Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

75. Pemberkatan Agung Felinette de Terevias (2)

Tidak perlu menunggu besok datang, aku akan pergi saat ini juga.
Aku … dan semua orang tahu bahwa aku bukan siapa-siapa. Tidak perlu menunggu keputusan final. Aku tidak menginginkan apapun selain hidupku. Tidak akan ada yang tahu tentang keberadaanmu di sini.
Jadi, tolong biarkan aku pergi. Kumohon, jangan membunuhku.”

***

Luna membuka matanya perlahan dan menemukan cahaya terang yang hangat menyiraminya. Langit-langit tempat itu terbuat dari kaca, membuatnya mampu melihat langit biru yang ada di luar sana.

Dicobanya memperhatikan sekelilingnya untuk membaca keadaan, tetapi observasi singkat yang dilakukannya tidak cukup membantunya memecahkan pertanyaan dalam kepalanya.

Ia ada di sebuah ruangan serba putih. Segalanya putih; dinding, keramik, dan segala perabotan di dalamnya. Hanya cahaya hangat yang ada di atas sana yang memperlihatkan warna langit yang indah. Seolah melihat refleksi warna matanya sendiri, Luna memutuskan untuk mencari jalan keluar. Ia tidak suka dengan situasi dimana semua keadaan di sekitarnya tampak seperti sangkar yang mengurungnya.

Hal terakhir yang Luna ingat adalah ketika dirinya menjatuhkan diri di jembatan, lalu diselamatkan oleh para pendeta agung. Selanjutnya, ia dibawa ke ruangan ini untuk diperiksa, tetapi sayangnya tubuhnya langsung melemah dan ia langsung tidak sadarkan diri.

… dan selama itu, Luna bermimpi buruk lagi.

Kali ini, semua hal yang dilihatnya lebih jelas. Kobaran api yang menyala, badai salju yang turun, hingga helaian rambut perak yang dimainkan oleh angin badai–semuanya semakin jelas.

Namun, Luna tetap tidak bisa mendengarkan ucapan pemuda bermata merah, meskipun jelas bahwa pemuda itu mengucapkan sesuatu yang ditujukan kepadanya. Manik merah itu tampak semakin jelas menatapnya datar tanpa menunjukkan belas kasihan ketika mengiris lehernya.

Membiarkan darah sang putri menyatu dengan salju yang belum meleleh …, sebelum akhirnya dia juga pergi membiarkan Putri Felinette kehabisan darah di atas genangan darahnya sendiri tanpa mampu menjerit meminta bantuan.

Akhir yang menunggunya seperti itu, hal yang selalu menghantui setiap mimpi dalam tidurnya.

Setelah melakukan hal sejauh ini, apakah kematian tragis masih akan menunggunya?

Masih terbayang oleh mimpi buruk yang sama selama bertahun-tahun, suara ketukan pintu terdengar seketika membuat Luna langsung waspada. Tatapannya terus terpaku pada pintu putih, sampai akhirnya seorang pendeta wanita memasuki ruangan itu, membuat kewaspadaan Luna semakin meningkat.

Hanya ada dua peluang yang terjadi dari tindakan fatal yang dilakukannya hari ini; kekuatan siapa yang terekspos hari ini: Putri Felinette atau Irsiabella.

Menjatuhkan diri ke kolam agung adalah keputusan berat yang harus Luna ambil untuk mempertaruhkan hidupnya. Awalnya, Luna juga enggan harus menjatuhkan diri di sumber air yang sudah pasti akan menyerap semua energi dalam tubuh seorang manusia, apalagi karena dirinya hanyalah manusia biasa yang tidak memiliki wadah untuk menampung mana–yang mana halnya membuatnya tidak memiliki kekuatan sama sekali–tetapi Luna akhirnya mengambil keputusan itu berdasarkan apa yang terjadi di masa depan.

Putra Viscount Dalton, Svencer yang notabenenya juga manusia biasa yang tidak memiliki wadah penampung mana telah  menyeburkan diri ke tempat suci itu di kisah aslinya dan hidup baik-baik saja bahkan sampai akhir kematian Putri Felinette. Jadi, seharusnya tidak akan ada siapapun yang dilukai dalam insiden ini.

“Bagaimana perasaanmu, Yang Mulia Putri?” tanya sang pendeta.

“Aku baik-baik saja. Hanya saja … aku merasa sedikit lelah.”

Luna tidak berbohong. Meskipun tahu bahwa dirinya tidak memiliki apa yang dimiliki oleh Irsiabella, energinya juga benar-benar terkuras habis. Mungkin itu sebabnya dia langsung tidak sadarkan diri begitu keluar dari kolam agung.

“Itu wajar, mengingat Tuan Putri telah menjernihkan Kolam Agung.”

Luna nyaris tak mampu berkata-kata, “Menjernihkan?”

“Benar, Yang Mulia.”

Luna tidak percaya bahwa rencananya berjalan dengan baik. Bahkan salah satu keuntungan dari insiden ini bisa langsung diterimanya tanpa harus investigasi lebih lanjut.

“Mungkin bahkan saat ini Tuan Putri tidak bisa merasakan mana Tuan Putri karena mana Tuan Putri telah terkuras. Kami sudah melapor ke pihak kerajaan terkait kejadian ini dan kami sepakat Tuan Putri akan kembali ke istana begitu kita menyelesaikan pemberkatan. Ini hanya formalitas, meskipun sudah jelas Tuan Putri telah diberkati setelah insiden tadi,” jelasnya.

Informasi ini langsung sampai di kerajaan. Luna menautkan alis, begitu menyadari bahwa alur cerita masih sama persis, kecuali tentang identitas yang telah menjernihkan air kolam.

Apakah ini tidak apa-apa?

Apakah Irsiabella, Svencer dan Terence tidak akan terkena masalah?

“Apa yang akan terjadi dengan mereka?” tanya Luna, hanya sekadar untuk memastikan.

Bagaimana jika mereka memutuskan untuk memeriksa ulang energi mana dalam tubuh tiga orang lainnya dan menyadari bahwa Irsiabella adalah seseorang yang telah menjernihkan kolam itu?

Luna … benar-benar ingin mengutuk dirinya sendiri karena keegoisannya dalam membuat keputusannya. Namun hanya ini yang bisa dilakukannya untuk menghindari klimaks terparah yang akan mengacaukan alur selanjutnya.

Di detik ini, Irsiabella pasti sudah menyadari bahwa dialah yang telah menjernihkan air itu. Apakah Irsiabella akan mengaku? Mengingat dirinya mungkin akan mendapatkan hukuman alih-alih diagung-agungkan sebagai putri di Terevias?

Irsiabella pernah mengatakan bahwa dia menginginkan posisi itu dan hingga hari ini Luna tidak pernah mengerti alasan yang membuat Irsiabella tidak mengaku sejak awal saja. Semuanya bisa berubah jika ada satu hal lain yang berubah, kan?

… Apakah Irsiabella baru menyadarinya nanti?

Atau malah sebaliknya, apakah Irsiabella malah memiliki rencana besar setelah menunggu?

“Mengenai hal itu, belum ada keputusan yang diambil,” jawab sang pendeta.

Seharusnya, seperti di kejadian aslinya, mereka akan baik-baik saja, kan? Kan? Luna tidak ingin mereka dihukum dengan tekanan yang berat, bukan hanya karena Luna bersimpati dengan mereka semua sebagai teman, tetapi juga karena Luna takut bahwa itu akan membuat Irsiabella yang mengakui semuanya sendirian.

Lalu, semua usahanya akan kembali ke jalan yang sebenarnya.

“Aku ingin bertemu dengan mereka,” ucap Luna setengah memohon, meskipun Luna sudah tidak pernah lagi memohon seperti itu sejak hidup kembali sebagai Felinette.

Karena terakhir Luna memohon seperti itu adalah ketika dirinya akan dibunuh ketika malam badai salju itu.

“Mereka bertiga sedang tidak sadarkan diri.”

Tidak sadarkan diri? Bagaimana mungkin Luna bisa bangun lebih dulu daripada mereka bertiga? Pemikiran itu sontak membuat kekhawatiran Luna meningkat.

“Tidak apa-apa, aku hanya ingin melihat kondisi mereka,” sahut Luna lagi, benar-benar ingin melihat keadaan mereka.

Sang pendeta tampak sangat gugup tanpa alasan yang pasti. “Mohon maaf, Tuan Putri. Ketiganya sedang istirahat dan dalam masa pemulihan karena tubuh mereka tidak mampu beradaptasi dengan cepat. Sebaiknya kita segera menyelesaikan pemberkatan sebelum pihak kerajaan menjemput Anda.”

Luna benar-benar putus asa. Setidaknya, dia harus bisa berbicara dengan Irsiabella sebelum meninggalkan Kuil Agung. Namun jika Luna mengutarakan keinginannya secara langsung, ia takut akan membuat orang lain curiga tentang Irsiabella.

Belum lagi habis kegelisahannya, Luna menyadari bahwa cahaya yang menyiraminya di atas tiba-tiba meredup, seolah-olah ada awan tebal yang menutup keberadaan matahari. Selanjutnya, ada cahaya yang secara spesifik ditujukan di atas kepalanya, membuat Luna merasa bahwa rambut pirangnya telah bersinar.

Upacara pemberkatan telah dimulai.

“Siapa nama Anda?”

Suara sang Pendeta Agung juga tidak lagi sama seperti sebelumnya. Luna melirik agak takut, sampai akhirnya menyadari bahwa mata sang pendeta bercahaya putih seutuhnya. Sang pendeta tidak tampak seperti dirinya sendiri. 

Luna memejamkan matanya erat-erat, sebelum akhirnya menjawab dengan terpaksa, “Annelisia, Yang Pendeta Agung.”

*

Stella hanya bisa berbaring, memejamkan mata dan terus memikirkan sampai kapan dirinya harus meratapi kegelapan dalam pandangannya. Bukan, bukan karena tempat ini gelap gulita, tapi karena Stella tidak berani membuka matanya bahkan ketika dirinya sadar bahwa ada cahaya menyilaukan sedang tersorot ke arahnya.

Kira-kira, kapan waktu yang tepat untuk pura-pura sadar dari pingsannya? Stella ingin bangun bersamaan dengan dua temannya yang lain, tetapi saat ini dirinya diisolasikan di sebuah ruangan tertutup tanpa tahu apa yang sedang terjadi di luar sana.

Tadinya Stella pikir lebih baik ia memaksakan diri untuk tertidur, tetapi Stella tetap saja merasa gugup karena banyak hal.

Rasanya sudah berjam-jam Stella berbaring di tempat ini dan tidak ada tanda-tanda keberadaan siapapun di ruangan ini kecuali dirinya sendiri. Stella juga tidak bisa memeriksa dengan kekuatannya karena dia kehabisan mana dan barangkali menggunakan kekuatannya di Kuil Agung memang harus dihindari bagaimanapun alasannya.

Keheranannya pun pada akhirnya bisa terjawab begitu ia mendengar suara ketukan pintu yang kemudian disusul suara pintu yang terbuka. Di saat seperti itulah, Stella semakin fokus untuk membuat napasnya konsisten dan rileks, agar lebih meyakinkan.

Suara langkah kaki terdengar mendekat. Stella penasaran dengan siapa yang datang mengunjunginya, tetapi tetap tidak punya keberanian untuk sekadar mengintip dan memeriksa keadaan.

“Nona Ravelsa.”

Suara Rayward terdengar pelan, sempat membuat napas Stella tidak konsisten. Namun Stella tetap berjuang keras memperlihatkan bahwa dirinya masih pingsan dan tidak mendengarkan apapun.

“Nona Ravelsa.”

Kali ini Rayward memanggilnya agak keras, membuat Stella merasa bahwa panggilan itu sangat darurat dan Stella harus segera membuka matanya, tapi Stella juga tidak ingin tertangkap basah telah berbohong, apalagi jika harus ditangkap oleh sesama pembohong seperti Rayward.

“Semuanya sudah sadar, apa Nona Ravelsa ingin diperiksa karena terlalu lama tidak sadarkan diri?”

Ucapan itu sontak membuat Stella panik. Lupa bahwa dirinya harus menghitung berapa detik sebelum bernapas, kini napasnya memburu dan Stella langsung mengangkat tangan, menutup pandangannya untuk menyesuaikan silaunya cahaya di atas sana.

“Oh, Nona Ravelsa sudah sadar?” tanya Rayward lagi, kali ini nadanya seolah pura-pura merasa lega.

“Tuan Muda Rayward.” Stella memanggil dengan tatapan datar dan agak jengkel.

“Iya, Nona Ravelsa?”

“Apa tidak ada hal yang ingin kau katakan padaku?” tanya Stella, segera menginterogasi.

Seolah baru saja mendapatkan ide, Rayward menepuk kepalan tangan pada telapaknya. “Kau tiba-tiba tidak sadarkan diri. Itu wajar mengingat kau juga jatuh di kolam agung.”

Stella benar-benar sangat dongkol. Jelas-jelas Rayward sudah tahu bahwa dirinya berpura-pura pingsan.

“Apa maksudmu memberikanku mawar merah?” Stella memilih untuk mempertanyakan hal yang paling tidak berisiko terlebih dulu, meskipun peluang bahwa dirinya salah paham sangat kecil.

“Tidak ada alasan khusus, kau sangat pantas dengan mawar merah,” jawab Rayward dengan tenang. “Apakah kau bisa berjalan? Aku tidak boleh terlalu lama di sini, karena tidak sepantasnya aku ada di ruangan tertutup dan berduaan dengan seorang Nona.”

Stella langsung sadar, alasan Rayward masuk kemari adalah khusus untuk ‘membangunkannya’. Rayward tahu bahwa Stella hanya berpura-pura tidak sadarkan diri. Jika tadi yang masuk ke dalam ruangan itu adalah pendeta lain, Stella yakin bahwa dirinya akan terus berpura-pura tertidur dan bingung tentang kapan waktu yang tepat untuk bangun.

Ada banyak hal yang ingin Stella bicarakan dengan Rayward, tetapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukannya.

“Bagaimana dengan Tuan Putri?” tanya Stella sembari beranjak naik dari tidurannya.

“Tuan Putri bangun lebih dulu, karena lebih dulu tidak sadarkan diri ketika insiden itu. Tuan Putri baik-baik aja,” jelas Rayward dengan singkat, membuat Stella merasa agak lega. 

Selanjutnya, Stella mengangkat sebelah alisnya dengan heran, mengapa Rayward memilih mengatakan hal itu daripada menjelaskan bahwa Putri Felinette sadar lebih dulu karena sang putri adalah orang yang telah menjernihkan air kolam?

“Bagaimana dengan Svencer dan Tuan Muda Arsenio?”

Rayward menyadari bahwa pertanyaan itu benar-benar penuh dengan keingintahuan, lalu menatap gadis itu dengan tatapan serius, “Kau tidak ingat?”

“Tentu saja aku mengingatnya. Terakhir aku melihat mereka, keduanya tidak sedang baik-baik saja.”

Detik berikutnya, Stella langsung terdiam. Ini pertanyaan jebakan dari Rayward untuk memastikan bahwa Svencer dan Terence lebih dulu kehilangan kesadaran mereka dibandingkan Stella.

Rayward tidak menunjukkannya terang-terangan, tetapi Stella menyadari bahwa raut wajahnya masam, seolah tidak puas dengan jawaban yang Stella tuturkan. Sepertinya, Stella yang tidak sengaja terjerumus dalam soal jebakan entah mengapa bisa menjawabnya sesuai dengan yang diharapkan Rayward.

Berikutnya, pemuda itu melangkah menjauh dari Stella dan bersiap-siap keluar dari ruangan itu.

“Tuan Muda Rayward mau kemana?”

“Memanggil pendeta wanita untuk membantumu berjalan keluar dari ruangan ini,” jawab Rayward sambil menatap Stella dengan tatapan datar, tangannya sudah membuka pintu. “Maaf karena tidak bisa membantumu berdiri, Nona Ravelsa. Tunggulah sebentar.”

Stella yang mendengar hal itu langsung memberikan perlototan kepada Rayward, tetapi juga langsung cepat tanggap dan menjatuhkan diri di atas lantai putih bersih yang baru saja dipijaknya.

Di saat bersamaan, seorang pendeta wanita langsung masuk ke ruangan itu, berjalan cepat ke arahnya untuk membantunya berdiri dan berjalan keluar dari ruangan itu.

“Kita mau kemana?” tanya Stella dengan suara lemah dan tidak berdaya.

“Ada yang ingin menemui kalian,” jawab sang pendeta.

Kalian.

Stella langsung berasumsi bahwa Terence dan Svencer juga akan ada di sana, mungkin mereka akan diberikan macam-macam pertanyaan karena mereka hanya manusia biasa yang tidak sepantasnya menyentuh sumber air suci.

Tidak ada kecurigaan apapun yang Stella pikirkan, sampai akhirnya ketika pendeta agung menuntun Stella di depan sebuah pintu putih dengan corak emas berlambang Terevias dan sebuah matahari di atasnya.

Pintu itu terbuka dan Stella benar-benar menemukan Svencer dan Terence di sana. Terence langsung menyadari keberadaan Stella dan memberikan anggukan kecil dengan ekspresi wajahnya yang masih datar. Wajah Svencer yang terlihat pucat langsung menjadi pusat perhatian Stella saat itu juga. 

Stella baru saja hendak menyapa Svencer, sampai akhirnya menyadari bahwa ada seseorang lagi di dalam ruangan itu. Mata amethyst itu langsung mengunci Stella dalam pandangannya, membuat jantung Stella yang tadinya berdebar penasaran kini menjadi berdebar ngeri.

Meski begitu, Stella tetap berusaha menyapa sang pangeran, “Keagungan abadi–”

Pangeran Felixence mengangkat sebelah tangannya, memotong sambutan yang ingin Stella sampaikan seolah tidak ingin berbasa-basi sedikitpun, “Tidak apa-apa. Silakan duduk, Nona Ravelsa.”

Stella ingin kabur, tetapi kini kakinya benar-benar telah melemah. Semoga saja Wolverioz benar, Dewi Fortuna masih mengawasi dan akan melindunginya sampai kesialan ini berakhir.

***TBC***

8 Mei 2022

Paws’ Note

Oke, aku mulai menggunakan 2 POV untuk mempercepat jalan cerita ini. Semoga kalian tetap bisa ngeh yaa. Ini masih dalam dua divider yang berbeda, jadi semoga ketika nanti aku menggunakan sudut pandang Luna dan Stella di waktu bersamaan pun, kalian masih bisa mengikuti jalan cerita ini dengan baik.

2100 kata! Fiuuh!

Aku juga menebarkan petunjuk dengan sangat jelas, tentang bagaimana detail Wolverioz membunuh Felinette (kayaknya dari dulu sudah kukasih tahu gimana ceritanya, tetapi kurang jelas ahahaha).

Ada satu hal yang terus membuatku penasaran hahaha. Sampai di chapter ini, apakah kalian punya kapal tetap di cerita ini? Baik dari sisi Irsiabella atau dari sisi Felinette? Pasang hastag kalian di inline komentar ini yaa!

Aku pribadi sudah punya dua couple final buat cerita ini, tapi seperti biasa–tidak ada yang tidak mungkin, jika cerita ini dipegang sama aku, ahahahaha.

BTW dialog awalnya kok makin lama makin panjang ya? Biar makin nyes, ehe.

Suatu hari nanti aku akan meringkas kejadian di timeline pertama dengan sangat singkat dan kemungkinan dialog-dialog yang selama ini berpencar di 75 chapter juga tidak akan dimunculkan semua.

Aku yakin tanpa menggabungkan keseluruhannya pun, kalian pasti bisa mengerti alurnya. Begitulah alasan mengapa aku membiarkan dialog-dialog masa lampau bertebaran selama ini.

Semoga aku didatangin Mas Ilham biar bisa cepetan nulis. Sifat malasku ini sudah sangat mendarah daging.

Oke, sip! Ini dia fanart lanjutan dari yang kemarin, Felinette & Irsiabella.

Dan aku masih belum menemukan siapa yang menggambar ini karena instagramku yang semua chatnya kena hapus.


See you on the next chapter!

Cindyana

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro