Produk Cacat ' Defective Product '
Chapter ini mengandung adegan kekerasan !
Udah dikasih peringatan loh~!
Chapter kali ini akan menceritakan masa lalu Riku
( Ini karangan dan bukan dari anime/story aslinya ! )
Oke sip. Happy Reading ya ^^
.
.
═•°• ! INFO ! •°•═
╰► Italic : karakter sedang membatin, kata yang menggunakan bahasa luar (Inggris, Jepang, Korea).
╰► Bold : dialog / kata yang bermakna penting dalam cerita.
╰► Bold Italic : Sound effect, tanggal + jumlah word.
◢◤◢◤◢◤◢◤◢◤◢◤◢◤
⋘ 𝑙𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑡𝑎... ⋙
.
↺1%
.
↺18%
.
↺35%
.
↺67%
.
↺99%
.
⋘ 𝑃𝑙𝑒𝑎𝑠𝑒 𝑤𝑎𝑖𝑡... ⋙
.
.
.
𝐍𝐨𝐰 𝐥𝐨𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠. . .
.
███▒▒▒▒▒▒▒
.
█████▒▒▒▒▒
.
███████▒▒▒
.
██████████
.
ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇ!
.
.
.
.
.
╔⏤⏤⏤╝❀╚⏤⏤⏤╗
IN ANOTHER LIFE
By : MonMonicaF
╚⏤⏤⏤╗❀╔⏤⏤⏤╝
Merengkuhkan tubuh kecilnya sendiri, seorang anak berusia sekitar 6 tahun kini tengah terisak. Tubuhnya gemetar hebat dengan bulir-bulir keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Begitu pula dengan air mata yang terus-menerus menitik tanpa henti, sebagai bentuk mengekspresikan perasaannya saat ini.
Terlihat bercak merah di baju yang dikenakannya, terlebih tangan dan kakinya dipenuhi dengan banyak memar. Dapat anak itu rasakan jika sekujur tubuhnya terasa nyeri. Rasa sakit yang harus diterimanya ketika berbuat kesalahan.
Padahal luka di kepalanya masih belum sembuh, itu diketahui dari perban yang membalut kepalanya terhiasi oleh warna merah. Dia mengalami cedera otak yang membuat dirinya mengalami amnesia retrogade. Cedera itu diterimanya akibat pukulan keras menggunakan sebuah kayu yang dilayangkan begitu saja pada kepalanya. Oleh sebab itu ia jadi kehilangan memori masa lalunya.
Informasi yang ia tau sejauh ini hanyalah 'dia' yang dipungut oleh seorang pria paruh baya. Katanya kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan dan anak-anaknya terlantar. Salah satu anaknya yang dipungut adalah Nanase Riku, yang tidak lain adalah nama anak itu. Dirinya dipungut dengan tujuan untuk dilatih menjadi seorang yang sempurna sedari dini dan kelak akan dijadikan sebagai idol terkenal yang berdiri paling puncak.
Jika ia ingin diberi makan atau minum, ingin disekolahkan untuk menuntut ilmu, dan jika ia ingin hidup lebih lama, maka Nanase Riku harus memenuhi ekspetasinya. Jika tidak, maka dia harus menerima hukuman sebagai konsukuensi dari kegagalannya.
.
.
*brak
Pintu usang itu dibuka dengan kasar, menampilkan sosok seorang pria paruh baya yang menatapnya dengan penuh kebencian. Ia melangkahkan kaki untuk memghampiri anak kecil ini.
"Bangun. Siapa yang menyuruhmu tidur!" sentaknya membuat anak kecil itu menjadi terkejut.
"Kubilang bangun, dasar bocah bodoh!" sentaknya kembali dengan kaki kanannya yang dilayangkan menuju tubuh anak itu dengan kasar.
Berkat dorongan cukup kuat pada perutnya, anak ini meringis kesakitan. Tetapi dirinya berusaha kuat untuk berdiri. "Ba-baik," jawabnya tergagap. Meskipun akhirnya dapat berdiri, sayang sekali ia harus terjatuh karena kedua kakinya yang sudah tidak memiliki cukup energi untuk menopang berat tubuhnya sendiri.
*plak
Sebuah tamparan keras dilayangkan pada pipinya yang masih mulus. Entah seberapa keras tamparan itu hingga meninggalkan bekas kemerahan di sana. "Aku menyuruhmu berdiri bukan duduk!"
*uhuk-uhuk
Kini ia menjadi terbatuk-batuk dengan nafasnya yang tidak karuan. Sesak memenuhi dadanya, ia tidak dapat bernafas dengan benar di dalam sana. Nafasnya yang tersengal-sengal terasa panas, menandakan jika suhu tubuhnya meningkat. Sakit masih bisa ditahannya, tapi lain halnya jika asmanya yang kambuh. Dia membutuhkan inhalernya.
Dengan susah payah ia mengucapkan satu kata berulang kali, "Ma-ma..af..."
*plak
Lagi-lagi ia harus menerima tamparan pada satu sisi pipinya yang lain. Nyeri dapat dirasakannya pada daerah yang terkena tamparan. Rasa sakit itu semakin membuat asmanya menjadi parah. Sesak, ia tidak bisa bernafas.
"Kau pikir hanya dengan perkataan 'maaf', aku akan berbelas kasih?"
*plak
Pria paruh baya ini menamparnya untuk ketiga kalinya. Sakit, benar-benar sakit. Tenaga orang dewasa jauh lebih besar dari tenaganya yang hanya 'seorang anak lemah yang penyakitan'. Tubuh lemahnya harus menahan rasa sakit yang ditimbulkan akibat kekerasan pria itu.
Ia sudah tak lagi bisa berbicara satu kata pun, saat ini dirinya sedang berusaha untuk menghirup oksigen melalui hidung dan mulutnya. Meraup sebanyak-banyaknya hingga pernafasannya tak lagi sesak. Karena sesak itu sangat menyiksa.
*plak
Lagi-lagi dia ditampar. Cukup, dia sudah tidak kuat lagi untuk menahannya. Pasokan oksigen dalam tubuhnya sangat minim, rasa sesak itu sungguh menyiksanya. Ia bisa saja mati jika tidak bernafas dengan benar.
"Jangan dendam padaku. Ini hukuman karena kau gagal meraih peringkat pertama di kelas! Dasar anak bodoh!"
*plak
"Anak tidak berguna!"
Kini anak itu tersungkur di atas permukaan lantai yang dingin. Tubuhnya ambruk begitu saja ketika ia sudah berada di ambang batas. Kesadarannya menjadi memburam dan kegelapan langsung melahapnya.
Menatap datar anak kecil yang sudah kehilangan kesadaran itu, pria ini menghela nafas kasar. "Huh. Sudah cukup hari ini. Toh dia tidak akan mati jika hanya segini" Kemudian pria itu keluar begitu saja dari gudang, meninggalkan seorang anak kecil yang terkapar penuh memar di sana. "Sayang sekali, aku harus mendapat produk cacat sepertinya," monolognya.
~~
"Aku mendapatkan nilai tertinggi di kelas! Semua siswa juga memujiku pintar!" serunya bersemangat dengan senyuman lebar yang terlukiskan di wajahnya. Ia berlarian kecil menghampiri seorang pria paruh baya, yang tidak lain adalah Kujo Takamasa. Ia menunjukkan hasil ulangannya dengan bangga, berniat mendapatkan pujian atas kerja kerasnya.
Tapi ternyata, dengan kasar Kujo menepis tangan kecilnya yang membawa kertas ulangan. Ia memandangnya dengan tatapan marah. "Apa-apaan senyum itu!"
Terkejut atas perlakuan dan bentakan di saat yang hampir bersamaan, Riku sedikit gemetaran. Senyum lebar itu langsung menghilang seketika. "Ma-maaf, maaf, aku lupa, maafkan aku"
Tidak melepas tatapan penuh kemarahannya, Kujo mencengkram keras pergelangan tangan Riku lantas ia menyeretnya hingga sampai ke gudang. "Kau harus dihukum atas kesalahan fatalmu," ujarnya dengan menjatuhkan tubuh lemah itu hingga membentur lantai.
"Ma-maaf! Maafkan aku! Aku tidak akan mengulanginya kembali!" tangisnya pecah, sembari memohon maaf dengan berlutut di hadapan pria itu.
Sebongkah kayu yang berada di sana diambilnya, dan ia membalas, "Aku melarangmu menunjukkan perasaan, tetapi tadi kau memperlihatkan senyum lebarmu padaku. Kau tau, itu kesalahan fatal yang sulit kumaafkan!"
Bola matanya bergetar begitu mendapati sebongkah kayu yang sudah berada di tangan Kujo. Keringat dingin mulai bercucuran dengan deras. "Tidak! Maaf! Aku janji tidak akan mengulanginya!" ucapnya terus memohon.
"Anak yang tidak patuh harus dihukum," ujarnya sebelum melayangkan sebongkah kayu itu hingga mengenai secara acak tubuh Riku dengan keras. Bahkan ia tidak memberikan kesempatan untuknya berbicara sedikit. Terus-menerus ia layangkan pukulan dengan menggunakan bongkah kayu itu. Ah, tapi dia menghindari bagian kepala. Ia tak ingin mengeluarkan biaya untuk pengobatan.
"Ugh... Sa-sakit...," rintihnya memeluk tubuhnya sendiri sebagai upaya untuk menghindari kerasnya pukulan itu. "Ku-kumohon... he-hentikan," ujarnya tergagap. Untuk saat ini ia berusaha mengatur nafasnya yang semakin kacau. Dia tidak ingin kehilangan kesadaran.
Satu, dua, tiga, dan seterusnya, entah sudah berapa kali ia memukulkan bongkahan kayu itu pada tubuh Riku secara acak, akhirnya ia membuang benda itu kesembarang arah. "Apa kau menyadari kesalahanmu?" tanya Kujo menarik poni miliknya hingga mau tidak mau kepalanya terpaksa terangkat.
Wajahnya nampak sangat pucat disertai dengan air mata yang telah berhias di kedua pipinya. Rasanya beberapa helai rambut poninya terpaksa copot akibat tarikan itu. Dengan nafas yang terengah-engah ia menjawab, "A..ku....sa..lah..."
"Ya benar. Kau salah! Jika sekali lagi kau tersenyum seperti itu, aku akan menghukum dengan keras!" ucapnya melepaskan rambut Riku yang ditariknya dengan keras. Ia mengibaskan tangannya yang terdapat beberapa helai merah terselip di jari-jemarinya akibat tarikan yang menyebabkan rambut Riku rontok beberapa.
Memegangi lengannya yang terasa sakit, Riku mengangguk lemah. "Baik, aku mengerti"
'Aku tidak akan tersenyum lagi. Aku takut dia akan menghukumku lebih parah lagi,' benaknya menggigit ujung bibir bawahnya sendiri. Matanya telah berhenti menitikkan air, membiarkan bekas air di kedua pipinya perlahan mengering.
Kujo telah pergi dari sana dengan mengunci pintu gudang. Riku tidak bisa menggerakkan tangannya dengan bebas karena gerak sedikit saja sudah terasa nyeri. Yang bisa dia lakukan sekarang hanya diam dan membiarkan rasa sakit itu menghilang dengan sendirinya. Menunggu di dalam sana hingga Kujo membukakan pintu gudangnya.
Perlakuan kasar yang terus berulang seiring berjalannya waktu, hingga Riku menginjak umur 12 tahun. Kehidupan yang telah berjalan selama 6 tahun, masa-masa di mana dirinya diajari dengan keras supaya menjadi seseorang yang sempurna. Kujo menyebutnya, "Produk cacat"
~~
Memandang kosong pemandangan dari jendela sembari melamun tanpa memikirkan apapun. Kepalanya terasa kosong seakan ia tidak memiliki beban pikiran di dalamnya. Semilir angin yang memasuki kamar inapnya terasa begitu hangat dan menenangkan.
Selang infus terpasangkan pada salah satu tangannya, dengan pakaian rumah sakit yang telah dikenakannya selama 3 hari. Ruangan berdominan putih selalu menjadi pemandangannnya di setiap bangun pagi serta aroma obat-obatan yang sudah tidak asing lagi di hidungnya.
Pada akhirnya ia dirawat di rumah sakit setelah tak sadarkan diri selama seharian. Tubuhnya terlihat kurus pertanda kurangnya lemak dan nutrisi. Wajahnya yang selalu pucat sudah menjadi pemandangan normal baginya.
( pixiv )
Ia mengulurkan tangannya, hendak meraih cahaya hangat yang memasuki jendela ruang inapnya. 'Aku ingin jalan-jalan' Begitulah hingga dengan mudanya dirinya mencabut selang infus yang terhubung pada tangannya.
Dari menuruni ranjang hingga mengendap-endap keluar dari kamarnya, Riku menuju taman rumah sakit tanpa mengenakan alas kaki. Mendongakkan kepala menatap langit biru, ia dapat merasakan hangatnya mentari dipadukan oleh hembusan angin yang lembut.
Ia terlena dengan suasana tersebut hingga tak menyadari seseorang melihatnya dan menghampirinya dengan sedikit berlarian.
Begitu melirikkan mata ia mendapati anak remaja sepantaran dengannya. Tetapi anak itu nampak begitu sempurna. Dengan surai baby pinknya yang lembut, kedua iris bewarna amaranth pink, serta kulitnya yang putih. Benar-benar cantik begitu kesan pertamanya.
"A- halo, sedang apa kamu di sini?" sapa anak itu yang tentunya hanya diabaikan oleh Riku. Ia tidak suka kehadiran orang lain.
"Mengabaikan orang itu tidak sopan!" tegurnya kesal karena diabaikan.
Ia menatapnya dengan cuek tanpa memberikan respon. 'Aku tidak tau bagaimana cara bersosialisasi dengan benar,' benaknya. Ia pun memilih untuk meninggalkan orang yang mengajaknya berbicara. 'Kujo akan memarahiku jika dekat dengan orang lain'
"Ya ampun! Kau benar-benar tidak sopan ya!" marahnya menghentikan langkah kaki Riku dengan memegang pergelangan tangannya. "Setidaknya tatap orang yang mengajakmu bicara dong"
Terkejut akibat sentuhan pada pergelangannya, Riku pun melepasnya tangan putih yang memegang tangannya itu dengan kasar, dan dia akhirnya membuka mulut, "Lepas, jangan sentuh aku. Nanti kotor"
"Sekarang kau menganggapku kotoran?!" pekiknya tidak percaya. Baru pertama kali dirinya bertemu anak sekurang ajar Riku, begitulah benaknya.
Si surai merah menggeleng sekali, dan kembali berbicara, "Tidak. Aku yang kotor"
"Hah? Kenapa kau menyebut dirimu kotor?" tanyanya tidak mengerti.
"Kau harus menganggapku seperti itu. Aku ini kotor jadi menjauhlah dariku ya?" balasnya berwajah datar tanpa menunjukkan ekspresi apapun.
Tiba-tiba remaja bersurai baby pink ini menundukkan kepala membuat sebagian raut wajahnya menjadi tertutupi dan ia mengepalkan erat kedua telapak tangannya. "Kenapa wajahmu seperti itu? Kamu seperti orang yang membunuh perasaan sendiri"
"Karena itu tidak penting bagiku," jawab Riku dengan santainya. Lagian dia tidak merasa sakit hati atau semacamnya.
"Hei, siapa namamu?" tanyanya.
"..." Terdiam tanpa berkutip sedikit pun, Riku sama sekali tidak berniat menjawabnya. Orang lain tidak perlu tau siapa dirinya.
"Huh..." Dia hanya bisa mendengus kecil melihat lawan bicaranya tidak merespon satu kata pun. "Tidak jadi. Tapi sebaiknya kamu harus lebih mengekspresikan perasaanmu. Hidup itu cuman sekali jadi nikmatilah dengan senyuman. Jangan jadi patung hidup yang mau diatur seenaknya. Karena kamu adalah kamu. Kamu tidak perlu menjadi orang lain, cukup jadi diri sendiri"
"Kau seperti orang tua saja," celetuk Riku.
"Ukh-- Dengarkan saja nasihatku! Karena aku rasa kau perlu itu," ujarnya.
"Aku tidak yakin," balasnya tak acuh. Ia kembali melangkahkan kaki satu demi satu langkah menciptakan sedikit jarak diantara mereka. Dia sedikit menolehkan kepala dan melirik si surai baby pink yang berada di belakangnya. "Tapi terima kasih"
"..."
Dengan begitu ia terus melangkah hingga mereka terpisah dan tidak akan pernah bertemu lagi-- itulah yang dipikirkannya. Ternyata tak lama remaja bersurai baby pink ini mengikutinya. "Tunggu!" serunya.
"Apa?" tanyanya menghentikan pergerakan kakinya.
Berdiri di hadapannya, remaja ini menyodorkan setangkai bunga yang baru saja dipetiknya. Ia menyerahkan bunga itu dengan memperlihatkan senyum yang berkesan tulus. "Untukmu. Kuharap kamu terus semangat untuk menghadapi permasalahan hidupmu"
Iris crimson itu membelalak, perasaan hangat terasa seperti menyelimuti hatinya yang dingin. 'Dia..' Bahkan sulit untuk mendeskripsikan orang itu. Hanya saja, sepertinya Riku merasa sedikit termotivasi?
Untuk pertama kalinya setelah enam tahun, akhirnya Riku mampu melihat dengan benar orang yang ada di depannya. Tanpa sadar, secara alami senyum terukir indah di wajahnya setelah sekian lama. "Uhm. Terima kasih"
Meski senyuman imut itu hanya terlihat sekilas, tetapi itu memiliki beberapa kesan tersendiri bagi si surai baby pink. Dirinya menjadi tertarik dengan Riku. "Tenn"
"Eh?"
"Tolong ingat namaku baik-baik, aku Tenn! Namaku Tenn!"
--?!
'Aku ingat! Benar itu dia--
Orang yang waktu itu memberiku setangkai bunga...
Sial! Apa aku melupakan percakapan itu karena amnesiaku?
Tapi sekarang bukan itu yang penting-- Aku berhasil mengingatnya...
Tidak kusangka orang baik itu ada di dekatku.
Entah ini kebetulan atau bukan.
Tenn-- Aku menemukanmu!'
.
.
.
- To be continued -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro