Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Not Mentally Prepared For an Insane Things

Theo menahan diri agar tak memutarkan bola mata pada sang petugas. Gideon si polisi berniat tak menciptakan kegemparan, tapi jelas hal yang sudah diumumkannya membuat keresahan makin merebak di kerumunan yang berkumpul.

Sudah terlambat untuk menarik ucapan, sang petugas pun tampaknya tahu itu. Maka ia sekali lagi dengan nada lebih tegas memperingatkan semua orang agar tetap tenang, dan memberitahu jika ingin mengetahui info lebih lanjut, pihak kepolisian akan membangun pos di alun-alun kota untuk memantau keadaan yang tengah berlangsung sejak gempa semalam.

Lalu sang petugas polisi pun beranjak pergi memasuki mobilnya, suara sirine meraung menjauh mengiringi kepergiannya.

Kerumunan pun membubarkan diri, hanya beberapa pemuda yang bertahan menginginkan pembicaraan lebih lanjut, tapi tak lama kemudian mereka pun pergi; hanya meninggalkan Theo, Gabe dan Livia sebagai pengurus peternakan.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Livia merasa serba salah. Ia sengaja berdiri membelakangi bukit. "Haruskah kita pergi ke alun-alun sekarang?"

"Aku pun berpikiran begitu, tapi kurasa kita harus mengerjakan tugas kita dulu," jawab Gabe mengusapkan kedua lengannya seolah menangkal hawa dingin. "Kau tahu, para kuda masih membutuhkan perawatan harian mereka di sini."

Livia tampak enggan bekerja di tengah kondisi yang berlangsung, tapi ia menyepakati apa kata Gabe. Ketiganya langtas berjalan memasuki gedung kandang demi menunaikan pekerjaan hari ini.

Para kuda sedang gelisah. Theo bisa mengetahui itu dari gerak tubuh dan sikap hewan-hewan tersebut. Dari kesemuanya, tak ada satu pun kuda yang mau diajak keluar dari jeruji kandang, mereka justru bersikukuh tetap di dalam merapatkan tubuh pada pojokan di belakang. Dengkingan keras keluar dari mulut mereka setiap kali mencoba dibujuk berderap keluar.

"Sebagian dari mereka sudah bersikap begini sejak tadi malam," aku Gabe pada kedua rekannya. "Bahkan sebelum terjadi gempa. Ada sesuatu yang menganggu mereka, Bilbo bahkan sempat tak ingin aku tinggal pergi."

"Mungkin itu semacam insting hewan." Livia yang kebagian menenangkan si kuda termuda itu tengah mengelus moncong Bilbo. "Aku sempat baca di suatu tempat, hewan memiliki insting khusus jika suatu bencana akan terjadi."

Theo berujar menambahkan, "Itu benar. Dan melihat keadaan di luar sana, aku sendiri tak akan mau meninggalkan gedung yang aman ini jika bisa. Mungkin sebaiknya seharian ini kita biarkan mereka berada di dalam sini."

Livia dan Theo memandang Gabe meminta persetujuan. Gabe bukanlah atasan mereka, tapi jelas memiliki tanggung jawab terbesar di sini.

"Well, kalau kalian berpendapat begitu, aku sepakat." Gabe mengangguk. "Kita cukup beri makan mereka dan membersihkan setiap kandang."

Semua orang serempak mengerjakan bagian tugasnya masing-masing, menenggelamkan diri pada kesibukan. Pengalaman kerja selama berbulan-bulan membuat ketiganya mampu bekerja sama tanpa memerlukan banyak komunikasi.

Sesungguhnya Theo senang pekerjaan ini mampu membuatnya sejenak melupakan apa yang ada di luar sana. Merasa aman di dalam rutinitas hariannya walau terasa membosankan. Bahkan di sini tak tercium sama sekali bau daging yang membusuk, hanya bau pakan dan kotoran kuda yang sudah biasa tercium oleh hidungnya.

Dan Theo bisa sejenak melupakan potongan mayat di balik bukit yang mengusik hatinya sejak melihatnya tadi.

Makan waktu hampir dua jam sampai semua pekerjaan beres. Tiada yang mengatakannya, tapi Theo bisa merasakan bahwa kedua rekan kerjanya sama-sama enggan meninggalkan gedung, tak mau menghadapi pemandangan mengerikan di luar sana, tapi mau tak mau merasa harus. Waktu terus berjalan dan mereka tak mungkin terus bersembunyi di sini selamanya.

Setiap orang mencoba menguatkan mental. Saat Theo membuka pintu gedung, setiap pasang mata tetap terpana oleh keadaan abnormal yang berlangsung.

Di luar sana cuaca masih saja berlangsung ganjil. Waktu sudah merangkak menuju pukul sebelas siang---cahaya kuning matahari seharusnya sudah membanjiri setiap petak permukaan, tapi langit kini masih tampak murung, warna kelabu gelap yang aneh, bukan jenis mendung pertanda akan hujan. Hawa dingin berembus dari arah bebukitan mengirimkan bau busuk memuakkan. Kepulan asap terlihat dari kejauhan di arah bukit perbatasan.

Livia mengkeret memeluk diri sendiri. "Astaga. Rasanya seperti berjalan langsung di mimpi burukku sendiri."

"Kau tak tahu betapa benarnya ucapanmu itu," timpal Gabe, matanya menerawang sendu. Mungkin melihat mayat-mayat yang seolah terbakar itu membuatnya teringat pada peristiwa tragis masa lalu.

"Apa kepolisian bakal mengevakuasi semua potongan tubuh itu?" tanya Livia lirih, hidungnya mengernyit menahan bau. "Mereka takkan bakal membiarkan kesemua itu tetap di sana, kan?"

"Pada akhirnya mereka akan melakukan sesuatu," Theo berpendapat. "Mungkin tidak dalam waktu dekat. Kau dengar sendiri kata Gideon tadi, hal yang sama terjadi di setiap perbatasan kota. Akan makan waktu lama sebelum mereka mengurus yang di sini. Aku penasaran apa yang terjadi di alun-alun sekarang."

"Kita pergi ke sana sekarang?" desak Livia harap-harap cemas.

"Setelah aku mandi dan berganti pakaian," timpal Gabe pelan. "Dan mengisi perutku dengan sesuatu. Aku tak mungkin pergi ke sana dengan kondisi seperti ini."

Mereka pun berjalan bersama ke arah pondok. Theo bertanya-tanya apa Gabe bersedia memberinya sesuatu untuk ia makan juga, rasanya gila di tengah situasi yang berlangsung, tapi Theo tetap merasa lapar---apalagi pagi tadi ia telah melewatkan sarapan.

°°°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro