Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

49. Malam Panjang Felinette de Terevias (2)

"Setiap aku memikirkanmu, aku selalu bertanya-tanya. Pernahkah kau juga memikirkanku walau hanya sebentar?"

***

Seperti yang sudah Luna duga, Aurorasia benar-benar berhasil mencuri semua perhatian di aula. Gadis itu melakukan segalanya dengan sempurna, membuat semua rumor-rumor buruk yang selalu mengerubunginya bisa menguap kapan saja.

Raut wajah Aurorasia yang tenang, membuatnya tidak sama dengan karakter manja.

Luna ingat, kata-kata yang pernah Aurorasia lontarkan kepadanya. Dan melihat Aurorasia seperti ini, seolah mengesankan bahwa kedua Aurorasia itu adalah dua orang yang berbeda.

Sebenarnya, meskipun memiliki perasaan terhadap Pangeran, Luna bersedia saja memberikan restu kepada siapapun gadis yang dipilih Pangeran Felixence di negeri Terevias. Pengecualian untuk Aurorasia, karena gadis itu memang tidak menyukai Felinette dan tidak akan menganggapnya sebagai Putri Terevias, bahkan mengatakannya terang-terangan ketika Luna tidak mampu berbuat apapun.

Ketika Aurorasia memberikan ajakan dansa kepada Pangeran Felixence, Luna juga semakin waspada. Pangeran Felixence pasti akan menerima ajakan itu, karena mempertimbangkan beberapa hal. Luna sudah hafal betul dengan karakteristik Pangeran Felixence yang kritis.

Aurorasia adalah gadis pemberani yang telah menggosok rata wajahnya—mempertaruhkan nama baiknya—untuk mengajak Pangeran Felixence berdansa. Jika Pangeran Felixence menolak, itu akan merusak citra Aurorasia di depan para bangsawan. Duke Swanbell juga tidak akan senang akan hal itu.

Terlepas dari semua alasan politis seperti itu, Luna amat yakin bahwa Aurorasia ada di dalam daftar nama gadis yang dicurigai adalah Nona Anonim dan Pangeran Felixence tidak akan tinggal diam untuk menyelidiki kebenaran itu.

Maka dari itu, ketika Pangeran Felixence berdiri dari duduknya, menuruni anak tangga untuk memenuhi ajakan dansa Aurorasia , Luna merasa bahwa dia tidak bisa melihat itu lebih jauh lagi.

Luna tidak ingin ada bangsawan yang melihatnya dengan raut kecewa, sebab Luna memang sedang kecewa dengan banyak hal; alur yang akan berjalan sebagaimana mestinya—mereka berdua akan bertunangan—lalu, Luna kecewa karena hatinya berkhianat dari pikirannya yang terus menerus meminta agar dirinya jangan terluka dengan sesuatu yang tidak seharusnya, dan juga, Luna masih kecewa dengan percakapannya dengan Pangeran Felixence tadi.

Memang sepertinya Luna perlu mencari udara segar.

"Ayah, aku akan keluar sebentar," pamit Luna sambil menghampiri sang raja.

"Kemana?" tanya Raja Finnebert.

"Mau melihat-lihat suasana di luar. Aku jarang ke Istana Selatan malam-malam," ujar Luna.

"Bukan mau bertemu seseorang diam-diam, kan?" tanya Raja Finnebert setengah bercanda.

Luna mengabaikan canda itu dengan senyuman tipis, "Terence bersamaku. Ayah tidak perlu khawatir."

"Kembali sebelum penutupan acara, ya," ucap sang raja pada akhirnya.

Ketika Luna ingin mencari Terence di antara kerumunan di bawah sana, ternyata Terence langsung menyadarinya tanpa mampu diduganya. Terence ada di antara teman-teman sepantarannya—putra-putri Marquess—dan langsung memisahkan diri begitu menyadari bahwa Putri Felinette meninggalkan singgasana.

Terence langsung keluar dari istana, mencari akses lain untuk menjemput Felinette. Untungnya, keduanya langsung berjumpa di salah satu lorong istana yang panjang dan penuh dengan barisan prajurit istana yang mengawal di sana.

"Tuan Putri, mau kemana?" tanya Terence, langsung menghampirinya.

Luna memperhatikan pedang yang menggantung di pinggang Terence. Seingat Luna, ketika mereka memasuki aula tadi, tidak ada pedang itu di sisi Terence. Mungkin Terence memang punya sifat waswas seperti itu untuk senantiasa membawa pedangnya jika sedang bersamanya.

"Aku hanya ingin keluar sebentar. Kalau kau memang sibuk, aku tidak akan berlama-lama," ucap Luna.

Lagipula, alasan Luna keluar dari aula hanya agar dia tidak melihat Pangeran Felixence berdansa dengan Aurorasia. Satu musik saja tidak akan lama, tetapi Luna keluar karena rasanya akan sangat lama, jika dirinya tetap menonton. Apalagi jika sampai harus mendengar berbagai pujian yang mengatakan bahwa mereka berdua memang cocok.

"Tidak apa-apa, Tuan Putri. Saya tidak sibuk. Kemanapun Tuan Putri pergi, saya ikut," sahutnya.

Bisa-bisanya Terence mengatakan hal itu tanpa merasa canggung sama sekali.

Luna tersenyum kaku, lalu mencari jalan untuk keluar dari istana. Terence mengikuti dari belakang tanpa berkomentar.

Ditelusurinya lorong panjang yang menampakkan cahaya rembulan yang masuk dari tiap celah yang ada, melangkahkan kakinya berusaha mencari jalan keluar. Hingga akhirnya perjalanan panjang mereka berakhir, ketika Terence mengeluarkan suara.

"Jalan keluarnya ada di sana, Tuan Putri."

Luna mengikuti arahan Terence. Lelaki itu memang lebih paham seluk beluk Istana Selatan dibandingkan dirinya.

Jalan keluar itu membawa mereka di hamparan luas yang penuh dengan bunga berwarna-warni. Sesuatu yang cukup umum di setiap Istana Terevias. Namun, entah mengapa melihat bunga-bunga itu di malam hari ketika purnama penuh, membuat Luna ingin sekali langsung menangis.

Luna memang telah menahan semua rasa sesak di dadanya sejak di aula, tetapi melihat taman bunga itu membuatnya ingin menangis karena alasan yang lain.

Andai saja Luna bisa melihat taman bunga ini bersama kakaknya ....

Berdiam di pinggir taman bunga itu terlalu lama, akhirnya Terence membuka suara.

"Tuan Putri baik-baik saja?" tanyanya.

Aneh. Luna hanya diam dan tidak mengatakan apapun, mengapa Terence bisa bertanya begitu?

"Indah sekali, ya!" seru Luna agak berlari ke taman bunga, pura-pura kagum sambil memutari tempat itu dengan antusias. "Aku tidak tahu kalau taman bunga Istana Selatan begitu indah di malam hari, seperti bercahaya!"

"Tuan Putri, hati-hati ...." Terence langsung berjalan menyusul Luna yang sudah agak jauh.

Dan benar saja, tepat setelah Terence mengatakan begitu, Luna langsung terpeleset. Untungnya juga, Luna terjatuh dalam posisi telentang di antara bunga-bunga yang cukup padat dan tinggi, sehingga Luna tidak merasa sakit sedikit pun.

"Tuan Putri baik-baik saja?" Kali ini Terence bertanya dengan panik, sambil membantu Luna agar segera berdiri kembali.

Luna malah menertawakan nasib buruk yang baru menimpanya. Jatuh di antara bunga-bunga dan bisa melihat pemandangan langit malam di atas sana dengan jelas. Purnama sempurna yang menyorotinya, lalu kumpulan bintang-bintang yang bertaburan di atas sana. Semua keindahan yang menyertainya, baru saja berhasil menghibur Luna.

"Saya berharap Tuan Putri bisa lebih berhati-hati lagi," lirih Terence.

Luna menepuk gaunnya sendiri untuk menjatuhkan kelopak-kelopak bunga yang menempel padanya, "Tapi langitnya bagus, lho, Terence," ucap Luna, sambil kembali mendongak.

Terence merasa bahwa nasihatnya barusan tidak ada hubungannya dengan perkataan sang putri, tetapi karena melihat Putri Felinette yang raut wajahnya berubah cerah dan ceria, membuatnya sedikit lega.

Meski dari jauh, Terence juga bisa melihat raut wajah sang putri yang begitu muram dan dingin. Para bangsawan membicarakannya tadi, tetapi Terence menyangkal semua tuduhan rumor-rumor tak berdasar itu. Terence ada di istana pada setiap momen itu dan Putri Felinette tidaklah seperti yang rumor-rumor buruk deskripsikan.

"Jadi, apakah tadi kau berdansa?" Luna bertanya.

"Tidak, Tuan Putri. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya tidak bisa berdansa," jawab Terence.

"Mengapa alasannya tidak berdansa karena tidak bisa berdansa? Atau karena kau tidak mau?" tanya Luna lagi.

"Akan ada banyak mata yang mengkritik, meskipun saya tidak terlalu peduli tentang itu. Namun, seperti yang Tuan Putri tahu, Ayah saya amat peduli dengan pandangan bangsawan lain. Jadi, saya tidak bisa melakukan kesalahan di depan khalayak ramai." Terence menoleh ke arah lain. "Lagipula, kalau pun saya bisa berdansa, saya tidak punya teman dansa."

Luna menaikkan sebelah alis, lalu tersenyum, "Bagaimana jika ada yang mengajakmu berdansa ketika tidak ada yang melihat kalian?" tanya Luna.

"Kenyataannya—"

Mendadak, Terence langsung terdiam.

Meskipun tahu tidak ada siapapun yang memperhatikan mereka saat ini, Terence tetap saja merepotkan dirinya sendiri dengan memeriksa keadaan di sekitar mereka. Memang, tidak ada seorang pun yang sedang mengamati mereka.

"Bagaimana?" tanya Luna lagi,

"T-Tuan Putri, jangan melakukan itu," lirih Terence.

"Melakukan apa?" tanya Luna balik. "Aku kan hanya bertanya."

Saat ini, meskipun di malam hari, cahaya rembulan begitu terang. Samar-samar, dalam keremangan yang begitu jelas, Luna bisa melihat wajah Terence yang sedikit memerah. Mata Felinette memang sejernih itu, bisa melihat objek dan detailnya dengan lebih jelas. Berbeda dengan mata Luna dulu yang pandangannya bisa sedikit kabur karena mereka telah memiliki ketergantungan dengan layar elektronik di zaman mereka.

Luna merasa telah melakukan kejahatan yang besar; menyadari bagaimana perasaan Terence terhadap Felinette dan mencoba memanfaatkannya.

Bagaimana pun juga, Terence akan menjadi orang hebat yang berguna untuk keselamatan hidupnya. Luna butuh Terence untuk memihak kepadanya di saat orang-orang telah mencurigai Putri Felinette tidak kunjung menunjukkan adanya kekuatan.

Terence masih terdiam, meskipun saat ini lelaki itu menatap lurus tepat di manik biru Felinette.

Luna yang terlalu bosan menunggu, akhirnya menghela napas, lalu bersiap-siap melebarkan kedua sisi gaun—gerakan yang dilakukan para gadis untuk mengajak pemuda berdansa—tetapi belum lagi sempat melakukannya, Terence lebih dulu membungkuk hormat dan mengulurkan tangannya.

"Tuan Putri, dengan segala kerendahan hati Anda, bolehkah kita berdansa?"

Luna tertawa kecil ketika menyadari bahwa Terence tidak membiarkannya mengajak lebih dulu. Meski yakin bahwa Terence tidak mungkin melakukan sesuatu yang bisa mempermalukannya.

"Saya hanya mengingat beberapa formasi awal dansa," ucap Terence ketika Luna menerima uluran tangannya.

"Kalau begitu, kita akan berdansa singkat," sahut Luna. "Kalau sudah sampai di bagian itu, kita bisa berhenti."

"Baik, Tuan Putri," ucapnya.

Mereka pun berdansa di pinggir taman bunga, di bawah cahaya rembulan, tanpa ada mata yang menyaksikan. Luna bisa melihat bagaimana Terence menunduk melihat kaki mereka dan berusaha menyamakan langkah dengan konsentrasi penuh.

"Terence," panggil Luna, ketika melihat Terence masih fokus melihat kakinya sendiri.

"Iya, Tuan Putri?" Terence mengangkat kepala, lalu di detik itu juga, gerakan langkahnya langsung tertinggal, tapi Terence langsung melakukan improvisasi dan mengejar ketertinggalannya. "Maaf, Tuan Putri."

Luna tertawa kecil. "Terima kasih, ya."

Lagi-lagi, langkahnya kembali tertinggal. "Saya tidak melakukan apapun, mengapa Tuan Putri malah berterima kasih? Seharusnya, saya yang berterima kasih karena Tuan Putri bersedia berdansa dengan saya. Ini adalah sebuah kehormatan besar yang tidak akan saya lupakan."

Ya, walau sebenarnya Luna secara sadar memaksa Terence berdansa dengannya.

"Kau sudah menjadi ksatria pribadiku nyaris satu tahun. Aku yakin, kau akan menjadi petarung yang hebat dan berjasa untuk Terevias."

"Tuan Putri terlalu meninggikan ekspektasi terhadap saya," jawab Terence.

Padahal, kau memang hebat. Luna tidak langsung mengungkapkannya, hanya tersenyum menanggapi balasan Terence. Apakah kau akan berpihak denganku?

"Tuan Putri, saya tidak tahu bagian selanjutnya," sahut Terence yang pada akhirnya mengakhiri dansa singkat mereka.

Seharusnya, ini waktunya untuk kembali ke aula, tetapi Luna yakin dansa di antara Pangeran Felixence dan Aurorasia belum berakhir. Mereka memang belum terlalu lama berada di luar istana.

Terence juga segera menyadari wajah sang putri yang agak muram.

"Omong-omong tentang bunga bercahaya yang sempat Tuan Putri bicarakan, Istana Selatan mempunyai tanaman yang bercahaya," ucap Terence.

"Oh ya?" Raut wajah Putri Felinette langsung berubah tertarik.

"Ada di telaga di belakang istana, kita tidak terlalu jauh dari sana. Apakah Tuan Putri mau melihatnya?" tanya Terence.

Luna mengangguk antusias, lalu berjalan beriringan dengan Terence yang memandu arah. Biasanya, Terence memang selalu berjalan di belakangnya. Namun karena kali ini Terence yang akan menuntunnya ke telaga, Terence tidak ingin berjalan di depannya dan tidak bisa mengawasi pergerakan Putri Felinette.

Benar saja. Tak lama kemudian, Luna bisa melihat telaga yang lumayan luas. Yang langsung membuat perhatiannya tercuri adalah keberadaan teratai putih yang tersebar di telaga. Seperti kata Terence tadi, memang teratai itu mengeluarkan cahaya. Ditambah adanya refleksi purnama raksasa di air, membuat semuanya makin sempurna.

"Wah! Aku baru tahu kalau Istana Selatan punya teratai yang bisa bercahaya. Apa ini sudah lama?" Luna benar-benar serius tidak mengetahuinya, karena bahkan ketika dirinya menjadi Felinette dulu, tidak pernah ada yang mengajaknya melihat kemari.

"Sudah hampir lima tahun, kalau tidak salah," jelas Terence. "Wajar saja Tuan Putri tidak mengetahuinya, semua Istana Terevias sangat besar dan Tuan Putri selalu sibuk di Istana Barat."

Itu memang benar. Luna mengiyakan dalam hatinya.

Luna berjalan mendekati dermaga, berharap dapat melihat teratai itu lebih dekat.

"Hati-hati, Tuan Putri."

Kali ini, Luna akan mendengar nasihat Terence tentang kehati-hatian, karena terakhir Terence memberitahunya dan Luna mengabaikannya, dia benar-benar terpeleset jatuh di antara bunga-bunga.

"Mengapa bunga teratai ini bisa bersinar? Apakah dengan sihir?" tanya Luna.

"Benar, Tuan Putri. Ketika tunasnya datang, sihir penyerapan energi diberikan agar teratai-teratai ini dapat menyerap cahaya matahari di siang hari, lalu mengeluarkan kembali sinar itu di malam hari," jelas Terence.

"Hm, seperti bulan, ya," gumam Luna tanpa disadarinya.

"Maaf?"

"Tidak, bukan apa-apa."

Teratai ini sama seperti bulan. Meskipun tampak bercahaya, dia tidak mampu membuat cahayanya sendiri.

Sama seperti namanya. Dan sama seperti nasib Felinette, tampak sempurna tetapi tidak memiliki kekuatan.

Luna meratapi keindahan bunga teratai beserta nasibnya dan Terence mengawasi dari belakang.

"Sebenarnya ..., ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepada Tuan Putri malam ini." Terence bersuara ketika keheningan menguasai mereka entah beberapa saat.

"Hm? Hal penting apa?" tanya Luna, tanpa mengalihkan perhatiannya dari bunga teratai.

"Uh, sebenarnya saya sendiri tidak tahu apakah bagi Tuan Putri ini penting atau tidak. Namun, bagi saya, ini adalah hal penting," jawab Terence agak ragu-ragu.

"Mungkin kau bisa bercerita dan aku yang akan menyimpulkan itu penting atau tidak," sahut Luna.

"Sebenarnya, malam ini—"

Terence terdiam, tidak melanjutkan kata-katanya, membuat Luna yang tadinya menikmati pemandangan bunga teratai, langsung berbalik menoleh ke arah Terence berada. Namun, rupanya Terence sudah tidak ada di belakangnya.

Luna mencari-cari keberadaan Terence, hingga akhirnya seruan yang cukup jauh terdengar di telinganya.

"Singkirkan pedangmu dari Nona Ravelsa!"

Luna langsung berdiri dan setengah berlari menuju sumber suara. Bukan karena dia mendengar suara milik Aurorasia Swanbell, atau yakin Terence ada di sana. Namun karena mendengar nama keluarga Irsiabella terdengar.

Tapi tidak mungkin. Luna masih mencoba meyakinkan diri.

Irsiabella tidak pernah meninggalkan kediaman Ravelsa, apalagi kalau sampai menghadiri acara besar seperti ini. Seharusnya, dia sedang bersembunyi, membuat Viscount Ravelsa tertimpa banyak rumor aneh mengenai kemungkinan bahwa pria itu mengurung putrinya, atau kemungkinan bahwa putri Ravelsa sebenarnya memiliki kecacatan, atau bahwa Putri Ravelsa memiliki penyakit mematikan dan banyak lagi.

Luna mendengar Aurorasia memanggil dengan jelas, tapi masih saja mengira bahwa dirinya salah dengar.

Apa mungkin, pertemuannya dengan Irsiabella akan berlangsung lebih cepat daripada seharusnya?

Namun, bagaimana bisa? Ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dari kejauhan, Luna melihat Aurorasia dan punggung Terence. Tak melihat adanya keberadaan pegangan pedang di pinggang Terence, Luna pun yakin bahwa perkataan Aurorasia mungkin saja sedang terjadi; Terence mengarahkan pedangnya kepada Irsiabella.

"Singkirkan pedangmu."

Luna memberikan perintah yang begitu datar, meski sebenarnya Luna tidak yakin bahwa suara Felinette saat itu tidak terdengar gemetar.

***TBC***

31 Mei 2021

Paws' Note

2277 kata!

A chapter to go!

Jujur, ini aku ngetiknya sambil berdoa agar kadar gula-ku enggak naik. Aduh kenapa sih anak orang lucu banget pengin tak hiih.

Sebenarnya ini sudah selesai terketik pada jam 01.50 pagi, tapi karena aku sudah ngantuk berat dan belum naruh fanart, jadinya kuputuskan untuk mempublish ini nanti saja.

Dan sebenarnya, aku pengin banget push satu chapter lagi untuk mengakhiri ARC Luna sekaligus mengakhiri MWM, tapi aku merasa kalau aku bakal agak terburu-buru dan chapter 50 bakal enggak maksimal, jadi aku akan putuskan ini menjadi bab terakhir yang kupublish buat MWM di Mei.

Jadiiiiii, bagaimana menurut kalian chapter hari ini? Apakah kalian sudah cukup dengan momen terakhir Terence-Felinette? ((I mean, karena kan aku bakal ganti ke POV Stella lagi dan Terence juga bakal segera berangkat perang, jadi ini adalah sweet moment yang rada terakhir buat mereka ahahaha))

Aku bukannya mau membuat Luna tampak tidak rasional, tapi aku merasa yang Luna lakukan memang sudah benar.

Kalian bakal marah enggak, kalau ada yang melihat isi pikiranmu tanpa izin? (yaaaa, walau sebenarnya di dunia nyata enggak bisa, ya)

Dan Luna ini bukannya cemburuan mulu. Ini kan ceritanya dia udah suka Felix sejak timeline The Fake Princess. Reunian dan masih diperlakukan seperti adik sayang, apakah tidak baper?

Luna juga sudah paham kalau di sini dia adalah Feline, adiknya Felix dan berusaha buat move on juga //hug hug Luna//

JADI, DI CHAPTER 50 NANTI, Luna bakal ketemu Irsiabella a.k.a Stella! YEEEEEEEY!

Pemilik gambar ini yang bernama Putri manaaa? Mohon diklaim gambarnya, Putriiiii!!!!~~~

Jujur, agak takut nulis next chapter. Soalnya kalo chap 50 dah kelar, kudu menjelaskan apa yang terjadi dengan dua manusia di balkon tengah malam.

But this story has to go on! ///tiup suling nada Titanic//

Cindyana H









Aduh, ngehaluin anak sendiri itu rasanya seperti menjadi Iron Woman.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro