43. Hidangan Teh Felinette de Terevias
"Menurutmu, apa arti selamanya?
Untuk waktu yang selama mungkin?
Atau kekal, abadi, dan tidak terbatas?
Apapun itu, kata-kata seindah itu agak mustahil."
***
Ketukan pintu itu terdengar ketika Luna sedang menuangkan setetes cairan berwarna keemasan di dalam teko tehnya yang masih mengepul.
Luna ingin menggerutu karena sebelumnya telah mengingatkan kepada semua pelayannya untuk tidak menginterupsinya selama sedang menikmati tehnya.
Cepat-cepat, Luna menyimpan botol kecil itu kembali dalam jahitan tersembunyi dalam gaunnya, lalu berusaha mengatur jantungnya yang sebenarnya berdebar kencang karena aksinya barusan.
"Silakan."
Pintu di ruangan itu terbuka. Sejujurnya Luna juga tidak tahu harus menyebut ruangan ini sebagai apa, karena ruangan itu bukanlah ruangan khusus untuk menikmati teh sore, ataupun ruang tamu--sebab Luna tidak pernah benar-benar punya tamu untuk diundang di Istana Barat. Namun selama ini itu menjadi tempatnya menenangkan diri dan meminum teh sendirian.
Terence muncul dari ambang pintu, menatapnya agak ragu sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah masuk.
"Maaf mengganggu waktunya, Tuan Putri."
Oh, jadi akhirnya kau memutuskan untuk berbicara.
Luna hanya diam, mempersilakannya. Sudah nyaris sepekan sejak hari ulang tahunnya dan Terence tidak pernah membahas tentang misinya yang telah tertangkap basah itu. Luna juga dalam masa berhenti mengajak Terence berbicara panjang lebar, apalagi berbasa-basi untuk membahas hal itu, sebab Luna sudah tahu bahwa Terence akan menghadapi Death Wave, cepat atau lambat.
"Silakan duduk." Luna mempersilakan, tetapi Terence tetap berdiri menatapnya dengan penuh bersalah. "Apa itu artinya perbincangan kita akan singkat?"
"Saya tidak pantas di posisi yang sama dengan Tuan Putri," jawabnya.
"Jadi, apakah berdiri pantas?" tanya Luna lagi. Baru saja hendak mengubah posisi untuk berjongkok di sampingnya, Luna kembali menyela. "Kau sedang melawan, ya?"
Setelah mendengar Luna mengatakan demikian, barulah akhirnya Terence memutuskan untuk duduk di seberangnya.
Luna melirik teko keramiknya yang masih mengepul mengeluarkan aroma khas yang mengisi seluruh ruangan. Rasanya ingin sekali menawarkan teh itu kepada Terence, tapi Luna telah memasukkan ramuan Golden Sun di dalamnya.
"Pelayan, buatkan teh baru dan berikan cangkir tambahan," pinta Luna yang langsung membuat beberapa pelayan masuk ke dalam untuk membawa cangkir dan teko itu keluar. Sebelum pelayan tak dikenal itu benar-benar keluar dari ruangan itu, Luna menambahkan, "Teh itu kurang segar. Langsung dibuang saja."
Demikianlah begitu, setelahnya ruangan itu kembali hanya menyisakan Luna dan Terence yang duduk saling berhadapan.
"Tuan Putri, saya minta maaf."
"Apa kau berbuat kesalahan?" tanya Luna dengan dingin. Ya, kalau Terence ingat dengan pertanyaan itu, barangkali dia akan tahu seberapa menyebalkan pertanyaan itu.
"Saya tidak jujur tentang misi yang akan saya hadapi," jawabnya.
"Aku tidak ingat pernah memintamu untuk menceritakan segalanya," jawab Luna, masih dengan ekspresi yang sama. "Kalaupun akhirnya ada keputusan tiba-tiba untuk mengganti ksatria pribadiku hari ini, tidak ada apapun yang bisa diperbuat."
Terence diam selama beberapa saat, tetapi tetap tidak menoleh ke arah Luna.
"Apa semua pelajaran dan materi wajibmu sudah selesai?"
Luna bertanya dengan agak cemas, tapi dia berusaha agar tidak terlihat begitu kentara. Terence tidak boleh sampai menganggapnya terlalu baik, itu akan mempersulit alur yang sebenarnya. Masa depan Terence yang dipastikan terang benderang bisa saja menjadi taruhannya.
"Belum sepenuhnya," jawabnya, masih enggan menatap ke arah Luna.
Terence punya kehidupan yang sulit. Di usia yang muda, dia telah dituntut untuk bisa menguasai teknik bertarung ayahnya. Padahal, saat ini Terence seusia Putri Felinette dan masih harus menyelesaikan tanggungan wajib agar dapat terlibat dengan perpolitikan kerajaan di masa depan.
Meski begitu, sudah ada jaminan bahwa Terence akan terlibat dalam posisi yang sama dengan ayahnya, mengingat misinya memberantas Death Wave memang sukses besar.
"Jadi, mengapa kau tidak memberitahuku?" tanya Luna.
"Saya ... belum siap meninggalkan istana, Yang Mulia," jawab Terence.
Sebaiknya, Luna tidak bertanya lebih lanjut. Akan ada masalah lain yang datang, jika Terence sampai mengatakan hal-hal aneh seperti yang sudah berlalu. Luna akan menganggap bahwa Terence masih terlalu belia untuk menghadapi pemberantasan besar semacam itu, walau sebenarnya Luna juga kurang yakin dengan alasan yang satu itu.
Teh lain telah datang dalam ruangan. Luna sudah terbiasa meminum teh sendirian dan menuangkan tehnya sendiri. Maka, ketika Luna berencana untuk menuangkan teh untuk dirinya dan Terence, Luna agak kaget ketika Terence memutuskan untuk berinisiatif melakukannya.
"Terima kasih," ucap Luna tanpa sengaja.
Ketika Terence menatapnya agak mengerjap, Luna ingin sekali membekap mulutnya sendiri. Padahal, Luna sudah latihan mati-matian agar jangan sampai mengucapkannya semudah itu.
"Tuan Putri tidak perlu--" Terence tampak kehilangan kata-kata. "Seharusnya, saya yang mengatakan terima kasih kepada Tuan Putri."
Perut Luna agak tergelitik tanpa alasan, "Mengapa begitu? Padahal selama ini aku tidak pernah melakukan apapun. Bukankah sebaliknya, kau yang selalu menjalankan tugasmu untukku?"
"Tuan Putri terlalu rendah hati," sahut Terence.
...rendah hati?
Tiba-tiba, Luna ingat dengan semua rencana egois yang telah dibuatnya.
Tolong jangan menyebutku sehebat itu. Karena nyatanya segala hal yang Luna lakukan semata-mata hanya untuk keselamatannya sendiri.
"Jadi, apa lagi yang ingin kau bicarakan?" Luna mengubah topik pembicaraan.
"Sebelumnya, saya ingin minta maaf terlebih dulu. Kalau boleh ikut berpendapat, saya pikir keputusan Tuan Putri untuk bersekolah di sekolah publik agak sedikit gegabah."
... Baiklah, tentu saja Terence akan sependapat dengan Raja dan Pangeran.
"Akademi Publik itu tempat teraman ketiga setelah di Istana dan Kuil Agung, Terence," jelas Luna. "Aku tidak punya teman dan kenalan. Bukankah aku sangat menyedihkan, sebagai Putri Terevias?"
Ada perbedaan yang harus Luna lakukan ketika membujuk Pangeran Felixence dan Terence. Jika sedang berdebat Pangeran Felixence, Luna harus mencari ujung alasan yang tidak terbantahkan, sehingga Pangeran Felixence tidak bisa menemukan alasan lain untuk tidak melakukannya. Jika sedang membujuk Terence, Luna tinggal membuatnya simpati sampai kehabisan kata-kata.
"Tuan Putri bisa mencari teman lewat surat, lalu mengundangnya ke istana," jawab Terence.
Luna menatap Terence dengan tatapan sedikit menyipit, mencurigai jawabannya.
Apa yang terjadi dengan Terence yang biasanya jinak itu? Apa jangan-jangan dia menghabiskan waktunya selama seminggu untuk menemukan jawaban untuk membantah perkataan itu?
Pelan-pelan, diangkatnya cangkir berisi teh yang telah dituangkan oleh Terence tadi. Uapnya masih mengepul tebal dan aromanya yang lembut tercium begitu khas.
"Hm ..., bertukar pesan dan mengundangnya ke istana, ya ...." Luna tampak menimbang-nimbang, walau sebenarnya keputusannya memang sudah bulat.
"Iya, Tuan Putri."
Luna melemparkan senyum tipis, "Setelah itu langsung memperkenalkannya di depan Yang Mulia raja dan Pangeran Felix. Benar, kan?"
Terence yang semula duduk membungkuk, langsung mengangkat kepalanya. Ditatapnya sang putri yang duduk di seberangnya dengan raut agak terganggu.
"... Tuan Putri membicarakan tentang pemuda itu?" tanyanya pelan.
"Benar."
Terence langsung membatu diam selama beberapa saat, lalu ikut mengangkat cangkir tehnya agak kaku. Disesapnya sedikit lebih dulu tanpa meminta izin, lalu kembali melabuhkan pandangannya di manik biru sang putri.
"Seperti itu kan, maksudmu?" tanya Luna, masih tersenyum.
Terence terdiam cukup lama. Diletakannya cangkir tehnya di atas meja, lalu meratapi bayangannya sendiri di atas air teh.
Melihat Terence yang menunjukkan wajah serius seperti itu, Luna jadi ikut gelisah. Apa Luna terlalu keterlaluan mengerjainya? Luna sengaja memancing Terence dengan 'pemuda fiksi' yang tidak pernah ada itu, berharap Terence kembali jinak dan menyerah.
Pelan-pelan, Luna mendekatkan cangkir teh ke bibirnya untuk meredakan kecanggungan yang baru saja tercipta karena ucapan 'berani'-nya itu.
Namun, belum sempat bibir cangkir itu tersentuh olehnya, Terence tiba-tiba berdiri dengan cepat dan meraih cangkir yang sedang dipegang Luna.
"Tuan Putri, jangan!"
Luna yang terlalu kaget pun tak sengaja meloloskan pegangan cangkir. Ketika cangkir berisi minuman itu akan jatuh di pangkuannya, tangan Terence dengan cepat menggenggam cangkir keramik itu dan melemparkannya ke sembarang arah.
Luna tidak melihat keadaan cangkir itu, tetapi terdengar suara pecahan kaca setelah beberapa saat.
Beberapa pelayan pun juga langsung masuk ke dalam ruangan itu, tampaknya karena mendengar suara pecahan kaca. Raut mereka agak cemas, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang berani menanyakan apa yang terjadi.
"Anda tidak apa-apa?!" Terence segera berjalan ke arah Luna yang masih membatu diam, tidak mampu mencerna kejadian yang baru saja menimpanya secepat itu.
Saat ini, Luna hanya bisa melihat tangan Terence yang merah karena terkena air panas. Bahkan masih ada asap yang mengepul keluar dari tangannya, seolah tangannya baru saja keluar dari rebusan air panas.
"Tuan Putri, apa Anda tidak apa-apa?" ulang Terence lagi, kali ini berhasil menyadarkan Luna.
"Harusnya aku yang bertanya, kan?!" Luna benar-benar kehabisan kata-kata, dia bahkan belum mengerti skenario seperti apa yang baru saja terjadi. "Pelayan! Cepat bawa air dingin kemari!"
Ada beberapa pelayan yang pergi untuk menunaikan permintaan Luna, sisanya masuk untuk membereskan kekacauan di sana. Ada pula yang hanya berdiam, seolah menunggu sang putri membuat keputusan untuk keadaan ini.
"Mengapa kau melakukan itu?! Kau melukai dirimu!" bentak Luna tanpa disadarinya.
Tangan yang Terence gunakan untuk bertarung ....
"Apakah sakit?" tanya Luna lagi.
Kali ini, Luna tidak bisa mengontrol ekspresinya untuk tidak menampakkan wajah cemas. Image dingin yang selama ini Luna bangun, runtuh hanya dalam beberapa menit. Ada seseorang yang terluka karena dirinya. Luna tidak bisa berhenti merasa bersalah.
"Saya tidak apa-apa, Tuan Putri," jawabnya dengan hangat.
Di detik yang sama, ketika Terence menoleh ke arah lain, raut wajahnya langsung berubah drastis. Bulu kuduk Luna langsung merinding ngeri tanpa disadarinya.
"Siapa yang akan bertanggung jawab dengan kandungan dalam teh ini?" tanya Terence masih dengan raut wajahnya yang menyeramkan.
Semua pelayan itu tampak terdiam, mungkin masih bingung sama seperti Luna.
"Kau." Terence menunjuk salah satu pelayan yang ada di ruangan. "Kau yang tadi mengantar teh untuk Tuan Putri. Apa kau yang membuat teh ini?"
Pelayan itu juga hanya terdiam kaku, tampak jelas sekali bahwa dia tidak menyangka akan ditunjuk di antara keramaian seperti itu.
"Jawab pertanyaanku!"
Tanpa bisa Luna duga, Terence mengeluarkan pedang yang terbalut dalam sarung pedang di pinggangnya. Tentu saja Luna terkejut, padahal dia pun belum bisa mencerna apa yang terjadi sedaritadi.
"B-bukan saya, Tuan Muda Arsenio. S-saya tidak tahu siapa yang membuatnya. Saya hanya menghidangkannya untuk Yang Mulia Putri," jawab pelayan muda itu dengan suara gemetar.
"Terence, apa yang kau lakukan?!" tanya Luna sambil berjalan mendekatinya.
"Jangan mendekat, Tuan Putri. Ini berbahaya," ucap Terence.
"Tenangkan dirimu! Tanganmu masih terluka."
Rasanya, ini pertama kalinya rencana Luna tidak berjalan sesuai prediksi sejak Luna menjadi Felinette lagi. Luna bahkan melupakan semua pantangan-pantangannya untuk bersikap acuh kepada Terence, atau menjaga citra dan wibawanya. Semuanya kacau perhari ini.
Ada beberapa pelayan yang datang lagi. Mereka membawa baskom berisi air dingin, tetapi langkah mereka terhenti dan wajah mereka memucat sama seperti semua orang yang ada di ruangan, tatkala melihat Terence mengeluarkan pedangnya.
Terence dan pedangnya adalah perpaduan yang mengerikan. Bahkan seorang Luna saja mengetahui tentang hal itu.
Luna tidak bisa membiarkan ketegangan ini berlangsung lama.
"Semuanya akan diinterogasi dan jangan sampai ada yang keluar istana! Segera kumpulkan semua pelayan di Istana Barat! " pinta Luna.
Setelah Luna mengatakan begitu, barulah Terence menyimpan kembali pedangnya dengan berat hati. Terence menatap tajam semua pelayan yang mengawasi pergerakannya dengan ngeri, seolah tidak mempercayai satu pun di antara mereka.
Di saat itulah, Luna mencoret nama Terence dari daftar sesuatu yang jinak.
.
.
Terence menyadari ada kandungan racun dalam teh itu dalam sekali teguk.
Ayah Terence adalah seorang Marquess, salah satu bangsawan yang memiliki tingkat kekuasaan yang besar. Ada beberapa keluarga Marquess di Terevias yang memiliki kekuatan sihir, tetapi untuk kasus Marquess Arsenio, mereka mendapatkan gelar Marquess dari kerja keras dan dedikasi kesetiaannya terhadap Kerajaan Terevias.
Sejak kecil dan hingga hari ini, Terence masih sering mengonsumsi racun untuk melatih tubuhnya sendiri agar dapat meningkatkan daya imun tubuhnya terhadap racun. Terence sudah terbiasa dengan itu, sebab itulah melihat reaksi tubuhnya yang biasa didapatkannya usai meminum racun, membuatnya tersadar walaupun dalam kadar yang sedikit.
Benar, ada kandungan racun yang sedikit dalam teh itu.
Dan harus ada seseorang yang bertanggung jawab dengan insiden ini.
Luna juga langsung menyadari satu-satunya kesalahan yang dilakukan oleh pelayannya.
... mereka tidak mengganti teh itu sesuai perintahnya.
Sebenarnya, Luna sendiri-lah yang menaruh racun itu dalam tehnya.
Atau ralat, sedikit cairan Golden Sun.
Minuman itu juga sejatinya memang ditujukan untuk dirinya sendiri, bukan dihidangkan untuk Terence. Karena mereka tidak mengganti tehnya, jadilah Terence juga ikut meminum racunnya.
Namun dari banyaknya penyesalan yang terjadi, satu-satunya yang membuat Luna lega hanyalah fakta bahwa Terence sudah kebal dengan racun. Jika tidak, maka sudah pasti bukan hanya tangan Terence yang akan terluka.
Golden Sun mengandung racun dan itu adalah kenyataannya. Dalam proses memproduksi Golden Sun, banyak macam tumbuhan dilibatkan dalam pengambilan sari-sarinya. Selain itu, pembuatannya juga melibatkan sihir tingkat tinggi yang membuat aroma harum Golden Sun mampu bertahan sepanjang hari.
Di kehidupannya ketika menjadi Felinette dulu pun, Golden Sun adalah parfum yang populer dan terkenal di kalangan bangsawan. Namun, entah siapa yang memulainya, ternyata ada bangsawan yang sepertinya melakukan uji coba diam-diam dan menjadikan parfum itu sebagai senjata.
Ada banyak kasus pembunuhan yang tidak terpecahkan terjadi di kalangan bangsawan. Tidak ada yang menduga bahwa sumbernya adalah sebuah parfum yang sedang naik daun. Pembuat Golden Sun juga sama sekali tidak tahu menahu bahwa produknya akan seberbahaya itu.
Kasus racun berkedok parfum ini mulai terbongkar ketika Putri Felinette diracuni diumurnya yang ke-15. Dan itu artinya, dulu Felinette juga pernah diracuni dengan Golden Sun, tetapi menjadi korban keracunan yang selamat.
Sebenarnya, rencana Luna sudah cukup hati-hati. Luna ingin membuat tubuhnya terbiasa dengan racun, sama seperti taktik-taktik penambah imun yang dilakukan oleh para bangsawan lain. Alasan itulah yang memicu Luna untuk meminum teh dengan sedikit kandungan Golden Sun.
Sejatinya, seseorang yang memiliki darah keturunan kerajaan tidak perlu melakukan sesuatu yang merepotkan dan berbahaya seperti itu, sebab mereka memiliki kekuatan yang berbeda dan darahnya mampu menetralisir racun.
Namun, Luna tahu bahwa Felinette tidak mampu melakukannya secara natural, maka Luna berinisiatif membuat kekebalan itu sendiri.
Luna sendiri sudah mencicipi minuman bercampur Golden Sun nyaris satu purnama. Selama mengonsumsinya, Luna merasakan efek pusing, ngantuk dan mual. Rencananya, jika Luna tidak lagi merasakan gejala itu, Luna akan menambah setetes dan akan terus berlanjut sampai kekebalan tubuhnya meningkat terhadap racun.
Kalau meminum cairan di Golden Sun secara langsung, Luna tidak berani. Namun, dari pengalamannya selama hampir sebulan ini, semua tehnya tidak memiliki rasa atau aroma yang janggal tentang Golden Sun.
Semua pelayan di Istana Barat telah dikumpulkan di aula Istana Barat, termasuk Nyonya Taylor selaku ketua pelayan yang bertanggung jawab dengan perekrutan semua pelayan. Mereka semua duduk bersimpuh di lantai, menunduk dalam tekanan penuh ketakutan.
"Jadi, tidak ada yang mau mengaku?" tanya Terence dengan suara dinginnya.
Luna ingin angkat bicara, tapi Luna tidak mungkin mengakui bahwa dirinya sendirilah yang memasukkan racun itu dalam minumannya sendiri.
"Jika tidak ada yang mengaku, siapkan semua kepala kalian sebagai hadiah di depan pintu rumah kalian sendiri."
Luna melotot ngeri.
Terence, kau masih berumur 14 tahun, kan?! Mengapa mengatakan hal-hal mengerikan seperti itu?! Luna menjerit dalam hatinya.
Namun, meskipun Terence sudah mengatakan hal seekstrem itu, tetap saja hanya keheningan yang menjawabnya.
Terence menghela napas, kemudian berbalik menoleh ke arah Luna dan tersenyum.
"Mungkin sebaiknya Tuan Putri menunggu di tempat lain. Ini akan sedikit memakan waktu," ucap Terence.
"Apa ... yang akan kau lakukan?" Pada akhirnya Luna tetap bertanya, meskipun dia memang ragu untuk melakukannya.
"Karena meminta mereka meminum teh tadi masih tidak dapat mengampuni mereka, jadi ...," Terence tidak mengungkapkannya, tetapi ekor matanya melirik ke arah pedang yang dipegangnya. "Tuan Putri tidak perlu cemas. Jika kita tidak bisa menemukan pelakunya, kita akan memusnahkan semua kemungkinannya."
Tidak perlu cemas, katamu?!
Luna mendadak paham, alasan mengapa Terence bisa terpilih menjadi ketua pemberantas Death Wave, terlepas dari usianya yang masih sangat belia.
Agak mendekat supaya bisa berbisik, Luna menjelaskan dengan pelan, "Terence, kau terlalu berlebihan. Kalaupun aku meminumnya, aku akan baik-baik saja. Darah anggota kerajaan mampu menetralisir racun."
Terpaksa, Luna berbohong sedikit demi kebaikan semua pelayan-pelayan di sana.
"Satu-satunya hal yang tidak dapat dimaafkan di sini adalah bahwa ada seorang pengkhianat yang mencoba meracuni Tuan Putri," ucap Terence dengan sorot tajam yang sulit diartikan.
Dan pengkhianat itu sebenarnya adalah Luna sendiri.
Bagaimana jadinya, sebuah kecerobohan kecil Luna akan berdampak besar terhadap nyawa-nyawa pelayannya? Apa Luna harus berdiam diri dan membiarkan mereka dihukum hanya karena satu orang yang tidak bertanggung jawab?
Luna langsung merasa serba salah. Ini salahnya, tapi juga bukan salahnya di saat bersamaan. Padahal, kalau mereka menukar tehnya dengan benar, maka masalah ini tidak akan sampai berujung seperti ini.
"Kau tidak perlu mengotori tanganmu sendiri. Biarkan Yang Mulia Raja membuat keputusan, entah itu menghukum atau mengeksekusi mereka." Luna berusaha untuk membujuknya.
Jangan sampai ada pertumpahan darah karena kesalahpahaman ini.
"Saya tidak keberatan dihukum karena membuat keputusan untuk menghabisi mereka semua," jawab Terence tanpa belas kasihan.
Luna melirik para pelayan yang masih duduk bersimpuh di lantai. Ekspresi mereka semua penuh ketakutan yang dalam. Beberapa di antara mereka juga telah menangis seolah menghayati masa-masa terakhir di hidup mereka yang menyedihkan.
Luna bisa saja langsung mengabaikan mereka semua dengan mencoba membuka memori lama tentang bagaimana pelayan-pelayan itu memperlakukan Felinette dengan tidak layak. Namun nyatanya, Luna tidak sampai hati melakukannya.
Luna akhirnya menghela napasnya. Ternyata sulit sekali mencari alasan untuk mengubah pendirian Terence.
"Aku akan memberikan kesempatan pada siapapun yang membuat teh ini. Segeralah mengaku dan aku akan mempertimbangkan keringanan sanksi," ucap Luna.
Terence tampak ingin sekali memprotes perkataan Luna. Namun karena Luna sudah menatap mata Terence dalam-dalam dan memintanya jangan menginterupsi, akhirnya Terence pun hanya berdiam diri.
Sempat ada keheningan yang menegangkan di aula Istana Barat. Luna juga sudah cukup putus asa, karena hanya itulah yang mampu dilakukannya untuk membantu mereka.
"Sa-saya yang membuat tehnya."
Luna seolah dijatuhi benda berton-ton, ketika menemukan ada satu pelayan yang pada akhirnya mengangkat sebelah tangannya dengan gemetar.
Pelayan itu adalah Emma.
***TBC***
10 Mei 2021
Paus' Note
Wiiiih, aku update lagii!
Jadi, itulah rahasia Golden Sun! Akhirnya setelah sekian lama, paus bisa kembali nyentang di daftar 'TBC yang bikin doki-doki'!
BTW yang kemarin rupanya enggak mengagetkan, ya? Padahal kukira kalian bakal kaget karena belum pernah ada yang komen mencurigai perasaan Luna. Ahahahaha.
Chapter hari ini bukan terasa panjang, tapi MEMANG panjang! 2800 kata! Aku memutuskan untuk membuat semua TBC-nya gantung. Tapi kalau POV Stella nanti baliknya waktu scene dan keadaan Luna gantung di malam ultah raja, atau tepatnya di malam yang sama dengan ketika Stella ketemu sama si mata merah di balkonnya.
Ya, aku sudah nyiapin scene gantungnya hihihi. Dan oh ya, jadi nanti aku bakal nulis scene waktu Irsiabella ngomong sama Felinette untuk yang pertama kalinya dari versi Luna! Yuhuuuu, bukankah itu artinya keputusanku kemarin untuk enggak menceritakan scene itu dengan lengkap adalah keputusan yang benar? Hehehe
Oh yaaaa! Aku membaca semua teori konspirasi kalian tentang cerita ini! Gilaaaaaaa! Kalian keyen! /peluk/ ada yang jauh dari ceritanya sih, tapi seperti yang pernah kubilang kemarin, ada yang sudah hampiiiiiir mendekati.
Okeeee, stop bacot-bacotnya, mari langsung ke fanart kita hari ini.
Pemilik-San, mohon gambarnya diklaim, yaaa! Instagramku berulah lagi, DM-DM pada hilang semua. Yang tersisa hanyalah gambaran kalian yang sudah kusave.
Bagus yaaaa.
Arigatouuuu. Pengin lebih produktiffff. Semoga bisa menemani sahur kalian.
BTW kok puasa tahun ini berasa cepet banget yaaaa? Kayaknya aku baru nemenin kalian beberapa malam doang. Maafkan aku yang tidak produktif ini :')
C U!
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro