Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46. Keinginan Felinette de Terevias (2)

"Bersamamu, kemanapun kita pergi, aku tidak takut."

***

Luna tidak bisa menyembunyikan ekspresinya. Aura positif dan wajahnya yang berseri-seri kerap tertangkap oleh Terence. Setelah mendapatkan panggilan dari raja. Setelah menunggu beberapa purnama, akhirnya keinginan-nya direspon dengan jawaban yang positif.

Di musim panas berikutnya, Luna diperbolehkan untuk bergabung dalam akademi publik.

Ada banyak persyaratan yang mau tak mau harus disetujuinya, tetapi di antara banyaknya syarat yang ada, syarat terberatnya adalah bergabung di sana hanya selama setahun. Pada tahun berikutnya, Putri Felinette yang telah berumur lima belas tahun harus bersiap-siap agar bisa memenuhi kewajibanya sebagai seorang Putri Terevias.

Namun, hal itu tidak akan menghancurkan kebahagiannya. Yang terpenting, Luna bisa menikmati hidupnya sebagai murid biasa tanpa harus terikat oleh status dan gelar.

Di musim dingin yang nyaris berakhir, ada banyak undangan minum teh berdatangan yang ditujukan untuk Putri Felinette. Pangeran Felixence bilang, itu momentum yang tepat untuk membentuk lingkaran pertemanan lebih awal. Luna tidak langsung memberikan respons pasti, karena sejujurnya Luna tidak butuh lingkaran pertemanan, dan langsung menolaknya pasti akan menimbulkan kecurigaan bagi Pangeran Felixence.

Sebenarnya, bisa saja Luna memberikan penawaran yang baik untuk Pangeran Felixence. Luna bisa menghadiri dua atau tiga pesta minum teh yang diselenggarakan oleh bangsawan, lalu menunggu Nona Anonim untuk menceritakan tentang kehadiran anggota kerajaan di pesta itu, tapi Luna juga berpikir panjang dengan sikap krisis Nona Anonim dalam menyembunyikan identitasnya. Jadi, sebenarnya rencana itu hanya akan membuang-buang waktunya.

Pangeran Felixence sendiri menemukan banyak petunjuk yang bisa digunakannya untuk menemukan Nona Anonim. Mereka sering bertukar pesan dan Nona Anonim sering memberikan petujuk tanpa disadarinya.

Misalnya, pernah ada satu hari Pangeran Felixence bercerita tentang ulang tahun adiknya--Putri Felinette, lalu Nona Anonim menyambut topik itu dengan mengatakan bahwa dia mempunyai adik yang juga berulang tahun di musim gugur.

Luna pikir, petunjuk itu saja sudah amat cukup; bangsawan minimal dua orang anak dan salah satu anaknya berulang tahun di musim gugur. Nona Anonim sendiri menolak untuk menyebut musim kelahirannya, jadi Pangeran Felixence tidak menjadikan petunjuk itu sebagai patokan, mengingat betapa berhati-hatinya Nona Anonim dalam membagikan informasi pribadinya.

Namun, Luna yakin, dengan kegigihan Pangeran Felixence dalam membongkar identitas pengirim pesan, identitasnya pasti dapat terungkap cepat atau lambat.

"Saya turut bahagia untuk Anda, Tuan Putri." Terence mengucapkan kata-kata itu dengan raut wajah yang bahkan tidak terlihat senang sama sekali.

"Kalau kau tidak berminat memberikan selamat, kau tidak perlu repot-repot," balas Luna, pura-pura tidak peduli.

Terence tidak membantah pernyataan itu dan membuat Luna sedikit merasa jengkel. Jika memang Terence tidak rela Putri Felinette pergi tanpa pengawasannya, mengapa Terence harus memberikan selamat? Itu hanya akan melukai hatinya sendiri.

"Tuan Putri tampak bahagia, jadi saya turut bahagia untuk itu," jawabnya.

Luna memberikan senyuman tipis, berharap pembicaraan mereka akan berakhir sampai di sana. Namun, rupanya Terence masih berminat melanjutkan perbincangan mereka siang itu. Buku Devil Eye masih dibawa Luna di tangan, memberikan petunjuk bahwa yang paling dibutuhkannya saat ini adalah keheningan  untuk menikmati bacaannya. Sepertinya Terence tidak membaca petunjuk yang satu itu.

"Sayang sekali, saya tidak bisa ikut ke Akademi Publik," sesalnya.

"Apa ada orang yang ingin kau temui di sana?" tanya Luna.

Terence terdiam selama beberapa saat, lalu mengalihkan pandangannya dan mengelus tengkuknya agak ragu. "Ya ..., saya memang mengenal beberapa orang di akademi publik."

"Oh ya?" Luna sedikit terkejut. Dia pikir, nasib Terence mirip dengannya, terkurung di istana dan tidak pernah melihat dunia luar. Rupanya, Terence sudah pernah punya dunianya sendiri.

"Saya mengenal putra Marquess lain, juga para putra Count dan Earl. Kebanyakan pertemuan pertama kami bermula sebelum ayah saya diangkat menjadi panglima perang. Banyak dari mereka yang mengeyam pendidikan di Akademi Publik," ceritanya.

Jika memang demikian, berarti tidak membawa Terence ke akademi publik juga adalah salah satu keputusan tepat. Luna tidak ingin ada yang mendapat kesempatan untuk berkerumun di antaranya dan menjadikan Terence sebagai alasan.

Lagipula, Terence saat ini mengorbankan waktu masa mudanya untuk pencapaian di masa depan yang lebih menjanjikan. Terence akan menjadi ketua pasukan pemberantas di usianya yang belia, lalu pulang ke Terevias sebagai pahlawan yang berjasa.

"Apa dia putra Marquess juga?" Tiba-tiba Terence bertanya setelah keheningan selama beberapa saat. 

"Apanya?" Luna bertanya balik. 

Tampak jelas wajah penuh keraguan dari Terence. "Itu ... pemuda yang menjadi alasan Tuan Putri ingin ke akademi publik." 

Luna berusaha keras menahan tawa sebisanya. Tentu saja Terence akan berpikir seperti itu. Para Duke di Terevias tidak memiliki anak laki-laki sebaya Felinette. Duke Swanbell hanya memiliki seorang putri--Aurorasia Swanbell. Duke Lucerne memiliki putra, tetapi masih balita. Lalu, Duke Archellios juga tidak memiliki putra. Pengecualian jika nanti Duke Archellios akan mengadopsi putra, tapi itu belum terjadi. 

Setelah dipikir-pikir pun, ada banyak Marquess di Terevias yang memiliki putra-putra yang sebaya dengan Felinette. Barangkali, jika kematian Felinette tidak terjadi di usianya yang belia, Felinette akan diharuskan untuk menikah dengan salah satu putra Marquess, atau mungkin pangeran dari negeri seberang untuk memperkuat hubungan politik antar negeri. 

"Oh." Luna melemparkan senyuman, lalu menopang sebelah dagu. "Mungkin?" 

Terence tetap berdiri tegak, berusaha menangkap maksud perkataan Luna. 

Luna langsung berdiri dan menepuk-nepuk buku-nya dengan semangat. "Kurasa kita harus kembali ke Istana Barat. Kak Felix pasti akan datang untuk membicarakan tentang keputusan raja." 

"Baik, Tuan Putri," jawab Terence dengan patuh. 

*

Luna sudah membaca keseluruhan isi buku Devil Eye sejak pertama kali menemukan buku itu secara tidak sengaja di perpustakaan kerajaan. Berulang kali pula, Luna membaca ulang kisah yang sama tentang pengurungan para iblis oleh Dewa Agung. Semuanya masih sama persis dengan dongeng yang pernah didengarnya.

Itu artinya, Luna memang tidak bisa mendapatkan petunjuk apapun tentang pemuda bermata merah yang akan membunuhnya. 

Di ruang biasa Luna membaca buku, Luna menyimpan buku itu di antara buku-bukunya yang terpajang di sana agar tidak terlalu kentara. Untuk urusan buku-buku yang dibaca olehnya, sejauh ini Terence tidak pernah melaporkannya kepad pangeran atau raja. Barangkali Terence mengira bahwa itu hanyalah pelajaran wajib yang memang harus dipelajari olehnya. 

Setelah memastikan bahwa semuanya aman, Luna kembali duduk di sofa panjang yang ada di tengah-tengah ruangan. Pangeran Felixence pasti akan datang menemuinya begitu mengetahui tentang Felinette yang diperbolehkan untuk mengikuti akademi selama setahun. 

Setahun memang bukan waktu yang terlalu lama bagi Luna. Dan bahkan mungkin akan terasa sangat singkat, mengingat itulah masa-masa bagi Luna untuk merasakan kebebasan untuk sementara waktu. 

Namun, itu pun bukan berarti Luna bisa melakukan apapun yang diinginkannya, mengingat dia tetap akan berada di bawah pengawasan kerajaan. 

Luna punya banyak harapan. Luna ingin kabur dan meskipun itu mustahun, setidaknya, selama setahun berpisah dengan Pangeran Felixence, Luna ingin mencoba menerima kenyataan bahwa saat ini Luna adalah Felinette dan Pangeran Felixence adalah kakaknya. Luna harus mengesampingkan perasaan semunya, bahwa rasa afeksinya terhadap Pangeran Felixence hanyalah sebuah keharusan yang memang ada dalam diri Felinette sejak awal. 

Barangkali, Terence benar. Nantinya salah satu putra Marquess akan menjadi orang yang disukainya. 

 Luna memejamkan matanya, merasakan perubahan suhu yang tidak lagi membekukan kulit. Musim semi tahun ini tampaknya datang lebih cepat beberapa pekan daripada perhitungan sebenarnya. Itu hal yang baik, sebab Luna sudah mulai bisa tertidur lelap meski masih dihantui mimpi buruk. 

Akan indah sekali, jika hari itu tidak pernah datang. 

Luna tidak punya kepercayaan diri yang besar, jadi dia tidak yakin bisa membuat pengaruh besar yang membawanya pada satu akhir yang indah. Luna hanya tidak ingin bertemu kembali dengan maut, apapun yang terjadi. 

Ketika Luna membuka matanya, betapa terkejutnya dia menemukan dirinya duduk di sebuah kursi kecil yang terletak di tengah-tengah permadani rumput yang luas. 

Sempat berkedip bingung selama beberapa saat, Luna memperhatikan kedua telapak tangannya. Itu telapak tangan Felinette, karena Luna masih ingat dengan bentuk garis tangannya. 

Luna ingat garis bagian mana yang menjelaskan tentang umur seseorang. Dan memang, Felinette pun memiliki satu bagian yang sama dengannya; bahwa umur mereka memang tidak panjang. 

Segera, Luna mengepalkan tangannya kuat-kuat. Persetan dengan semua ramalan busuk itu. Luna tidak akan menerimanya semudah dulu. 

Luna segera berdiri dari tempat duduknya, mengabaikan semua kemustahilan yang tengah dilihatnya. Saat ini, apa yang ada di depannya seolah tidak terbatas. Langit biru membentang luas, kabut masih mendominasi dari kejauhan, lalu embun-embun yang dingin terasa di sela-sela kakinya. 

Jika Luna memiliki satu kesempatan yang pasti untuk bisa selamat, Luna tidak ingin menunggu ketidakpastian lebih lama lagi. 

Luna mulai berlari menjauhi kursi, lalu ketika merasa bahwa sepatunya agak mengganggu, Luna membiarkannya terlepas dan menghilang di antara rerumputan yang tebal. Terus ditempuhnya perlariannya itu, hingga akhirnya ada sebuah keraguan untuk meninggalkan tempat itu. 

Diangkatnya juga sedikit gaunnya hanya agar perlariannya berjalan lancar. Tidak lucu jika Luna tersandung dan berada di antara permadani rumput yang empuk. Mungkin itu akan nyaman, tapi Luna ingin secepatnya menjauh dari tempat itu.

Meskipun terus berlari, Luna akhirnya membalikkan kepalanya untuk memeriksa pemandangan di belakangnya. 

Bisa dilihatnya salah satu istana Terevias yang berdiri megah di sana. Bahkan ada bendera Terevias yang masih berkibar dengan kencang, seolah menantang Luna untuk kembali. 

Namun, Luna tetap berlari dengan begitu putus asa. Setiap berbalik ke belakang, jaraknya dan istana tetap tidak membuat perbedaan. 

Langkah Luna akhirnya terhenti, ketika dia kembali melihat kursi yang didudukinya tadi berada di depan matanya. Luna mulai memahami bahwa ini adalah mimpinya dan dia terlalu berputus asa untuk segera menghindar dari kepastian yang mengejarnya. 

"Feline." 

Suara itu menggema-gema dan lagi-lagi Luna ingin menangis ketika menyadari bahwa itu adalah suara Pangeran Felixence yang memanggilnya. 

Kumohon

Luna melewati kursi itu, lalu kembali melanjutkan perlariannya, mengabaikan pandangannya yang kembali menemukan kursi itu dari kejauhan. Terus diabaikannya kursi itu dan terus berlari dengan putus asa. 

"Felinette." Suara itu terdengar lagi. 

Kumohon, jangan bangunkan aku. 

"Felinette!" Akhirnya suara pangeran berhasil membuatnya terbangun. 

Luna membuka matanya dengan agak tidak rela, menelan kekecewaan dari mimpi yang paling diinginkannya. Rasanya, semua mimpi yang didapatkan Luna hampir sepenuhnya bercerita tentang kematian Felinette. Kali ini, Luna mendapatkan mimpi indah dan harus terbangun secara paksa oleh Pangeran Felixence. 

"Iya, Kak?" Luna menjawab dengan manis. 

Seperti dugaan Luna, wajah Pangeran Felixence tampak begitu terluka dan terpukul dengan keputusan itu. 

Namun, Luna tidak menyangka, Pangeran Felixence hanya terpaku diam dan menatap lurus ke arahnya, masih dengan ekspresi yang sama. Luna pikir Pangeran Felixence akan mengatakan banyak hal yang memintanya untuk mengubah keputusannya. 

"Kakak sudah dengar tentang keputusan permintaanku?" tanya Luna. Tanpa menunggu jawaban dari pangeran, Luna kembali melanjutkan, "Aku akan bersekolah di akademi publik. Sayang sih, hanya diperbolehkan selama setahun."

Pangeran Felixence masih diam, membuat Luna bertanya-tanya dalam hatinya. Apa keputusan ini membuatnya sekecewa itu?

"Setahun tidak akan lama, kak. Hanya pergantian empat musim dan kemudian aku akan kembali lagi," ucap Luna, berusaha menghiburnya. 

Namun, raut wajahnya belum juga melembut. Luna sampai kehabisan kata-kata karena tidak tahu lagi harus mengatakan apa untuk menenangkan Pangeran Felixence. 

"Benarkah?" tanya Pangeran Felixence sambil mendekatkan wajahnya. 

Luna juga memundurkan wajahnya secara refleks, "T-tentu?" 

Harapan Luna saat ini hanya satu; wajahnya tidak memerah. Tapi jika itu memang terjadi, Luna bisa membuat alasan bahwa sebenarnya suhu di sini terlalu dingin untuknya. 

Wajah Pangeran Felixence yang tadinya menatapnya serius, langsung tidak lagi terdeteksi, karena tanpa bisa Luna duga, Pangeran Felixence langsung memeluknya. 

"K-k-kenapa?" tanya Luna sambil berusaha mendorong bahu Pangeran Felixence. 

"Harusnya aku yang bertanya. Kenapa, Feline?" tanya Pangeran Felixence bertanya balik. 

Kebingungan Luna pun terjawab ketika Pangeran Felixence kembali memperlihatkan wajahnya. Raut wajahnya masih sama, terlihat begitu terpukul dan kecewa. Luna juga menangkap raut kesedihan yang dalam. 

"Mengapa kau tidak berhenti berlari?" 

Butuh waktu beberapa saat untuk mencerna pertanyaan Pangeran Felixence, sampai akhirnya Luna tersadar bahwa Pangeran Felixence baru saja mempertanyakan apa yang baru saja terjadi di dalam mimpinya. 

"B-bagaimana ..." Luna langsung tersadar bahwa sihir mungkin terlibat di dalamnya. "Kakak menggunakan sihir untuk melihat mimpiku?" 

"Itu bukan mimpi," jawab Pangeran Felixence. "Itu keinginan terdalammu, Feline." 

Keinginan terdalam Luna ... dia ingin pergi dari istana Terevias, melenyapkan eksistensinya, menghilang tanpa ada siapapun yang menyadari keberadaannya. Luna ingin hidup dengan tenang tanpa diusik dan terikat oleh apapun. 

Luna ingin kebebasan tanpa ditentang dan dibatasi oleh apapun. 

Tanpa Luna sadari, air matanya telah terkumpul di pelupuk matanya. Luna menghindari kontak mata sang pangeran, lalu mencoba melepaskan diri dari genggamannya. 

"Mengapa, Feline?" tanya Pangeran Felixence dengan penuh tuntutan. "Mengapa kau begitu ingin meninggalkan istana?" 

Luna menggeleng, enggan menjawab pertanyaan itu. Gelengannya terlalu cepat dan menolak, sampai air matanya langsung jatuh tanpa bisa ditahan olehnya. 

"Kumohon, jangan menangis," ucap Pangeran Felixence dengan lembut. Diusapnya kedua pipi Luna untuk menghapus air matanya yang jatuh di sana. 

Melihat adiknya yang terus menangis, membuat Pangeran Felixence luluh dan memeluknya kembali. Hatinya melunak untuk tidak memaksa adiknya menjawab lebih lanjut lagi. Diusapnya rambut pirang Felinette dengan sayang. 

Sejauh yang Pangeran Felixence ingat, Felinette hampir tidak pernah menangis. 

Pangeran Felixence memang merasa bahwa adiknya terlalu aneh belakangan ini, membuatnya akhirnya memutuskan untuk melihat isi pikiran adiknya diam-diam. Pangeran Felixence juga tidak menyangka akan melihat keinginan adiknya yang tidak pernah diprediksikan olehnya. 

Memangnya, apa yang salah? Apa yang membuatnya ingin pergi?

Tentu saja, Pangeran Felixence tidak akan keheranan, bila dia bisa melihat lebih jauh keinginan adiknya. Hanya gambaran itu yang bisa dilihat olehnya, sebuah ambisi yang sangat besar dan keyakinan besarnya untuk menjauh dari istana. 

Luna sendiri, merasa telah tertangkap basah. Namun, karena ketidakberdayaannya, dia tidak bisa mengakui keinginannya dengan lantang. 

Luna bukan seseorang yang cengeng. Luna jarang menangis, meskipun sudah berkali-kali tertampar oleh pahitnya kenyataan hidup yang selalu dilewatinya. 

Kalaupun sedang ingin menangis, Luna bisa menangis sendirian sepuas mungkin, lalu dia bisa kembali tersenyum ceria seolah tidak ada beban yang menghantui pikirannya, tanpa membuat siapapun curiga. Luna berbakat dalam menyembunyikan kesedihannya, keinginannya dan rahasianya. 

Pelukan Pangeran Felixence memang terasa sangat hangat, membuat Luna secara tidak sengaja kembali teringat dengan Stella. 

... Luna kembali déjà vu. 

Dia pernah mengalami hal yang sama, ketika masih menjadi Luna. 

"Mengapa aku masih hidup? Aku tahu aku tidak akan bisa diselamatkan lagi. Mengapa Kak Stella tidak membiarkanku mati saja? Ini sangat menyakitkan, Kak ...."

Dan kala itu, kakaknya juga memeluknya untuk menenangkannya. Barangkali, sambil  berharap diam-diam bahwa Luna tidak pernah tahu bahwa dia juga menangis karena terluka dengan kata-kata yang dilontarkan Luna. Namun, Luna diam-diam menyadarinya karena pundaknya yang basah. Luna tidak pernah membahasnya untuk menjaga perasaan kakaknya.

Tangisannya semakin tak terkendali. Luna penuh dengan penyesalan dan ingin sekali bertemu dengan Stella sekali lagi. Luna ingin memeluknya untuk meminta maaf, walaupun sepertinya sangat mustahil meskipun hanya menemuinya di dunia mimpi. 

Sepertinya, dari dulu sampai sekarang, hanya ada satu hal yang membuatnya tetap sama. 

Luna hanya menangis di depan kakaknya. 

***TBC***

23 Mei 2021

Paws' Note

Tidak bermaksud untuk membuat angst, tapi aku kudu buru-buru karena next chapter harus sudah sampai scene di mana latar waktunya balik kembali ke chapter 36 (POV Luna yang pertama), agar aku bisa langsung nulis scene di malam ulang tahun sang raja. 

Jadi, rencananya POV Stella bakal balik di chp 51, semoga rencananya bisa berjalan mulus ya, huhuhuhuhu. Semakin cepat semakin baik, karena kalian akan mendapat petunjuk tentang siapa antagonis di cerita ini. 

Karena ruang lingkup cerita ini terlalu luas, aku memutuskan untuk memotongnya lebih ringkas. Jadi, akan ada banyak scene penting yang aku tell karena kalau diterangkan bakal banyak banget.

Oh ya, sekadar informasi, cerita ini punya 2 main character, ya. Pemeran utamanya adalah Stella (Irsiabella) dan Luna (Felinette). Bukan salah satu saja, mkay? Jadi, kalian berusahalah mencerna cerita ini dari kedua sisi, karena kalau kalian hanya fokus dengan satu sisi saja, konspirasi yang kalian buat bakal plothole

Aku pribadi sudah mengatakan ini (berulang-ulang). Semakin banyak informasi yang diungkapkan, maka konspirasi yang kalian bikin, bisa semakin nyambung sama tujuan dari cerita ini. Dan aku sudah bilang juga, bahwa dari sekian banyaknya konspirasi yang kalian diskusikan, ada yang sudah hampir mendekati kebenaran cerita ini.

Gimana? Apakah kalian masih bersemangat buat bikin konspirasi yang lebih pecah? Aku sih semangat banget baca konspirasi kalian. Banyak banget konspirasi yang enggak pernah kepikiran sama aku, tapi kalian bisa membuat konspirasi itu masuk akal dan menjadi alternate plot hahaha. Kalian hebat~~~

Oke, bacotanku hari ini cukup panjang ya, hehehehe. Habisnya terharu banget kalian sangat semangat berapi-api sama cerita ini. 

Pokoknya, apapun plot yang nanti akan kita hadapi, aku janji kalian enggak bakal kecewa. 
(((((Yaaaa, kemungkinan besar kalian hanya bakal kecewa karena kapal di cerita ini terlalu banyak dan ternyata kapal kalian karam, hehehe))))

Fanart kita hari ini dari @arns_ch
(IG) Mohon yang merasa username IG-nya disebutin, tolong komen untuk klaim gambarnya, yaaa.


Terima kasih! 

See you again!

Cindyana 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro