6. Something Is Clearly Aren't Right
Livia tampak menggemaskan ketika sedang bingung dan ketakutan, tapi jenis pengamatan tersebut jelas takkan Theo ungkapkan terang-terangan---terutama di tengah situasi ganjil yang belum terpecahkan.
Theo sendiri tidak bicara banyak, membiarkan Gabe menceritakan ulang apa yang dialaminya semalam pada Livia. Sementara wanita berusia 24 tahun tersebut mendengarkan dan menatap Gabe dengan sorot penasaran yang sopan.
Setelah Gabe selesai bercerita, Livia merenung sesaat dan berkata, "Aku turut prihatin kau harus mengalami semua itu Gabe. Agak sulit dipercaya, tapi bukit hitam dan semua tulang belulang itu nyata, jadi kurasa kau berkata jujur." Livia melirik ke bukit hangus itu lagi dengan ekspresi menahan mual. "Tapi apa semua tulang itu sungguhan?"
Gabe memasang raut wajah kecut, mungkin sebal karena pertanyaan meragukan itu dilemparkan lagi kepadanya.
"Gabe sudah mengeceknya," Theo berbaik hati menjawab. "Positif, itu tulang manusia. Bukan dekorasi halloween murahan atau keisengan remaja dari kota. Bukan begitu, Gabe?"
"Kurasa bukan," Gabe menyetujui. "Maksudku, orang bodoh macam apa yang berniat mengerjai kita seserius ini? Membakar seluruh bukit sampai hangus dan menebarkan tulang palsu di malam hari, tepat setelah gempa bumi berkekuatan besar terjadi?"
Pertanyaan retoris tersebut tidak dijawab siapa pun, tapi jelas Theo dan Livia sepakat. Keisengan remaja nakal bukanlah penyebab dari kejadian ganjil ini.
"Kau tadi berkata ada kejadian aneh lain yang belum kau beritahu," ingat Theo pada Gabe, "sesuatu yang hendak kau ceritakan sebelum Livia datang, berhubungan dengan langit?"
"Benar." Gabe menjentikkan jari. "Dengar, aku tidak yakin yang satu ini cukup akurat atau tidak, sebab aku sendiri sedang menahan sakit luar biasa di kepala saat menyaksikannya, tapi aku berani bersumpah tepat sebelum pingsan semalam, aku melihat keadaan langit yang berubah-ubah."
"Berubah-ubah?" tanya Livia tak mengerti. "Berubah bagaimana?"
"Well," Gabe berucap ragu-ragu, "di satu detik langit kelihatan normal, tapi satu detik kemudian aku melihat bintang-bintang di atas bergerak cepat, di detik selanjutnya aku melihat langit dipenuhi bulan, maksudku lebih dari satu, puluhan atau ratusan bulan memenuhi langit, dan terus berganti ke fenomena yang lebih aneh. Yang terliar, aku melihat sebuah batu meteorit sebesar gedung turun dari langit dan nyaris menghantam bumi." Gabe segera menghentikan ucapannya, sadar melihat cara kedua rekan kerjanya menatap. "Omonganku kedengaran konyol, ya?"
"Gabe," kata Livia, menampakkan senyum gelinya. "Aku tahu ini bukan waktu yang pas untuk melontarkan lelucon, tapi berapa banyak minuman beralkohol yang mau minum semalam? Omonganmu terdengar ... melantur."
"Aku tidak minum sebanyak itu, Liv," ungkap Gabe setengah tersinggung. "Aku sendiri tidak mengerti kenapa hanya aku yang mengalami sensasi pusing dan sakit kepala saat gempa itu berlangsung, padahal kalian tidak merasakan apa-apa sama sekali."
Theo ikut tak mampu menahan senyum. "Seingatku kau minum cukup banyak, Buddy. Sebotol wine itu hampir kau habiskan sendirian."
Cengiran lebar kini memenuhi wajah Livia.
"Oke. Aku tidak bisa menyangkal yang satu itu." Gabe kini terlihat malu, enggan menatap langsung siapa pun. "Kurasa yang kulihat itu memang hanya delusiku, tapi terasa sangat nyata sekali saat aku alami."
"Bukan salahmu," ujar Livia, berusaha membesarkan hati Gabe. "Kau mungkin masih sedikit shock setelah mengalami pengalaman semalam. Aku sarankan kau sebaiknya minum banyak air putih sekarang."
Dalam hati Theo senang akan keberadaan Livia di sini, menjadi pihak netral dalam kelompok kecil ini. Jika sedang berdua saja, Theo dan Gabe akan membahas banyak teori konspirasi yang tak ada habisnya. Lalu Theo mengangkat dagu ke atas menatap langit, mencoba membayangkan bentuk langit yang digambarkan Gabe barusan.
Bukannya begitu, Theo sendiri malah baru menyadari keanehan langit itu sendiri kini.
"Hei, Guys?" ungkap Theo perlahan. "Aku tidak tahu apa ini hanya mataku, tapi apa langit sekarang tampak ... tak biasa?"
Serentak Gabe dan Livia ikut menaikkan pandangan.
"Jam berapa sekarang?" tanya Gabe kemudian.
"Eh." Livia mengecek jam tangannya. "Pukul tujuh lebih tujuh belas menit."
"Langit tampak masih terlalu buram untuk jam segitu, bukan?" Theo meminta konfirmasi atas penilaiannya. "Dan entah kenapa langit terasa keruh, buram dan berdebu. Rasanya masih seperti baru jam setengah enam pagi."
"Kau benar." Livia mengangguk. "Aku tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya. Padahal matahari sudah terbit cukup tinggi."
Penilaian itu juga benar. Di ufuk timur, matahari yang berupa benda bulat bercahaya kuning di langit tampak buram---terhalang udara yang keruh, tapi jelas ada.
"Aku tidak suka ini," aku Gabe tak nyaman, keresahan dalam suaranya itu kembali. "Terlalu banyak hal ganjil berlangsung di sini. Dan kita bahkan belum tahu tulang belulang siapa saja itu di bukit gosong. Sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Kita harus segera mencari tahu alasannya."
Ketiga orang itu saling pandang penuh ingin tahu selagi keresahan merebak makin dalam di hati mereka.
°°°
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro