Bagian 6 - Anna
"Sayang... Anna habis dari mana saja?" Lena bertanya dengan khawatir begitu Mike pulang bersamaan dengan Anna sore itu.
Anna berlindung di balik Mike. Tampak takut bertatap muka dengan ibunya.
"Sekolah tadi menelepon kalau Anna nggak masuk hari ini," lanjut Lena yang melirik Anna. Tidak ada tanda-tanda jika ia sedang marah melainkan kekhawatiran yang teramat sangat.
"Anna, masuk saja ke kamar. Nanti ayah yang ngomong sama mama." Semenjak menikah, Anna memanggil Mike dengan sebutan ayah. Kata Anna agar berbeda ketika memanggil ayah kandungnya: Oka, yang dipanggil papa.
Anna pun berlari kecil masuk ke kamarnya dan menghindari Lena.
Lena terkejut. Selama ini Anna tidak pernah menjauhinya. Bahkan jika ada masalah, Anna akan mengadu padanya. Sejak kapan Mike lebih dekat sehingga lebih tahu masalah Anna lebih dulu.
Mike menatap Lena dengan tatapan khawatir lalu mengajak Lena untuk masuk ke kamar.
"Ada apa sebenarnya Mike? Jangan membuatku khawatir." Lena kembali bertanya dan duduk di samping Mike di atas tempat tidur.
Mike menghela nafas sembari mengendurkan dasinya. "Anna pagi ini mendadak nggak mau masuk sekolah. Dia nggak mau turun dari mobil sama sekali dan terlihat takut. Aku sampai harus memanggil gurunya, tapi dia malah nangis. Karena itu ku ajak ke kantor, untung hari ini nggak begitu sibuk."
Lena mengerutkan kening. Anna tidak pernah seperti itu sebelumnya.
"Aku berulang kali bertanya pada Anna, baru dia mau jawab. Itupun nggak begitu jelas. Tapi sepertinya dia di bully."
"Bully?" Suara Lena terdengar tidak percaya. Meski ia tahu bullying di sekolah selalu menjadi pembicaraan ramai di antara para orang tua. Beberapa kasus bahkan sampai merenggut nyawa, entah karena kekerasan fisik atau mental, dibunuh atau bunuh diri.
Namun Lena sudah pernah membicarakan hal tersebut pada Anna. Ia pernah berkata, "Sayang, kalau ada yang berani menjahati kamu, bilang sama mama. Kamu selalu punya mama yang akan melindungi kamu. Apapun yang terjadi cerita pada mama, ya."
"Iya. Awalnya dia sempat diam-diam meminta uang padaku. Katanya takut sayang marah kalau dia merusak barang temannya dan harus mengganti dengan uang. Jadi aku kasih saja. Tapi kemudian terjadi lagi beberapa kali. Dan akhirnya tadi pagi, setelah sedikit memaksa, ia mengaku kalau diminta uang oleh kakak kelasnya atau dia akan dilabrak." Mike memijit keningnya.
"Dilabrak? Anak SD?" Lena terkejut dan hampir berteriak. Ia bertanya-tanya sebenarnya sudah separah apa pergaulan anak kecil zaman sekarang. "Besok aku akan menelpon ke sekolah!"
Lena tampak sangat marah ada yang berani menyakiti putrinya. Ia tidak menyangka ada yang tega berbuat seperti itu pada Anna-nya yang baik dan lugu.
"Jangan tergesa begitu sayang, besok aku akan mengantar Anna dan berkonsultasi dengan gurunya."
"Tapi..."
"Bayangkan kalau sayang langsung konfrontasi ke sekolah dengan emosi berapi-api. Keadaan Anna akan makin sulit. Nanti dia bakal dicap pengadu."
Lena merengut, tapi ia berkata, "baiklah," dengan nada suara yang masih terdengar kesal. "Aku akan mengecek keadaan Anna." Ia beranjak dengan segera tanpa Mike sempat berkata-kata.
"Anna..." Lena membuka kamar Anna. Dilihatnya Anna sedang duduk di meja belajar dengan kepala di atas meja. Tangannya memegang pensil di atas sebuah buku gambar. Tampak mencorat-coret dengan malas dan kemudian langsung menutup buku gambarnya begitu Lena masuk ke dalam kamar.
Lena menghampiri dan di elus-elusnya kepala Anna. Hatinya terasa sakit melihat Anna tampak tidak bersemangat, pun tidak menggubrisnya. Anna yang biasanya selalu riang dan tersenyum, yang semangatnya dapat mencerahkan hati yang gundah. Sekarang bagai matahari yang tertutup awan kelam.
"Anna nggak papa? Cerita sama mama kalau ada sesuatu," kata Lena dengan lembut.
Anna menggeleng pelan tanpa mengangkat kepalanya dari atas meja.
"Mau makan sesuatu? Belum makan malam kan? Mama bikinkan nasi goreng ya? Nanti mama pesankan cake coklat juga" Biasanya kalau Anna sedang merajuk, cake coklat kesukaannya dari salah satu toko kue terkenal akan memperbaiki perasaan Anna.
Saat Lena beranjak pergi. Anna tiba-tiba menarik baju Lena.
"Mama jangan pergi."
Lena menoleh. Dilihatnya wajah anak semata wayangnya yang kusut. Anna tampak menahan diri agar tidak menangis.
"Mama ambilkan makan dulu sayang."
Anna menggeleng keras. "Disini saja, please." Suaranya bergetar.
Lena pun mengalah. Ia mengajak Anna menuju tempat tidur dan memeluknya erat.
"Nanti kalau sudah mau cerita, sampaikan sama mama. Kapan pun. Ya sayang?"
Anna hanya terdiam tak menjawab.
***
Keesokannya Anna tetap berangkat ke sekolah. Mike berjanji pada Lena akan berbicara pada guru di sekolah Anna.
Mike mencium pipi Lena sebelum ia dan Anna berangkat.
"Aku akan menyelesaikan ini. Kalau misalkan Anna masih nggak mau ke sekolah, akan aku ajak ke kantor lagi. Tenang saja, aku nggak mau memaksakan Anna juga," kata Mike.
Lena memaksakan senyum. Meski Mike bukan ayah kandung Anna, Lena bersyukur Mike tulus menganggap Anna seperti anak sendiri dan bisa menjalankan peran sebagai ayah dengan baik.
Lena melambaikan tangan pada mereka berdua. Matanya menangkap ketakutan yang tergambar samar di mata Anna yang menoleh padanya sebelum masuk ke mobil.
Lena bergidik. Tatapan itu seolah memintanya untuk merengkuh Anna dalam dekapan dan tak melepaskannya lagi.
Beberapa hari setelahnya, Anna kembali masuk sekolah seperti biasa. Namun, sikapnya masih belum kembali seperti biasa. Meskipun begitu, Lena masih sedikit tenang karena Anna berusaha untuk ceria sekalipun terkesan dipaksakan.
"Ma..." Anna berkata saat mereka makan malam di sebuah restauran akhir pekan itu.
"Ya sayang?"
"Aku mau ikut ekstrakulikuler melukis di sekolah, boleh?"
"Eh? Jadi nanti pulang jam berapa? Hari apa saja?"
"Agak sore, ma. Nggak setiap hari kok. Kegiatannya nggak pasti hari apa saja karena masih baru di sekolah. Ruangannya masih pinjam ekstrakulikuler lain."
Lena terdiam. Ia masih khawatir jika Anna terlalu lama menghabiskan waktu di sekolah. Begitu mendengar indikasi bully pun ia hampir memindahkan Anna untuk sekolah privat saja jika Mike tidak membujuknya.
"Boleh saja. Itu bagus," celetuk Mike.
"Anna bisa mendapat teman baru. Teman yang banyak berarti lebih sedikit yang akan membelanya," tambah Mike cepat begitu Lena menoleh padanya.
Lena menghembuskan nafas berat. "Baiklah. Tapi kalau Anna merasa nggak nyaman, langsung berhenti ya."
"Terima kasih, ma." Anna tersenyum tipis.
Lena mencoba berpikir positif bahwa mungkin hal tersebut baik untuk Anna. Berharap teman baru akan membuat Anna kembali ceria. Namun entah mengapa Anna justru tidak begitu bersemangat dengan izin mengikuti ekstrakulikuler tersebut.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro