anna..."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro