25. Mata Irsiabella Ravelsa
"Kau tidak perlu menahan semuanya sendiri. Kau tidak sendirian."
***
Punggung tangan kiri Luna yang masih berbalut jarum infus bergerak sekilas. Stella yang saat itu masih terjaga, langsung mengalihkan pandangannya ke wajah Luna. Penutup hidung oksigennya tampak berkabut sekilas.
Ekspresi wajah Luna yang sedang terlelap pun tampak tidak tenang. Wajahnya tegang dan kerutan di keningnya seperti menyiratkan ketidaknyamanan yang teramat sangat.
"Luna," panggil Stella pelan.
Tidak menunjukkan respons terhadap panggilannya, Stella mulai menepuk-nepuk bahunya pelan.
"Luna, bangun."
Luna baru membuka kedua matanya setelah beberapa kali Stella memanggilnya. Gadis itu mencoba bangkit dari tidurannya dan berganti ke posisi duduk. Stella membantu adiknya untuk duduk, lalu memberikan botol minuman beserta sedotannya kepada Luna.
"Apa kau bermimpi buruk lagi, Luna?"
Luna tidak memberikan jawaban yang pasti. Gadis itu hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Stella.
Sudah dua minggu sejak Luna terbangun dari koma, dan sejak saat itulah Luna terus menerus dihantui mimpi buruk. Stella juga menyadari hal yang berbeda dari Luna. Sifat Luna ... entah mengapa tampak lebih tenang daripada sebelumnya.
Stella berasumsi bahwa Luna telah berwaspada atas koma yang dihadapinya. Bagaimanapun juga, koma adalah ketidakpastian yang berhasil Luna lewati. Lalu, mengapa Luna mulai bertingkah seolah-olah dirinya akan lenyap kapan saja?
"Kau tahu, katanya bunga tidur yang diceritakan kepada orang lain tidak akan pernah menjadi kenyataan," ucap Stella.
Luna hanya tersenyum sekilas, "Kakak mendengarnya dari Ibu, ya?"
Ibu mereka memang mengatakan hal itu kepada mereka. Sebenarnya, Stella sudah tahu maksud ibunya. Semua mimpi buruk yang mengganggu, sebaiknya diceritakan kepada orang lain agar ada yang menghiburnya. Dan mimpi indah, boleh tetap dibiarkan indah dan berkesan untuk diri sendiri.
"Kau mau menceritakannya?" tanya Stella.
Luna hanya diam selama beberapa saat, sesekali bibirnya kembali menempel pada sedotan dan menggigit sedotan itu. Sejak dulu, Luna memang punya kebiasaan buruk yang satu itu, tapi tidak ada lagi yang ingin menegurnya tentang itu karena terus terjadi.
"Bukan apa-apa, sih. Aku mimpi dibunuh orang yang tidak kukenal."
Stella tidak sempat berkomentar, karena Luna segera menyergah.
"Ah, tapi itu hanya mimpi aneh yang berulang," sahut Luna.
"Kau terus menerus mendapat mimpi buruk yang sama?" tanya Stella.
"Semuanya terasa seperti potongan memori yang berpencar, tapi tenang, tidak semuanya mimpi buruk, kok."
Stella mengangkat sebelah alis, "Kau mengalami hal indah juga di mimpi itu?"
Luna tersenyum ringan, lalu kembali berbaring, "Aku tidak mau cerita. Soalnya kalau aku menceritakan mimpi indah, itu tidak akan menjadi kenyataan kan?"
"Apa ini? Sedang main rahasia-rahasiaan dengan Kakak?"
Luna tertawa. Hanya itu yang ingin Stella lihat saat itu.
.
.
.
Stella kembali memimpikan masa lalunya dengan Luna. Rasanya, percakapan itu baru terjadi beberapa waktu yang lalu. Waktu berjalan terlalu cepat, sampai-sampai Stella tidak menyadari sudah berapa lama orang-orang memanggilnya sebagai Irsiabella.
Waktu Luna bercerita tentang mimpi buruknya, Stella tidak terlalu menganggap pusing. Mimpi hanya bunga tidur yang tercipta karena imaji alam bawah sadar, begitu pikirnya.
Namun, ketika pertama kalinya Stella membaca cerita The Fake Princess, Stella baru menyadari maksud mimpi yang terus menerus menimpa Luna.
Kematian Putri Felinette yang membangunkannya dari koma.
Dan ketika Stella menyadari bahwa dirinya ada di dunia yang sama dengan Putri Felinette, Stella tidak bisa berhenti bersumpah untuk menyelamatkan Putri Felinette dari akhir yang tragis.
Semula, hanya itulah tujuan utamanya hidup sebagai Irsiabella. Namun setelah berjalan seiring waktu, tujuannya bertambah satu lagi; berusaha menjadi Irsiabella sebaik-baiknya. Stella juga tetap akan memprioritaskan keinginan Irsiabella dalam melindungi Regdar dan menikmati kebebasannya.
Stella menyipitkan matanya lantaran sinar matahari pagi telah menembus tirai-tirai sutra dan menerobos masuk ke dalam kamarnya. Stella yang menyadari hal itu langsung buru-buru bangkit dari tidurannya. Keadaan di luar sana sudah sangat terang. Stella pasti benar-benar sudah tidur sampai siang.
Buru-buru, Stella berjalan keluar dari kamarnya. Dirinya sempat sekilas melihat pantulan wajahnya di cermin. Matahari terlalu menyilaukan, sampai-sampai iris mata emasnya tampak bercahaya meski dilihat dari jauh.
"Nona sudah bangun? Apakah tidurnya nyenyak? Nona bermimpi indah?" tanya Sera begitu Stella keluar dari kamarnya.
Stella tidak tahu bagaimana meresponsnya, sebab rasanya dia tidak bermimpi buruk ... mungkin memimpikan sebagian ceritanya di masa lalu tentang Luna bisa dikatakan kenangan yang indah, karena itu bukan hanya sebuah mimpi.
"Mengapa tidak ada yang membangunkanku?" tanya Stella.
Mata Sera membulat penuh, lalu dirinya mendekati Stella dan membawa nona-nya untuk segera kembali ke kamarnya. Stella hanya dipenuhi tanda tanya, sampai akhirnya pintu tertutup rapat dan Sera kembali bersuara.
"Sebentar ya, Nona. Tetaplah di kamar untuk sementara waktu, saya akan memanggil Tuan."
Usai mengatakan hal itu, Sera keluar dari kamarnya, meninggalkan Stella yang keheranannya belum terjawab sepenuhnya.
Ada yang aneh jika dilihat dari reaksi Sera, itu jelas.
Stella memperhatikan pantulan Irsiabella di cermin, lalu pelan-pelan mendekat untuk melihat wajah Irsiabella lebih jelas. Memang, sejak terbangun sebagai Irsiabella, melihat cermin merupakan salah satu kegiatan baru yang tidak bisa membuatnya bosan.
Dan semakin dirinya mendekat, semakin Stella sadar bahwa mata emasnya benar-benar sedang bersinar. Bahkan ketika Stella menutupi cahaya matahari dan membiarkan tangannya membuat bayangan di area matanya, matanya tetap terlihat seperti itu.
Matanya mengeluarkan cahaya.
"A-apa yang terjadi?" gumam Stella perlahan.
Beberapa saat kemudian, pintu pun terbuka tanpa ada yang meminta izin untuk masuk. Stella yang masih belum bisa mencerna apapun yang terjadi terhadap dirinya, masih memperhatikan pantulan dirinya di cermin. Dari cermin, Stella bisa melihat ekspresi Regdar yang tampak amat sangat mencemaskannya.
Di sana, barulah Stella berbalik dengan agak gugup. "A-aku tidak menggunakan kekuatanku, Ayah. Aku ... baru terbangun dan tiba-tiba saja sudah begini," jelas Stella pelan.
Meski mengatakan kenyataannya, tetap saja Stella sedikit merasa bersalah. Bagaimanapun juga, Stella memang pernah menggunakannya dan kemungkinan besar ini terjadi karena dirinya tidak tahu cara mengendalikannya.
Regdar mendekatinya perlahan. Pintu yang Regdar tinggalkan terbuka, tertutup kembali dengan pelan, tampaknya Sera yang menutup pintu itu. Sementara Stella mulai kebingungan dengan reaksi Regdar.
Stella pikir, Regdar akan marah dan memberikan ekspresi kecewanya karena telah berkali-kali mengingatkannya untuk tidak menggunakan kekuatannya. Namun yang Stella lihat adalah ekspresi wajah Regdar yang tampak sangat terluka mencemaskannya, hal yang entah mengapa membuat Stella merasakan sakit yang sama.
Regdar masih diam di tempatnya, menunggu kata-kata keluar dari Regdar. Namun pria itu masih berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan yang semakin dalam. Regdar tidak mendekatinya, atau menanyakan bagaimana keadaannya, atau apapun yang seharusnya bisa mencairkan keheningan ini.
"Ayah marah?" tanya Stella.
Setelah Stella bertanya, barulah Regdar melangkah ke arahnya dan memeluknya. Itu bukanlah jawaban, tetapi entah mengapa membuat Stella lebih tenang.
"Mana mungkin Ayah marah kepadamu. Ayah hanya mengkhawatirkanmu."
"Lalu mengapa Ayah hanya diam?" tanya Stella.
"Waktu itu, matamu juga bercahaya."
"Waktu kapan?"
"Hari ketika kau kehilangan ingatanmu," balas Regdar sambil mengelus rambutnya. "Kali ini, Ayah akan berusaha memohon Pendeta Agung untuk memeriksa keadaanmu."
Stella melepaskan pelukannya, "T-tapi, itu ...,"
"Ya, membiarkan orang lain mengetahui kekuatanmu."
Bagi Stella, orang lain artinya semua orang yang ada di Negeri Terevias, sekalipun jika itu adalah seorang Pendeta Agung. Saat ini usianya baru empat belas tahun, Stella tidak ingin semua rencananya kacau karena dirinya teledor dalam memecahkan masalah.
Stella mulai berpikir keras. Pastilah bagian ini juga terjadi di cerita The Fake Princess, tetapi Irsiabella menemukan solusinya. Sekarang, Stella membutuhkan solusi itu, tapi jelas dirinya tidak tahu apa yang sebenarnya dilakukan Irsiabella.
"Ayah, aku tidak mau." Stella menggeleng enggan. "Aku tidak mau ada yang mengetahui kekuatanku. Aku takut."
"Tapi kita tidak tahu hal apa lagi yang akan terjadi kalau keadaanmu tetap seperti ini," terang Regdar. "Ayah tidak tahu lagi apa yang harus Ayah lakukan, kalau itu lebih buruk daripada kau yang melupakan ingatanmu."
Stella hanya diam, dia mengerti kekhawatiran Regdar. Namun jika ada Pendeta Agung yang mengetahui kekuatannya, maka keberadaan Irsiabella akan langsung diumumkan, sama seperti yang ada di cerita The Fake Princess.
Stella ingat betul bagaimana Luna menjelaskan kemunculan Irsiabella. Di umur enam belas tahun, di Kuil Agung, setelah menjernihkan kolam di tempat suci, nama Irsiabella Ravelsa mulai dikenal seantero Negeri Terevias.
"Ayah, kumohon." Stella memelas. "Biarkan aku mencoba membuat sinar di mata ini pergi tanpa bantuan siapapun. Beri aku waktu satu hari, kalau besok mataku masih seperti ini, Ayah boleh melakukan apapun yang Ayah mau."
"Irsiabella, Ayah mohon pengertianmu. Ayah juga tidak ingin melakukan ini, tetapi kau tahu kan? Meminta bantuan Pendeta Agung itu tidak mudah, Ayah harus terlebih dahulu membuat pengajuan kepada kerajaan, lalu pihak kerajaan akan mengirimkan permintaannya ke Kuil Agung. Semua proses itu lama dan bahkan belum tentu disetujui."
Itu pasti prosedur untuk menjalankan mimpi terburuknya. Pihak kerajaan pasti akan mempertanyakan alasan Regdar, kan? Dan mau tidak mau, Regdar harus mengakuinya.
"Setengah hari! Biarkan aku mencobanya sampai malam nanti." Stella kembali bernegosiasi dengan Regdar.
Regdar diam selama beberapa saat, lalu menghela napasnya. Stella tersenyum, karena sepertinya Regdar menuruti keinginannya.
"Ayah akan menunggu sampai sore nanti," ucap Regdar yang membuat Stella cemberut. "Untuk hari ini, kau di kamar saja. Ayah akan meminta Sera mengantarkan sarapan ke kamarmu."
Stella akhirnya menganggukkan kepala.
Regdar mengelus pipi kanan Stella, lantas bertanya dengan lembut, "Apakah sakit? Apakah kau merasakan sesuatu yang mengganggumu?"
"Tidak sama sekali. Bahkan tadi aku tidak sadar kalau mataku bercahaya," balas Stella.
Mungkin tadi jika Stella lebih teliti, dia bisa saja menyadari bahwa matanya bercahaya bukan karena terkena cahaya matahari, tapi karena mengeluarkan cahaya.
"Sekarang Ayah akan menyiapkan surat untuk Yang Mulia Raja, untuk jaga-jaga." Regdar akhirya melangkah menjauhi Stella, lalu kembali bersuara ketika hendak meninggalkan kamarnya. "Jangan keluar dari kamar, ya. Sampai saat ini, hanya Sera yang tahu mengenai ini, jangan sampai ada rumor yang menyebar. Dan untuk kelasmu dengan Nona Dalton hari ini akan Ayah tunda dulu."
"Dimengerti," balas Stella dengan sengajanya menggunakan bahasa formal.
"Ayah akan meminta Sera berjaga di depan kamarmu. Kalau kau membutuhkan apa-apa, kau tinggal memberitahunya," sahut Regdar lagi.
"Tanpa disuruh pun, Sera selalu berjaga di depan kamarku," balas Stella sambil tertawa.
"Nanti Ayah akan datang lagi," lanjut Regdar.
Setelah itu barulah Regdar benar-benar meninggalkan kamarnya.
Stella menggunakan kesempatan itu untuk kembali memikirkan apa yang dilakukannya kemarin. Sepertinya tidak ada hal istimewa yang dilakukannya, rutinitas malamnya juga sama saja seperti malam-malam sebelumnya; makan malam dengan Regdar, bertukar pesan dengan Tuan Anonim, lalu tidur setelah dirinya sudah mulai mengantuk.
Lalu? Apa yang salah?
Mendadak, Stella teringat dengan mimpi yang didapatkannya tadi.
Apakah itu mungkin? Karena dia bermimpi tentang Luna? Namun setelah Stella mencoba mengingat-ingat, dirinya juga pernah mendapat mimpi tentang Luna, tapi Stella tidak sampai mengalami hal seperti ini.
Sekarang, yang harus dilakukan Stella adalah menghentikan ini sebelum sore nanti, atau Regdar akan mengirimkan pesan resmi kepada kerajaan.
Dan itu artinya, mimpi buruk ingin Stella tunda akan terjadi lebih cepat dibandingkan perkiraannya.
Stella juga telah memikirkan kata-katanya terlebih dahulu sebelum menjanjikan sesuatu yang tidak diketahuinya. Stella harus segera menghilangkan cahaya yang muncul di matanya.
Mata Stella berhenti di kolong tempat tidurnya, tempat di mana dia menyimpan buku sihir itu.
Tidak ada jalan lain, Stella hanya bisa melakukan itu.
***TBC***
25 Desember 2020
Paus' Note
1900+
SELAMAT NATAL BAGI YANG MERAYAKAN!
Hohoho biyarkan paus jadi Santa dan memberikan hadiah tengah malam. Tapi aku ga muat di cerobong asap, jadi aku bakal update aja deh //heleh//
Aduduh, padahal aku sudah berjanji dalam hati untuk membuat konflik di chapter kali ini. Namun mengapa? MENGAPA masih ada masalah kayak gini?
Tapi tidak apa, aku akan memikirkan chapter esok yang lebih baik lagi /gimana gimana/
Oke, FANART kita hari ini dibuat oleh @vera_maudly8668
Akun wattpadnya tolong, biar kutag secara resmi. Bingung aku wkwkwk
Irsiabella yang kemarin unyu ucul bocil, tapi Irsiabella yang ini dewasa menawan tjanjik.
Ok, buat yang bingung sama latar waktunya sekarang, lagi awal musim semi. Pesta ulangtahun raja kira-kira empat bulan lagi di awal musim panas. Lalu, Stella nanti akan ke akademi publik ketika musim panas.
Masih nyambung? Masih nyambung?
ADUH CINDY, INI UDAH CHAPTER 25 DI TANGGAL 25, LHO. KAPAN PEMERAN PENTING NONGOL ATUH?
Wah, jangan-jangan cerita ini bisa sampai 100+ Hiiiiiiii. Jangan sampai. Tapi entah kenapa aku yakin banget bakal lewat 50+ wong udah chp 25 masih belum ciluk ba, kan konfliknya :'(
Padahal biasanya aku ga suka nunda-nunda konflik, tapi untuk cerita ini konfliknya harus dibangun pelan-pelan dan dirobohkan dengan cepat. Janji. ///sepertinya reader-reader sekalian tidak mau dijanjiin beginian///
Oke, C U.
Semoga kalian suka sama next chapternya~ Eh, maksudku sama chapter hari ini~~~
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro