Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 13(Direvisi)

"Bagaimana tempat kerja barumu?"

Sakura mengembuskan napas dan terdiam sesaat sebelum menjawab. Menghabiskan enam hari seminggu di kafe yang hening membuatnya merasa sesak karena terlalu hening dan ia merindukan konversasi layaknya manusia normal, namun di saat yang sama ia mulai merasa bahwa lingkungan di sekitarnya terasa terlalu berisik.

Sore ini ia memutuskan menikmati kue dan kopi di salah satu kafe yang berada di salah satu pusat perbelanjaan kelas atas bersama kedua sahabatnya. Ia merasa tertarik mencoba kue wijen hitam dengan rasa butter cream yang sedikit manis serta latte cantik dengan rasa kopi yang kuat namun sama sekali tidak manis.

Kafe tersebut merupakan kafe dari salah satu negara di Asia yang cukup populer dan cukup ramai meskipun ia datang pukul setengh tiga sore. Ia bahkan harus berbagi satu meja panjang dengan dua pengunjung lainnya yang untungnya berjarak lumayan jauh darinya karena terpisah kursi.

"Oke juga. Tak kusangka semua pegawainya baik. Setidaknya tidak ada senioritas," jelas Sakura seraya memotong kue pesanannya.

Tenten menatap gadis yang duduk di seberangnya dengan tatapan iri. Ia sendiri bekerja di korporat dan merasa lelah dengan situasi kerja yang penuh senioritas. Ia bahkan masih ingat dengan perpeloncoan terselubung yang dialaminya ketika baru masuk kerja. Saat itu ia diperlakukan layaknya pesuruh, mulai dari membuat kopi, membelikan makanan, hingga membuang sampah ke tempat sampah.

"Serius? Tempatmu bekerja milik orang Jepang, kan?" tanya Tenten dengan raut wajah terkejut.

"Kenapa kau berpikir kalau bosku bukan orang Jepang?" Sakura balik bertanya.

Ino tak menghiraukan kedua sahabatnya dan memilih menikmati sepotong kue coklat hangatnya. Entah kenapa pendingin udara di pusat perbelanjaan terasa lebih dingin ketimbang biasanya hari ini sehingga ia memesan coklat hangat dan kue coklat yang juga disajikan dalam temperatur hangat. Untungnya minuman dan kue itu tidak manis berlebih.

"Dasar anak ini," keluh Tenten seraya merengut. "Memangnya kau bukan orang Jepang, ya? Kau tahu sendirilah bagaimana budaya senioritas di negara kita."

"Bukan," sahut Sakura. Ia sedikit menyeringai dan menjawab, "Aku orang Kutub Utara. Bagaimana, dong?"

"Kutub Utara? Bagaimana keadaan di kampung halamanmu? Kau berteman dengan penguin di sana?" tanya Ino setelah mengunyah kuenya.

Sakura memutuskan mengikuti permainan kedua sahabatnya. Rasanya menyenangkan menjahili kedua wanita itu sesekali. Entah kenapa konversasi secara normal juga terasa seperti sesuatu yang spesial baginya karena ia tak bisa melakukannya di tempat kerja.

"Cuacanya semakin panas, nih. Pemanasan global mengerikan, es di tempatku mulai mencair," jawab Sakura seraya berpura-pura mengipas dengan tangan.

Tenten tersenyum, begitupun dengan Ino. Kemudian Ino melirik Tenten dan berkata, "Tahu, nggak? Beberapa hari yang lalu Sakura memintaku mengajari bahasa isyarat demi pekerjaan."

Tenten sedikit terbelalak. Ia hanya tahu Sakura pindah kerja, dan ia tak menemukan di mana korelasi antara Sakura yang pindah kerja dengan bahasa isyarat.

"Hah? Untuk apa? Kau juga ingin bekerja di SLB?"

Sebelum Ino menjawab sesuatu yang akan membuat Tenten salah paham, ia cepat-cepat berkata, "Bukan. Aku ditawari bekerja sebagai kasir di kafe yang seluruh pelayannya disabilitas. Berhubung gajinya sebesar gaji pegawai kantoran, ya kuterima saja."

Ino meraih gelasnya dan menyesap kopinya sebelum berkata, "Bos barunya tampan, lho. Itu, cowok yang kita temui di kafe itu."

Tenten mengernyitkan dahi, "Yang mana, sih?"

"Yang duduk bareng Sakura itu, lho. Si barista kafe," sahut Ino dengan sedikit bersemangat.

"Siapa yang menawarimu pekerjaan di tempatmu?" tanya Tenten dengan rasa penasaran yang memenuhi benaknya.

"Err ... si barista itu," sahut Sakura dengan gugup.

Ino tersenyum dan menyahut, "Si barista itu? Wah, ternyata kalian akrab juga, ya."

Sakura menggelengkan kepala, "Sebenarnya tidak juga. Kurasa kita bahkan hanya sekedar kenalan. Tapi dia agak aneh."

Ino dan Tenten terdengar antusias sehingga Sakura mulai bercerita soal pertemuan pertama mereka di supermarket. Lalu soal lelaki itu yang mendadak mentraktirnya di restoran Prancis mahal di jam makan siang sebagai imbalan atas bantuannya untuk membantu memesankan makanan.

"Hey, restoran Prancis itu mahal, tahu. Aku bahkan harus berhemat demi makan di restoran Prancis," ujar Tenten tepat sesudah Sakura selesai bercerita.

"Kau beruntung sekali," timpal Ino.

Sakura terdiam sejenak. Apakah mengenal Sasuke adalah sebuah keberuntungan? Sejujurnya ia masih tak begitu paham dengan lelaki itu. Awal bulan lalu, mereka berdua adalah dua orang asing yang bahkan tak saling mengetahui nama satu sama lain. Sekarang, mereka malah menjadi rekan kerja. Kalau dipikir, takdir terasa sedikit lucu. 

.

.


Kedua lelaki bernetra oniks itu duduk di dalam jacuzzi berisi air hangat yang menghangatkan tubuh mereka di tengah malam yang terasa lebih dingin ketimbang biasanya.

Hujan deras telah mengguyur kota selama lebih dari tiga puluh menit dan kehangatan air yang membuat tubuh rileks terasa bagaikan sebuah kemewahan di saat seperti ini.

Tatapan salah satu lelaki tertuju pada pemandangan kota yang terlihat di jendela kaca satu arah besar dari tempatnya berada. Mobil-mobil yang melintas terlihat bagaikan seekor semut tak berarti, sedangkan gedung-gedung rendah yang terlihat di kejauhan bak sebuah miniatur meski terlihat megah jika dilihat dari jarak dekat.

Lelaki itu tak berniat menatap sang kakak yang berada dihadapannya. Ia merasa sedikit risih berhadapan dengan lelaki dewasa lainnya dan berendam di bak yang sama, membuatnya teringat dengan salah satu adegan erotis di novel karangan Naruto dimana tokoh pria dan wanita berendam bersama di jacuzzi sebelum bercinta.

Lelaki itu meringis seketika dan mengepalkan tangannya saat otaknya mulai membayangkan adegan eksplisit yang sempat dibacanya sekilas sebelum cepat-cepat menutup novel itu. Ia merasa malu pada dirinya sendiri karena membayangkan hal-hal porno meski sebetulnya ia sudah cukup dewasa.

"Kau kenapa?"

Sasuke mengalihkan pandangan pada Itachi dan menggelengkan kepala. Ia tanpa sengaja melirik dada bidang sang kakak sebelum menatap tubuhnya sendiri dan mengalihkan pandangan pada lampu-lampu di gedung yang sejak tadi menarik atensinya.

Jika seseorang melihat mereka berdua saat ini dan tidak mengetahui kalau mereka adalah kakak beradik, Sasuke sangat yakin jika ia akan dikira sebagai pasangan sesama jenis dengan Itachi. Terlebih lagi keduanya sama-sama bertelanjang dada dan menurut orang-orang wajah mereka juga enak dilihat. Katanya, lelaki pecinta sesama jenis sekarang memiliki wajah yang setidaknya enak dilihat.

Sasuke menggerakkan tangan pada akhirnya dan berkata dengan bahasa isyarat, 'Kita terlihat seperti gay, Kak.'

Itachi terhenyak sesaat sebelum tertawa pelan. Padahal ia sudah sering menghabiskan waktu bersama Sasuke. Bahkan ini bukan kali pertama baginya berendam bersama dengan lelaki itu. Lagipula mereka juga tidak benar-benar telanjang.

"Kau ingin menjadi suamiku?"

Terdengar suara air yang bergerak dengan keras dan Sasuke mengangkat tangannya yang berada di dalam air serta memukul sang kakak dengan keras.

Ia bukanlah orang yang mudah terpancing sebetulnya, tetapi ia tak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar dalam hal seperti ini. Ia merasa tidak nyaman diidentifikasikan sebagai gay ketika ia sebetulnya adalah lelaki straight.

'Kau pikir aku gay? Gunakan saja aplikasi kencan sesama jenis kalau ingin mencari suami.'

Itachi menatap sang adik dengan sinis. Jika membayangkan pernikahan, maka hal yang pertama ia bayangkan ialah pernikahan dengan wanita berambut coklat yang belakangan ini menarik atensinya dan membuatnya berdebar-debar setiap berpapasan di kantor. Terkadang mereka akan berbincang sejenak dan ia berharap waktu dapat berhenti sehingga beberapa menit akan terasa jauh lebih lama.

"Aku ingin menikahi istri, bukan suami," sahut Itachi.

'Aku juga.'

Sasuke terkejut setelah memberikan respon yang bahkan tak ia pikirkan sebelummya.

Ia tak mengerti mengapa dirinya mengatakan hal dungu yang jelas mustahil. Seseorang sepertinya tak mungkin menikah. Sekalipun ada seseorang yang menginginkannya, ia hanya akan membebani orang di sekitarnya sehingga ia memilih untuk melajang seumur hidupnya.

"Waktu cepat berlalu. Tak kusangka adik kecilku kini sudah berniat menikah," goda Itachi.

Sasuke segera menggelengkan kepala. Ia yakin Itachi tak sepenuhnya memahami kekhawatirannya dan benar-benar berharap bahwa ia akan menikah.

'Maksudku, aku akan menikahi wanita kalau harus menikah. Tapi aku sepertinya tidak ... " Sasuke sengaja menjelaskan panjang lebar dan memutus ucapannya sebelum menyelesaikan kalimatnya.

Itachi melirik Sasuke sesaat. Ia sudah cukup mengenal lelaki itu hingga menyadari bagaimana perasaan Sasuke dari caranya menatap. Sesaat ia mendapati tatapan yang menyiratkan kesedihan setelah sebelumnya terlihat sedikit berharap saat berkata ingin menikah.

Sasuke seolah mampu membaca pemikiran Itachi ketika ia sengaja berkata untuk menghindari pertanyaan Itachi.

'Besok kau rapat jam setengah delapan pagi, hn?'

Itachi berjengit ketika menyadari jam telah menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh menit. Ia tak berharap jika ia akan terlambat menghadiri rapat.

Upaya Sasuke untuk menghadiri pertanyaan Itachi berhasil. Kini lelaki itu segera berdiri dan mengeringkan tubuunya dengan handuk sebelum meninggalkan jacuzzi, memperlihatkan tubuh yang akan menggairahkan Sasuke seandainya ia penyuka sesama jenis.

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro