38. Misi Felinette de Terevias
"Berdirilah, dan berbahagialah."
***
Raja Finnebert sempat terdiam selama beberapa saat, setelah Luna mengajukan rasa keberatannya sebelum sarapan dimulai. Waktu itu, hanya ada sang raja dan Luna di meja makan. Sementara itu, Pangeran Felixence belum tiba di Istana Utara.
"Apa dia melakukan sesuatu kepadamu?" Sang Raja bertanya, belum bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Sebenarnya, Emma memang belum melakukan kesalahan. Luna tidak mungkin memberitahu keadaan yang membuatnya benar-benar ingin Emma menghilang. Dan sebesitpun, Luna sama sekali tidak ingin memberinya kesempatan walau sekali.
Luna yakin, semuanya bermula dari tindakan yang dilakukan Emma dan untuk mencegah hal buruk terjadi padanya, pertama-tama dia harus menyingkirkannya.
"Tidak, tapi mengingat usianya masih seumuranku, dia tidak pantas bekerja untuk istana," jelas Luna.
Sang Raja tampak menimbang-nimbang sejenak. Luna yakin, upah yang telah diberikan kepada keluarga Emma tidak sebesar itu untuk dipertahankan, apalagi setelah putrinya sendiri yang meminta. Lagipula, memangnya sepenting apa keberadaan satu pelayan di mata seorang raja?
"Apa kau punya alasan lain, selain tentang umurnya?"
"Tidak ada, tapi aku tetap berharap Ayah bisa mempertimbangkannya."
Kalau sang raja tahu takdir buruk apa yang akan menimpa Putri Felinette karena perlakuan satu orang yang tidak bertanggungjawab, apakah raja akan terus meragukannya seperti ini?
Memang benar, cepat atau lambat berita tentang Putri Felinette yang tidak bisa menggunakan kekuatannya akan menyebar. Namun, keberadaan Emma akan membuat semuanya terbongkar lebih cepat. Luna tidak menginginkan alur yang sama terjadi padanya untuk kedua kalinya.
Dulu, Luna menjadi Putri Felinette ketika umurnya tujuh belas tahun. Kala itu, memang sudah tidak ada apapun yang bisa Luna lakukan. Luna tiba-tiba terbangun dalam keadaan bingung sebagai seorang putri kerajaan, lalu menyadari bahwa rumor buruk telah mengitarinya sejak awal. Luna pun hanya bisa mengikuti kehidupan Putri Felinette seperti aliran sungai.
Kali ini, Luna menjadi Putri Felinette di usianya yang masih tiga belas tahun. Belum ada rumor buruk tentang Putri Felinette dan semuanya masih menghormati Putri Felinette. Kalau Luna tidak memanfaatkan kesempatannya sekarang, dia yakin akan kembali menghadapi malam berbadai salju dan kembali bersitatap dengan pemuda bermata merah yang menatapnya merendahkan. Dan jelas, hidupnya akan tamat sekali lagi.
Ketika masih tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba pintu ruang makan terbuka. Luna dan sang raja langsung teralihkan perhatiannya kepada sang pangeran yang baru saja tiba.
Luna menatapnya dengan berkaca-kaca. Pangeran Felixence terlihat lebih muda daripada yang diingat oleh memorinya. Entah mengapa, Luna sedikit terharu. Rasanya seperti sudah lama sekali dirinya tidak menjumpai Pangeran Felixence, kakaknya di dunia ini.
"Selamat pagi, Ayah. Selamat pagi, Putri Felinette."
Luna langsung kembali menginjak Bumi setelah mendengar bagaimana Pangeran Felixence memanggilnya dengan formal. Sejauh yang Luna ingat, Pangeran Felixence selalu memanggilnya dengan nama pendeknya, Feline. Baru kali ini Luna mendengarnya menyebut nama beserta titelnya.
"Kau terlambat," tegur Raja Finnebert.
"Aku sedang membaca laporan ledakan mana," jawab Pangeran Felixence sambil mengambil tempat duduknya dan tersenyum tipis.
"Ledakan mana?" Luna tidak bisa menahan diri untuk hanya diam.
Sama seperti reaksi raja, Pangeran Felixence juga tampak terkejut saat mendengar Putri Felinette berinisiatif mengikuti obrolan untuk pertama kalinya.
"Bukankah kita sudah membahasnya kemarin pagi?" Pangeran Felixence bertanya balik.
Di bawah meja, Luna mengelus punggung tangannya pelan, "Aku tidak menyimak."
Selanjutnya, Pangeran Felixence tidak lagi menanyakan apapun. Ia langsung menjelaskan, "Kuil Agung mendeteksi adanya ledakan mana di Terevias beberapa hari yang lalu."
Luna tidak tahu apa itu ledakan mana, tetapi mengingat mana berhubungan dengan kemampuan dan batas energi seseorang menggunakan sihir, sepertinya itu sangat berbahaya.
"Belum ada yang melaporkan ke Kuil Agung?" tanya Raja Finnebert.
"Malahan, mereka memintaku memastikan ke Ayah. Apakah tidak ada bangsawan yang membuat pengajuan?" Pangeran Felixence kembali bertanya.
Luna hanya diam menyimak, sepertinya tidak ada penyelesaian dari pembahasan keduanya.
Selanjutnya, mereka menikmati sarapan bersama. Kebiasaan di keluarga kerajaan selain menyantap sarapan bersama adalah makan malam bersama. Luna ingat, dulu dia juga pernah menikmati masa-masa makan bersama, sampai akhirnya petisi sampai di tangan sang raja dan mereka menghentikan tradisi mereka untuk sementara waktu, hanya tanpa Putri Felinette tentu saja.
Ketika sarapan telah berakhir, Pangeran Felixence langsung berpamitan dengan sang raja dengan dalih akan melanjutkan kembali penyelidikannya terhadap laporan mengenai ledakan mana.
Dalam perjalanannya kembali ke Istana Barat, Luna terus menerus memikirkan peluang dan kesempatannya. Dari interaksi singkatnya dengan Pangeran Felixence, Luna bisa menyimpulkan bahwa saat ini Putri Felinette dan Pangeran Felixence tidak sedekat dulu. Sebab, Luna ingat betul bahwa sikap Pangeran Felixence yang hangat memang sudah diterimanya sejak awal menjadi seorang Putri Felinette.
Dan menyimpulkannya berdasarkan dengan kejadian penting yang belum terjadi, Luna jadi tahu bahwa Pangeran Felixence dan Putri Felinette menjadi saudara yang dekat setelah Pangeran Felixence tahu bahwa adiknya tidak memiliki kekuatan sihir.
Luna juga ingat kata-kata Pangeran Felixence di masa lalu; "Sejak Kakak tahu kau tidak bisa menetralisir racun, Kakak sudah berjanji akan melindungimu."
Dan setiap sedang murung karena merindukan kehidupannya sebagai Luna, Pangeran Felixence akan salah paham dan mengira bahwa Putri Felinette meratapi nasibnya yang tidak pantas menjadi seorang putri kerajaan. Pangeran Felixence akan bilang, "Kau adalah Putri Terevias, Feline. Kakak yakin, kekuatan sucimu masih belum bangkit karena kekuatanmu tidak kunjung muncul."
Sampai sekarang, Luna masih tidak percaya dengan itu. Namun apakah Luna masih perlu melatih dan mencobanya sekali lagi? Luna selalu ingat bagaimana perjuangan yang dilewatinya untuk berusaha memunculkan kekuatannya, tetapi tetap saja dia tidak mampu melakukannya.
Tekad Luna bulat dan dia segera membuka jendela kecil yang menghubungkannya kepada kusir.
"Aku ingin ke Istana Timur." Luna mengutarakan keinginannya untuk mampir sejenak ke istana Pangeran Felixence.
Kusir pun tampaknya terkejut karena tidak menyangka bahwa Putri Felinette akan menitahnya demikian. Biasanya, setelah sarapan pagi, Putri Felinette akan langsung pulang dan memulai sesi belajarnya bersama beberapa guru-guru terpandang dalam berbagai jenis pendidikan penting.
"Baik, Tuan Putri."
Namun karena itu adalah permintaan Putri Felinette, akhirnya sang kusir langsung memutar arah, membuat semua pengawal mau tidak mau ikut mengikuti kemana kencana itu akan berhenti.
Dari jendela, Luna bisa melihat tatapan bingung yang mereka semua tampilkan, tapi tidak ada satupun dari mereka yang membantah atau mengajukan pertanyaan. Luna berdecak dalam hatinya. Perlakuan mereka semua kepadanya benar-benar berubah total!
Dalam perjalanan menuju Istana Timur, Luna terus menerus terbayang oleh masa lalunya. Setelah terbangun dari komanya, Luna pernah membuat pertanyaan untuk dirinya sendiri; lebih baik terlahir sebagai 'Luna' atau Putri Felinette?
Luna punya semua orang yang menyayanginya, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk membalas pelukan mereka. Kedua kakinya seolah hanya pajangan, tidak mampu berdiri dalam jangka waktu yang lama, apalagi untuk berlari. Ibunya pernah bilang, takdirnya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarinya.
Berbeda dengan hidupnya yang hanya bisa melihat langit-langit rumah sakit, Felinette terlahir sebagai seorang putri raja. Jika sakit sedikit saja, pendeta agung akan diminta untuk memeriksa keadaannya. Kendati demikian, seluruh dunia membencinya dan mengharapkannya agar lenyap. Jiwanya terkurung dalam istana megah, di dalam tubuh rapuh yang tak mampu memiliki hal yang seharusnya dimilikinya.
Luna menghela napasnya diam-diam. Luna lupa. Waktu itu, Luna lebih memilih hidup sebagai siapa? Kedua kehidupan itu menyedihkan. Namun, Luna tetap ingin hidup. Entah itu sebagai Luna atau Felinette.
Kali ini, untuk pertama kalinya, Luna mendatangi Istana Timur. Biasanya, Pangeran Felixence-lah yang akan menyempatkan waktu untuk mengunjungi adiknya di Istana Barat. Sama seperti dugaannya, semua batu-batu mulia yang menghiasi tembok Istana Barat telah diselaraskan dengan warna manik sang pangeran. Semuanya serba amethyst. Keadaan ini sama persis dengan Istana Barat, dimana semua batu mulianya adalah safir.
Para pelayan di Istana Timur juga tidak menanyainya macam-macam, mereka langsung menyambutnya dengan barisan, lalu membantunya menuntun di mana pangeran berada. Hingga akhirnya mereka semua berbaris rapi di depan sebuah pintu perak dengan lambang Terevias. Mengikuti firasatnya, Luna langsung mendorong pintu itu tanpa mengetuk.
"Ada perlu a--"
Pangeran Felixence yang sedang duduk di meja bacanya bersama tumpukan kertas-kertas, langsung terdiam melihat kedatangan adiknya.
"Ada apa, Putri Felinette?" tanyanya.
Luna menutup pintu, lalu melangkah mendekati tempat dimana Pangeran Felixence sedang fokus dengan dokumen-nya. Tumpukan kertas itu memiliki lambang Kuil Agung yang membuat Luna percaya bahwa Pangeran Felixence memang sedang sibuk melanjutkan pencariannya tentang ledakan mana.
"Apakah aku boleh duduk?"
Luna bertanya terlebih dahulu, hanya formalitas untuk menjelaskan bahwa kedatangannya akan lama. Sebenarnya melihat kesibukan Pangeran Felixence, Luna ingin menundanya. Namun, ini persoalan penting yang tidak boleh diulur-ulur lagi olehnya.
"Silakan duduk, Putri Felinette," ucap Pangeran Felixence.
Nada suaranya memang pelan dan tenang, tetapi Luna merasakan bahwa suasananya tidak sehangat dulu.
Sepertinya memang benar. Pangeran Felixence dan Putri Felinette mulai dekat setelah Putri Felinette diracuni Emma, sehingga Pangeran Felixence menyadari bahwa darah adiknya tidak memiliki kemampuan untuk menetralisir racun.
"Putri Felinette, apa kau tidak ada pelajaran khusus hari ini?" tanya Pangeran Felixence setelah beberapa saat mereka terdiam dalam keheningan.
Luna tidak tahu harus menjelaskannya darimana. Dilepaskannya napasnya pelan-pelan. "Maaf karena aku datang tiba-tiba, Pangeran Felixence."
Tolong, tanyakan mengapa aku terlalu formal. Luna berharap dalam hati.
"Tidak masalah, tapi apakah kau sudah membicarakan tentang ini kepada Taylor? Bagaimana kalau guru-gurumu sudah datang dan kau tidak ada di sana? Kau bisa dianggap tidak menghargai gurumu."
Pangeran Felixence menegur panjang lebar, membuat Luna agak tergelitik. Mungkin sifatnya yang satu itu memang akan selalu mendarah daging, baik saat mereka dekat atau tidak.
"Ngomong-ngomong, dimana Terence?" tanya Pangeran Felixence.
"Terence?" Luna bertanya balik.
Pangeran Felixence mengerutkan kening, "Putri Felinette, bukankah itu terlalu kejam?"
Luna semakin bingung, "Apanya?"
"Kau tidak ingat nama ksatria pribadimu? Bukankah dia sudah menjagamu hampir satu musim?"
Luna bersumpah, dia benar-benar tidak tahu mengenai itu. Luna tidak tahu bahwa Putri Felinette pernah memiliki seorang ksatria pribadi, karena jika dia memilikinya, tidak mungkin dia akan mengalami insiden malam berbadai salju itu, kan?
Luna segera mengalihkan topik pembicaraan. "Ngomong-ngomong, kedatanganku di sini untuk membahas sesuatu denganmu, Pangeran Felixence."
Rasanya, lidah Luna bisa saja terpeleset dan salah menyebutkan nama pangeran jika menyebutnya terlalu cepat.
"Tentang apa?"
Apakah kakak bisa membantuku masuk ke Kuil Agung? Pertanyaan itu ingin sekali diutarakannya, tetapi suaranya tertahan di tenggorokannya.
Luna tidak percaya bahwa hatinya terkhianati oleh pikirannya. Jauh dalam lubuk hatinya, Luna tahu bahwa hanya Pangeran Felixence yang bisa membantunya mencapai Kuil Agung, mempertanyakan pengulangan kejadian ini. Luna percaya dengan Pangeran Felixence, sangat. Namun, apakah Luna bisa mempercayai Pangeran Felixence yang bahkan belum dekat dengan Putri Felinette?
"Apa ... apakah aku boleh memanggilmu Kakak?"
Jelas, Luna tahu Pangeran Felixence terkejut dengan pertanyaannya.
"Dan apakah Kakak boleh memanggilku Feline saja?"
Lagi. Panggil aku Feline lagi.
"Tidak ada yang melarangmu, kan?"
"Belum ada yang mengizinkanku," jawab Luna.
Sekilas, Luna bisa melihat Pangeran Felixence tersenyum hangat, seperti dulu. "Tadi kau sudah memanggilku 'kakak' sebelum aku memberikan izin."
"Tapi aku sudah meminta izin," jawab Luna lagi.
"Apa hanya ini yang ingin kau bicarakan?" Pangeran Felixence bertanya. "Kalau hanya ini, kau sudah boleh pulang ke Istana Barat."
Padahal, aku masih ingin bersamamu.
Luna agak kecewa dalam hati, tapi dia juga tidak bisa menyebutkan alasan sebenarnya, jadi buat apa dia menghambat usaha pangeran untuk mencari informasi tentang ledakan mana yang sedang dicarinya?
Pada akhirnya, Luna berdiri dari duduknya, memperhatikan kembali tumpukan-tumpukan kertas berlambang Kuil Agung. Luna yakin, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya ada di tempat suci itu. Namun, sepertinya ini belum waktu yang tepat untuk membahasnya.
"Kalau begitu, aku pulang dulu, Kak Felix." Dengan langkah lemas, Luna berjalan ke arah pintu keluar.
"Sampai jumpa ketika makan malam nanti, Feline."
Luna hanya mengangguk sekilas dan tidak menolehkan kepalanya. Dia benar-benar ingin menangis. Apakah dia boleh merasakan kehangatan Pangeran Felixence terhadap Putri Felinette sekali lagi?
Apakah dia pantas?
Bukankah ... Luna hanya ingin hidup?
***TBC***
3 April 2021
Paws' Note
1900 kata!
Okay, aku sudah tebar hint ya. Sekian, terima gaji.
Sudah kubilang kan, kita bakal ada di cerita Luna / Putri Felinette sampai waktu yang tidak ditentukan? Apakah kalian mulai bosan? Apakah kalian kangen Stella?
Aku butuh melihat komentar kalian! ((mau nulis butuh mendengar suara kalian, tapi aku ga denger dan bukan nyaleg)))
Next chp bakal kukenalin sama Terence. Siapa Terence? Itu lho, yang ngarahin pedang ke Stella / Irsiabella waktu di kolam teratai. Wah, paus langsung spoiler. Kurang baik apa lagi coba ya.
Tenang, nanti pasti bakal kuceritain tentang Golden Sun. Lalu tentang beberapa hal yang sebenarnya diketahui Luna, tapi ga diketahui Stella.
Maaf ya, minggu lalu nggak UP. Udah ada rencana update tapi aku tepar setelah divaksin. Demam, meriang, lapar, pusing pala paus.
Cindy, ini mau berapa chapter ceritanya hayooooooo. Banyak yang belum ditulis lhooooo~
Fan Art hari ini lagi-lagi mohon diklaim yaaaa.
Monanges malah ngulur alur lagi. Hadeh.
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro