Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 14 (Direvisi)

"Orang itu gila, ya?" tanya seorang anak laki-laki yang usianya tak lebih dari sepuluh tahun seraya melirik seorang lelaki muda berambut hitam yang berjarak beberapa langkah darinya.

Seorang gadis kecil yang berada di sampingnya segera menatap rekannya dengan tajam, "Hey, jangan begitu. Dia bisu, tahu."

Lelaki muda yang menjadi subjek konversasi mereka terlihat berwajah datar meski diam-diam melirik kedua anak kecil itu dengan ekor matanya sekilas. Sesungguhnya ia ingin segera melarikan diri dari gedung resepsi pernikahan jika memungkinkan, sayangnya ia sama sekali tak bisa melakukannya. Ia masih harus berada di gedung selama keluarganya belum meninggalkan lokasi pesta.

Sasuke segera menepuk bahu Itachi yang berdiri tak jauh darinya. Lelaki itu terlihat asik mengobrol dengan saudara lainnya dan sama sekali menyadari apa yang baru saja dialami sang adik.

Itachi segera menoleh dan Sasuke segera menggerakkan tangannya, 'Aku mau ke toilet.'

"Cepat, ya. Acara nya mulai lima belas menit lagi."

Sasuke hanya menganggukan kepala dan ia segera melangkah dengan cepat. Dadanya terasa sesak dan ia memerlukan waktu untuk mendinginkan kepalanya meski emosinya sedikit kacau. Ia kesulitan mempertahankan raut wajah datar yang selama ini selalu diperlihatkan kepada orang lain.

Ia sedikit berlari dan mendorong pintu toilet pria dengan kasar sehingga membuat dua orang pria lain yang berada di urinoir meliriknya. Namun ia tak mempedulikannya dan segera masuk ke dalam bilik serta menutup pintu tanpa peduli jika mungkin saja beberapa orang mengernyitkan dahi melihatnya.

Tangan lelaki itu segera menyentuh penutup kloset dan ia segera menutupnya kemudian duduk di atas kloset serta memejamkan matanya. Ia merasa sedikit lebih tenang saat ini setelah sebelumnya dadanya terasa seolah akan meledak.

Napasnya seolah sesak. Tubuhnya mendadak terasa lemas dan ia menahan diri agar tidak melarikan diri dari gedung resepsi dan pulang ke rumah. Ia tidak menyangka sebuah pertanyaan polos dari seorang anak kecil bisa membuatnya emosional begini.

Sasuke merasa tidak nyaman. Ia merasa malu dan begitu bersalah karena telah mempermalukan keluarganya akibat eksistensinya. Ia merasa begitu bersalahan karena telah lahir dan bertumbuh besar serta hidup hingga detik ini sehingga membebani orang lain.

Bagaimana bisa seorang anggota keluarga pemilik saham terbesar di sebuah korporasi dianggap sebagai orang gila oleh seorang bocah yang berusia tak lebih dari sepuluh tahun? Mau dikemanakan harga diri keluarganya? Sasuke menyesal karena ia tidak bersikeras menolak ketika kakak sepupunya memintanya untuk menjadi best man di acara pernikahannya.

"Akh," Sasuke mengeluarkan suara yang terdengar seperti orang yang tercekik. Tenggorokannya bahkan terasa seolah tercekat dan napasnya pun sedikit sesak. Sesuatu pasti telah mencuri logika yang selama ini digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan maupun caranya bertindak.

Sasuke memejamkan mata dan mengatur napasnya, berusaha menenangkan dirinya. Harusnya ia tahu diri, dengan berusaha tidak menunjukkan kondisinya yang sesungguhnya di tempat umum. Ia baru saja menghancurkan pernikahan seseorang secara tidak langsung.

.

.

Sasuke membuka matanya dan terbangun dengan napas yang tersengal-sengal. Ia bukanlah orang yang sering bermimpi, namun entah kenapa ia malah teringat dengan kejadian lebih dari lima tahun yang lalu dan ia merasa sesak.

Tak banyak orang yang menyadarinya, namun sebetulnya Sasuke tak sedingin yang terlihat. Raut wajah lelak itu memang datar dan ia jelas bukan orang paling ramah di antara teman-temannya, namun terkadang ia cukup emosional. Ketika ia bersikap emosional, tak banyak orang yang menyadarinya karena biasanya ia menyimpan untuk dirinya sendiri.

Ia segera bangkit berdiri dan meraih sebotol air mineral yang ia letakkan di atas nakas tepat di samping tempat tidurnya serta meminumnya. Dadanya masih terasa sedikit sesak dan perasaan yang ia rasakan saat itu masih terasa begitu nyata, seolah ia benar-benar mengalaminya sendiri.

Tatapannya tertuju pada jam yang tertera di dinding. Jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi saat ini. Namun apartemennya bahkan menempati satu lantai penuh di gedung pencakar langit. Ia yakin tak akan menganggu siapapun meski ia memainkan piano di tengah malam.

Sasuke membuang botol air mineralnya ke dalam tong sampah dan menghampiri piano yang terletak tak begitu jauh dari kamarnya. Ia terbiasa memainkan piano ketika perasaannya terasa begitu sesak dan akan merasa lebih tenang setelahnya.

Jemari panjang nan lentik milik lelaki itu segera mengangkat penutup piano sebelum menatap sekeliling, memastikan jika tak ada orang yang akan mendengarnya jika ia bermain piano di tengah malam. Toh ayahnya sedang berada di luar negeri dan ibunya sedang pergi berlibur bersama teman-teman sosialitanya sehingga memutuskan untuk segera memainkan lagu yang ia ingat karena tak ada seorangpun yang akan terganggu dan mengeluhkan tindakannya.

Jemari lelaki itu segera menekan tuts hitam putih dan menari di atasnya dengan gerakan lincah, memainkan Fur Elise, lagu dengan tempo yang lumayan cepat namun cukup sedih, seolah berniat menyuarakan isi hatinya.

"Ah!"

Suara pekikan seorang lelaki membuat permainan piano Sasuke berhenti seketika dan ia segera menoleh. Ia terkejut mendapati Itachi sedang berada di belakangnya seraya menatapnya dengan mata yang sedikit terbelalak. Lelaki itu bahkan hampir menjatuhkan gelas yang ia pegang jika tidak segera memegang dengan tangan lainnya.

"Kau membuatku kaget. Ngapain kau tengah malam begini?"

Sasuke melirik Itachi dan segelas kopi yang berada di tangannya sebelum menjawab, 'Kau?'

Itachi mengangkat sudut bibirnya serta tersenyum kecut. Ia lupa kalau sang adik memiliki kebiasaan membalik pertanyaan kalau mau mengelak, entah menurun dari siapa.

"Lembur. Kau?"

Sasuke tak menyahut dan ia segera mengambil gelas kopi dari genggaman tangan Itachi serta langsung meminumnya. Alis Sasuke mengernyit seketika saat rasa manis yang menurutnya berlebihan memasuki indra pengecapnya dan ia hampir menyemburkan kopi itu ke wajah Itachi.

"Kopiku manis."

Sasuke tak menyahut dan ia berlari menuju dapur serta memuntahkan kopi itu serta menyalakan keran dan menggunakan air keran untuk berkumur. Persetan dengan higienitas, yang penting ia bisa menghilangkan rasa tidak enak itu dari mulutnya. Ia tak pernah suka dengan rasa air keran meski air keran aman dikonsumsi. Namun setidaknya air keran jauh lebih baik dari kopi milik Itachi.

Itachi melirik gelas kopinya sendiri dan berusaha mengingat di bagian mana sang adik meletakkan bibir pada gelas untuk menghindari bagian itu. Setelah merasa yakin, Itachi segera meminum kopi buatannya yang menurutnya biasa saja namun pasti akan sangat manis bagi Sasuke. Ia hanya memasukkan satu setengah sendok gula pasir di dalam segelas kopi hitam.

"Lain kali jangan seenaknya mengambil minuman orang," ujar Itachi setelah menyesap cairan berkafein itu dan menatap sang adik yang baru saja kembali dengan ekor mata.

Sasuke tak menyahut. Masih terdapat after taste yang tidak enak meski Sasuke sudah meminum seteguk air keran. Ia menyesal karena berpikir ingin meminum kopi tanpa harus repot-repot membuatnya dengan mengambil kopi Itachi. Ia lupa jika sang kakak adalah pecinta rasa manis.

"Kau baik-baik saja?"

Sasuke mengernyitkan dahi. Meski ia sudah menghabiskan sepanjang hidupnya bersama lelaki itu, ia masih merasa terkejut dengan Itachi yang seolah bisa membaca pikirannya.

Sasuke sama sekali tidak tahu jika Itachi begitu memahaminya berkat observasi yang dilakukan lelaki itu setiap berinteraksi dengan nya. Itachi bahkan bisa menyadari perbedaan cara Sasuke menatap yang menggambarkan perasaan lelaki itu meski raut wajahnya tetap datar.

"Hn."

Itachi menatap Sasuke dan menyadari kebohongan yang terlihat nyata di matanya. Ia tahu jika Sasuke bukanlah orang yang terbiasa bangun di tengah malam dan ia bahkan tahu lagu-lagu yang biasanya akan dimainkan Sasuke jika suasana hatinya sedang buruk.

"Fur Elise?" Itachi menatap sang adik lekat-lekat, "Kalau suasana hatimu sedang bagus, kau tidak mungkin memainkan lagu ini."

Sasuke membelalakan mata secara refleks dan membuka mulutnya sesaat sebelum mengalihkan pandangan untuk menghindari tatapan Itachi. Ia tak tahu bagaimana bisa Itachi menyadarinya meski ia tak pernah bercerita apapun mengenai kebiasaannya.

Bahkan Sasuke sendiri tak sadar jika ia memiliki kebiasaan untuk mengkomunikasikan perasaannya melalui tindakan, entah melalui pilihan lagu yang dimainkan saat bermain piano atau melalui latte art untuk setiap pengunjung kafe.

'Aku hanya asal memainkan lagu.'

Itachi menyeringai dan berkata, "Tidak usah menipuku. Aku bahkan tahu berapa jumlah cacing di perutmu."

Biasanya Sasuke pasti akan mengeluh soal ucapan Itachi yang seperti ibu-ibu dan terkadang meledek sang kakak yang tidak memiliki kekasih karena sikapnya. Namun kali ini ia sedang tak ingin bicara dan berniat menuju dapur. Ia pikir segelas wine di tengah malam akan mendinginkan pikirannya.

Sasuke baru saja berjalan dua langkah ketika Itachi menarik tangannya dan membuatnya menoleh.

"Berikan aku segelas, ya."

Sasuke mengangguk. Lelaki itu tidak tahu kalau ia berniat mencampur setiap jenis wine di dispenser wine miliknya khusus untuk Itachi.

.

.

"Ini wine apa, sih?" seru Itachi ketika cairan merah beralkohol itu menyentuh indra pengecapnya.

Itachi merasa heran dengan wine yang diberikan Sasuke. Rasanya aneh dan sulit dijelaskan, yang jelas rasanya tidak enak. Rasanya wine yang selama ini diberikan Sasuke tidak pernah seburuk ini.

'Wine.'

Itachi meringis tiba-tiba. Ia menyadari jika wine mahal memiliki after taste berupa rasa dan aroma yang cukup kuat. Dan rasa yang tidak enak itu masih tertinggal di mulutnya saat ini. Bahkan rasanya juga semakin kuat.

"Urgh ... seleramu biasanya tidak begini. Kau ambil wine yang mana, sih? Wine murahan saja tidak mungkin begini rasanya," keluh Itachi dengan jengkel.

Itachi mengambil sebuah kartu undangan yang tertuju atas nama ayah mereka dan keluarga, lalu melirik Sasuke.

"Minggu depan ada undangan pernikahan anak kolega ayah. Maukah kau datang menemaniku?"

'Datang saja sendiri.'

Jawaban Sasuke lebih cepat dibanding biasanya. Lelaki itu bahkan menahan diri untuk tidak memotong ucapan Itachi dan langsung menjawab tepat sesudah lelaki itu selesai bicara, seolah jawaban tersebut adalah sesuatu yang terprogram secara otomatis.

Itachi tak memiliki pilihan selain datang demi menghargai koneksi sang ayah dengan koleganya. Namun tak mungkin mengajak teman atau kekasih sekalipun memilikinya sehingga Sasuke adalah satu-satunya orang yang bisa ia ajak. Namun Sasuke akhir-akhir ini selalu menolak menghadiri acara sosial apapun, khususnya acara pernikahan.

"Kau tidak mau menemaniku? Kuberikan satu lot saham Uchiha Group milikku sebagai bayaran, deh."

Sasuke tak menyahut. Satu lot berarti seratus lembar saham. Sekalipun Itachi akan memberi seratus lot pun ia tetap tidak mau datang.

'Tidak.'

"Masa aku datang sendirian? Aku juga tidak bisa mengajak orang sembarangan untuk menemaniku."

Sasuke tak mempedulikan Itachi. Ia kembali mengangkat gelas dan menghirup aroma wine sebelum menyesapnya.

"Kunaikkan jadi tiga lot, deh."

'Tidak.'

"Lima lot."

Sasuke menggelengkan kepala. Ia tak ingin mengakuinya, namun ia merasa jika apapun yang ia lakukan akan mempermalukan keluarganya. Ingatan akan kejadian di pernikahan kakak sepupunya masih membekas hingga sekarang.

"Sepuluh, deh. Itu sudah seribu lembar, lho."

Sasuke menghembuskan napas lelah dan segera menjawab, 'Aku tidak mau sekalipun kau memberikan semua sahammu dan memberikan posisimu.'

"Kenapa kau begitu anti dengan acara pernikahan, sih? Kau iri karena tidak punya pasangan, ya?" Tanya itachi dengan tatapan menyelidik.

'Bukan urusanmu.'

"Ck ... ayolah. Aku sulit mencari alasan pulang cepat kalau datang sendirian. Banyak orang yang kukenal di sana."

Itachi terlihat benar-benar memelas sekarang. Namun Sasuke tetap meneguhkan hatinya untuk tidak menemani lelaki itu. Ia menggerakkan tangannya sebagai jawaban.

'Aku tidak akan ke pesta pernikahan siapapun kecuali kau. Lebih bagus lagi kalau kau tidak usah mengundangku sekalian.'

Sasuke segera bangkit berdiri dan mengambil gelas wine serta miliknya yang masih tersisa setengah serta berjalan menuju kamarnya serta meninggalkan Itachi begitu saja. Ia bahkan tidak berpamitan dan langsung kembali ke kamarnya.

Itachi mengamati sang adik yang berjalan meninggalkan meja makan, seolah melubangi punggung lelaki itu dengan tatapan penuh tanda tanya mengenai tindakan Sasuke yang membingungkan. Kenapa lelaki itu mendadak kesal karena persoalan sepele begini? 

- Bersambung - 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro