Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09 : Trapped

Sayangnya, di luar dugaan, satu serangan mengacaukan segalanya. Salah satu dari tiga penyerang tiba-tiba saja muncul dari belakang, menyingkirkan Bibi dengan mudah dan merangsek ke arahnya, mengumandangkan kekehan samar yang menjengkelkan. Dalam sekejap, penjahat itu telah berada di tengah mekanisme ruangan yang bergerak, tepat di belakangnya.

"Mau melarikan diri ke mana, bocah? Tidak ada tempat aman bagimu selain dalam pelukan orang-orang yang terkasih. Nah, aku bermurah hati mengirimmu untuk bergabung dengan mereka."

Aroma minuman keras menyerbu penciuman Xiao ge saat pria menakutkan itu terus mengoceh sambil mendekat padanya. Dia melihat sebuah kayu panjang di tangan orang itu.
Semua terjadi begitu cepat. Apa yang terakhir kali diingat Xiao ge adalah bayangan hitam kayu panjang yang melesat ke arah kepalanya. Dia sempat menghindari serangan itu, tapi si penjahat mabuk menyerang dengan membabi buta.

Xiao ge masih berjuang untuk lari menuju ruangan rahasia di ujung lorong. Si penyerang mengejarnya secepat bayangan, melayangkan satu serangan lagi. Tubuh Xiao ge seketika tersungkur tepat ke dalam ruangan rahasia, mencium lantainya yang berlapis debu. Diiringi tawa penuh kemenangan dan rasa puas akan pembalasan dendam, pria biadab itu menahan pintu dengan satu kakinya agar tidak menutup, tapi satu gerakan terakhir dari Xiao ge telah berhasil mendorong si penjahat. Dia menutup pintu, mencegah pria itu masuk ke dalam ruangan penyimpanan harta karun keluarga Zhang sekaligus menjebak Xiao ge di dalam kegelapan.

Untuk beberapa lama, Xiao ge merasa tubuhnya ringan, seakan bisa terbang tinggi ke tempat dia di mana air sungai yang bening mengalir. Namun ia tidak bisa benar-benar pergi. Senyumnya telah lenyap dan benda-benda antik tak ternilai harganya seakan beterbangan mengitari tubuhnya yang malang.

=====

Xiao ge mondar-mandir sendirian dalam kamar di lantai dua rumah kosong yang tenang. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di jendela, mengamati dan mendengarkan, menikmati angin musim panas dan aroma tanaman merambat yang berbau harum.

Dia terus memfokuskan pandangannya pada pegunungan yang jauh, biru dan tenang di langit. Kawanan burung melayang tinggi di angkasa, begitu tinggi hingga ia bertanya-tanya apakah mereka bisa menyentuh awan.

Awalnya, dia menulis hari dalam seminggu, bulan, dan tahun di dinding. Dia bermaksud mencatat waktunya di dalam rumah itu, tetapi setelah beberapa saat dia mulai melewatkan satu atau beberapa hari. Segera, hari, bulan, dan tahun menjadi campur aduk yang tidak berarti. Dia menghabiskan waktu dengan musik dan dunia imajinasi yang tak bertepi. Terkadang dia merasa terhibur, kadang merasa sedih dan sesak. Bahkan ia merasa ruangan kamarnya yang luas menyusut menjadi penjara.

Terkadang sunyi mengepungnya. Namun pada waktu tertentu ia merasakan kehadiran orang lain, samar di siang hari tapi jelas dan nyaring di malam hari.
Terkadang, dia merasa sangat gelisah hingga meringkuk dalam bayang-bayang, matanya terpejam, jari-jari menutup telinganya, dan ia tak bergerak, menunggu semua suara pergi.

Musim mengikuti satu sama lain berputar-putar seperti angka jarum jam. Daun jatuh, salju turun, hujan turun. Bunga mekar, bunga layu, bunga mati. Salju turun lagi. Lagi dan lagi.

Sarang burung di bawah atap menemukan jalan ke dalam ruangan. Pohon tumbuh semakin tinggi. Cabang mereka menyebar, mengelilingi rumah. Dahan dan rantingnya menyentuh atap. Di musim panas, daunnya menekan kaca jendela dan menghalangi sinar matahari.

Dia tinggal di kamarnya dan menunggu. Dia tidak lagi tahu siapa atau apa yang dia tunggu. Sesuatu, seseorang.
Dia lebih kesepian dari yang bisa dibayangkan siapa pun.

Suatu hari dia melihat seorang anak laki-laki berdiri di halaman rumah tepat di samping rumahnya. Dia satu-satunya manusia yang balik menatap padanya. Xiao ge ingin meraih tangan anak laki-laki lain itu, tapi sudah terlambat. Dia sudah pergi, dan dia sendirian di ruangan sepi.

Pergantian musim membawa banyak perubahan di sekitarnya, tapi dia tetap sendirian. Kemudian suatu sore ketika ia menatap ke luar jendela, ia seakan tak mempercayai matanya. Sepasang mata gelap itu balas menatap di tengah pekatnya keputusasaan, membawa secercah harapan. Seharusnya ia bahagia. Namun, cahaya di mata pemuda itu melahirkan kabut kesedihan yang membayang di wajahnya. Ah, berapa lama ia menunggu. Akhirnya takdir bermurah hati dan menyerah padanya dan mengirim anak laki-laki itu kembali sebagai seorang pemuda tampan.

Sepanjang hari, Wu Xie terus berdiri di jendela, tapi tetap tak bisa melihat siapa pun. Dia merasa kecewa dan hampa. Terkadang, saat penantian tumbuh menjadi lebih lama, ia merasa ingin melupakan dan membenci Xiao ge.

Dia melihat awan asap melayang di langit gelap. Di hari yang muram, tak tahu apa yang harus dilakukan. Dia tak bisa berhenti memikirkan Xiao ge. Bertanya-tanya mengapa hanya dirinya yang bisa melihatnya. Terkadang ia juga bertanya-tanya apakah pertemuan mereka nyata? Jika itu tidak nyata, artinya mereka tak pernah berjumpa.
Jika tak pernah berjumpa, artinya tidak akan berpisah.

Sayangnya, meski jiwa terasa dekat, ia pun merasa jauh, tak bisa menyentuhnya lagi.

Hujan turun selama dua hari berturut-turut, menjebak Wu Xie dan Pangzi di dalam rumah. Membawa kesuraman pada wajah semua orang. Cuaca seperti ini membuat Wu Xie lelah. Emosinya akhir-akhir ini terlalu berlebihan dan sulit untuk dipahami. Kesuraman ada di mana-mana, tapi masih banyak lagi yang terpendam. Dia tidak bisa bertemu Xiao ge dan hanya mencoba menebak perasaannya, pikirannya. Bahkan kesan menatap jendela sudah tidak sama lagi.

Tirai hujan menyamarkan pemandangan di balik kaca yang kusam, atau mungkin memang Xiao ge tidak menampakkan diri.

Setelah dua hari, akhirnya Wu Xie menyerah. Kerinduan menciptakan terlalu banyak emosi campur aduk. Biasanya hal itu membuatnya kesal dan memberinya kesan yang salah pada setiap hal kecil yang terjadi.

Baru pada hari berikutnya matahari kembali bersinar cerah, menebarkan kehangatan ke seluruh alam. Pangzi sibuk merencanakan apa yang akan dilakukan untuk mengisi hari yang cerah. Dia merasa langit terlalu indah hanya untuk dipandang lewat jendela.

"Mari kita pergi mendaki bukit untuk mencari rumput biru," dia menyuarakan isi pikirannya yang penuh semangat dan tidak sabar. "Itu akan menjadi penghiburan bagi hati yang sepi. Sekaligus menyelamatkan nyawa Paman Kedua."

Lirikannya tertuju pada Wu Xie saat mengatakan itu. Jelas ucapannya mengarah pada topik absurd di mana sahabatnya jatuh cinta pada seseorang yang misterius.

"Apa kau mengejekku?" Wu Xie mendesis, membalas lirikan sahabatnya sedikit sinis. Saat itu keduanya tengah duduk di meja makan dan menikmati menu sarapan pagi serta kopi buatan Paman Li.

"Ini semacam terapi, Bung," kekeh Pangzi. "Dengan berpetualang ke alam bebas, kuharap kau bisa segera sembuh."

"Kau pikir aku sakit?" dengus Wu Xie tersinggung. "Jelas-jelas pak tua itu yang sakit."

Yang dimaksud Wu Xie jelas adalah paman kedua.

"Oh, ayolah. Rindu adalah penyakit yang menolak segala macam obat. Tapi apa salahnya mencoba."

"Ide bagus, tampan. Kalian akan mendaki bukit lagi?" Paman Li bergabung bersama mereka sambil membawa potongan kue dalam piring.

"Misi utama Wu Xie adalah tanaman rumput biru." Pangzi bersuara, menatap sahabatnya sementara pemuda itu justru terlihat fokus pada sebuah ingatan. Xiao ge sering menghabiskan waktu di alam bebas. Selain mendaki, mungkin bersantai di tepi sungai tidak terlalu absurd dan memancing bisa jadi gagasan brilian.

"Pangzi, kuharap misi kali ini berhasil. Aku memikirkan gagasan menarik. Bagaimana kalau setelah mendaki bukit, kita pergi memancing," Wu Xie berkata, menatap langsung pada wajah Pangzi.

"Memancing? Hmmm, tidak buruk, meskipun aku tidak membayangkan kau akan mengajukan ide ini. Tapi di mana?"

"Sekitar tiga kilometer ke utara, ada padang rumput di tepi sungai. Pohon willow meneduhi sebagian tempat itu, dan kita bisa bersantai sambil menikmati aliran air bening dan sejuk."

Giliran Paman Li menatapnya terheran-heran. "Sungai dan padang rumputnya sudah tidak seindah dulu tapi tidak buruk." Dia berhenti sejenak untuk meminum teh kemudian meneruskan, "Seingatku kau tidak pernah pergi ke sana. Dari mana kau tahu tentang tempat itu?"

Wu Xie tergagap, mengangkat bahu. "Entahlah. Bayangan itu muncul begitu saja dalam kepalaku," jawabnya jujur.
Itu masih terdengar aneh. Namun Paman Li hanya diam dan memandanginya.

"Baiklah. Kapan kita akan berangkat?" Pangzi menyela, sibuk dengan kue dan sisa kopi. Nampaknya dia ingin segera menyelesaikan sarapan ini.

"Secepatnya."

"Ngomong-ngomong, kita harus mencari peralatan pancingnya, bukan?"

Wu Xie mengacungkan ibu jari. Untuk pertama kali sejak dia datang, ia merasakan kekompakan bersama sahabatnya.

Lewat tengah hari, Wu Xie dan Pangzi duduk di bawah pohon di perbukitan, mengatur napas dan sibuk menyeka keringat.

"Ini sia-sia..." Pangzi mengipasi wajahnya, lalu mengeluarkan sehelai catatan dari dalam tas.

"Apakah Paman Ketiga tidak keliru mengenai informasi rumput biru," gumamnya.

Menyipitkan mata ke arah matahari, Wu Xie tidak bersuara. Sekali lagi ia mengusap wajah, meniup udara siang hari yang sejuk di perbukitan. Dia mencondongkan wajah ke arah Pangzi untuk melihat catatan di tangannya.

"Kita sudah mencapai tempat-tempat ini," katanya lelah, menunjuk beberapa titik dalam peta. "Sepertinya tanaman rumput biru itu hanya mitos."

"Kupikir kau harus menghubungi pamanmu lagi. Jangan sampai kita membuang waktu dan energi untuk sesuatu yang tidak ada," saran Pangzi.

"Kau benar."

Mereka meneguk air minum dalam botol, mengeluarkan sedikit perbekalan. Keduanya mengunyah dalam diam. Angin meniup dedaunan di atasnya, dan sinar matahari menembus rerimbunan membentuk garis-garis cahaya yang jatuh di wajah mereka. Suasananya damai. Kicauan burung, gemerisik daun dan ranting, pekik elang di angkasa. Alam selalu menjadi tempat menenangkan diri yang paling tepat. Namun tetap saja mereka harus hati-hati dan waspada agar tidak jatuh dan cedera. Khususnya bagi Wu Xie.

"Ini sudah lewat tengah hari. Saat kita kembali ke rumah, mungkin hari sudah gelap," komentar Pangzi.

"Kau ingin kita pulang sekarang? Tanpa hasil?"

"Ayolah, Naif. Sudah kukatakan kita harus bicara lagi dengan pamanmu. Bekerja keras kadang tidak efektif, kita harus bekerja cerdas."

Wu Xie mendesis. "Bilang saja kau malas."

"Bukan begitu," bantah Pangzi, meneguk airnya lagi. "Jika kita kemalaman di perbukitan. Aku khawatir kau keburu jatuh ke lubang dan melahirkan masalah baru."

Omong kosong itu terhenti saat Wu Xie memukulkan gulungan kertas ke tengkuk Pangzi. Si gendut terkekeh senang, menghabiskan makanannya dengan cepat dan berdiri perlahan mengangkat tubuh gempalnya.

"Ayo, kita akan ke tepi sungai seperti keinginanmu." Dia mengulurkan tangannya pada Wu Xie yang disambut dengan baik.

Matahari sore menghiasi tanah berumput dengan cahaya dan bayangan. Seekor capung meluncur di atas air sungai yang mengalir dalam kecepatan sedang. Gemuruhnya lembut, tidak deras, tidak juga terlalu tenang.

"Apakah menurutmu ikan benar-benar akan datang?" tanya Pangzi, setengah jengkel melihat betapa lambat ikan di sungai mengambil umpannya.

"Siapa yang tahu. Mereka menyukai sungai dengan aliran air yang bening dan sejuk."

Angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon willow, burung gereja berkicau di dahan, dan Wu Xie mendongak untuk melihatnya.

"Aku akan menelepon paman ketiga sekarang sementara kau menunggu ikannya." Dia mengeluarkan ponsel, menjauh dari Pangzi dan mulai menghubungi seseorang.

Sekitar sepuluh menit kemudian, dia bergabung lagi dengan Pangzi.

"Paman ketiga bersikeras bahwa rumput biru terakhir kali ditemukan di kawasan ini. Tapi dia sedang mengusahakan alternatif lain demi mengobati paman kedua," katanya.

"Mengapa dia tidak melakukannya sejak awal?" protes Pangzi.

"Katanya rumput biru tetap merupakan pilihan terbaik."

"Huhh...."

"Bagaimana ikannya?" Wu Xie mencondongkan wajah ke arah sungai.

"Melarikan diri. Mereka takut padaku. Sepertinya kau saja yang memancing. Ikan-ikan mungkin lebih tertarik pada pria tampan."

"Omong kosong!" Wu Xie menyeringai.

Mereka berhasil mengumpulkan beberapa ekor ikan dalam satu jam. Merasa cukup dengan pancingan, Wu Xie mundur dari tepi sungai, menjatuhkan diri telentang dan menepuk tanah di sampingnya.

"Ugh, berbaring di sini dan menatap langit berawan terasa bebas dan menyenangkan. Pangzi, mari bergabung denganku."

Pangzi ikut berbaring dan menyaksikan awan melayang melintasi langit seperti lapisan kapas yang berkeliaran melintasi bidang biru yang luas. Burung bernyanyi, dedaunan tertiup angin. Dia membiarkan pikirannya melayang bersama awan.

"Sudah berapa lama sejak terakhir kali kita bersenang-senang di alam," gumam Pangzi, disusul kekehan seraknya.

"Aku sudah lupa cara memancing yang hebat. Menyebalkan."

Wu Xie mengabaikan ocehan Pangzi, fokus pada renungannya sendiri. Setelah beberapa menit ia berbaring di sana, ia merasakan perasaan aneh bahwa seseorang telah bergabung dengan dirinya dan Pangzi. Memutar kepala, ia melihat seorang wanita paruh baya duduk di dekatnya.

Dia mengenakan gaun kuno, dan sebuah keranjang makanan terbuat dari rotan tergeletak di sampingnya. Dia menyenandungkan sebuah lagu yang lembut dan terdengar asing. Tiba-tiba wanita itu menoleh dan menatapnya.
Dia membuka mulutnya seolah ingin berbicara, tetapi seorang pria memanggil, "Ayo! Waktunya pulang."

Wanita itu berbalik ke arah sang pria. Meraih keranjang dan melipat sehelai kain lebar berwarna biru yang digunakan sebagai alas.

"Baiklah. Tapi di mana Xiao ge?" Wanita itu menyahut seraya berdiri perlahan-lahan.

Sebelum Wu Xie sempat bertanya siapa dia, wanita itu menghilang begitu saja.
Wu Xie melompat untuk melihat ke mana dia pergi.

"Hai, siapa kau?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro