Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

No Reason

Bagaikan membalik sebuah jam pasir.

Jiwa yang melampaui batas waktu dan dunia, telah menentang roda kehidupan.

Kehadiran jiwa yang seharusnya tiada, kini mengubrak-abrik tatanan dunia.

Hadir dan melukis masa depan yang tidak seharusnya ada.

Jiwa yang memilih untuk terkurung dalam botol kaca, demi memuaskan keinginan pengendalinya.

Ia menari dalam permainan boneka milik seseorang.

Bergerak bagaikan boneka hidup sesungguhnya.

"Jadi, apakah jalan seperti ini yang kamu pilih?"

...

⋘ 𝑙𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑡𝑎... ⋙

.

↺1%

.

↺18%

.

↺35%

.

↺67%

.

↺99%

.

⋘ 𝑃𝑙𝑒𝑎𝑠𝑒 𝑤𝑎𝑖𝑡... ⋙

.

.

.

𝐍𝐨𝐰 𝐥𝐨𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠. . .

.

███▒▒▒▒▒▒▒

.

█████▒▒▒▒▒

.

███████▒▒▒

.

██████████

.

ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇ!

.

.

.

.

.

╔⏤⏤⏤╝❀╚⏤⏤⏤╗

IN ANOTHER LIFE
By : MonMonicaF

╚⏤⏤⏤╗❀╔⏤⏤⏤╝

"Ri-Riku?" Pemuda berumur sekitar 30-an itu memanggilnya dengan tergagap. Seorang MC yang juga merupakan member ainana sekaligus koki pribadi mereka. Manik orangenya melebar kala melihat sosok yang digandeng oleh adiknya.

Sosok yang Izumi Mitsuki lihat itu hanya menatapnya dengan kosong. Ia membiarkan dirinya dibawa oleh pemuda raven itu ke mana pun. "Mitsuki...," sebutnya dengan suara kecil.

"Lihat Nanase-san, kakakku juga ada sini. Jadi--"

"Iori hentikan!" bentak Mitsuki memotong ucapan adiknya. Ia memegang erat pergelangan tangan Iori yang mencengkram tangan si surai merah. "Kau sangat gila!" katanya setelah berhasil membawa Nanase Riku menjauh.

"Nii-san! Bukankah Idolish7 kita bisa kembali jika ada Nanase-san?" Iori berusaha meyakinkan kakaknya yang berbeda pendapat dengan apa yang dikehendakinya.

"Bukan kami, tapi itu adalah Idolish7 yang kau dambakan!" balas Mitsuki marah. Ia berdiri membelakangi Riku, berniat melindunginya. "Obsesi dan keegoisanmu sangat buruk! Aku tidak mengajarimu untuk berbuat seperti ini!"

"Kenapa Nii-san malah memarahiku?! Sejak awal Nanase-san punya kita, IDOLiSH7!" bantah pemuda raven itu.

"Tidak." Mitsuki menggeleng. Adik satu-satunya benar-benar telah berubah. Tapi dia sangat yakin satu hal. Perubahan Iori yang drastis bukan karena Nanase Riku. Tapi memang keegoisan dan obsesinya yang salah. "Kau hanya menggunakan Riku sebagai alat."

"Mitsuki, sudahlah..." Si surai merah menampilkan senyum kecil. Permata crimson yang indah itu telah redup akhir-akhir ini. Seakan ia tak lagi memiliki keinginan untuk atau atas hidupnya.

Dengan kata lain, Riku telah memberikan nyawanya pada orang lain.

"Riku..." Mitsuki memegang kedua bahunya. Iris orangenya memandang dengan sendu. "Bukannya tidak mampu, tapi kaulah yang menyerah tanpa syarat, Riku."

"Pikirkanlah perasaan orang lain yang mendukungmu di masa depan."

"Kau tau seberapa menderitanya Nanase Tenn untuk dapat menerima kepergianmu?"

"Dan taukah betapa besar kesabarannya untuk menunggumu?"

"Lalu kini kau meninggalkannya lagi?" Rasa kecewa terbesit di benaknya. Tidak pernah terpikirkan bahwa adiknya akan mencuri sesuatu yang berharga milik orang lain.

"Apa kau tau seberapa menderitanya aku? Izumi Iori itu lah kunci dari kehidupanku. Aku tidak ingin melihat Nanase Tenn menghilang selamanya untuk kesekian kali. Itu terlalu menyakitkan," ujarnya meremas kain bajunya sendiri.

"Setidaknya meskipun harus berpisah seperti ini, Tenn-nii pasti akan baik-baik saja. Kehadiranku hanya akan dilupakan seiring waktu." -- Riku.

"Kau salah. Melupakan seseorang yang sangat disayangi merupakan sesuatu yang sangat SULIT. Dan itu akan membekas untuk selamanya." -- Mitsuki.

Riku mengangkat kepalanya menatap lurus tapi kedua permata redupnya seakan menerawang jauh ke tempat lain. Sebelah mata miliknya memiliki retakan yang semakin parah. Jarum jam itu bahkan berhenti bergerak. "Uhn," balasnya singkat.

.

.

.

"Kecelakaan yang menimpa Re:vale 5 tahun lalu," monolognya menscroll layar canggih itu dengan dua manik crimson yang sangat teliti mencari informasi. "Kujo juga dan Takanashi sachou 6 tahun lalu." Sepertinya ia mengerti salah satu alasan mengapa orang-orang di masa yang dianggapnya sebagai masa depan mampu mengingatnya.

Mungkin ini berhubungan. "Mereka yang telah tiada... Ini masuk akal." Penelusurannya kini beralih untuk mencari nama "Kujo Tenn" di internet. Berita seperti apapun akan dilihatnya meskipun ada yang dilebih-lebihkan atau bahkan berita palsu.

Jari-jemarinya dengan lihai mengutak-atik layar ponselnya. Tapi nihil, berita tentang Kujo Tenn yang terlampir tidak memuat informasi yang berguna. Bahkan berita tentangnya tidak banyak. Dengan statusnya sebagai Center Trigger, seharusnya banyak yang memberitakannya. Bahkan berita yang ditemukan hanya sebatas berita sepele.

Yang dicarinya adalah berita tentang Kematian Kujo Tenn dan itu nihil.

Menurut analisisnya Kujo Tenn sudah tidak ada di masa lalu. Lalu apakah analisisnya salah? Kujo Tenn masih hidup?

"Kalau Tenn-nii masih hidup di sini.... bukankah..." Senyum terulas di wajahnya. Senyuman di wajah yang nampak seperti boneka itu. "Aku tidak perlu kembali... Tenn-nii ada sini," monolognya.

"Bagaimana jika aku hidup di sini saja?"

"-- Rikkun?" panggilan dari seseorang yang merupakan member bongsor dari Idolish7 itu mengalihkan atensinya. Pemuda bersurai biru muda itu menyalakan lampu untuk menerangi ruangan yang gelap itu. Manik yang senada dengan surainya itu memandang sendu ke arah boneka hidup tanpa detak jantung dan suhu tubuh itu.

"Tenten sudah tiada 10 tahun yang lalu."

"...huh?"

"Rikkun, sebenarnya Tenten..." Yotsuba Tamaki, ia mengepalkan telapak tangannya dengan erat. Berat rasanya untuk mengatakannya setelah mengetahui kondisi dari Nanase Riku yang hidup layaknya boneka itu. Dengan mental yang tidak terbilang normal, ia tidak yakin apakah si surai merah ini sanggup mendengarnya.

Ia tau pasti jika apa yang dikatakannya akan membuat mantan centernya tersakiti. Tapi ia harus memberitau kebenaran yang dirahasiakan itu. Jika tidak, mungkin saja Riku akan benar-benar tinggal di tempat ini.

Tubuhnya merinding ketika ia kembali mengingat sebuah kenangan dalam benaknya. Rahasia yang disimpannya selama bertahun-tahun. "Kujo Tenn telah tiada dan penyebab kematiannya tidak bisa dikonfirmasi. A-akulah yang me-menemukannya. Tenten... dengan bersimbah darah ia tersenyum padaku "

*klotak

Ponsel yang dipegangnya jatuh menghantam kerasnya ubin lantai. Manik crimsonnya terlihat seram kala mendengarnya. Tapi senyuman masih ia tunjukkan. "Cukup bercandanya Tamaki," ujarnya dengan nada yang menekan.

Tapi tekanan itu tak berhasil membungkam Tamaki. "Jangan lari Rikkun! Bukankah Rikkun sendiri juga sudah menyadarinya?!"

"Menguping itu tidak baik Tamaki."

"Masa bodoh!" Pemuda itu menghampiri Riku dan membuat si surai merah menatap padanya. "Aku menyimpan ponsel milik Tenten dan di saat terakhir Tenten berkata--"

"Hentikan omong kosong itu Tamaki!" sentak si surai merah memotong perkataannya. Ia mendorong Tamaki untuk menjauh. Rasa takut menyelubungi hatinya, ia tidak ingin mendengarnya.

Meskipun ia menolak, Tamaki yang lebih kuat darinya pun memegang kedua pundaknya dan menekannya dengan cukup kuat. "Aku sangat merindukan Riku, begitu." Dia mengatakannya.

"Dia tidak membenci kematiannya! Dia juga tidak membenci sosok yang kau anggap berharga selain dirinya! Itu demi Rikkun!" ujarnya terus berucap tiada henti. Tubuh rapuh itu ia goyangkan untuk menyadarkannya.

"Tenten mungkin pernah meninggalkanmu. Tapi apakah kau akan melakukan hal yang sama?! Rikkun yang kukenal bukan orang yang seperti itu!" tegasnya. Ia sangat menyayangi Riku karena Riku sudah seperti keluarga untuknya. Maka sebagai keluarga, ia ingin menyelamatkannya.

"Rikkun-- Iee.. Nanase Riku kamu tidak dibutuhkan di sini. Jadi pergilah... ini bukan rumahmu," ujarnya. Senyum sendu terulas di wajahnya. Linangan air mata berusaha ditahannya.

Sementara si surai merah hanya diam tidak berkutip. Raut wajahnya tidak berubah sedari tadi, tapi satu hal yang pasti. Ia menjerit dalam hatinya. Ribuan jarum seakan menghantam dirinya tanpa persiapan. Suaranya seakan tertahan di dalam. "A-a..ku..."

"Nanase-san tidak akan pergi, Yotsuba-san." Begitu ucapan dari seorang Izumi Iori. Ia masuk ke dalam pembicaraan dan memotongnya. Tatapan menyeramkan dilayangkannya pada member yang usianya hanya berbeda beberapa bulan darinya.

'"Iorin sudah hentikan!" Tamaki berdiri di hadapannya. Badan yang lebih besar darinya menutup jarak pandangnya. Sepertinya si surai biru muda itu mengepalkan tepak tangannya berusaha menahan emosi untuk tidak memukulnya saat ini. "Yotsuba-san tidakkah kau senang center kita di sini?" tanyanya.

Gelengan pun diberikannya. "Tidak. Aku memang merindukan Rikkun. Tapi kenangan dirinya akan selalu berada di hatiku," balasnya.

"Kalau begitu--"

"Iori..." Panggilan dari center kesayangannya membuat fokusnya beralih. Ia menggeser tubuhnya untuk dapat melihat sosok si surai merah. "Apa yang terjadi dengan Tenn-nii?" tanya si surai merah.

Manik obsidian miliknya berkontak dengan manik crimson itu. "Sejujurnya aku ada di sana," ujarnya.

"Iorin jangan bilang--?!"

"Kau salah!" tegas si surai raven menyelanya sebelum kesalahpahaman tercipta. "Aku memang ada di tempat kejadian dan merupakan saksi pertama. Kujo Tenn jatuh--" Ia menggelengkan kepalanya sebelum kembali menerangkan, "Dijatuhkan dari lantai gedung atas, itu bukanlah kecelakaan melainkan ia dibunuh."

Getaran hebat memenuhi atmosfir ruangan. "Memangnya ini novel misteri?" Pembunuhan katanya. "Lalu jika kau juga ada di sana, kenapa tidak segera menolongnya?!" Tamaki menarik kerah baju pemuda raven itu. "Dia mungkin bisa--"

"Bisa diselamatkan?" Iori menyela perkataannya begitu saja. Alisnya berkerut dan menyingkirkan tangan Tamaki dari kerah bajunya. "Tubuhnya mati rasa dan pendarahan hebat di kepalanya. Dia tidak bisa diselamatkan!" jelasnya.

"....Tidak....Tenten..."

"..."

Si surai merah merasa gelisah. Ia memeluk tubuhnya sendiri. "Iori... Sebenarnya apa tujuanmu membawaku?" tanyanya.

"Mengembalikan Idolish7. Nanase-san tinggalah di sini, kumohon. Dunia ini sudah sangat berantakan dan kami diambang kehancuran," jawabnya. Kali ini kesenduan tersirat pada binar matanya. "Aku membutuhkanmu," lirihnya.

"Iori... Aku bukan dewamu! Aku hanya manusia biasa yang hidup dan mati," ujarnya. Binar redup itu berusaha mempertahankan kilauannya. "Aku akan di sini sampai kau bisa melepaskanku."

'Aku sungguh berharap agar kau tetap berada dalam pengawasanku. Maafkan aku Kujo Tenn.'

.

.

.

[ a year later ]

"Bisakah aku berhenti? Ini menyakitkan bagiku."

(Pinterest)

Permata crimson itu menatapnya dengan kristal-kristal bening yang mengalir turun dari pelupuk matanya. Nafas yang tersengal-sengal itu berusaha diatasinya. Bulir-bulir keringat pun menghiasi wajahnya yang pucat. Tubuh yang dingin tanpa denyut nadi itu menjerit dari dalam.

Penampilan Nanase Riku sangat kacau.

Ia sudah tidak sanggup untuk berdiri di atas panggung yang megah. Yang ia rasakan hanya tatapan tidak mengenakkkan dan intimidasi yang mencekamnya. Boneka itu tidak bisa bertahan lebih lama untuk menari.

Setahun telah berlalu sekejap mata. Tapi begitu sangat lama bagi sosok itu untuk bertahan dalam dunia itu. Menari dalam kegelapan dan bernyanyi dengan putus asa.

"Kau adalah orang yang spesial bagiku."

Sosok yang menjadi sandarannya, kini tidak lagi menjadi sosok yang dikenalnya. Obsesi telah membuatnya menyimpang dan egoisme telah membutakannya.

Dipermainkan bagaikan alat untuk mencapai keinginannya. Membuat boneka itu patuh dan mengontrolnya. Dengan malangnya ia terkurung dalam botol kaca dan dipaksa menari.

"Aku membencimu Iori."

.

.

.

Dari balkon kamar asramanya, bulan terpampang dengan sempurna. Kelap-kelip bintang pun membuat langit malam menjadi berkilauan. Gelapnya cakrawala telah diterangi oleh sinar rembulan dan kilauan bintang itu. Malam ini mungkin malam yang indah. Apa seseorang berniat untuk menghiburnya?

Ia mengepalkan tangannya lantas meregangkannya kembali, merasakan tulang-tulang dan ototnya yang bekerja. Kala ia menyentuhnya, samar-samar dapat dirasakan sesuatu mengalir dalam kulitnya. 'Aku merasa semakin lama aku semakin hidup,' benaknya.

Ia menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas, sembari memangkuk dagunya sendiri. "Aku bertengkar dengan Iori," monolognya. Ia membalik tubuhnya, hingga punggungnya lah yang bersandar. Kepalanya mendongak ke atas gemilangnya langit malam. "Dia menolak ketika aku memintanya mengantarku pulang. Raut wajah sendu dipasangnya. Ia memegang dadanya sendiri. "Dia benar-benar mengurungku."

Di dalam kamarnya hanya kegelapan yang tersisa. Tidak ada kehangatan dari sang pehuni ruangan. Si surai merah hanya berbicara sendiri sembari menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus menyapu permukaan kulitnya.

"Aku mau pulang saja!" ujarnya ceria. Manik crimson itu berusaha kabur dari celah kecil dalam sangkarnya. 'Aku tidak tau bagaimana cara Iori masuk keluar begitu saja. Tapi masa bodoh!' batinnya membuang pemikiran yang rumit itu.

"Ini seperti portal waktu saja," ujarnya tersenyum kecil. Menundukkan kepalanya untuk sesaat, binar miliknya menyala dengan redup. "Maaf ya, tapi ini bukan lini waktuku!" serunya menjatuhkan tubuh ke belakang mengikuti arah angin membawanya. Tubuhnya secara otomatis terdorong karena gravitasi yang dipicunya.

Surai merahnya terayun dalam seperkian detik karena hembusan angin. Kala itu ia memejamkan matanya dan seakan kesadarannya terenggut secara paksa.

*klang

[ F u t u r e ]

"Hm? Si surai baby pink itu menolehkan kepalanya secara tiba-tiba. Sesuatu yang terasa familiar terhubung dengannya. Rasa hampa seakan terobati dalam sekian detik.

Seorang perawat pun berinisiatif untuk bertanya, "Ada apa Nanase-kun?"

Kembali menolehkan kepala pada perawat itu, dengan singkat ia menjawab, "Tidak." Masker putih yang menutupi separuh wajah cantiknya itu pun diturunkan menuju dagu. "Seperti biasa aku ingin mengunjungi adikku," tuturnya memberikan senyum khas miliknya.

Langkah kaki dibawanya menuju sebuah kamar pasien. Wajah datar itu telah menjadi ciri khasnya sejak lama. Ia membuka pintu putih itu untuk memeriksa kondisinya hari ini.

Gorden putih itu melambai karena tertiup oleh angin yang berhembus kencang. Jendela kamar putih itu terbuka lebar hingga hembusan angin pun memasuki ruangan.

Bersamaan dengan gorden yang tersapu angin, surai merah yang cukup panjang itu mengayun mengikuti arah angin. Tubuh kurusnya tidak sanggup menopang hingga ia berakhir duduk di lantai setelah semua usahanya.

Cahaya sang surya pun memasuki ruangan dengan samar-samar. Kala si surai merah itu menolehkan kepala. Terlihat surai poni yang menutupi matanya. Bibir pucat itu itu sedikit terbuka bersamaan dengan tatapan yang sempat dirasakan tertuju padanya.

"Kau bosan di tempat tidurmu?" Pertanyaan dilontarkannya sembari menghampiri sosok yang sedarah dengannya. Tenn, ia menyelimutkan jaketnya pada punggung adik kembarnya. Biasanya si surai merah hanya akan diam di atas ranjang dan melamun sepanjang waktu. Tatapan kosong itu bagai raga kosong tanpa jiwa dan Tenn sudah terbiasa dengan itu.

Ia berjongkok untuk mengusap pucuk kepalanya. "Ponimu panjang sekali. Kurasa aku harus memotongnya supaya tidak mengganggu," ucapnya bermonolog. Ia membelai rambutnya dengan lembut. Lantas tindakannya pun terhenti. "Apa kau... sedang menatapku?"

Ia dapat melihat dengan jelas ketika poni itu berhasil disingkirkannya. Kedua matanya terlihat sembab dan ia terisak tanpa mengeluarkan suara. "Apa kau merasa sakit?" Tenn mengusap sebelah matanya.

Si surai merah mengangguk, air mata itu mengalir ke luar. Bibirnya bergerak ingin mengatakan sesuatu, namun ia mengurungkan niatnya.

Tenn membawa tubuh rapuh itu ke dalam pelukannya. Ia mengelus pipinya dengan lembut, menyalurkan kehangatan pada kulit yang dingin itu. "Akan kupanggilkan dokter--" Ia menghentikan kalimatnya ketika sang adik menggeleng tidak setuju.

"Riku," panggil Tenn dengan suara pelan. Sang adik masih terisak dalam diam. Dapat ia rasakan bulir-bulir air mata yang berjatuhan itu. Tidak tau harus berkata apa lagi, Tenn membiarkan adiknya berada dalam pelukannya untuk beberapa lama. Kecupan ia berikan pada pucuk kepalanya.

(Pixiv)

Si surai merah menarik tubuhnya dari dekapan itu. "Darah... Tenn-nii terluka...," lirihnya terputus-putus. Kedua tangan yang kurus itu gemetar. Siapa yang menyangka jika ia akan mendapatkan kenangan pahit itu saat kembali?

"...."

"Riku bisakah kau melupakannya?" pinta Tenn menangkup kedua pipi itu menggunakan telapak tangannya. Tatapan serius terlihat, ia sedikit terkejut kala adiknya tiba-tiba saja mendapat ingatan yang tidak seharusnya ia miliki. "Tentu saja sulit bukan?" Tenn tertawa hambar.

"Kau lihat? Aku baik-baik saja," tuturnya.

Menghela nafas kecil, tangan kurus itu menyeka air matanya sendiri. Manik crimsonnya melirik ke depan, ia memandangnya dengan malas. "Aku...mem-ben-ci..nya," ujarnya mendengus.

Mengikuti arah pandang permata redup itu, iris amaranth pinknya memandang sosok yang sama. Berdiri di ambang pintu dengan raut wajah datarnya. "Izumi Iori terima kasih sudah menjenguk."

"Bukan... Dia Iori ku," sahutnya. Tubuhnya terasa kaku ketika digerakkan. "Cepat sekali," ujarnya.

Tenn memandang dengan tatapan dingin. Raut wajahnya kembali datar dan ia mengulangi tentang panggilan kepemikikan yang adiknya berikan pada rekannya. "I-o-r-i--KU?" gumamnya.

"Tenn-nii kenapa?"

"Iya dia MILIKMU."

"...." Si surai merah memalingkan mukanya ketika menyadari maksut ekspresi kakaknya yang seperti itu. 'Gawat, apa aku salah berbicara?'

"Aku tidak percaya kau pergi hanya karena merajuk," ujarnya.

"Aku tidak--!"

Dengan cepat ia menyela, "Iya kau melakukannya! Merajuk seharian lalu kabur dari rumah." Surai raven itu melangkahkan kakinya menghampiri si surai merah.

Riku mengepalkan telapak tangannya. Manik crimson redup itu mengernyit karena alisnya tertekuk ke bawah. Ia ingin membatahnya."Itu bukan--"

Tapi ia kembali disela, "Aku bilang pulang, Nanase-san!" Iori meninggikan nada bicaranya. Ia mengulurkan tangannya pada si surai merah, berniat mengajaknya dengan baik-baik.

"Kau kurang ajar Izumi Iori," sahut Tenn. Ia menepis tangan yang diulurkan itu dan menatapnya dengan tajam. "Jangan mengurungnya lebih lama!" tegasnya dengan mengintimidasi.

Riku memegang ujung lengan baju kakaknya, matanya yang sembab masih terlukis dengan jelas di wajahnya. "Rumahku di sini dan aku tidak mau menjadi bahan obsesimu," tuturnya berkontak mata dengan manik obsidian yang kosong itu. "Lalu, jangan membuatku menjadi solusi untuk stressmu."

"Nanase-san--"

"Pulanglah." Si surai baby pink berdiri dari posisi duduknya, meminimalisir tinggi badan dari lawan bicaranya. Iris amaranth pink setajam pisau itu mengintimidasinya. "Kau tuli?"

Iori berdecih. Ia benar-benar tidak cocok dengan Tenn. Keberadaan sosok Tenn sangat menganggu. Sepertinya ia harus mengalah saat ini. Selama tubuh itu belum menjadi miliknya seutuhnya.

"Baiklah. Kaulah yang memulai pertengkaran."

.

.

.

"..."

"Hei." Tenn menyingkirkan tangan yang sedari tadi menutupi wajah adiknya. Mata sembab itu menjadi riasan di wajahnya. Visual sebelah manik kuning itu terlihat retak, jarum jam itu seakan tertahan.

"Hidupku sangat membingungkan dan merepotkan," lirihnya. Manik crimsonnya kembali. Ia memandang lurus ubin lantai. "Misteri dan tantangan hidup ya? Kenapa aku yang bodoh ini harus berpikir keras?"

"Kau hanya terlalu mendalaminya," balasnya. Ia menjepit poni panjang adiknya menuju pinggir, setidaknya terlihat lebih rapi. "Berpikir simpel itu lebih cocok untukmu."

Si surai merah memalingkan wajahnya. "Tapi hidupku telah dipersulit. Aku benci!" katanya berakhir dengan mendengus kecil.

"Jangan pedulikan saja," ucapnya. Ia duduk berhadapan dengan adiknya yang berhasil duduk anteng di ranjang rumah sakit. "Menurutku kau terlalu menanggapi sehingga semua menjadi rumit."

"Sepertinya aku suka mempersulit hidup." -- Riku.

"Baguslah kalau kau sadar." -- Tenn.

"....Lalu aku mau pulang..." Riku sempat menggerakkan tangannya membuat Tenn dengan sigap menghentikannya. "Jadilah anak baik dan diamlah, baru boleh pulang."

Ia sedikit merengek, "...uhnmm...."

"Kau aja kurus seperti tengkorak berjalan. Berhentilah merengek seperti bayi!" tegurnya.

"Mana ada kakak yang tega nyebut adiknya sendiri tengkorak?" balasnya mempoutkan bibir.

"Entahlah?"

Ia mendengus kecil lantas menolehkan kepalanya pada langit biru yang terlihat dari jendela kamar bernuansa putih itu. "Jika... Jika aku tiada apa aku akan gentayangan lagi?" gumamnya menatap datar tanpa menoleh sedikit pun.

"Kurasa jangan sekarang." Si surai baby pink berdiri lantas mengusap pucuk kepala merah itu. "Bukankah kau ingin aku menebus sikap dinginku di masa lalu?" tanyanya.

"Ya-yah... Aku tidak bilang ingin mati kok--"

"Siapa yang bilang kau boleh mati?"

"A-ah? eh?"

*ekhem

Suara lain membuat anak kembar itu menoleh serentak. Fokus mereka teralihkan pada sang dokter berjubah putih itu.

"Topik kalian sedikit menyeramkan."

.

.

.

"Hati-hati di jalan Tenn-nii!" tutur sang adik menghampiri si kakak yang sedang mengenakan sepatu.

Iris amaranth pink itu menangkap visual sang adik dengan celemek yang terpasang rapi ditubuhnya. "Jangan membakar rumah," ingatnya.

"Tidak akan!" balasnya cepat.

Terkekeh kecil mendapati respon sang adik. Si surai baby pink ini berjalan mendekat. "Kau juga berhati-hatilah," ujarnya.

Manik crimson itu sedikit menyipit. Senyumnya memudar dan anggukan diberikannya sebagai balasan. Mau bagaimana pun situasi ini harus segera dikendalikan.

"Jangan memasang ekspresi itu."

Ia mengusap pucuk kepala merah itu lantas memberinya kecupan singkat di pipi. "Jangan lupa belajar untuk ujianmu," katanya tersenyum penuh kemenangan.

"Tenn-niii!!!!!"

(Pinterest)

.

.

"Bagaimana hari terakhir ujianmu, Nanase-san?" Pertanyaan dilontarkan si surai raven. Ia berjalan beriringan dengan si permata crimson itu.

"Biasa saja," jawabnya tanpa menolehkan kepala sedikit pun. Sosok Izumi Iori itu telah menetap di dunia ini cukup lama. Yah, selama dia tidak mengganggu maka Riku akan diam saja.

Tapi tetap saja, kehadirannya merupakan kesalahan. Tidak mungkin ada 2 Izumi Iori dalam dunia yang sama. "Mitsuki pasti merindukanmu," ujarnya.

"Aku akan segera kembali tapi bersamamu Nanase-san," balasnya. Manik obsidian itu tertuju padanya. Entah kenapa si perfeksionis seperti Izumi Iori bisa sekeras kepala ini.

Riku melangkah diantara banyak orang yang berlalu lalang. Sejak dulu dunia selalu sibuk, para penduduknya bekerja untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing.

"Aku lama-lama akan kesal jika kau terus memaksaku." Ia menggenggam erat tali tas yang menyampir di pundaknya. Berkat kembali ke masa lalu, dirinya harus melewatkan masa sekolah dan berakhir mengulang kelas. Jujur saja itu melelahkan.

"Aku tidak memaksamu. Aku akan menunggu selama apapun sampai kau kembali kepadaku," balasnya kembali. Namun si surai raven itu tidak pernah mendapat jawaban yang diinginkan. Padahal dirinya telah berkorban sejauh ini bahkan menjelajahi waktu hanya demi center kesayangannya.

Merasa tidak nyaman dengan interaksinya, Riku mempercepat langkahnya. "Maaf, tapi obsesimu menjijikkan Iori."

"Nanase-san!" Izumi Iori meraih lengannya, membuat kedua kakinya berhenti melangkah.

"Iori hentikan!" tegasnya cukup keras. Ingin sekali dirinya melepaskan diri dan hidup dengan damai. Tapi itu tidak sesuai yang diharapkan, hidup dengan damai hanya angan-angannya saja.

"Jangan membuatku seperti seseorang yang akan menyakitimu," ucap Izumi Iori, ia mengeratkan genggaman tangannya. Karena jika tidak, mungkin Nanase-san nya akan kabur darinya.

"Ugh... Kau memang menyakitiku," keluhnya. Tenaga lelaki bersurai raven itu benar-benar kuat. Ia merasa lengannya telah dicengkram dengan keras seakan tidak ingin membiarkannya pergi.

"--Nanase? Oh benar kau Nanase ya!"

Suara seseorang terdengar begitu nyaring. Beberapa kaki itu melangkah mendekat hingga visualnya memasuki indra penglihatan manik crimsonnya.

Seseorang-- Tepatnya dua orang kini berdiri di dekatnya. Mereka mengenakan masker lengkap dengan kacamata dan topi sebagai penyamaran. "Hei, kau terlihat seperti sedang mengganggu wanita loh!" tegur pria lain berbadan kekar dengan surai coklatnya.

"Yaotome-san, Tsunashi-san!" sebutnya. Ia merasa sedikit lega ketika dua orang yang merupakan member Trigger itu menemukannya.

Tangan putih itu menyentuh pergelangan tangan Iori yang sepertinya telah menyakiti adik kembar dari centernya. Iris abu-abunya menatap dengan tajam. "Lepaskan, Izumi otouto."

"Jangan mengganggu!" Cengkramannya semakin menguat tanpa mempedulikan tangan yang dicengkramnya itu.

Meski begitu siapa yang mau diperlakukan dengan seenaknya. Si surai merah itu berusaha melepaskan tangannya. Tsunashi Ryunosuke yang menyadari hal itu pun turut angkat bicara. "Iori-kun jangan seperti ini."

Ekspresi si surai raven itu nampak tidak senang. Alisnya berkerut dan ia memandang secara bergantian kedua orang yang membuatnya menjadi kesal. "Kalian--"

"Aku pikir kalian meninggalkanku di toserba," sahut seorang lainnya. Surai baby pink itu menjadi salah satu ciri khasnya. Lelaki cantik ini juga mengenakan penyamaran yang lengkap guna mencegah kehebohan para wanita.

"Prasangkamu buruk sekali bocah," balas si surai uban itu.

"Tenn maaf meninggalkanmu di toserba!" -- Ryuu.

Menghela nafas kecil, manik amaranth pinknya melirik dengan tajam bagaikan bilah pisau. Tatapan matanya seakan mengintimidasi si surai raven itu. "Nanase Riku kemarilah ^^" Ia menampilkan senyum manis di wajahnya. Tapi jelas sekali itu bukan senyum biasa.

Meneguk liurnya sendiri, Riku terintimidasi oleh senyuman menakutkan itu. "Baiklah, tapi--" Manik crimson itu memberikan kode dengan mengarahkan pandangannya pada lengannya. Yang menandakan ia tidak bisa. "Iori!" Si surai merah berusaha melepaskan diri dari cengkraman kuat itu.

"Sudah kubilang tidak Nanase-san!" sentaknya dengan keras. Ia pun refleks menariknya dengan keras dan tenanga cengkramannya tidak berkurang sama sekali.

"Jangan berusaha lepas dariku!"

*deg

"--?!" Nafasnya tercekat bersamaan dengan permata crimsonnya yang kembali terlihat kosong. Ia merasa jantungnya seakan berpacu dengan tidak normal. Sepertinya dia harus menurut dan tidak membuat Iori semakin marah--

Karena Iori menyuruhnya kembali kan? Perkataan Iori seakan menjadi sebuah perintah baginya.

"Nanase?"

"Sudah cukup Izumi Iori." Tenn menekan setiap kata dengan nada rendahnya. Manik amaranth pink itu terlihat seperti akan membunuhnya jika bertindak lebih jauh. Tangan yang mencengkram kuat itu ditepisnya.

"Aku akan membunuhmu jika kau melakukan sesuatu padanya."

"Jangan mengancamku..."

Mengabaikan Izumi Iori yang menatapnya penuh permusuhan, dengan hati-hati Tenn menggandeng adiknya untuk pergi dari situ. "Kita pulang Gaku, Ryuu."

.
.
.

"Apa benar tidak apa-apa, Tenn?" tanya sang leader Trigger memperhatikan gerak-gerik si surai merah yang tidak berkutik sedikit pun.

"Jangan khawatir," balasnya. Tenn tidak pernah berubah sedikit pun bahkan raut wajah tenang dan dingin itu telah menjadi ciri khasnya. Tipe orang yang jarang menunjukkan emosi aslinya kepada orang lain.

"Kerja bagus untuk hari ini," sahut Ryuu mengakhiri topik yang mungkin saja sensitif. Lelaki tinggi itu sedikit menekuk lututnya untuk menyamakan tinggi badannya dengan si permata crimson itu. "Kerja bagus untuk ujianmu Riku-kun!" ucapnya.

Manik crimson itu tertuju pada Ryuu yang berada di hadapannya. "Arigatou Tsunashi-san," balasnya tersenyum kecil. Setidaknya dirinya harus menghargai bantuan dari member Trigger dengan tulus.

Sesi berpamitan pun usai bersamaan dengan waktu yang terus bergulir setiap detiknya. Langit biru muda yang terbentang di cakrawala kini telah menjadi gelap. Sang mentari pun menyembunyikan wujudnya bagai ditelan bumi.

Pintu kamar ia buka dengan perlahan lantas menghampiri seseorang yang sedang menikmati alam mimpinya.

Dari dalam lubuk hatinya ada sebuah ketakutan, bagaimana jika adiknya tidak bangun lagi seperti sebelumnya? Bagimana jika kelopak mata itu terpejam selamanya?

(Pinterest)

"Riku," panggilnya . Ia mengelus kepala adiknya dengan lembut. Surai merah yang menutupi wajah imut itu disingkarkannya perlahan. Hingga kelopak mata itu menunjukkan pergerakan yang menandakan bahwa tindakan Tenn telah mengusik tidurnya.

"Hey Riku..." Tangannya masih bergerak untuk mengusap lembut kepala adiknya. Padahal jelas ia sudah terganggu tapi kelopak matanya masih enggan untuk terbuka.

Dahinya mengernyit karena kedua alisnya sedikit tertekuk ke dalam. Tidurnya benar-benar telah terganggu. Mau tidak mau pun kelopak matanya mulai terbuka tepat ketika sang kakak mengecup dahinya. "Ayo bangun!"

"...." Kesadarannya belum berkumpul seutuhnya bahkan matanya sempat terpejam beberapa kali. Dengan malas pun ia mengubah posisinya menjadi duduk. "Kenapa?" tanyanya.

Ia merasakan nyeri pada pergelangan tangannya. "Bersyukurlah tulangmu tidak patah," ujar Tenn.

"Tapi sedikit sakit," balasnya. Ia menyingsing lengannya sedikit dan di kulitnya terdapat noda kemerahan bekas cengkraman tangan seseorang.

"Aku akan mematahkan lengannya," gumam Tenn berwajah gelap.

"Tidak, hentikan pemikiranmu itu Tenn-nii." -- Riku.

*pluk

Riku kembali merebahkan tubuhnya. Ia menarik selimut agar dapat membalut tubuhnya. Memutar tubuhnya menyamping, Riku memeluk kakaknya.

(Pixiv)

"Aku tidak baik-baik saja Tenn-nii," lirihnya mengadu.

"Bagaimana jika aku benar-benar menuruti semua perkataannya?"

"Sshhh." Ia kembali mengusap kepala adiknya untuk menenangkan. Manik crimsonnya nampak berkaca-kaca

Sepertinya Nanase Riku sudah terbiasa dengan efek kontrol dari Iori. "Pernakah kau memikirkan dirimu sendiri?" tanya Tenn.

"Mungkin pernah?" jawabnya. Permata crimson dan manik amaranth pink itu berkontak mata. Dari kedua mata kakaknya, Riku dapat mengetahui bahwa kakaknya ini selalu terlihat tenang, kadang terlihat serius, dan kadang terlihat lembut.

"Kau harus memikirkan dirimu sendiri setiap waktu. Tidak semua orang dapat menolongmu di saat yang tepat," ujarnya. Sorot mata itu terlihat tegas. Apa yang dikatakannya benar adanya. Jangan selalu mengharapkan bantuan karena tidak setiap orang dapat menolongmu begitu saja. Hanya dirimu sendirilah yang dapat menolong.

"Seperti orang tua saja ya," celetuknya.

"Anak kecil diam saja."

"Ehh? Apa kakakku ini ingin melihat anak kecil sepertiku menjadi dewasa..?"

"Anak kecil ya anak kecil!"

"Anak kecil tidak selamanya menjadi anak kecil!"

"Tapi Riku anak kecil!"

"Tenn-nii aja yang gamau aku dewasa!!"

"Memang kau sudah dewasa?"

"Aku sudah! Tenn-nii kok nyebelin sih?!"

Mungkin perang mulut sudah menjadi asupan bagi saudara kembar itu. Tiada satu hari pun bebas dari perang mulut, selalu ada perdebatan-perdebatan unfaedah diantara keduanya. Ga gelud-- Bukan si twins namanya :"V // plak

"Lalu apa rencanamu kedepan?" tanya sang kakak. Ia merebahkan tubuhnya pada kasur berukuran king size itu dengan memutar tubuhnya ke samping hingga keduanya berhadapan.

"Ah benar juga, aku sudah hampir lulus..." Ia termenung sesaat. Pikirannya berusaha menelusuri rencana-rencana untuk selanjutnya. Karena tidak mungkin ia jadi pengangguran kan. "Kuliah," jawabnya.

Respon yang diberikan si surai baby pink hanya senyum kecil di wajahnya. Hari ini sepertinya, Riku dapat membaca perasaan kakaknya. 'Kita kembar jadi maklum kan,' benaknya teringat. Sorot mata lembut yang memandangnya terlihat sendu.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanyanya. Pencahayaan yang tersisa hanyalah lampu tidur yang masih menyala. Langit malam yang suram hanya mendapat penerangan dari sang rembulan dan bintang-bintang.

"Aku akan kuliah selama beberapa tahun dan tujuanku bukan di Tokyo," jelasnya. Ia menduselkan diri pada kakaknya. Namun manik crimson itu tetap memandang wajah sang kakak. "Mungkin ada sedikit pengganggu. Tapi aku usahakan-- tidak! Aku janji tidak akan mengikuti keinginannya..."

"Ha'i ha'i... Aku mengerti," balas Tenn memperbaiki selimutnya agar dapat melindungi keduanya dari suhu dingin.

Tatapan mata Tenn membuatnya menjadi berkaca-kaca. Dirinya di masa lalu yang menganggap Tenn itu jahat karena meninggalkannya, adalah salah besar.

"Kenapa kau malah menangis?" Si surai baby pink ini dibuat panik. Adik yang hanya berbeda beberapa menit darinya itu menyeka air matanya sendiri. "Tidak tau... Hanya ingin saja," jawabnya.

"Dasar cengeng..." Tenn bangun dari posisi rebahannya. Dengan lembut ia mengusap bulir air yang bersarang di pucuk matanya.

"Aku begini karena Tenn-nii terlalu baik," ujarnya turut bagun dari posisinya. Sesekali ia mengusap bekas air mata di wajahnya. "Lalu... Iori adalah orang yang baik. Dialah orang yang pertama kali mendukungku," ungkap Riku. Entahlah, pikirannya teringat oleh sosok Iori.

"Riku--"

"Aku tau! Tapi Iori seperti itu karenaku. Aku sendiri yang dulu bergantung padanya dan membiarkannya mengontrol emosiku," jelasnya memotong perkataan kakak kembarnya. Tidak perlu dikatakan lagi, pasti Tenn akan bilang bahwa dirinya terlalu baik. "Dari situ Iori mungkin salah paham dan dia sekarang malah terobsesi denganku?" Riku sendiri kurang yakin dengan kesimpulannya.

"Hah?" Berwajah datar, si surai baby pink ini tiba-tiba menjadi badmood. Seakan perannya sebagai kakak telah direbut dan dimenangkan oleh Izumi Iori itu. Selama dia tidak berada di dekatnya, Izumi Iori mengambil alih. "Dia menggantikan peranku ya," gumam Tenn berwajah suram.

Menyadari aura gelap menguar dari sang kakak, Riku buru-buru menanggapi, "Tidak-- eh... Iya!" Dibilang tidak pun, nyatanya itu memang terjadi. Dan hal ini membuat suasana semakin suram dan gelap. "Ta-tapi sisi positifnya, aku lebih memilih Tenn-nii kan!"

"Itu karena Nanase Riku merasa terganggu dengan obsesi penggantiku yang pemikirannya semakin tidak benar," responnya namun memiliki kesan seperti menyindir. "Jadi kamu pun akhirnya kembali padaku," lanjutnya tersenyum.

Namun senyuman bak malaikat itu memiliki kesan tersendiri. Seolah mengintimidasi dan menyudutkannya. "Ah, mouu!! Sudahlah, aku sudah lelah dengan semua ini!" racaunya meninju-ninju kasur.

Bahkan ia pun beralih mengambil bantal di dekatnya dan melayangkannya pada sang kakak. "Kalau mau marah lakukan saja! Jangan seolah menyindir bahwa aku hanya memanfaatkan Tenn-nii!!"

Bantal itu dilayangkan tepat pada wajahnya, yang kemudian terjatuh. Adiknya itu sedang menuding ke arahnya dan bersiap dengan mengambil bantal lain yang tersedia. "Jangan menindasku hanya karena aku lebih mudah beberapa menit!!" racau sang adik berniat melayangkan bantalnya kembali.

"..." Auranya semakin gelap kala sang adik memukulnya dengan bantal. Sebelum serangan bantal lain mengenainya, Tenn pun mengambil tindak pencegahan.

Setelah bantal yang menjadi senjatanya direbut, Riku memeluk selimut yang cukup lebar itu. Aura seram yang dipancarkan kakaknya benar-benar membuatnya bungkam. "...A-apa? Marah saja... Jangan diam...," tutur Riku dengan suara kecil. Kini ia sadar jika dirinya telah berteriak dan meracau tanpa memikirkannya terlebih dahulu.

"Baiklah, jika kau ingin aku memarahimu." Poninya yang panjang berhasil menutupi sebagiam wajahnya sehingga raut wajahnya pun tersembunyi.

Hening sempat melanda selama beberapa detik hingga Tenn melakukan pembalasan dengan menggelitik pinggang adiknya, area yang rawan geli. "Biarkan Tenn-nii ini menghukum mu!"

"A-hahahahaha!!" Tawa pun lolos begitu saja dari bibirnya. Tanpa persiapan dirinya telah disergap oleh gelitikann itu, hingga membuatnya kembali terlentang di atas kasur. Memutar-mutar tubuhnya dan meronta untuk berusaha melepaskan diri. "Te-Tenn-nii!"

Berkat tindakannya, sang adik tertawa dengan keras. Tubuh kurusnya meringkuk dan berusaha melindungi diri dari gelitikannya. Namun sayang sekali kesenangannya terpaksa berhenti. Karena ia tidak ingin asma Riku kembali menyerang jika ia meneruskan kejahilannya. "Yosh, aku lega..."

Mengatur nafasnya yang sedikit terengah-engah karena tawanya yang berlebih. Riku kembali menyeka bulir air mata yang tercipta karena rasa geli itu. "Gomene...."

"Hei?" Si surai baby pink berusaha menyingkirkan tangan yang menutupi wajah kembarannya.

"Nee Tenn-nii..." Tangan yang menutupi wajahnya berhasil disingkirkan oleh sang kakak. Kelopak matanya sedikit menyipit dengan senyuman yang terukir manis di wajahnya. "Aku selama ini mengharapkan untuk memperbaiki hubungan kita..."

Manik crimson dengan binar yang bersinar dengan indah itu menatap si surai baby pink secara langsung. Ia kembali berkata, "Dulu setelah nama Tenn-nii dihapus. Aku pikir kita tidak akan bisa kembali sebagai kakak-adik."

Ia bangun dari posisi terlentangnya. "Lalu aku mulai berhenti mengharapkan hal itu," tuturnya menyendu. Manik crimson itu menurunkan pandangannya. "Aku berpikir bahwa hubungan kita sudah berakhir. Tenn-nii dan aku memiliki hubungan baru." Kepingan kenangan terlintas di benaknya. Hari di mana Nanase Tenn menjadi Kujo Tenn. "Jadi kita tidak perlu lagi bermain kakak-adik."

Ia memejamkan matanya. Rahasia yang selalu disimpannya dan sebuah keinginan egois yang dimilikinya."Tenn-nii sudah memiliki kehidupan yang baru.

"Aku juga berpikir jika Tenn-nii tidak lagi membutuhkan adik yang sakit-sakitan."

Senyuman manis berkesan sendu masih terukir jelas di wajahnya. "Mulai saat itu, aku pun mulai berubah. Aku tidak bergantung padamu lagi. Aku lebih fokus pada pekerjaanku. Aku bersyukur Tenn-nii memiliki member yang memahami Tenn-nii dan rumah untuk kembali..."

"Melihatmu yang bahagia saja sudah cukup untukku." Kelopak matanya kembali terbuka, memperlihatkan manik crimson miliknya. Raut wajah datar milik kakaknya memang tidak berubah. Ia sendiri terkadang sulit untuk menebak perasaan Tenn sendiri. 'Apa tidak seharusnya aku cerita?' benak Riku.

"Kau selama ini merasa iri?" Setelah perkataan panjang lebar dari si surai merah, akhirnya Tenn membuka mulut. Itu adalah kesimpulan yang didapatnya dari pengakuan Riku.

Manik crimsonnya menatap arah lain. 'Apa aku memang iri ya?' batinnya enggan mengakui. Rasa cemburu karena tidak bisa melihat kakaknya bertumbuh? Atau karena kakaknya lebih akrab dengan orang lain? 'Ah, entahlah... Aku jadi pusing.'

"Saudara kembarku rentan sekali sakit, jadi aku harus lebih memperhatikannya." Si surai baby pink mengangkat wajah yang sebelumnya tertunduk. "Kau sedih karena menjadi mantan adikku ya?" Tenn tertawa kecil merasa jika Riku benar-benar pecemburu.

Bibirnya terpout dan alisnya sedikit tertekuk karena kesal. "Hmmph..."

Tenn pun beralih mencubit pipi sang adik sembari tersenyum jahil. "Siapa yang tega menelantarkan anak kecil sepertimu."

"Aku sendiri yang membuat diriku ditelantarkan," gerutunya pasrah dengan segala perlakukan jahil kakaknya.

"Astaga..." Tangannya beralih mengelus kepala Riku dengan lembut. Ia membelai surai merah yang halus itu. "Kesayanganku sepertinya sedang banyak pikiran," ujarnya.

Mendengar kata kesayangan, membuatnya diam tak berkutik. Hanya semburat merah tipis yang terlihat melalui kedua pipinya. "Padahal tau kalau aku benar-benar menyayangimu... Tapi malah dipermainkan saja," gerutunya.

"Riku saja tersipu seperti itu," balasnya. Ia masih melanjutkan aktivitasnya yang mengusap lembut kepala adiknya. "Yosh... Adikku benar-benar menggemaskan," tuturnya menangkup pipinya.

"Aku penasaran..."

"Tentang?"

Tangan Riku menyentuh tangan sang kakak yang menempel di pipinya. "Kenapa Tenn-nii menyayangiku? Padahal kaa-san dan tou-san lebih perhatian karena penyakitku. Kenapa?" tanyanya.

"Apa kau bertanya karena tidak tau?" Dua pasang manik beda warna itu pun bertemu.

"Dasar bodoh," celetuk Tenn menyentil dahi adiknya hingga membuat si empu mengadu kesakitan sembari menutupi dahinya.

Berkat itu, Riku dengan sigap mengamankan dahinya dari sentilan sang kakak. "Tenn-niiii!!!"

"Tidak perlu alasan untuk itu," ujar si surai baby pink menuruni kasur. 'Menyayangimu sama sekali tidak membutuhkan alasan,' batinnya sekilas mengulas senyum kecil.

.

.

.

Nuansa merah muda mewarnai seisi bumi yang hampa. Di sepanjang jalan dipenuhi oleh pohon sakura yang berkemakaran. Bunga yang melambangkan sebuah siklus kehidupan, mulai dari yang manis sekaligus pahit. Sesekali semilir angin berhembus dengan lembut menyapu permukaan kulit. Hangatnya angin tersebut membawa kelopak pink itu terbang bersamanya.

Di bawah langit biru yang cerah, beberapa remaja sedang berbahagia atas terselesaikannya kerja keras mereka. Sorakkan dan ucapan penuh syukur banyak terdengar hari ini. Biarkanlah saat ini mereka berbahagia, karena jalan yang ditempuh selanjutnya akan lebih sulit.

Setidaknya mari kita rayakan kelulusan hari ini dengan penuh sukacita.

Dan di tengah kebahagiaan itu, seruan para wanita terdengar dengan sangat nyaring. Seperti,

"Kyaaaa!! Tampan sekali!!"

Mendengar kehebohan para gadis yang kegirangan, permata crimson lelaki itu melirik ke arah mereka. Lelaki ini mengenakan jas hitam dengan dasi bewarna merah yang terpasang rapi. Ia menjepit poni sampingnya agar terlihat lebih rapi dan nyaman. Raut wajah tanpa senyuman itu memberikan kesan kalem padanya.

'Siapa lagi yang menyebabkan kehebohan ini?' batinnya.

Ketika ia menyadari siapa yang menjadi pemicu keributan tersebut, permata crimsonnya membelalak dan mulutnya sedikit terbuka untuk menandakan keterkejutannya.

(Pinterest)

"Tenn-nii?!!"

Menghampiri kakaknya diantara gerombolan para gadis, Riku menyeretnya keluar dari kerumunan itu. Ia harus menyelamatkan pesona cantik dan tampan kakaknya itu dari kegilaan para siswi yang baru saja dinyatakan lulus itu.

"Kenapa Tenn-nii datang?" tanyanya. Berhasil menemukan tempat yang sepi, kedua orang itu pun memutuskan untuk singgah sebentar.

"Apa seharusnya aku tidak datang?" balasnya kembali dengan pertanyaan. Surai baby pink miliknya yang senada dengan sakura itu mengayun dengan lembut. Serta tatapan manik amaranth pinknya yang tajam namun menegaskan aura yang dimilikinya.

"Bukan begitu!" tegasnya. Ia tau jikalau kakaknya itu memiliki banyak kesibukan tiap harinya dan ia sudah memperkirakan bahwa Tenn tidak akan hadir di acara kelulusannya. "Bukannya Tenn-nii ada jadwal pemotretan?" tanyanya.

"Masih ada waktu," begitu jawabnya. Tangan putih miliknya terulur untuk mengambil kelopak sakura yang tersangkut di surai merah milik adiknya. "Apa kau tidak senang aku datang?" tanyanya sekali lagi.

Kelopak sakura yang diambil kakaknya itu terbang terbawa oleh angin. Bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman dan ia menggeleng sebagai balasan. "Arigatou Tenn-nii! Aku senang!"

Melihat senyuman manis yang terukir di wajah adiknya berhasil mengundang senyum di wajahnya. Merasa gemas dengan adiknya, Tenn pun berakhir mencubit pipinya. "Selamat atas kelulusanmu, Riku."

"Itte! Mou Tenn-nii kenapa sih?!" adunya memegangi pipinya sendiri. Yang bisa dilakukannya hanya menghela nafas kecil. "Tapi aku tetap senang Tenn-nii datang," begitu ujarnya.

"Aku tau." Tenn benar-benar tau. Karena kesenangan itu terpampang dengan jelas di wajah Riku. Riku tidak menyembunyikannya sama sekali.

Sesekali Tenn memeriksa ponselnya kala sebuah notifikasi pesan masuk. Menyadari waktu terus berjalan, Tenn pun bernltanya pada adiknya, "Mau ikut denganku?"

"Ikut Tenn-nii kerja?" Menimbang-nimbang ajakan kakaknya, Riku pun mengiyakan. "Aku ikut!"

Singkat kata, saudara kembar itu pergi bersama untuk menemani sang kakak bekerja setelah memyempatkan diri datang ke acara kelulusannya.

"Tapi Tenn-nii benar-benar sibuk sampai datang ke sini dengan menggunakan kostum pemotretan...."

"Ah... pantas saja gadis-gadis tadi berkerumun di sekitarku."

"Tidak... Berpakaian seperti apapun Tenn-nii tetap akan menjadi sorotan."

"Karena aku populer."

Mempoutkan bibirnya kesal karena suatu alasan, Riku meraih tangan kakaknya. "Tapi akulah yang paling menyukai Tenn-nii!" begitu kukuhnya.

Terkekeh kecil karena kecemburuan adiknya yang imut, Tenn pun menanggapinya, "Ya tentu aku yakin itu"

Dengan begitu, waktu terus berjalan maju tanpa memberi jeda untuk beristirahat. Dunia ini terus berputar tanpa kenal lelah. Entah apa yang menanti di depan atau apa yang akan terjadinya seterusnya. Mereka hanya bisa terus menjalani hidup dengan penuh kesabaran dan sukacita.

.
.
.

[To be continue]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro