Preview PDF Berbayar
Izakaya dengan lampu temaram yang tidak terlalu luas itu cukup ramai dipadati pengunjung meski jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Pengunjung mayoritas dipenuhi para karyawan kantoran yang menikmati alkohol bersama rekan-rekan mereka.
Sakura sedang beruntung malam ini. Salah satu meja di sudut ruangan yang bersisian dengan tembok sedang kosong ketika dia sampai. Pengunjung yang datang sebelum dia dan Sasuke baru saja meninggalkan meja mereka. Dengan sedikit bergegas, Sakura langsung duduk dan memesan alkohol gelas pertamanya.
Sasuke sendiri tidak berniat minum malam ini meski sebetulnya ingin. Dia lumayan kuat dengan alkohol, namun tak ingin mengambil resiko ketika bersama Sakura. Jadi dia hanya memesan the dan memesan nikujaga (sejenis semur daging sapi dengan wortel dan kentang yang gurih), yakitori asin dan teh hijau.
"Ah ... sesekali minum-minum sepulang kerja enak juga, ya," ucap Sakura sesudah meneguk high ball, alkohol pesanannya.
Sasuke tak menanggapi. Ketimbang menanggapi Sakura, ia malah fokus memperhatikan ekspresi wajah perempuan yang duduk di seberangnya. Ia menduga Sakura pasti akan minum banyak alkohol kalau ia tidak memperingati.
"Eh, tapi kau benar-benar tidak mau pesan alkohol, nih? Rasanya kurang enak kalau aku minum sendiri."
Sasuke menggeleng. 'Minum saja. Nanti kuantar pulang.'
"Kau sungguhan tipe yang tidak minum sama sekali kalau menyetir?"
Sasuke mengalihkan pandangannya. Haruskah ia mengaku jujur? Kadang-kadang, dia minum sedikit alkohol meskipun akan menyetir.
'Nikujaganya enak. Mau coba?'
Sakura melirik semangkuk nikujaga yang sudah dimakan Sasuke. Biasanya lelaki itu menawarkan kalau belum disentuh. Kalau sekarang dia mengambilnya, sama saja ciuman secara tidak langsung.
"Hey, kau mengalihkan topik, ya? Pasti sebenarnya iya, kan?
Sasuke masih tak menjawab. Ia memberikan setusuk yakitori daging paha ayam berbumbu asin pada Sakura. Namun diam-diam dia mengangguk.
Sakura kembali menenggak alkoholnya. Ia menyadari Sasuke yang mengangguk diam-diam. Di matanya, reaksi lelaki itu benar-benar menggemaskan hingga ia tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
"Aku bisa melihat reaksimu, lho. Aku benar-benar tak mengira kau punya sisi manis begini."
Sesaat, wajah Sasuke merona. Rasanya ia bisa bereaksi lebih terbuka pada perempuan itu. Emosinya bahkan terlihat jelas di raut wajahnya.
"Yah, kalau dipikir-pikir, kau memang manis. Siapa yang menggambar bunga di setiap latte pesanan tamu? Matamu berbinar-binar setiap makan apapun yang pakai tomat,"
'Itu teknik marketing. Biar menarik pengunjung'
Sasuke tidak mau mengaku. Namun akhir-akhir ini Sakura memperhatikan bentuk bunga di atas latte yang dibuat Sasuke. Bunga yang diberikan Sasuke tidak selalu sama. Kadang, meskipun dua orang datang berkunjung dan sama-sama memesan latte, Sasuke bisa memberikan gambar yang berbeda.
Terkadang ada juga pengunjung anak-anak yang datang dan dipesankan menu latte non kopi. Lalu Sasuke akan mengambar latte berbentuk hewan yang lucu.
"Tapi lattemu sungguhan cantik. Terkadang aku penasaran apa arti gambar di setiap latte itu? Aku penasaran dengan latteku."
'Aku cuma asal gambar.'
"Bohong! Kalau memang asal gambar, kenapa kau selalu menggambar bunga gardenia?" cecar Sakura.
Sasuke mengembuskan napas perlahan. Sakura pasti akan terus mendesak kalau ia tak menjawabnya. Jadi mau tak mau ia menjelaskan.
'Good luck.'
Sesaat, Sakura terdiam. Ia pikir Sasuke akan menjelaskan. Namun lelaki itu malah diam dan kini memakan yakitorinya.
"Hah? Maksudmu? Kenapa menulis pesan begitu?"
'Itu pesan standar, kan? Aku bisa memberi pesan begitu ke siapa saja.'
"Aku masih ingat, kau bertanya soal pekerjaanku. Lalu aku merasa kau seolah bilang 'semoga beruntung'. Aku sampai mencari arti bunga gardenia, lho."
Wajah Sakura sedikit merona. Entah kenapa, lampu izakaya yang remang-remang dan suara percakapan orang di meja-meja lain membuat Sakura seolah terbawa suasana. Mendadak, ia jadi lebih jujur terhadap isi hatinya sendiri. Apalagi kalau ditemani alkohol.
Sakura melirik Sasuke. Sesaat ia bisa melihat ekspresi wajah Sasuke yang seolah sedang tersipu.
Sasuke kembali mengambil yakitori yang masih tersedia di piringnya. Lelaki itu jelas-jelas sedang berusaha menghindar. Ia tak ingin menanggapi Sakura, namun sebetulnya ia merasa senang karena perempuan itu sampai repot-repot mencari maknanya. Artinya ... pesan yang ingin ia sampaikan telah tersampaikan pada Sakura.
"Terima kasih karena kau sudah mem-betaread karyaku, lho. Rasanya, karyaku jadi lebih keren sesudah kubaca ulang. Aku sampai sulit percaya kalau itu novel yang kutulis."
Sasuke menganggukan kepala dan tersenyum tipis. Ia benar-benar berharap karya Sakura sungguhan lolos ke penerbit. Rasanya ia begitu ingin mengenalkan karya Sakura pada editornya, namun ia yakin Sakura pasti ingin berusaha keras sendirian.
'Kau sudah kirim karyamu ke penerbit?'
"Belum. Kalau epilognya selesai, kau pasti bakal jadi orang pertama yang kuperlihatkan naskahnya sebelum kukirim ke penerbit," ucap Sakura seraya tersenyum.
Di mata Sasuke, senyuman Sakura yang ditujukan khusus untuknya terlihat begitu manis. Rasanya ia ingin melihatnya lagi. Hatinya bahkan ikut menghangat tiba-tiba, seolah seseorang baru saja mendekapnya.
'Kabari aku kalau kau sudah kirim ke penerbit.'
Sakura mengangguk. Sasuke benar-benar peduli pada kelanjutan naskahnya. Ia berharap karya kali ini sungguhan akan sukses. Bukan demi dirinya, melainkan agar tidak mengecewakan kerja keras Sasuke.
"Aku berharap karyaku diterima. Kalau karyaku sampai terjual di toko buku sungguhan, aku akan membagi 40 persen royalti untukmu," ucap Sakura.
Sasuke menggeleng. Sejak awal, ia sama sekali tidak mengharapkan royalti kalau novel Sakura sungguhan terjual. Toh ia hanya meluangkan sedikit waktu dan tenaga untuk membaca karya Sakura, lalu memberi kritik dan saran.
'Kalau karyamu sampai terjual di toko buku, kau harus menyimpan uangnya dengan baik. Tidak perlu membagi untukku. Aku cuma mengecek karyamu.'
Sakura setengah mendesak. Ia merasa benar-benar tidak enak karena Sasuke sampai memberi pekerjaan dan repot-repot membantunya. Meski ia tahu Sasuke tidak kekurangan uang, ia perlu memberi apresiasi atas kerja keras lelaki itu.
"Mengecek apanya? Kau sampai memberi kritik saran buat ceritaku. Aku sampai berpikir kalau aku punya mentor pribadi. Bahkan editor di penerbit minorku saja tidak sampai sebegitunya."
Sasuke sedikit mengangkat sudut bibirnya, memperlihatkan seulas senyum. Sebetulnya, dia merasa malu pada dirinya sendiri. Rasanya, seolah dia tengah bersikap sombong. Tanpa sadar, dia malah bersikap berlebihan dan menggurui perempuan itu.
Sekarang Sasuke baru sadar kenapa Sakura mencurigainya sebagai penulis. Jangan-jangan, apa yang ia lakukan selama ini menyiratkan identitasnya yang sesungguhnya. Padahal dia hampir tidak pernah membaca novel romansa, namun dia pun terlarut ketika membaca novel Sakura.
'Anggap saja kau beruntung. Jasa gratis tidak selalu tersedia, lho.'
"Justru karena aku dapat jasa mentor pribadi gratis, aku jadi semakin tidak enak."
Sasuke mengangkat gelas tehnya dan meneguknya. Ia menatap perempuan di hadapannya dan kembali tersenyum.
'Kalau kau begitu memaksa, aku ingin makan bersamamu sekali lagi sesudah kau meninggalkan kafe. Aku ingin mendengar kabarmu.'
Ucapan Sasuke membuat jantung Sakura seolah mencelos. Lagi-lagi, lelaki itu membahas soal meninggalkan kafe, seolah sedang mengusirnya.
Sakura menghabiskan segelas umesyu dengan sangat cepat, seolah berusaha membuat dirinya sedikit mabuk. Lampu yang temaram dan kepalanya yang mulai terasa lebih ringan seolah membuat bebannya sedikit terangkat.
Ia lalu mengembuskan napas perlahan dan menyahut, "Maaf karena kinerjaku benar-benar mengecewakan selama di kafe. Jangan-jangan selama ini kau berusaha menahan diri agar tidak memecatku."
Sasuke menggeleng. Terkadang Sakura melakukan kesalahan. Namun bukankah itu sangat wajar? Sakura bahkan tak memahami bahasa isyarat awalnya. Selama perempuan itu bekerja keras dan mau mempelajari tugasnya di kafe, dia tak keberatan.
'Aku tidak berpikir begitu.'
Sasuke menelan kalimat selanjutnya untuk dirinya sendiri. Namun sebetulnya ia merasa kafe berbeda dengan keberadaan Sakura. Dia menikmati keberadaan Sakura hingga rasanya ingin melihat perempuan itu di kafe setiap hari.
Sakura menenggak alkohol lain yang ia pesan hingga tersisa setengah gelas. Ia kemudian berkata, "Kalau begitu, seandainya kau membolehkan, aku ingin terus bekerja di kafe. Aku merasa ... di sana tempat yang nyaman untukku."
Sasuke terdiam. Inikah isi hati Sakura sesunguhnya? Perempuan itu bahkan minum dengan cepat, seolah sengaja berniat membuat dirinya sendiri mabuk.
'Bukankah kau ingin bekerja di kantor? Aku sudah merekomendasikanmu di kantor tempat kakakku bekerja.'
"Terima kasih atas tawaranmu, Sasuke. Aku ingin bekerja di kafe selama kau tidak memecatku."
Alkohol yang sejak tadi terus diminum Sakura membuat perempuan itu berbicara lebih jujur. Wajahnya bahkan sudah memerah sekarang. Rasanya sebentar lagi Sasuke harus mengantar perempuan itu pulang.
'Kau masih belum mabuk, kan? Kalau begitu, aku tidak akan menjelaskan dua kali.'
Sasuke kembali menggerakkan tangannya begitu Sakura mengangguk. Entah kenapa, ia pun seolah terbawa suasana izakaya. Meski tidak minum alkohol, ia pun menjadi lebih terbuka dengan perasaannya.
'Kau bisa bekerja di tempat yang lebih baik dari kafe, Sakura.'
Sasuke berhenti sejenak sebelum menjelaskan panjang lebar, 'Aku mengharapkan yang terbaik untuk masa depanmu. Aku ingin kau bekerja di tempat yang punya jenjang karier, bisa mengobrol bersama teman-teman kerjamu, mungkin menemukan pasangan di sana. Bahkan aku tidak berharap Naruto dan yang lain bekerja di kafe selamanya.'
Sasuke kembali meneguk tehnya. Menjelaskan panjang lebar soal perasaannya membuatnya lelah tiba-tiba. Biasanya ia tak melakukan hal ini, namun ia berpikir untuk menyadarkan Sakura dan sebisa mungkin tidak menyakiti perempuan itu.
'Kudengar, Uchiha Group salah satu tempat kerja idaman. Aku tidak tahu bagaimana situasi kerja di sana. Kalau banyak yang mengincar, seharusnya itu perusahaan yang bagus. Aku cuma bisa merekomendasikanmu ke sana. Sisanya bergantung padamu.'
Kalau saja Sakura tak pernah bekerja di kafe, ia pasti akan mengiyakan tanpa berpikir dua kali. Namun ia merasa dilema sekarang. Haruskah ia menerima tawaran lelaki itu?
"Terus, aku tidak bisa bertemu denganmu dan teman-teman lain di kafe?"
Sebetulnya, Sasuke bisa saja mengambil cara singkat dengan mengatakan kalau dia memecat Sakura sehingga perempuan itu tak perlu lagi bekerja di kafe. Namun ia memilih berbicara panjang lebar karena tak ingin menyakiti Sakura. Ia tak tahu sejak kapan ia jadi lebih memerhatikan perasaan Sakura dan begitu ingin menjaganya.
'Kesempatan tidak datang dua kali. Kali ini aku bisa menjamin surat lamaranmu dibaca.'
Sakura merasa cara Sasuke membahas Uchiha Group dan kakaknya sendiri agak lucu. Padahal mereka berdua sama-sama tahu kalau Sakura sudah pernah bertemu dengan keluarga Sasuke.
Ketika berkunjung, Sakura memperhatikan foto keluarga yang terpasang dan menyadari hubungan Sasuke dan perusahaan itu. Itachi pun bukan sekedar pegawai biasa. Namun Sasuke seolah berusaha mengesankan kalau kakaknya hanya sekedar pegawai yang kebetulan bekerja di perusahaan terkenal.
"Sasuke ... bagaimana kalau aku ingin bersamamu?" ucap Sakura tanpa tedeng aling-aling. Alkohol mulai berefek pada tubuhnya meski ia menyadari sepenuhnya apa yang ia katakan.
Wajah Sasuke merona. Ini pertama kalinya seorang perempuan mengaku menginginkannya secara terus terang. Ia mengepalkan salah satu tangan dengan erat, berusaha meyakinkan kalau Sakura hanya ingin bekerja dengannya, bukan menginginkan secara romansa.
Sasuke menggeleng. 'Aku ingin kau hidup dengan baik. Setidaknya, kalau kau sampai berhasil diterima di Uchiha Group, coba saja bekerja di sana setahun. Kalau kau tidak nyaman, kau bisa kembali ke kafe.'
Sesudahnya, Sasuke menepuk bahu Sakura dengan pelan. Ia bangkit berdiri dan segera berjalan menuju kasir, berniat membayar semua pesanan. Ia yakin Sakura sudah mulai mabuk hingga ia tak melepaskan pandangan sama sekali dari Sakura.
Sakura yang baru menyadari apa yang dilakukan Sasuke karena mulai sedikit pusing segera bangkit berdiri dan berlari sambil berseru, "Sasuke, kau ngapain? Aku yang bayar!"
Beberapa orang menoleh, membuat mereka berdua menjadi pusat perhatian untuk sesaat. Namun Sasuke kembali menepuk-nepuk bahu gadis itu dengan pelan, 'Ayo pulang.'
Sakura yang mulai sempoyongan berusaha berjalan mengikuti Sasuke. Namun Sasuke berhenti dan berjongkok, memaksa Sakura naik ke punggungnya. Sakura tak menolak sama sekali, ia segera naik dan memejamkan mata.
Sasuke tak menyadari kalau Sakura sebetulnya masih belum tertidur. Perempuan itu menyandarkan kepalanya dan menghirup aroma parfum yang menguar dari tubuh Sasuke.
Rasanya ... Sakura ingin waktu terhenti sekarang juga. Diam-diam dia berbisik tanpa suara, memastikan Sasuke tak akan mendengarnya.
"Aku suka padamu, Sasuke."
-Bersambung-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro