Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Kekhawatiran Irsiabella Ravelsa

"Seandainya tidak ada 'tapi' lagi, apa sebenarnya keinginanmu?"

***

Stella mengetatkan mantelnya tatkala menyadari bahwa napasnya menciptakan uap. Suhu ruangan di tempat itu pasti di sudah di bawah nol derajat. Sembari menelusuri lorong, Stella mengintip taman rumah Ravelsa yang dedaunannya telah rontok sejak beberapa pekan silam. 

Sudah hampir enam bulan berlalu sejak pertama kali Stella terbangun sebagai Irsiabella. Selama enam bulan itu pulalah, Stella terus-terusan berjuang mencari jawaban. Sejauh ini, belum benar-benar ada perkembangan pesat yang membanggakan. 

Stella sudah punya beberapa teman pena. Mereka bahkan sudah merencanakan pesta minum teh begitu musim semi datang. Bukan hanya dengan si kembar Dayward-Rayward, tentu saja, itu akan sangat canggung.

Gadis itu tersenyum ketika menyadari bahwa titik salju mulai turun dalam jumlah yang sangat sedikit. Samar, tapi ada. Salju yang menitik pun langsung meleleh begitu mendarat. 

Ini pertama kalinya Stella melihat salju. 

Di dunianya dulu, Stella tinggal di daerah tropis, hanya ada dua musim. Sebenarnya itu bukan hal yang buruk, hanya saja dirinya sangat antusias karena melihat salju untuk pertama kalinya. 

"Sera," panggil Stella. 

Suaranya bergema di koridor, tetapi tidak ada satu batang hidung pun yang tampak olehnya. Ini aneh. Biasanya, mereka selalu siap siaga, begitu mendengar Stella walaupun dia hanya memanggil satu nama. 

Mereka kemana ya? Stella melanjutkan langkahnya, kembali mennelusuri koridor panjang di rumah Ravelsa. 

Para pelayan meninggalkan Stella usai membantunya mengganti gaun untuk musim dingin. Stella lupa menghitung berapa lapis pakaian yang dikenakannya, tapi saat ini tubuhnya merasa hangat, berbeda dengan wajahnya yang merasa agak kedinginan--tentu saja karena tidak ada penutup wajah yang diciptakan di sini. 

Stella baru akan memulai harinya dengan sarapan dengan sup panas. Hm~ Terdengar menggugah selera. Dengan riang, Stella berjalan menuju ruang makan. Namun, semakin Stella dekat dengan ruang makan, kecurigaannya atas heningnya rumah Ravelsa semakin besar. 

Ini terlalu hening.

Pintu ruang makan terbuka, membuat Stella tersentak. Ada Sera di sana yang ternyata juga terkejut dengan kedatangannya. 

"Eh, Nona ... sudah mau sarapan?" 

Tentu saja, aku sudah berjalan ke sini. Stella mengangguk, lalu bertanya, "Kok sepi?" 

Sera memainkan jari-jarinya dengan gelisah, "Uh, sebenarnya kami sedang bingung, Nona ...."

"Hm? Bingung soal apa?" tanya Stella. 

"Makanan apa yang harus kami siapkan?" 

Stella yang mendengar itu langsung kecewa dalam hati, "Sarapannya belum selesai, ya?" 

"N-Nona sudah lapar?" Tiba-tiba pintu ruang makan terbuka dan Stella agak terkejut melihat banyaknya pelayan yang berkumpul di sana. Mencurigakan. 

"Ayah tidak sarapan?" tanya Stella.

Setidaknya itu asumsi Stella. Regdar selalu meminta pelayan-pelayan mempersiapkan makanan yang sehat dan bergizi untuknya. Sesekali, kalau Regdar punya pekerjaan penting yang harus membuatnya melewatkan sarapan bersama Stella, pria itu pasti akan meminta para pelayan menyiapkan makanan yang diminta Stella. 

Sebenarnya sudah beberapa kali Regdar melewatkan sarapan akhir-akhir ini, tapi rasanya reaksi mereka tidak segugup sekarang. 

Para pelayan saling melirik, sebelum akhirnya mengangguk dengan kompak. Stella pun meminta mereka membuat sup panas, seperti rencana awal. Hari ini terlalu dingin, Stella perlu santapan yang bisa menghangatkan perutnya. Oh, tentu saja tetap waswas, karena tingkah semua pelayan di sana agak mencurigakan. 

"Nona, sambil menunggu sarapannya selesai, apakah perlu saya bawakan surat yang ditujukan untuk nona?" tanya Sera. 

"Boleh," balas Stella. 

"Baik, Nona. Mohon tunggu sebentar." 

Sera meninggalkan ruang makan. Stella tidak sendirian di ruangan itu, masih ada beberapa pelayan yang berbaris dan mengawasinya. Ada pula yang sedang menyalakan perapian agar suhu dalam ruang makan tetap hangat. 

"Ngomong-ngomong." 

Stella membuka suara, bisa lihatnya bahwa pelayan yang berbaris tampak tersentak kaget. Jelas sekali, ada yang sedang mereka sembunyikan. Namun Stella tidak mau ambil pusing. Dia akan pura-pura tidak tahu kalau pelayan-pelayan itu gugup karena keberadaannya. 

"Apakah pakaian kalian hangat?" tanya Stella. 

"H-hangat, Nona," balas mereka serampak. 

"Hari ini dingin, ya." Stella menopang dagunya dengan kedua tangan. "Tidak apa-apa kan, kalau perapian di kamarku tetap menyala?" 

Bukannya membalas perkataan Stella, mereka semua malah saling berpandangan gelisah. Oke, sudah cukup. Stella perlu tahu apa yang membuat kejanggalan ini terjadi. 

"Ayah kemana?" tanyanya. 

"Uh, itu, Nona ... Uh, sebenarnya Tuan sedang ... sakit." 

Stella refleks langsung berdiri dari duduknya. Matanya membulat ngeri. Entah mengapa, pakaian tebalnya seolah tidak lagi menghangatkannya. Stella tidak hanya merasa kedinginan, tetapi lebih dari itu. 

"Sebenarnya dari pagi tadi, kami mengawasi cerobong asap kamar Tuan, tapi sepertinya belum ada pembakaran lagi ...."

Tanpa menunggu lama-lama lagi, Stella meninggalkan ruang makan dan langsung berjalan cepat menuju kamar Regdar. Sebenarnya Stella sudah sadar bahwa Regdar lebih sibuk belakangan ini. Dia tidak tahu banyak, tapi Stella tahu bahwa Regdar punya mendistribusikan pangan secara merata dan cukup untuk menghadapi musim dingin. 

Hal yang paling membuat Stella khawatir adalah bahwa tidak ada siapapun yang boleh masuk ke ruangan pribadinya. Regdar menyalakan perapian sendiri selama beberapa pekan ini. 

Malah, Stella pernah memergokinya tiduran di depan perapian di ruang tamu saat sudah larut malam. Para pelayan tidak berani membangunkan. Stella juga tidak tega membangunkannya dan mengharuskan Regdar kembali ke kamarnya untuk menyalakan perapian, jadi yang Stella lakukan hanyalah menyelimutinya dengan selimut. 

Tok, Tok, Tok!

Stella mengetuk pintu kamar Regdar beberapa kali. Bisa dilihatnya beberapa pelayan rumah Ravelsa sedang memantaunya dari sudut koridor, mereka juga tidak berani menginterupsi. 

"Ayah? Aku masuk, ya," ucap Stella sambil memutar kenop. Namun rupanya Regdar telah menguncinya dari dalam. "Ayah? Buka pintunya." 

Terdengar suara batuk pelan dari dalam kamar. Tentu saja itu tidak terdengar seperti respons menyetujui. Stella mengetuk pintu semakin keras. 

"Aku mau melihat Ayah."

Perasaan Stella mulai tidak tenang. Kenangan buruk yang sudah lama tidak dipikirkan olehnya, seolah kembali begitu saja. Ayahnya meninggal karena penyakit. Entah mengapa Stella berpikiran buruk, terus-terusan tidak sengaja membuat perbandingan. 

"Ayah, kumohon." 

Beberapa saat kemudian, pintu kamar itu terbuka. Dilihatnya Regdar masih mampu berdiri dan membukakan pintu. Selimut tebal memeluk tubuh pria itu. Melihat wajah Regdar yang kebingungan malah membuat Stella merasa lega untuk beberapa saat. 

"Jangan merengek begitu, Irsiabella. Ayah kan hanya tidak mau kau tertular demam Ayah," ucapnya khawatir. 

Stella mengintip sekilas isi kamar Regdar. Tidak ada yang benar-benar bisa dilihatnya. Di dalam sana agak gelap karena tirai kamar itu masih ditutup. Lantas, Stella tersadar sesuatu yang penting. 

"Ayah tidak menyalakan api?" tanyanya cemas. "Aku bantu, ya?" 

"Eh? Tidak perlu. Api itu sesuatu yang berbahaya."

"Tapi--"

"Tenang, nanti Ayah nyalakan," ucap Regdar. 

"Apa perlu kupanggilkan dokter?" tanya Stella, yang kemudian malah bingung, Eh, bagaimana cara menghubungi dokter?

"Tidak perlu, ini hanya demam ringan karena pergantian musim. Setelah beristirahat, besok Ayah pasti sudah sembuh." 

"Pelayan!" Stella memanggil, membuat para pelayan langsung buru-buru menghampirinya. 

"I-iya, Nona?" 

"Tolong siapkan sarapan Ayah. Oh iya, aku butuh air hangat dan kain juga, ya," pinta Stella. 

Para pelayan di sana hanya melirik Regdar sejenak, sebelum akhirnya membungkuk kepada Stella, "Baik, Nona. Mohon ditunggu." 

"Aku akan merawat Ayah," ucap Stella sambil melebarkan pintu dan mendorong punggung Regdar.

Tanpa persetujuan Regdar, kini Stella sudah ada di kamar Regdar. Pria itu mungkin terlalu lelah untuk berdebat dengan putri tunggalnya hari itu, jadilah dibiarkannya Stella membuka tirai kamarnya. 

Setelah cahaya masuk ke dalam kamar itu, Stella baru bisa melihat isi kamar Regdar. Kalau saja dia berhasil masuk di ruangan ini enam bulan silam, Stella akan sangat senang bukan main. Namun karena saat ini dirinya hanya mementingkan kesehatan Regdar, jadilah dirinya hanya mengobservasi sekitaran kamar. 

Lantai kamar Regdar juga dilapis karpet bercorak kembar dengan yang ada di kamarnya. Hampir semua perabotan kamar dan tata letaknya juga disamakan dengan kamar Irsiabella. Hanya ada satu hal yang membuat kamar itu berbeda. 

Lukisan seorang wanita berambut hitam dan bermata emas. 

Mendiang Nyonya Ravelsa, ibu kandung Irsiabella. 

Stella hanya mematung diam saat melihat lukisan itu. Nyonya Ravelsa benar-benar sangat mirip dengan Irsiabella, sama persis seperti yang ditulis Luna di cerita The Fake Princess. Stella tidak tahu darimana Luna tahu soal itu, tetapi memang banyak bangsawan lain yang mengatakan hal yang sama ketika di pesta Marquess dulu. 

Regdar yang sudah selesai menyalakan perapian pun, akhirnya tersadar bahwa Stella hanya menatap gambar itu dalam diam. 

Seharusnya Stella tidak perlu menanyakan apapun. Namun bibirnya mengkhianatinya. "I-bu?"

"Cantik, kan?" tanya Regdar sambil tersenyum. "Mirip sepertimu, Irsiabella." 

Stella memahami pasti bagaimana perasaan Irsiabella yang telah ditinggalkan oleh ibunya. Stella juga sama, pernah kehilangan ayah dan ibunya. Jadi, melihat lukisan seseorang yang berharga untuk Irsiabella, entah mengapa membuat perasaannya agak terpukul. 

Kini, Regdar juga ikut melihat potret lukisan mendiang istrinya. 

"Lihat, kan? Anak kita tidak lupa denganmu." Regdar bergumam seorang diri. 

Stella hanya menatap Regdar, sampai akhirnya pria itu terbatuk kembali. Kali ini Stella memaksanya untuk berbaring di tempat tidurnya, lalu keluar untuk mengambil pesanannya. Mereka memberikan meja dorong untuk Stella dan semua yang diminta Stella sudah dipenuhi di atas meja besi itu. 

"Kau sendiri sudah sarapan?" tanya Regdar. 

Belum. Dan sebenarnya perut Stella sudah keroncongan sejak tadi, tapi ya sudahlah. "Sudah. Sekarang, Ayah makan saja, ya." Regdar tampak hendak berbicara lagi, sampai akhirnya Stella menyambung, "Kusuapi."

***

Regdar sudah kembali terlelap setelah menghabiskan sarapannya. Stella juga sudah meletakan kain di atas kening Regdar berulang kali, sampai air di baskom kini sudah berubah sedingin es. Dijauhkannya kain basah itu setelah memastikan kehangatannya telah hilang, lalu baskom itu disisihkannya lagi di atas meja dorongnya. 

Kini Stella sudah bisa lega. Setidaknya, Regdar sudah terlihat lebih baik daripada tadi. 

Pandangan Stella pun kembali menyisir seputaran kamar. Potret itu langsung terlihat dalam sekali lihat. Regdar meletakan lukisan itu tepat di depan tempat tidurnya. Stella merasa seperti tengah bercermin sebagai Irsiabella. 

Stella menggelengkan kepala, jangan teralihkan. Gadis itu berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah jendela. Saat membuka tirai kamar Regdar, Stella sama sekali tidak menyimak jelas pemandangan dari kamarnya. Kini, matanya membulat saat menyadari bahwa kabut-kabut mulai menebal. 

Lalu, dari kejauhan, Stella bisa melihat siluet istana kerajaan. 

Kerajaan Terevias! 

Ingin sekali rasanya Stella melakukan teleportasi ke sana, seandainya dirinya bisa. 

Ada beberapa hal baru yang diketahuinya belakangan ini mengenai kekuatan teleportasi. Sebenarnya, Stella tidak bisa berteleportasi ke semua tempat. Tempat-tempat yang pernah dicobanya hanyalah sekitaran rumah Ravelsa sampai taman Ravelsa, lalu di taman bunga mawar itu. 

Beberapa hari yang lalu, Stella mencoba berteleportasi ke sana. Bunga-bunga itu belum gugur sepenuhnya. Masih ada beberapa yang kokoh dan bertahan. Rencananya Stella ingin memeriksanya lagi hari ini, berhubung salju baru saja turun dan Stella ingin menyentuh salju. Namun keadaan Regdar tidak memungkinkannya. 

Stella pernah mencoba melakukan teleportasi ke rumah Marquess Whistler. Dia pikir, percobaannya akan lebih mudah karena dirinya sudah pernah ke sana sebelumnya. Namun, sudah mencobanya hampir setengah hari, dirinya tetap tidak bisa melakukannya. 

Usut punya usut, rupanya semua rumah bangsawan telah dilapisi oleh pelindung sihir. Sangat tidak memungkinkan bagi orang-orang untuk menyelinap masuk lewat teleportasi. 

Hal mengejutkan lainnya adalah bahwa rumah Ravelsa juga mempunyai sihir yang sama, tetapi entah mengapa dirinya bisa melakukan teleportasi keluar dan masuk dengan mudah. 

Stella curiga, mungkinkah Irsiabella membuat dirinya sendiri kebal terhadap pelindung itu, sampai-sampai dirinya berhasil menembusi pelindung itu? Atau mungkin karena rumah bangsawan Marquess mempunyai pelindung sihir yang lebih kuat?

Memusingkan, tentu saja. Namun sekarang Stella yakin bahwa istana Terevias pastilah mempunyai pelindung sihir. Bisa dipastikan, Stella tidak akan bisa teleportasi ke sana. 

Sedangkan, taman bunga mawar yang selalu didatanginya itu dipastikan tidak memiliki pelindung sihir. Tempat itu jauh dari adanya kehidupan. Rumah satu-satunya yang berdiri di sana juga telah roboh. Fondasinya masih terlihat bersama perpecahan batu yang dilihatnya malam sebelum pesta Marquess.

Stella tidak terlalu yakin, tetapi sepertinya itu adalah rumah dimana kamar tempat awal Stella muncul. Kalau memang itu benar, berarti tempat itu memang tempat tujuan yang biasa didatangi Irsiabella.

Perhatian Stella teralihkan ke tumpukan buku yang ada di atas meja baca. Senyumannya terukir. Dugaannya benar, buku-buku sihirnya disimpan di sana. 

Tidak ingin mengundang kecurigaan Regdar, akhirnya Stella memutuskan untuk hanya mengambil satu buku teratas. Melihat Regdar yang kelihatannya tidak keberatan kamar ini dimasuki olehnya, rencananya Stella akan pelan-pelan mengambil satu per satu buku yang ada untuk meningkatkan kemampuan sihirnya. 

Saat hendak berjalan keluar sambil mendorong meja besi, tiba-tiba suara Regdar terdengar lirih dari tempat tidurnya. 

"Jangan pergi ..., Irsiabella." 

Stella yang punggungnya menegang pun menoleh ke Regdar. Pria itu masih terlelap. Mungkin dia hanya mengigau. 

Rasa ingin kembali ke sana semakin kuat, tapi Stella harus kembali ke kamarnya untuk menyembunyikan buku sihirnya, lalu Stella juga harus sarapan. 

"Nanti aku kembali lagi ya," ucap Stella pelan. 

Stella melihat Regdar yang masih terlelap. 

"Ayah," lanjutnya, sebelum menutup pintu kamar Regdar. 

***TBC***

29 November 2020

Paus' Note

1900 kata! 

WADO, AKU PERLU REM TANGAN, GUYS! 

Buku sihir baru berarti ...? Yup! Stella bakal nyoba kekuatan lain yang Irsiabella punya, hehe ;)

Antara chapter depan atau dua chapter yang akan datang ... 

Chapter yang mungkin pengin banget kalian baca, hehe. 

Eh, tapi aku gamau janji deh, nanti meleset kayak pesta Marquess nanti kan ga lucu. 

Coba deh bayangin kalau itu terjadi di kehidupan nyata. Dimana Paus jadi pengantar pesan dan kalian menghadiri acara pernikahannya h-1 ketika mereka lagi siap-siap nyusun kursi lol. Kacau banget yak.

BTW, aku pengin banget ganti blurb (sinopsis depan) cerita ini. Kayaknya kurang bikin penasaran banget yak? 

Aku membandingkannya sendiri dengan cerita-cerita lain di Wattpad (secara nggak sengaja) dan menurutku kebanyakan cerita isekai langsung to the point mempertanyakan konflik utama di blurb. Meanwhile blurbku malah abu-abu (?)

Sejujurnya aku bingung cara bikin blurb yang menarik bagaimana wkwkkww. 

Terus, masalah judul cerita ini (lagi) yang sepertinya tidak memancing samsek. 

Irsiabella di cerita The Fake Princess sama sekali tidak mengusik Putri Felinette. Cuman ya, keberadaannya mengancam hidup doang hehehe. 

Aku nggak ada judul bagus untuk tokoh Irsiabella yang--bagai tokoh figuran lewat-- kebetulan diceritain sama Luna. Menurutku ini adalah judul yang paling cocok buat cerita ini. 

Atau barangkali ada yang mau ngasih ide. Living as The Girl whom Will Make The Princess Got Killed? AHAHAHAH kacau banget tolong. 

Oke, paus bobok dulu. 

See you next chapie!

Big Love,
Cindyana / Prythalize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro