7. There's Chaos In the Farm
Belum sampai tiga puluh menit kemudian, para penduduk kota Riverside lainnya mulai menyadari ketidak normalan alam yang timbul di sekitar.
Mereka yang rumahnya terletak di dekat peternakan berduyun-duyun datang, dengan niat awal sekedar berbagi informasi mengenai gempa semalam dan saling mengeluhkan masih belum tersambungnya arus listrik.
Dari info para warga Theo juga baru sadar bahwa sinyal ponsel dan internet tidak ada sama sekali sejak semalam, praktis memutuskan jaringan komunikasi online antar orang-orang. Gabe mengetahui fakta itu sambil menyumpah, baru sadar bahwa alasannya sulit menghubungi Theo pagi-pagi tadi bukanlah dikarenakan Theo tak kunjung menjawab panggilan teleponnya, melainkan disebabkan oleh ketiadaan sinyal ponsel untuk membuat sambungan telepon itu sendiri.
Livia dan Theo saling melempar cengiran karenanya.
Tatkala orang-orang membelalakan mata melihat fenomena bukit gosong, tulang manusia berserakan dan udara keruh di langit yang buram, Gabe dibantu kedua rekan kerjanya berusaha menjelaskan apa yang mereka tahu, berulang-ulang tiap kali orang baru datang.
Seorang pemuda setengah baya bernama James Conroy merasa penasaran pemandangan macam apa yang ada di balik bukit hitam tersebut dan nekat mencari tahu sendiri dengan cara berjalan mendaki bukit, merasa ada teman membuat Theo dan Gabe memutuskan ikut melihat. Livia juga secara sukarela ikut, menjadi satu-satunya wanita yang cukup berani untuk melakukannya.
Keempat orang itu berjalan pelan keluar dari pagar batas peternakan, berhati-hati agar tak menginjak hal yang tak diinginkan, memilih dengan cermat bidang tanah yang akan kaki mereka pijak. Tidak terlihat dari kejauhan, tapi ternyata permukaan bukit tidaklah rata, di beberapa bagian terdapat lubang dengan ukuran dan kedalaman yang berbeda-beda
Di salah satu ceruk yang cukup dalam, tergeletaklah sebuah potongan kepala pria utuh, wajahnya yang tertutupi debu, kotoran dan darah mustahil dikenali.
Namun penemuan itu sudah cukup membuat James Conroy melangkah mundur, memuntahkan sumpah serapah yang jauh lebih beragam. Livia juga terkesiap, tangan menangkup mulut menahan jeritan, serta mual menahan muntah akibat tak sanggup menahan baunya. Kedua orang itu lantas kehilangan nyali untuk mengecek dan memilih turun dari bukit.
Sementara itu Gabe dan Theo saling pandang penuh perhitungan.
"Kau masih berani untuk ke atas?" tanya Gabe ingin tahu. "Kita sudah terlanjur di tengah jalan, tapi aku bisa paham kalau kau ingin mundur."
Theo tahu bahwa ucapan Gabe tersebut menunjukkan kepedulian, tapi egonya sebagai pria tak kuasa menganggap itu sebagai tantangan. "Aku akan tetap berada di belakangmu kalau kau ingin tetap maju." Mengatakan itu sambil berusaha keras agar tak menoleh lagi pada seonggok kepala buntung itu.
Bibir Gabe lalu membentuk seringai. "Bagus. Aku memang berharap kau akan berkata begitu."
Maka keduanya lanjut berjalan, sementara kerumunan orang di lapangan peternakan makin banyak saja. Kesemua orang itu saling berbicara dan memasang raut cemas, sambil sesekali menunjuk ke arah dua orang pria yang sedang berjalan menanjak.
Saat sudah sampai di puncak, pemandangan yang tersaji di depan mata tak bisa lebih menggegerkan lagi. Hamparan permukaan alam yang legam makin luas saja sampai ke ujung jarak pandang, dipenuhi kawah dalam seperti bekas ledakan bom. Potongan tubuh manusia di atas sini makin banyak dan lebih beragam, dan lebih utuh---menandakan bahwa waktu kematian semua orang itu belum terlalu lama. Pemandangan paling normal yang terlihat hanyalah deretan pepohonan hijau, yang diketahui merupakan kawasan hutan kecil jauh di arah ujung barat laut.
Sensasi mual mulai dirasakan Theo, apalagi ketika ia menatap satu per satu ke setiap potongan tubuh yang masuk ke area pengamatannya. Di sebelahnya, Gabe sendiri langsung mengeluarkan isi perutnya dari mulut. Cairan muntahan bening kekunigan tumpah ke tanah di kakinya.
"Apa-apaan ini, Man!" seru Gabe saat berhasil mengontrol dirinya. Pria itu bahkan memalingkan muka, tak sanggup menatap situasi horor di depannya lebih lama lagi. "Serius, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Siapa semua mayat-mayat itu dan apa yang terjadi pada mereka?"
Theo tak bisa menjawab pertanyaan itu, bahkan dirinya sudah tak mampu berkata-kata lagi. Ia tengah menatap sebuah potongan tubuh di kejauhan yang kini membuat jiwanya agak terguncang, sebab potongan tubuh tersebut membuatnya teringat pada seseorang secara spesifik.
Namun hal itu jelas mustahil.
"Kita lebih baik turun sekarang, Gabe," ucap Theo cepat dan langsung bergerak. Gabe tanpa banyak tanya mengikuti tindakannya.
Setelah tiba di area pertenakan kembali, menjejak tanah berumput hijau yang segar lagi, orang-orang mengerubungi keduanya dan bertanya apa yang mereka lihat, termasuk Livia serta James. Semua orang gempar ketika mendengar jawabannya.
"Ini semua gila!" seru James Conroy agak histeris. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini semalam?"
"Siapa kesemua mayat itu?" tanya warga lain, perempuan berusia awal lima puluhan.
"Apa kita akan bernasib sama seperti mereka?" kini wanita tua yang sering dipanggil Ms. Green mengungkapkan keresahannya.
"Kita semua celaka!" Seorang warga ikut menyuarakan kekalutan sambil menepuk jidat.
Pertanyaan bernada negatif dan pesimis terus terlontar, tapi tidak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Tak lama kemudian, dari kejauhan terdengar suara sirine polisi, dan memang sebuah mobil petugas kepolisian melaju mendekat, lalu alat transportasi itu berhenti di depan kerumunan. Seorang petugas kepolisian turun dari kendaraan roda empat tersebut tanpa mematikan mesinnya lebih dulu.
Warga berbondong menanyai si petugas---pria berumur pertengahan tiga puluhan, kepala plontosnya dipuncaki topi polisi, wajah masam dengan bentuk rahang yang tajam, di tubuhnya yang tinggi dan tegap terpasang sepangkat seragam polisi lokal khas kota Riverside berwarna biru dan cokelat.
Namun sebelum menjawab apa pun, si petugas mengumandangkan peringatan agar setiap warga bisa tenang dan tak menimbulkan keresahan masal, selanjutnya memperkenalkan diri sebagai petugas Gideon Allastair.
"Officer," ucap Theo dengan nada sopan tapi mendesak, "kami di sini tidak bermaksud membuat kepanikan, tapi kami ingin tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi."
Petugas Gideon melirik keadaan alam sekitar, mengerutkan kening lalu menoleh pada kerumunan orang, khususnya Theo. "Sejujurnya, kami dari pihak kepolisian belum tahu pasti apa yang terjadi, semuanya masih dalam penyelidikan. Aku sendiri ditugaskan kemari hanya untuk memastikan."
Gabe memicingkan mata. "Apa yang hendak kau pastikan di sini?"
"Semuanya," jawab Gideon, kedua tangan melipat di depan dada. "Kau lihat pemandangan bukit hitam dan semua mayat tak dikenal itu? Hal yang sama terjadi di setiap wilayah batas kota Riverside, Kid. Dan secara misterius semua sarana komunikasi tak berfungsi, kami tidak bisa berkomunikasi dengan satuan kepolisian dari kota lain. Aku tidak mau membuat kegemparan yang tidak diperlukan di sini, tapi kota ini seolah telah terisolasi dari dunia luar. Kita tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di luar sana."
°°°
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro