Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Here Some Misery

Theo terduduk di sebuah bangku panjang berbahan kayu yang tergeletak di depan gedung kandang peternakan. Kepalanya terangkat, manik matanya yang berwarna cokelat gelap tertuju pada langit malam. Meski begitu, isi pikirannya tidak sedang berkelana di antara konstelasi bintang, melainkan sesuatu yang jauh berbeda.

Jam kerjanya di peternakan sudah berakhir setengah jam yang lalu, dan tugas harian di sini pun telah selesai dikerjakan bersama Gabe. Namun Theo belum berkeinginan untuk pulang menuju rumahnya. Dirinya hanya tinggal berdua bersama sang ibu, yang pada saat ini wanita itu pasti sudah menenggelamkan dirinya dalam pengaruh alkohol, meracau tentang betapa kepergian suaminya yang terjadi belasan tahun silam mengubah hidupnya menjadi segumpal kesengsaraan semata.

Tidak. Theo tak tertarik menyaksikan itu. Ia lebih betah di sini, mengobrol satu dan dua hal bersama temannya sampai larut malam.

Suara langkah kaki mendekat membuat kepala Theo menoleh seketika, yang dilihatnya adalah Gabe, telah mengenakan jaket berbahan tebal dan celana panjang penangkal hawa dingin.

"Hai, Bung. Lihat apa yang kubawa," ujar Gabe pongah. Tangan kirinya menjinjing sebuah keranjang piknik kecil berisi berbagai macam minuman kalengan: bir, soda, cola dan bahkan sebotol minuman anggur fermentasi. "Setelah bekerja keras seharian tadi, kurasa sudah saatnya kita memanjakan diri sendiri."

Theo terkejut melihat yang dibawa temannya, tapi juga senang. "Kau membawa semua minuman persediaanmu? Aku tak tahu kau bahkan punya persediaan Wine."

Gabe menghempaskan tubuh, meletakkan pantatnya di bangku tepat di sebelah Theo. Sekeranjang minuman itu ia letakkan di tanah berumput dekat kaki keduanya. "Kau sungguh-sungguh berpikir aku mampu membelinya? Tentu saja tidak. Aku mengambilnya dari persediaan milik Mr. Clinton di ruang bawah tanah pondok."

"Kau cari gara-gara," ujar Theo memperingati. Ia raih sebotol anggur itu dan memutar-mutarnya di tangan. "Jika dia sampai tau sebotol anggurnya hilang, kau akan langsung dipecat dan ditendang dari sini."

Berbeda dengan Livia dan Theo, setelah jam kerja berakhir Gabe tidak pulang ke mana-mana. Peternakan kuda inilah rumahnya. Lebih tepatnya Gabe tinggal di sebuah pondok kayu yang terletak hanya beberapa meter jauhnya di belakang gedung ternak.

Secara resmi Gabe diserahkan tanggung jawab untuk mengelola River Creek sepenuhnya, sementara sang pemilik peternakan sendiri tinggal di kota lain menjalani gaya hidup hedonis bersama keluarganya, Mr. Clinton hanya datang ke sini mengecek keadaan paling sering satu pekan sekali.

Namun tetap, selama Mr. Clinton tak berada di sini, Gabe diwajibkan melapor mengenai keadaan peternakan dalam setiap aspek, termasuk jika ada pihak yang berkeinginan membeli salah satu kudanya.

"Kalau jadi kau aku tak akan cemas," Gabe menimpali ucapan Theo. "Persediaan anggurnya lumayan banyak di bawah sana. Dia takkan sadar ada satu botol yang hilang. Dan sudahkah aku memberitahumu kalau dia pelupa? Dia pernah bertanya tentang keberadaan seekor kuda, yang dia lupa telah menjualnya pada seorang saudagar kaya dari Montanna seminggu sebelumnya."

Theo terkekeh, berpikir mungkin memang pencurian sebotol anggur ini tak perlu dicemaskan. Ia letakkan botol itu kembali ke keranjang dan meraih sekaleng bir sebagai gantinya. Gabe melakukan hal yang sama; hanya saja satu kaleng soda yang diambilnya.

Suasana hening selagi keduanya membuka kaleng dan mengambil sesapan pertama. Hanya terdengar suara beberapa kuda meringkik dan mendengus dari dalam kandang.

Gabe menurunkan kaleng minumannya, kemudian bertanya, "Hey, Man. Bagaimana kabar ibumu? Apa dia masih, kau tahu lah, menggerutu dan mengeluh soal kepergian ayahmu?"

Menyipitkan mata, Theo turut menjauhkan kaleng minuman dari bibirnya. Dirinya tak begitu suka jika permasalahan itu dibahas, tapi yang bertanya ini adalah Gabe yang sudah mentraktirnya sekaleng beer. Dan Theo tau bahwa Gabe benar-benae peduli. Maka Theo menjawab, "Mom masih kacau seperti biasa. Kau pikir apa alasanku lebih memilih berlama-lama di sini dibanding berada di rumah bersamanya?"  

Cengiran tak enak hati tersungging di mulut Gabe. Tatapan penuh prihatinnya begitu tulus membuat Theo harus menahan diri agar tak memalingkan wajah.

"Sial, aku benar-benar ikut kesal kau harus melalui itu, Bung. Menyebalkan." Gabe lalu mengangkat kaleng minuman ke arahnya, mengajak bersulang. "Untuk Stefan Robertson, si pecundang yang kabur ketika istri dan putranya teramat membutuhkannya."

Mau tak mau Theo berjengit mendengar nama sang ayah disebut sambil lalu, tapi ia menerima ajakan bersulang Gabe dengan santai. Sekali lagi cairan bir mengalir ke kerongkongannya.

Percaya atau tidak, nama asli Theo ketika lahir adalah Theodore Robertson, mengikuti nama belakang sang ayah. Kehidupan berjalan mulus sampai Theo berumur tujuh tahun. Problematika bermula dari hal yang biasa terjadi, pertengkaran-pertengkaran kecil orangtuanya atas hal sepele, masalah finansial, krisis keuangan yang menimpa keluarga dan sekelumit masalah rumah tangga lain.

Hingga suatu ketika, ayahnya memutuskan untuk menyerah dan kabur. Kehidupan berkeluarga bukan gaya hidup yang cocok untuk sang ayah, Theo rasa. Stefan Robertson mengepak barang-barangnya di suatu malam, diam-diam ketika Theo kecil dan ibunya masih terlelap. Tidak ada sepucuk surat, kata perpisahan atau pertanda bahwa dia akan pergi. Di pagi hari pria itu sudah hilang sepenuhnya, tak ada satu pun sarana komunikasi yang berhasil membawanya kembali. Anne Lambert---ibu Theo---berubah menjadi wanita yang selalu bermuram durja sejak saat itu sampai kini.

Theo amat membenci pria itu karenanya. Sikap sang ayah yang amat egois mementingkan diri sendiri. Saat sudah cukup umur, Theo memutuskan untuk membuang nama belakang ayahnya dan menggantinya dengan nama keluarga sang ibu. Saat itulah nama Theodore Lambert tercipta, rasanya seolah terlahir kembali.

Terkadang Theo bertanya-tanya di mana sosok ayahnya berada sekarang. Theo tahu bahwa sebelum bersama ibunya, Stefan adalah seorang anak band lokal yang kurang ternama di kota asalnya.

Mungkin pria itu mengejar mimpi lamanya kembali, bergabung ke sebuah band, bermain dari satu panggung ke panggung lainnya, dari satu kafe ke kafe lainnya, sambil sesekali meniduri wanita cantik yang kedapatan tertarik padanya. Melupakan istri dan anaknya yang terlantar di kota kecil nan terpencil, Riverside.

Menjijikkan. Begitu memuakkan. Tanpa sadar Theo mengepalkan satu tangannya yang bebas.

Di mata Theo, lebih mudah membayangkan bahwa sang ayah sudah mati.

°°°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro