Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Wrestling With the Past

Ketika gempa bumi berlangsung, Theo sedang rebahan di sofa menonton acara berita malam di televisi.

Sebelum saat itu tiba, tak banyak kejadian berarti di rumahnya. Seperti yang sudah Theo duga, sang ibu tengah setengah teler di sofa ruang tamu. Botol minuman beralkohol kosong tergeletak di lantai disertai tebaran kulit kacang. Di atas meja, sebuah asbak penuh oleh abu dan puntung rokok, sebungkus sigaret yang tinggal setengahnya dan pemantik api.

Tujuh belas tahun telah berlalu sejak sosok suaminya pergi, waktu selama itu harusnya amat cukup untuk membuat seseorang bangkit dari keterpurukan dan melanjutkan hidup. Namun rupanya aturan itu tidak berlaku bagi Anne Lambert yang memilih tertambat pada masa lalu.

Bukannya Theo tak paham. Ditinggal seseorang yang amat dicintai pasti sulit, toh tak mudah juga baginya membiasakan diri hidup tanpa kehadiran sosok ayah, tapi Theo sudah menguatkan diri dan lolos dari pusaran kesedihan itu.

Setidaknya, satu-satunya hal bagus adalah sang ibu tetap cukup kuat dan stabil secara emosional untuk bisa bekerja normal di siang hari. Ketika tidak teler, ibunya merupakan pegawai toko swalayan di dekat alun-alun kota. Namun hanya itu saja kegiatannya. Tidak ada kehidupan bersosialisasi dengan teman sebayanya, apalagi teman kencan.

"Mom, seharusnya kau tak terlalu banyak merokok, itu tidak akan berefek baik pada kesehatan paru-parumu, " keluh Theo memandangi kekacauan yang dibuat Anne Lambert di ruang tamu. "Biar kuantar kau ke kamar tidurmu."

Anne awalnya menolak, enggan berpindah ruangan dan bergumam menyuruh Theo mengurusi dirinya sendiri. Wanita paruh baya yang sesungguhnya masih bisa tampil cantik seandainya mau mengurusi diri sendiri itu tetap bergelung di sofa bagaikan seekor kucing pemalas.

Pikiran jengkel yang muncul ke permukaan benaknya Theo tahan tetap di dalam kepala, dan melilih berujar, "Tidur di sini semalaman tak akan berpengaruh baik pada kesehatanmu. Besoknya kau akan mengeluh sakit punggung dan kau tahu bagaimana tak nyamannya itu."

Diingatkan akan hal tersebut membuat Anne mengalah. Theo harus setengah memapah juga setengah memangku ibunya sendiri ke dalam kamar dan membaringkannya di permukaan seprai.

Saat Theo sedang menyelimuti tubuhnya, Anne tersenyum tipis, sepasang mata cokelat susunya yang hangat menatap Theo dan berkata, "Kau anak yang berbakti, Theodore. Terkadang aku lupa betapa beruntungnya aku soal itu. Aku menyesal tidak bisa memberimu kehidupan yang lebih baik dari ini."

Theo geleng-geleng kepala. Ia duduk di tepi ranjang. "Jangan terlalu memikirkan itu. Setengah teler membuat ucapan Mom agak melantur."

Anne terkekeh kecil. "Tapi itu benar. Secara wajah kau lebih mirip aku, mata cokelat dan rambut hitam, tapi sikap dan keseluruhan penampilanmu selalu mengingatkan aku pada ayahmu. Lembut dan berhati baik. Setidaknya dulu dia begitu."

Rahang Theo mengeras. Kadang ia tak mengerti kenapa ibunya masih sudi membicarakan ayahnya dengan nada kekaguman dan sorot mata takjub yang sama, seolah-olah pria itu tak pernah pergi kabur dari hidupnya.

Harus diakui, telah banyak orang yang berkata bahwa secara fisik Theo agak mirip ayahnya semasa muda, hanya saja warna mata dan rambutnya mengikuti sang ibu, tidak seperti Stefan Robertson yang berambut pirang dan bermata biru. Theo merasa amat beruntung karena itu. Ia tak mau setiap kali bercermin melihat pantulan sosok ayahnya saat masih muda menatap balik padanya.

Namun mungkin itu kebalikannya untuk Anne Lambert, kesulitan melupakan sosok suaminya karena sebuah replika murahan Stefan selalu berjalan mondar mandir di rumah.

"Dad sudah pergi sejak lama, kurasa kita harus berhenti membicarakannya," saran Theo hati-hati, tahu bahwa ini adalah topik sensitif. "Dan apa Mom tahu apa yang bisa membuat hidupku lebih baik dari ini? Melihat Mom melanjutkan hidup. Bersosialisasi lagi dengan teman-teman lama, terlibat dalam kegiatan sosial, atau mungkin pergi berkencan. Pria mana pun itu, Theo takkan keberatan. Theo janji takkan bersikap seperti calon anak tiri yang menyebalkan."

Anne tertawa, seolah Theo telah mengucapkan lelucon bagus, tapi kemudian tawa dan senyumannya lenyap, yang tersisa di wajahnya hanyalah sorot mata kesedihan serta raut lelah. Sepasang matanya terpejam. "Jam berapa sekarang? Aku benar-benar mengantuk."

Bola mata Theo berotasi. "Mengalihkan pembicaraan seperti biasa. Selamat tidur, Mom." Ia pun segera bangkit dan berjalan pergi, mematikan lampu lalu menutup pintu kamar di belakangnya.

Lima belas menit selanjutnya Theo habiskan dengan membereskan kekacauan di ruang tamu. Ia memungut setiap kulit kacang di lantai, mengelap tumpahan minuman di meja, mengosongkan asbak dari abu rokok dan membuang semuanya ke tempat sampah.

Sehabis itu Theo tiduran di sofa, menatap layar TV di atas rak yang menayangkan acara berita. Matanya tertuju ke sana, tapi pikirannya tidak.

Theo sedang berpikir tentang rencana pergi dari kota kecil nan membosankan ini ketika tubuhnya merasakan rumah berguncang.

Ia berusaha agar tidak panik. Gempa bumi bukan hal baru di hidupnya, dan Theo sedikit banyak sudah tahu bagaimana bersikap di situasi semacam ini. Ia tunggu sampai getaran bumi mereda, tapi kemudian lampu dan televisi di hadapannya padam. Jadilah Theo terduduk di sana sendirian dalam kegelapan total.

Bukan hal baru juga, Theo berpikir. Bencana alam terkadang berefek pada aliran listrik. Pasti akan kembali normal dalam beberapa waktu ke depan. Terdengar suara beberapa benda jatuh, mungkin bingkai foto yang menempel di dinding. Setidaknya fondasi rumah masih tampak kokoh, tidak ada keretakan di dinding yang Theo dengar.

Gempa bumi itu berlangsung sekitar tiga menit penuh, menjadi yang terlama dan terhebat yang pernah dirasakannya. Saat permukaan di bawah kakinya telah stabil lagi, Theo tetap membeku selama beberapa menit ke depan siaga akan gempa susulan. Sepuluh menit berlalu tidak ada yang terjadi. Keadaan tetap gelap gulita.

Hal yang pertama dilakukan ketika kebekuannya mencair adalah merogoh ponsel dalam saku celana, menggunakan fitur senter untuk membantunya menemukan lilin dan pemantik api. Sumber penerangan bertambah ketika lilin itu berhasil dinyalakan.

Tidak ada suara keributan apa-apa dari dalam kamar ibunya. Anne pasti sudah tertidur pulas sampai tak menyadari guncangan gempa yang terjadi tadi.

Mencoba memeriksa keadaan, Theo mengintip dari jendela melihat keadaan di luar rumah. Jalanan amat sepi. Situasi di rumah para tetangga sama gelapnya. Kemudian beberapa orang---tetangga yang dikenalnya---muncul keluar dari dalam rumah membawa sumber penerangan sendiri, pasti hendak membicarakan bencana yang baru saja berlangsung. Berbagi informasi.

Theo tidak berminat bergabung dalam obrolan itu.

Alih-alih dirinya pergi ke kamar untuk tidur. Toh tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Ia bisa mengecek kerusakan yang ada di rumahnya besok pagi atau nanti ketika listrik telah mengalir kembali. Mematikan fitur senter di ponselnya, Theo tidur dengan cepat di tengah kegelapan. Nyenyak tanpa mimpi.

Tahu-tahu saja Theo terbangun karena mendengar gedoran di pintu depan rumah.

Dirinya mengeluh bertanya-tanya siapa yang datang bertamu di pagi-pagi seperti ini. Membangkitkan tubuhnya dari ranjang, Theo langsung tersadar bahwa aliran listrik masih belum kembali.

Dengan langkah tertatih ia berjalan ke depan. Terkejut melihat sosok Gabe yang berada di balik pintu.

"Bung!" seru Gabe lantang, meraungkan kata sapaan itu. Wajahnya tampak kacau, kantung mata menghitam akibat kurang tidur. Pakaiannya pun basah oleh keringat dan dikotori tanah di beberapa bagian. "Aku sudah menggedor pintu rumahmu dari tadi."

"Woh, tenang, Man. Kau tampak kacau," timpal Theo mempertahankan keheranannya. "Lagi pula apa alasanmu datang ke sini pagi-pagi?"

Gabe mengatur napasnya sebelum berkata, "Apa kau mengalami hal aneh tadi malam?"

"Gempa bumi maksudmu?" Salah satu ujung bibir Theo terangkat, merasa konyol bahwa temannya rela mendatanginya kemari hanya untuk bertanya itu. "Ya, aku merasakannya juga. Jika kau sungguh-sungguh datang kemari hanya untuk menanyakan itu---"

"Bukan hanya itu," potong Gabe cepat. "Sesuatu yang aneh terjadi di peternakan. Sesuatu yang belum pernah aku saksikan sebelumnya."

"Oke. Apa itu?"

Gabe menatap matanya lurus-lurus tanpa secercah sorot humor, dan berkata, "Kau harus melihatnya sendiri. Aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik. Ikut aku."

°°°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro