Konflik
...
⋘ 𝑙𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑡𝑎... ⋙
.
↺1%
.
↺18%
.
↺35%
.
↺67%
.
↺99%
.
⋘ 𝑃𝑙𝑒𝑎𝑠𝑒 𝑤𝑎𝑖𝑡... ⋙
.
.
.
𝐍𝐨𝐰 𝐥𝐨𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠. . .
.
███▒▒▒▒▒▒▒
.
█████▒▒▒▒▒
.
███████▒▒▒
.
██████████
.
ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇ!
.
.
.
.
.
╔⏤⏤⏤╝❀╚⏤⏤⏤╗
IN ANOTHER LIFE
By : MonMonicaF
╚⏤⏤⏤╗❀╔⏤⏤⏤╝
【 P a s t 】
Di bawah lambaian dedaunan pada ranting pohon, hadir seorang anak kecil yang usianya bahkan belum mencapai 10 tahun. Surai merahnya berayun mengikuti arah angin berhembus dan entah sejak kapan dia terbengong di sana.
Dengan kedua mata spesialnya, ia mendapati sesuatu yang membuatnya tak bisa berkutik. Di satu sisi ia merasa senang tapi entah mengapa ia seakan merasa merinding.
"Ke-kenapa kau di sini?" tanyanya terpaku pada sosok itu. Di hadapannya berdiri seseorang dengan surai raven yang sangat dikenalnya. Dengan penampilan sosok itu, anak kecil itu mencoba memproses apa yang terjadi. "Apa kau sadar jika dirimu sekarang tidak bisa disebut sebagai manusia?"
Surai raven itu terkekeh kecil, lalu menjawab, "Aku tau dan akulah yang menginginkan ini."
"Sudah lama ya... Aku senang bertemu denganmu, tapi tidak dengan wujud seperti ini," ungkapnya tersenyum sendu. Sejujurnya ia merasa sangat senang dapat melihat rekan sub-unitnya setelah sekian lama. Melihat partnernya yang telah tumbuh dewasa berdasarkan penampilannya saat ini.
"Kenapa?" tanyanya sedikit mengerutkan dahi merasa tidak senang dengan kalimat terakhirnya.
"Seharusnya aku yang tanya, Kenapa kau ada di sini? Waktu dan dunia kita berbeda. Apa yang terjadi denganmu?" Ia bertanya dan mengharapkan jawaban. Karena ia tidak ingin berspekulasi buruk, seperti ia mengalami kecelakaan atau hal lain yang membuat jiwa dan raganya terpisah.
"Jika kau berpikir jiwa dan ragaku terpisah maka kau benar, Nanase-san," timpalnya menatap lurus tanpa adanya keraguan atau kebohongan.
"Ah... Kau selalu bisa membaca pikiranku, Iori." Sekarang ia mendapatkan 2 jawaban dari kesimpulan yang didapatnya. Yang pertama, bahwa Izumi Iori sedang dalam keadaan hidup dan mati. Yang kedua, Izumi Iori telah tiada dan memiliki penyesalan dalam hidupnya. Yang manapun itu membuat hatinya tersayat ketika memikirkan rekan terdekatnya mengalami musibah.
"Apa kau takut padaku?"
"Iee.... Aku sudah sering liat yang lebih seram."
"Haha..." Ia tertawa kecil. Sosoknya ingin sekali menyentuh Nanase Riku tapi sayangnya itu mustahil dilakukan. Ia hanya sebatas roh, ia tidak bisa menyentuh benda hidup.
Andai saja ia mendapat tubuh asli di dunia ini
"Jadi, apa keperluanmu menemuiku Iori?" tanya Riku kecil dengan senyum khas miliknya, berusaha menghibur Iori yang sepertinya sedih karena tidak dapat menyentuhnya. "Sayang sekali, padahal Iori yang tsundere ingin memelukku tapi tak bisa dilakukan."
"Aku tidak--!" Iori memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan raut wajah malunya. Niatnya untuk melepas rindu tidak boleh ketauan. "Kau bertanya tujuanku kan."
Sosok Izumi Iori mengulurkan tangan kanannya pada Riku kecil, lalu berkata, "Ikutlah denganku, Nanase-san"
"..."
Senyum manisnya memudar, ia sontak menundukkan kepala untuk menghindari kontak mata dengan lawan bicaranya. "Gomenasai, Dunia dan waktu kita berbeda."
"Aku tidak mau pergi ke mana pun. Ini adalah duniaku dan hidupku yang baru"
"Nanase-san harus--"
Suara dari arah lain membuat Iori terpaksa menghentikan perkataannya. Dari kejauhan anak kecil lain dengan surai baby pink menghampiri adiknya dengan tergesa-gesa "Riku! Mou... Jangan menghilang tiba-tiba!" omelnya.
'Tenn-nii ada sini dan aku bisa memperkirakan apa yang terjadi dengannya di dunia kita yang dulu,' ujarnya berbicara lewat batin.
'Karena itu... Aku tidak akan kembali. Waktuku sudah berakhir di masamu,' jawabnya untuk permintaan Izumi Iori yang mengajaknya pergi.
"Ah ya begitu! Nanase Riku sudah berani mengabaikanku," sindir Tenn kecil merasa kesal karena adiknya diam saja.
"Bukan gitu!"
"Kok diam saja tadi?"
"A-aku etto... ha-habis melamun! Karena langitnya indah!" .
"..." Nanase Tenn menghela nafas panjang setelah terdiam sesaat. 'Bohong,' pikirnya. Namun ia tak ingin memaksa adiknya untuk jujur. Ia akan membiarkannya kali ini, tapi tidak untuk lain kali.
"Tenn-nii..."
"Dasar! Jangan terlalu mengagumi langitnya karena indah"
Iris crimson itu menyempatkan untuk mencari tau keadaan seorang yang mungkin hanya bisa dilihat oleh dirinya. 'Iori...' Ia sedikit kecewa karena orang itu langsung pergi tanpa pamitan dengannya. Dirinya juga tidak sempat mendengar kalimat terakhir darinya.
✦
✦
✦
【 N o w 】
Kedua matanya terbuka secara tiba-tiba dengan wajah yang dipenuhi keringat. Jantungnya seakan berdetak dengan kencang dan panik menyerangnya. Tanpa membuang waktu lebih lama, lelaki bersurai baby pink itu menyingkirkan selimut yang membalutnya. Dengan langkah yang sedikit sempoyongan, ia berjalan keluar kamar. Kedua matanya terasa panas.
Ia melangkah dengan cukup cepat dan ketika ia sampai di ruang tengah, akhirnya Tenn mendapati adiknya di sana. Sementara itu, si surai merah yang menyadari kehadiran kakanya ia segera menoleh. "Tenn-san, kau terbangun?" tanyanya basa-basi.
Tenn menundukkan kepala dan mengabaikan pertanyaan itu. Poninya menghalangi penglihatan Riku untuk mengetahui ekspresi wajahnya saat ini. Hal itu membuat Riku berdiri dari duduknya untuk memastikan kondisi Tenn.
Namun belum sempat berjalan beberapa langkah, dalam hitungan detik sang kakak menerjangnya sehingga membuatnya kehilangan keseimbangannya dan terjatuh duduk di lantai. Ia sedikit meringis karena itu, "Tenn-san, jangan seperti it--"
Perkataannya terhenti ketika Tenn sudah memeluknya dengan cukup erat, tak membiarkannya meronta sedikit pun. Mendekapnya dengan erat seakan tidak ingin melepaskannnya lagi. Ia ingin melindunginya, dan tau-tau Tenn telah terisak. "Jangan ambil adikku!" isaknya.
"Eh?"
"Jangan ambil adikku!" Tenn terus mengulangi kalimat yang sama dengan wajah yang sepertinya telah dipenuhi air mata. Bahkan dengan suaranya yang bergetar, Tenn terus mengucapkannya.
"..."
Terdiam seribu bahasa, Riku menyadarinya. Menyadari bahwa sang kakak adalah orang yang paling takut ketika dirinya menghilang. Dan Tenn sangat jarang menunjukkan emosinya sampai seperti ini. Ia merasa sakit, dia tidak suka kakaknya menangis. Tapi egoisnya juga tidak ingin Tenn menangis untuk orang lain selain dirinya.
"Ah, sial!" umpatnya pada diri sendiri. Ia melepaskan pelukannya tapi menggantinya dengan memegang kedua pundak Riku. Kepalanya masih menunduk. "Takkan kubiarkan!"
"Tidak akan! Adikku akan terus bersamaku... Pasti... Jangan ambil adikku..." Tenn terus berucap dengan suara yang bergetar. Tanpa sadar ia sedikit meremas pundak Riku.
Tak lama, si surai baby pink mengangkat kepalanya. Menunjukkan raut wajahnya yang benar-benar kacau. Tapi... Pandangan kedua irisnya nampak menyeramkan. "Tidak ada alasan bagiku untuk hidup bila adikku tiada."
"Jangan katakan hal yang menakutkan!" seru Riku. Ia membawa Tenn ke dalam pelukan, berusaha memberikan kehangatan dan menenangkan emosi kakaknya. Jika selama ini Tenn yang menenangkannya ketika kambuh maka sekarang ialah yang harus menenangkan emosi kakaknya.
( pinterest )
"..."
Sedikit menekan kepala kakaknya agar bersandar padanya. Riku membiarkan Tenn mengontol emosinya, kakaknya harus menenangkan diri.
Tenn sempat bergumam, "Riku sayangku..." Membuat Riku yang mendengarnya menjadi tersentuh. Sekaligus merasa bersalah karena tidak menaruh kepercayaan pada kembarannya sendiri.
"Aku sangat menyayangimu, Tenn-nii," ujarnya lembut.
"Baiklah..." Riku menarik nafas dalam lalu menghembuskannya. Kini ia telah membulatkan tekadnya. Biarlah apapun yang terjadi, ia yakin jika mereka pasti bisa mengatasinya.
Ia harus lebih mempercayai kakak kembarnya mulai sekarang.
"Ayo kita atasi ini bersama."
"Kau sudah berjanji."
"Uhn."
"Lalu aku tidak suka dipanggil seperti tadi."
"Ha'i ha'i gomenasai."
"Percuma minta maaf toh akan diulangi lagi."
"..."
"Seriusan, Tenn-nii kok sukanya menyudutkanku sih?!" tanya si surai merah sedikit kesal.
"Kesal kan? Ini yang kurasakan waktu kau bandel dan seenaknya sendiri," balas Tenn merasa kepalanya sedikit lebih baik ketika bersandar pada adiknya.
"..." Terdiam seribu bahasa, Riku tidak bisa mengelak. Ia memang anak yang bandel, keras kepala, dan seenaknya. "A-haha... Ngomong-ngomong Tenn-nii mau seperti ini sampai kapan?" tanyanya mengalihkan topik.
"Biasanya Riku seperti ini, lalu kenapa aku tidak boleh?"
"Ukh--" Kalah telak, semua kalimat itu benar adanya, ia tidak bisa menyangkal.
Terkekeh kecil melihat respon adiknya, Tenn memundurkan tubuhnya untuk dapat melihat wajah adiknya. Tersenyum penuh kemenangan, Tenn menyipitkan matanya. Ia kembali tertawa kecil, menggoda adiknya. "Kau lemah terhadapku ya?"
( Pixiv )
"Berhenti menjahiliku, Tenn-SAN..." Si surai merah mencoba mengintimidasi, dengan menekankan panggilan --san pada nama kakaknya.
"Hmm?" Si surai baby pink tersenyum manis. Ia mendekatkan tubuhnya, mengikis jarak antara dia dan adiknya. Sangat dekat bahkan Riku sampai bisa merasakan deru nafas kakaknya, jika ada orang lain yang melihatnya mungkin mereka akan salah paham.
Ia berucap di dekat telinga adiknya. "Ya, Riku-KUN."
Iris crimsonnya melebar, sontak ia memundurkan tubuhnya. Namun sayang sekali sang kakak tidak membiarkannya. Riku tidak yakin bisa mengatur ekspresinya detik itu.
Tenn sedikit memiringkan kepala dengan memasang wajah khawatir. Satu tangannya menyelipkan surai merah yang panjang itu ke telinganya. "Are? Apa kau demam?" tanyanya sengaja.
"Wajahmu merah sekali, aku takut demamku menular padamu," ucapnya menaruh telapak tangannya pada dahi Riku.
"Aku akan tertular jika wajah Tenn-nii sangat dekat seperti sekarang," balasnya menyerah. Ia menyembunyikan wajahnya pada bahu kakaknya.
"Riku-kun--"
"Baik, Hentikan... aku menyerah!" pintanya. Memang hanya Tenn yang mampu membuatnya salah tingkah seperti itu. "Center Trigger suka sekali menggoda orang, dasar."
"Trigger memang seperti ini."
"Jangan menjadikanku bahan praktek, Tenn-nii."
"Ini hukuman karena kau mengancamku."
"Hmm..." Mempoutkan bibirnya Riku tidak bisa menang dari kakaknya.
"Ekspresimu terlihat lucu ketika digoda"
"Tenn-nii istirahat saja! Jangan menggangguku."
*Klang
"Hm?" Si surai merah berdehem heran. Baru saja ia sedang digoda oleh saudara kembarnya, tau-tau saat suara itu terdengar di pikirannya ia telah berada di ruangan yang terkadang muncul di mimpinya. 'Ruangan ini? Masa sih ini ruang ini berkaitan dengan kami?' batinnya berpikir.
"Tapi... Ini tidak bergerak dengan normal," gumamnya merasa cemas. Bahkan saat kedua matanya mencoba menjelajahi seisi ruangan, ia mendapati sebuah sisi yang retak.
'Oh tidak! Bagaimana cara memperbaikinya?' Ia memasang pose berpikir, meskipun berpikir keras bukan keahliannya. Tapi ia yakin bila ruangan penuh roda mesin ini awalnya tidak rusak. Tempat ini familiar dan ia merasa pernah mengunjunginya sekali.
'Ini adalah ruang kehidupan milikmu dan mencerminkan kejadian di masa yang akan datang'
--?! Kedua matanya melebar ketika suara seseorang menggema di dalam kepalanya. Didengar dari intonasinya, ia tau pasti si pemilik suara. "Sudah kuduga... Aku pernah ke sini sebelumnya dan pada saat itu apakah kau datang?"
'Aku selalu menemanimu setiap waktu'
"Ada kehidupan yang harus kau jalani. Jadi apa yang kamu lakukan dengan tinggal di sini, Iori?" Lagi-lagi si permata crimson melontarkan pertanyaan. Ia bertanya-tanya apakah pemuda itu terlalu nganggur sampai-sampai menemuinya di dunia yang berbeda.
'Sudah kukatakan bahwa aku akan segera menjemputmu, center Idolish7'
Riku sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksut oleh seseorang yang dipanggilnya 'Iori'. "Eh?" Menjemput katanya, apa itu berarti Iori memang telah menunggu waktu ini? Selama bertahun-tahun tinggal dalam dirinya.
Kini ia bertanya, "Me-memangnya boleh ada 2 Izumi Iori dalam satu dunia?" Kedua permata crimsonnya melirik ke kanan kiri untuk menemukan seseorang yang sedang berbicara.
"Jelas tidak boleh karena itu akan mengacaukan tatanan sistem di dunia ini," jawabnya.
Sementara itu, si surai merah mulai melangkahkan kakinya untuk menemukan rekan sub-unitnya. Sudah lama ia tidak melihat wajah Iori setelah pertemuan terakhir mereka. Rasa rindu pun tak terelakkan, meskipun ia tau bahwa kehadiran Iori akan merusak hukum alam.
"Apa kau merindukanku Nanase-san?"
"Ya... Mungkin begitu," jawabnya sedikit memundukkan kepala.
"Kalau begitu--"
"Tapi!" Riku menyelanya. Saat ini ia tersenyum dengan tulus sembari menyentuh dadanya. "Di sini hangat, karena semuanya berada di sisiku."
"Aku memang merasa kehilangan tapi sekarang semuanya berbeda... Aku punya kehidupan yang baru, Iori." Ia berkata demikian.
''Tidak mau ikut?''
Tidak ada keraguan di manik crimsonnya. Kini dirinya menatap tegas pada sosok yang bahkan tidak menampakkan wujudnya. "Tidak!"
"Jadi, keluarlah! Jangan membuatku menari di atas telapak tanganmu lagi!" tegasnya. Hingga perlahan secara samar-samar iris crimsonnya berubah. Menampilkan manik kuning yang berkilau layaknya sebuah kaca dengan jarum jam yang terlihat berusaha bergerak.
'Apa yang kukatakan?! Kenapa aku seakan menyalahkan Iori?!' Keraguan menyelimuti hatinya. Tapi ia tidak boleh menyingkirkan segala kemungkinan yang ada. Sekecil apapun persentase dari kemungkinan itu, ia tidak akan mengabaikannya.
'Dasar keras kepala'
*klang
Kali ini suara dentingan terdengar sangat kencang hingga membuat telinganya berdengung hebat. Si surai merah dapat merasakan aura tidak mengenakkan yang semakin besar seakan mencekam dirinya.
Riku menutup kedua telinga dengan rapat, sementara kedua kedua manik beda warna miliknya membelalak ketika mengetahui roda-roda di ruangan ini bergerak tidak normal disertai suara retakan entah dari mana.
Aura seram ini bahkan suasana mencekam ini membuat Riku merinding. Gendang telinganya seakan mau pecah. Tapi satu hal yang pasti...
Kehadiran sosok Izumi Iori adalah kesalahan.
S̴̢̧̱̥̳̪̝͙̓̀̈́̈͆́̐͝a̸̞̭̓̌͋̈́͛̒̐y̷̥͈͙̹̥͚̅̑͊̎͒̑̈͆͋ȧ̴̞̻̭̙̲͚͙͇̫̏͂̆̓̐̃̓́̚n̷̡͕̯̟̼̭͇͙̫͑̿̈́̏̾͒̒g̸̰̺̽̀̔͋̓̚ ̶̠͚͇̺̋̈̈͆͠s̵̭̪̬̅̅̀̃̈́̓̃͘͘͜e̸̡̡̡͉̳̻͖̪͆̍͗̑̈́͠ͅk̸̨̛̂̒ā̴͙͕͓̱̺̐͌̀̇͆̄͘͝l̸̩͇̤͍̭͙̦̰̹͒̀͂̀͗̅̂̓̕į̷̥͉̑.̷͈̻̉̈́̐̿͗̍͝.̶̟̈́.̴͚̫̾̏̍͂͘͝
̵͚̝̰͚͖̼̤̰͚̭̓̋͑̎͊͒
̴̧̘̭͓̣̖̙͉́̓̏̎́̉̕ͅA̴͙̱̿͂̔̎ͅķ̸̡͖͈͓̖̲̎ū̶͔͍̲̘̋̕ ̸͙̟̞͓̫̰̐͋̎͂͂̀̀̓̀̚ť̶̛̞̜̃̎̎̂̚é̸̘͍̓͋̋̒̿̅̏̕͠r̶̨̞͔̼̣̍p̷̰͆̉̀͘͘a̴̪͉͖͙̼̟͔͓̹̗̎͒̀̏͋̈̽̈̚k̶̻̝͙͕͂͆́̔̌ș̷̨̥͓̹̗͙̟͗̇͂̄̑̈́̌͘͜à̴̛̦͍̿̍̃̚ͅ ̶͓͉̺̻̩̙̉̇̏̈́̊̿̓̇̄̑m̴̮̺̬̲̰̬͂̍͑̑̈ę̶̫̱̼͓̘͇͑̀́̀͒ͅͅm̵̹̬͍̦̫̥͍̟̜̊̆͗̀ḭ̸̻̝͚̈́l̵̦̥̪̯̣̮̫̿̄̊̋̾̌͂͠ĩ̵̢͈̹̙̯̎͒̀̄̽̓͊̄͝h̴̟͓̭͚͆̀̒̏́͋̂͠ͅ ̶̼͇̞̞͚̩̱̩̍͌̓̈o̵͖͋͗͆͐̽͑̈̃p̶̧̟̠̠̖̞͎͔̈͂̆ś̸̢̢̪̞̤̪͎͐̍̾̇̀i̷̳̻͆̀̀̀̀̀̑̈́͗͠ ̶̼̰͛̔̊̐̀̈́͌͛̑͘t̸̡̡͉̬̻̺̥́͗ë̸̜͇̟́͆̾͗͗̆́̚͝r̶̖̍̆a̵̢̪̪̮͕̝̮̎ͅk̴̢̜̗̩̓̒̇͐h̵͕̜̲̥̋̿͒͆̋͌̄̅̿͜i̴̧̧̝̥̫̰̭̜̙̞͆̊r̵̢̨̬̙͇̟͉̠̈́͋̓͛̾̉͛̽͑͜
̸̡̼̲͎̥̍
̸̡̨̺̮͍͇͕͜͠U̶̩͙̩͛̎̔͜č̸̰̼̮̱̰̉̾̋͆̐̓a̵͉͌̉̽̋͗ͅp̴̻̪̩̮͙̖̱̦͇̘͂ḱ̷̻̯̘̓̄̈́̋a̸̙̯͒̃͂͊n̶̡̛̦̻̣̠̺͕̺̦̓̀͊̑̂̚͜ ̵̦͚̈́̂̍̏̈́̄͋͑͝s̷̠̩̫͓̲̘̝̹̜̱̈́̈́̎̃*̵̗̮̩̲͎̦̆̽̐͋͒͆͑̉̀̚l̵͈͎̿͘͜*̸͈͎͉̗̔̒͛̓̾́̀̋̑̕͜m̷̗̗̰̂̊̊͝*̷̰͚̰̫̻̫̼̘̽́̓̿̊͌̈́ͅt̷̬͖̞̪̐̚ ̷̤̘̠̲͇̇̒̾̈́̚͝͝ͅţ̷̡̼̫̗̲̼̠͊̓͠*̴̢̯̇͌̽͌̀͛̔̓̑͝n̵̛̛̺̰͖̙̫̖̿͂̋̓̈́̊̓̎͜g̷̫̭̳͎̤̜̦̑͊̌̐̄͛̑̚͠g̶̡̠͎͈̱̺̘̽͜͜*̶̧̣̽͆̿̓̓̚͘͝͝l̴̢̗͔̦̗͎͇͔̊͋͆̾ͅͅ ̶̡̛̻͓̲̻͔̊̎̓̆̃͒̎̚N̴͎̞̜̾̒ͅȃ̵̡͉̟̳͎̳̠̯͈͖͐̆́̀̚͠͝͝n̷̬̄́̾a̶̢̲̰̙̜͈͈͈̱̙̐͊̔́́̋̓̓̕͠s̴͇̯͒̈́̌̀͛̔̌͐͠e̵̡̛̼̣͇͙͕̾ ̶̙͈̫̰̔̽́̊͆̔̌̚T̵̠̥̦̩͇̥̗̓́̐̅̿̚͜e̴̬̟̺͔̥̭̙͎͛̌̓̐͂͑́̆̕͜ṋ̵̨̀̕͝n̵̩̮̥̣̿̈
"Hentikan Iori!!!" Riku sontak berteriak ketika alarm bahaya secara otomatis menyala dari dalam dirinya. Ia merasakan sesuatu yang begitu buruk akan datang.
Lalu, perkataan terakhir terdengar seperti suara komputer yang rusak.
Secara berkala, nafasnya menjadi tersengal. Ia merasakan sesak di dadanya yang lantas membuatnya jatuh terduduk. Kedua tangannya meremas kuat kain bajunya sendiri.
"Ja..ngan....sen..tuh...."
Di tengah nafasnya yang terengah-engah, Nanase Riku berusaha memperingatinya. Meskipun pada akhirnya ia tidak mengatakannya dengan benar.
'Berhentilah mengontrolku...'
Ia menulikan indra pendegarannya supaya suara berisik itu tidak membuat kepalanya berdenyut. Saat ini ia merasa begitu sial karena asma selalu mengalahkannya. Dia benci menjadi orang yang lemah.
Dengan satu tangan yang masih meremas kuat bajunya, tangan lainnya menekan mata kanannya yang terasa perih. 'Entah kenapa ini sakit...'
Tak lama setelah itu, ia merasa pipinya terasa basah karena sesuatu menetes keluar dari sebelah matanya. 'Are? Apa aku menangis?'
'Riku!'
Suara lantang memanggil namanya, kali ini bukan suara seperti komputer rusak. Alunan nada lembut yang mampu menenangkannya setiap waktu. Mengabaikan overthinkingnya, si surai merah menutup kedua matanya. 'Cepat atau lambat aku harus berbicara lebih jelas dengan Iori.'
Ia berharap dapat berbicara empat mata dan memperjelas semuanya. Sepertinya Iori kebingungan, begitulah opini Riku. Karena Iori adalah anak yang baik. Mungkin suasana baru membuatnya berpikir salah.
Dan begitulah, Ia kembali pada kenyataan dunia. Ruangan bernuansa roda-roda mesin itu ternyata bisa ia masuki dan bukan hanya gambaran saja. Mungkin, ini adalah salah satu teka-teki dari seluruh perjalanan hidupnya.
Tak lama ia baru menyadari noda kemerahan pada satu telapak tangannya. "Eh? Ini... darah?" tanyanya ngeblank.
"Ri-Riku?!" Sementara pihak lainnya menjadi tergagap melihatnya. Melihat noda merah itu membuatnya seakan-akan merasakan sakit pada salah satu matanya, ini sugesti.
"Ah! Daijobou desu." Kembali menutup sebelah matanya, Riku bergegas untuk membersihkannya. Mana mungkin ia lupa jika sang kakak trauma dengan darah. Meskipun hanya luka kecil, ia tidak mau hal itu sampai membebani Tenn.
Kran air dinyalakan sehingga air bersih mengalir turun. Dengan hati-hati dia membersihkan noda darah pada sekitar mata juga telapak tangannya sampai tidak meninggalkan bekas sedikit pun. 'Iori...' Sampai sekarang pun benaknya dipenuhi dengan Iori. Entah apa yang Iori maksut.
Cermin di hadapannya memantulkan bayangannya sendiri dan ia mendapati sebelah manik crimsonnya yang berganti warna. 'Apa lagi ini?' Oh sungguh, Riku lelah untuk mengatasi hal-hal imajinatif ini. Kenapa hidup harus berbelit-belit dan banyak masalah?
Sementara si surai baby pink tau-tau sudah berada di sebelahnya. Kehadirannya begitu mengejutkan dengan tiba-tiba memegang tangannya. "Apa yang terjadi, Riku?" tanya Tenn.
"....Entahlah..." Riku hanya bisa tersenyum sendu ketika melihat keseriusan pada wajah kakaknya. Ia tidak bisa dan tidak berniat mengelak. "Aku tidak tau bagaimana menjelaskan apa yang baru saja kualami... Tapi," begitu ujarnya lalu menjeda perkataannya sebentar.
"Aku tidak yakin bisa, jadi bantulah aku Tenn-nii. Ayo kita akhiri panggung bermainnya!"
.
.
.
"Oi bocah! Lama sekali!" Si surai uban memanggil salah satu bestie-- ekhem! Maksutnya orang yang selalu bersama dengannya membentuk 3 serangkai.
Makhluk yang terlihat pendek ketika 3 orang berjalan beriringan itu membalas, "Urusai kakek!"
"Siapa yang kau panggil kakek hah?!" Yaotome Gaku nampak tidak terima dengan ejekan Tenn. Emosinya setipis tisu kalo berhadapan dengan Tenn. Karena Tenn suka bikin naik darah.
"Kau cerewet seperti kakek-kakek," balas Tenn asal ceplos. Dasar, hobi 2 orang ini memang perang mulut. Sudah seperti rutinitas mereka setiap hari.
"Bocah tidak tau diri ini!!" Gaku terpancing dan hampir saja gelud jika abang mereka-- Tsunashi Ryunosuke menengahi. Jujur saja, Ryuu ingin pensiun. Susah sekali mengurus 2 orang yang hobi tengkar mulu setiap bertemu. Masalah sepele tetap dipertengkarkan.
"Kalian berdua hentikan..." Ryuu bersweatdrop. Ia benar-benar lelah dengan rutinitas tidak normal dua temannya. Mungkin jika Gaku dan Tenn tidak bertengkar sekali saja, dunia pasti terbalik.
Di tengah jalan santai mereka dalam perjalanan menuju konbini, manik amaranth pink itu sekilas mendapati sosok surai raven yang memperhatikannya di kejauhan. "Gomen, kalian duluan saja," pamit Tenn memberhentikan langkahnya ketika merasa sosok itu sepertinya punya urusan dengannya.
"Tenn?"
"Nanti aku akan menyusul," pamitnya sekali lagi, memundurkan langkah dan bergegas menghampiri si surai raven yang sedang menunggunya.
Jarak dipersingkat dengan sosok pemuda bersurai raven yang juga berjalan ke arahnya. Tenn pun melontarkan pertanyaannya, "Nani? Aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu"
"Pangeran sekolah dingin sekali ya?" balasnya mungkin menyindir.
"Langsung ke intinya Izumi Iori." Membenarkan tali tasnya yang sedikit melorot, manik Tenn memandang lawan bicaranya dengan dingin. Waktu itu berharga baginya.
"Apa tidak boleh jika kita mengobrol sebentar sembari berjalan? Kurasa arah rumah kita sama," ujar Iori. Ia memang tidak cocok dengan kepribadian Tenn. Mereka berlawanan dan cenderung beda pendapat di masa lalu.
"Rumah?" Tenn akhirnya hanya mengiyakan ajakan Iori. Toh tidak masalah sekali-kali mengobrol dengan orang yang dulunya lengket sekali dengan adik kembarnya. 'Riku bahkan memberitaukan alamat rumahku, sungguh...'
"Kalian akrab sekali ya," katanya terlihat seperti tidak senang. Karena Riku selalu membicarakan Iori dan Iori, mungkin di masa lalu dirinya sempat tergantikan oleh sosok Izumi Iori.
"Benarkah?" Dua orang yang tingginya tidak terpaut terlalu jauh, kini berjalan beriringan di pinggir jalan. Hening sempat melanda sebelum Iori kembali bersuara. "Nanase-san selalu memikirkanmu setiap saat. Selalu, meskipun dia tidak lagi membicarakannya di depan yang lain," jelasnya.
Tidak peduli dengan raut wajah orang di sebelahnya, Tenn memilih fokus pada jalanan. Menikmati langit keorenan yang terlukis di cakrawala. "Tidak mungkin," balasnya.
Tidak hanya mereka, para pejalan kaki yang berpapasan pun sempat melirik ke arah Tenn. Namun hanya diabaikan karena itu tidak penting.
"Itu fakta. Aku tau semua yang dipikirkan Nanase-san," ujarnya merespon balasan Tenn sebelumnya, membuat atensi Tenn sekilas teralihkan padanya.
Reaksi yang diberikan si surai baby pink hanya senyum miring. "Oh semuanya?"
"Nanase Riku itu juga peduli padamu. Kaulah yang mendukungnya selama ini," tutur Tenn. Jalanan yang dilaluinya tidak terlalu ramai karena para penduduk mungkin telah sampai di rumah masing-masing.
"..."
Langkahnya terhenti, sebelum ia keluar untuk menemani Ryuu dan Gaku yang mau mampir ke konbini dirinya sempat berinteraksi dengan sang adik. "Eh? Bukankah kau ada janji dengan Riku--?" Tak menyisahkan banyak waktu, atensinya terburu beralih.
*drrrt
Mengetahui ponselnya bergetar, ia segera mengambilnya. Layar benda digital itu menampilkan panggilan telefon yang berasal dari adiknya. Tanpa banyak pikir ia mengangkatnya.
"A... Tenn-nii" -- Riku
"Ya?" Seperti biasa Tenn menjawabnya dengan singkat padat dan jelas, tidak ingin membuang energi dengan sia-sia.
"Sekarang Tenn-nii di mana?"
"Dalam perjalanan pulang bersama Izumi Iori," jawabnya.
"Hah? Apa yang Tenn-nii katakan?! Iori sedang bersamaku! Siapa yang bersama Tenn-nii?!" -- Riku
"Kau bersama--" Sontak ia mundur, menciptakan jarak di antara mereka. Kedua manik amaranth pinknya membelalak. Tatapan orang-orang yang melihatnya dengan aneh tadi-- Kenapa ia baru menyadarinya. "Siapa--!"
*klotak
Ponselnya jatuh menghantam aspal ketika tangan seorang dari belakang mencengkram pergelangan tangannya dengan kuat. Tercekat, kedua alisnya tertekuk dengan gigi-giginya yang menggertak. "Kalian--!"
"Berbicara sendiri seperti orang gila itulah yang dipikirkan mereka, Tenn"
"Lama tidak bertemu Kujo Tenn-san," sapanya tersenyum kecil dengan tatapan manik obsidian yang kosong.
- Sisi Riku -
"Tenn-nii!! Tenn-nii dengar?!" Si surai merah meninggikan nadanya. Panik, mana mungkin ia tidak panik ketika yang ditelfon tidak lagi menjawab. Ia tidak menduga jika pergerakan'nya' cepat dan inilah opsi terakhir yang dimaksut oleh Iori.
Sementara si siswa perfeksionis yang memang tengah bersama dengannya sedikit menundukkan kepala. Izumi Iori lain yang dikenal oleh si surai merah telah membuat masalah. "Nanase-san... Sumimasen," katanya.
Jujur saja ia berusaha menahan amarah tak berdasar miliknya. Dua orang ini memang sama tapi juga berbeda. Ia tidak bisa menyalahkan Iori yang masih belum dewasa. "Kau tidak ada hubungannya dengan semua ini," ujarnya.
Kedua telapak tangannya mengepal erat, kali ini ia tidak bisa memikirkan solusi apapun. Izumi Iori tidak bisa dihentikan. Dihentikan sekalipun pasti ia tidak akan berhenti dan kejadian yang sama akan terulang. 'Tidak!! Bukan itu yang harus kupikirkan!!'
Tanpa sadar ia lepas kendali. "A-are?" Sudah berapa lama ia menjadi pribadi yang seperti ini? Memendam emosi? Sejak kapan aku jago melalukannya. "Wah... Kujo telah mengubahku ya..." Masa bodoh dengan image atau harga diri, mengontrol emosi itu tidak segampang yang kalian pikirkan.
Frustasi, ia menjambak surai rambutnya sendiri. 'Iori apa yang kau pikirkan?! Kenapa kau melakukan ini semua?! Kumohon jangan lakukan ini!'
*klang
"-!" Lagi-lagi suara dentingan yang terus mengganggu. Kala ia mencoba memasukinya, ia disambut dengan pemandangan yang tidak mengenakkan. Roda-roda yang awalnya berhenti mulai bergerak, tapi ke arah yang salah. Hadirnya 2 jiwa yang sama dalam satu dunia itu tidak mungkin.
'Benar-benar tidak bisa...' Si surai merah tidak tau lagi bagaimana seharusnya menanggapi semua ini. Kami-sama memberikannya kehidupan yang baru tapi mengapa ia diuji sampai seperti ini? Reinkarnasi? Bangkit dari kematian? Ruang kehidupan? Jiwa Izumi Iori? Sebenarnya apa yang harus dilalukannya? Kenapa kehidupannya selalu dipermainkan oleh takdir.
'Kau sendirilah yang harus melindungi takdir. Apa kau ingin orang lain mengacaukannya?'
"Aku tidak mau itu! Selalu... Kenapa harus kami?! Apa salahnya terlahir kembar?!" Ia mulai meracau dalam ruangan itu. Sefrustasi apa dirinya sampai-sampai ingin menyerah? "Aku lelah! Padahal kami lahir bersama, kenapa pada akhirnya harus berpisah?! Tak bisakah kau membiarkan kami hidup tenang?!"
'Berjuanglah'
"Berjuang?! Aku sudah lelah! Seberapa banyaknya aku berjuang pada akhirnya tidak tercapai! Seberapa seringnya aku menguatkan diri tapi pada akhirnya hancur! Aku terus dan terus berjuang! Tapi apakah hasil perjuanganku dihargai?"
Emosi negatif dalam dirinya terus berkembang. Seluruh kekecewaan dan kebenciannya meluap sangat tinggi. Dia sungguh kesal, kecewa, dan marah. Hati kecilnya seakan tertusuk oleh ribuan jarum. Segala kenangan pahit dalam kehidupannya bermunculan bagaikan mimpi buruk. Ia merasa dirinya akan rusak, seperti yang diharapkan oleh Kujo.
Hey, coba pikirkan. Apa yang terjadi jika seseorang dipenuhi aura negatif. Dengan segala kebencian dan dendam yang dipendamnya selama bertahun-tahun. Berusaha menguatkan diri seakan semuanya baik-baik saja, lalu pertahanan diri itu runtuh dalan sekejap. Akankah ia tetap akan menjadi Nanase Riku yang sama?
Permata crimsonnya semakin meredup, binar-binar cemerlang itu kian memudar. Dirinya terduduk tanpa memikirkan apapun lagi. Mungkin pasrah menjadi salah satu solusi. Ia memandang kosong roda-roda gigi yang terus berputar ke arah berlawanan. "Yah, terserah saja"
( Pinterest )
Bak suara kaca yang retak, sebuah jam disertai roda-roda gigi yang terletak pada mata kirinya yang bewarna kuning terang mengalami retakan, sebelum manik kuning itu mulai meredup dan kembali pada warna merahnya.
"Memangnya apa yang bisa kulakukan jika dia sudah memegang kendali?"
"Akan lebih baik jika kuruti keinginannya."
"Maaf Tenn-nii... Padahal aku sudah berjanji untuk berjuang bersamamu"
( Pinterest )
"Nanase-san!" Setelah sekian kalinya memanggil, akhirnya atensi si surai merah teralihkan padanya. Si surai raven menggoyang-goyangkan tubuhnya. "Bukankah Tenn-san sangat berharga untukmu? Lalu kenapa kau hanya diam saja?!"
"..."
"Jangan diam saja dan lakukan sesuatu! Aku akan membantu--"
"Tidak usah..." Riku memotong perkataannya. Lebih baik tidak membiarkan orang lain terseret dalam masalahnya. "Kau benar dan terima kasih," katanya.
"Ini akan selesai tanpa kekerasan," begitu pamitnya sebelum meninggalkan si sutai raven di sana. Ia melambaikan satu tangannya lantas beranjak pergi. 'Tapi setidaknya aku ingin kakakku hidup tenang'
*Jangan harap kau bisa menyentuh kakak kembarku, Izumi Iori'
.
.
.
*hah hah
Nafasnya terengah-engah setelah berlarian cukup lama hingga menguras staminanya yang minim. Ia sedikit kecewa dengan staminanya yang lemah. 'Stamina sialan!' Ia merasa jantungnya berdetak dengan kencang, berusaha mengumpulkan pasokan oksigen.
Meski begitu tanpa banyak pikir lagi, Riku membanting pintu itu dengan kasar. Visual yang pertama kali ia dapati adalah sosok Kujo Takamasa. "Kenapa kau pulang, Nanase Riku?"
"Seharusnya aku yang bertanya, Kenapa Kujo mengundang makhluk gaib ke rumah?" balas si surai merah mengalihkan pandangannya pada sosok Izumi Iori
Lantas indra penglihatannya berhasil menemukan sosok kakaknya yang terduduk di lantai. "Tenn-nii?!"
"Riku..." Baguslah, sepertinya kakaknya tidak terluka.
Si surai merah berniat menghampirinya, namun 'Iori berdiri menghalangi. "Apa yang telah kau lakukan sehingga aku tidak bisa menyentuhnya sama sekali?"
"Eh benarkah? Aku hanya berharap saja kok," katanya. Tatapan matanya begitu tajam seakan berusaha mengintimidasi.
"Sayang sekali, dia rusak." Entah apa yang membuatnya begitu senang, seulas senyum lebar tercipta di wajahnya seakan ia telah mendapat suatu pencapaian.
"Nanase-san, aku memang tidak bisa menyentuhnya sehelai rambut pun. Tapi menurutmu, apakah manusia yang punya tubuh fisik bisa?" tanyanya terlihat santai tanpa adanya keraguan. Dua orang yang mirip ini, apakah mereka bekerja sama?
Melihat Kujo yang berdiri di dekat kakaknya, Riku terlihat sangat was-was. Tangannya mengepal erat. "Iori berhentilah," ia meminta dengan halus.
"Aku telah sampai pada titik ini, mana mungkin aku berhenti?" begitu katanya. 'Iori tersenyum penuh kepercayaan diri. Dirinya tidak akan pergi jika Nanase Riku tidak ikut bersamanya.
"Izumi Iori!" Si surai merah berusaha mati-matian mengontrol emosinya yang semakin menjadi-jadi. Amarah tidak dapat membantu saat ini dan rasa takut membuatnya menjadi was-was.
"Aku lah yang mengontrolmu. Jangan harap Nanase-san dapat lepas dariku," ujarnya. Manik obsidian yang kosong itu melirikkan matanya seakan memberi kode pada orang di belakangnya.
Mengetahui hal itu, kedua irisnya membelalak ketika mendapati benda tajam yang dibawa oleh pria paruh baya itu. "Kujo-san." Sementara si surai baby pink terlihat sedikit syok. Karena mau bagaimana pun Kujo pernah membiyayai hidupnya dan ia sempat menganggapnya sebagai wali.
"Hentikan..." Atensi mereka teralihkan. Ekspresi Riku terlihat buruk. Bulir-bulir keringat menghiasi wajahnya dengan kedua irisnya yang gemetar. "Tolong hentikan...." lirihnya. Kenangan kelam itu dia tidak ingin mengulanginya. "Iori kau yang terburuk," ujarnya.
"Kau bisa kambuh loh, Nanase-san," ingatnya. Salah satu penyebab asmanya kambuh adalah karena dirinya rentan banyak pikiran dengan emosi yang tidak teratur.
'Anak ini...' Dari sudut pandang Tenn, sang adik terlihat kacau. Seberapa banyak beban yang ia tanggung hingga akhirnya permata indah itu menjadi retak. "Aku benar-benar kakak yang bodoh," gumamnya.
Helaan nafas panjang diambilnya sebelum melangkahkan kakinya. "Baiklah, turutilah saja apa kemauanmu," putusnya membisikkan kalimatnya.
"Keputusan bagus," balasnya sebelum Riku berjalan melaluinya.
'Pergilah,' titahnya. Sekilas sebelah irisnya berubah bersamaan dengan satu kata yang dilontarkannya. Itu seperti perintah mutlak, karena jiwa Iori seakan tertarik. 'Kita akan bertemu di ruangan itu.'
"Baka Riku." Berdiri dari duduknya, Tenn sempat melirikkan mata pada pria paruh baya yang raut wajahnya sulit ditebak. "Kenapa kau tidak melakukannya dengan serius?" tanyanya mengetahui tangan yang memegang pisau itu terlihat gemetar. "Yah, aku tidak peduli. Lalu Izumi Iori sangat menyebalkan," ungkapnya memandang sosok jiwa tanpa tubuh itu setajam mata singa.
Lantas dirinya turut menghampiri sang adik. "Nah, kira-kira kapan Kami-sama menghentikan permainan konyol ini?"
Jarak diantara si kembar hanya berkisar beberapa centi saja, si surai merah tidak bisa menyembunyikan kekacauannya dari sang kakak. "Gomen... Tenn-nii," ujarnya dengan suara bergetar.
"Sudah kukatakan untuk fokus padaku kan?" Tangan putih Tenn menangkup wajah adiknya serta mengangkatnya sehingga raut wajah itu dapat terlihat. "Lihat? Aku baik-baik saja. Aku tidak selemah dirimu tau," ungkapnya.
Ia menggigit bibirnya, pernyataan kakaknya mungkin benar. Tapi ketakutan tiap orang tidak dapat diatur bukan? Trauma yang dimilikinya mungkin lebih parah dari trauma sang kakak. "Melihat kematianmu berkali-kali dengan mataku sendiri sangat menyakitkan," ujarnya.
"..." Tenn tidak bisa membantah kalimat tersebut. Betapa beruntungnya ketika dirinya tidak dikaruniai ingatan, tidak seperti adiknya. Pasti sangat menyakitkan. "Tidak ingin menceritakan masa lalu kita?" Tenn malah membuka topik yang sensitif.
"Baiklah," jawabnya.
"Riku, mata merahmu itu indah seperti permata," ungkap sang kakak. Senyum sendu terukir di wajahnya. "Maaf karena aku membuatmu seperti ini."
Sementara sang adik hanya diam termenung. Ia tidak memiliki kalimat yang pas untuk diutarakan. Rasanya perasaannya terlalu buruk, ia tidak ingin terlalu banyak berbicara.
"Tidak indah." -- Riku.
.
.
.
.
"Lebih baik Tenn-nii menjauh," kata sang surai merah. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kasur sembari menatap langit-langit kamar. "Iorivtidak bermaksut jahat, jadi jangan membencinya."
"Nani?" Perkataaan yang diucapkan Riku bertentangan. Ia tidak suka dengan sifat sang adik yang terlalu naif. "Jangan bertingkah menyebalkan," ucap Tenn.
Bangun dari posisi rebahannya, Riku membalas, "Kenapa malah marah? Aku kan bilangnya baik-baik"
"Sifatmu yang terlalu naif itu membuatku kesal. Jangan bertingkah polos!" tuturnya menaikkan nada bicaranya. Iris amaranth pinknya mengunci permata crimson itu. "Terlalu polos dapat membuatmu dibodohi! Tidak semua orang yang tersenyum manis punya maksut yang baik. Kenapa kau tidak paham?!"
"Aku memang tidak paham. Bagiku semua orang itu baik. Tidak masalah bila kau berbeda pendapat denganku," balasnya. Kali ini permata crimsonnya tidak menghindari tatapan tajam itu. Binar yang telah padam melambangkan dirinya yang setengah rusak, persis seperti sebelumnya.
"Kita tidak pernah sependapat. Aku terkesan seperti orang yang jahat kan? Aku tidak menentangnya karena itu memang fakta. Aku tidak sebaik dirimu," ujarnya. Oh gawat, sepertinya benih pertengkaran mulai tercipta.
"Itu benar," balasnya cepat. "Perkataanmu kasar, tingkah lakumu dingin, lalu kamu pun lembut dengan orang lain dibanding denganku," lanjutnya mencengkram kuat ujung bajunya sendiri.
"Ketika melihatnya lembut kepada orang lain tapi tidak denganku, itu menjengkelkan. Aku ini egois, cemburuan, dan bodoh!," katanya mengakui apa yang dirasakannya. Dari permata yang redup itu, genangan air mulai tercipta. "Aku yang bodoh ini selalu berusaha keras dalam waktu yang lama! Menyaksikan kematian, melawan dan melindungi, bahkan dihantui oleh rasa bersalah... Aku lelah, takut, dan rasanya ingin mati!" racaunya.
Ia menunduk dengan menggigit bibir bawahnya, berusaha mempertahankan suaranya. "Semua sudah kulakukan! Menyemangati diri, tidak lari dari kenyataan dan bahkan bertahan dari tubuh yang penyakitan ini! Padahal aku sakit-sakitan tapi kenapa aku tidak mati juga?!" Racauannya terus berlanjut tanpa menunggu respon kakaknya.
"Kenapa harus Tenn-nii?! Aku tidak mau! Aku tidak ingin kau terluka dan meninggalkanku! Pada akhirnya kita bisa bersama tapi kenapa waktu merenggutmu dariku?! Apa salahmu? Apa salahku? Tidak ada satu kehidupan yang dapat kulalui dengan senyuman!"
Tangan lainnya menggenggam kuat inhaler yang selalu menemaninya sepanjang waktu. Biarlah dia mengamuk dan meracau sepuasnya, biarlah penyakit sialannya kambuh. "Aku ingin membunuh semua orang yang merusak takdirku! Aku berharap dia tersiksa selamanya! Jahat sekali ya, aku?"
"..."
Setelah racauan yang panjang lebar itu, Tenn baru membuka suara, "Apa sudah sedikit lebih baik?" Ketika Riku menatapnya, yang didapati adalah wajah dengan senyum sendu dan dua mata yang berair.
"Apa ini? Kenapa kau ikut menangis?" Si surai merah tanpa sadar meluncurkan bulir-bulir air yang ditahannya sedari tadi. "Aku sepertinya banyak menangis."
"Riku memang cengeng sejak dulu," balasnya tetap dengan raut wajahnya yang tidak berubah.
"Aku ingin mati saja," ujarnya tersenyum. Untuk sesaat, clock eye miliknya muncul. Di mana miliknya itu sudah retak dan tidak dapat dikendalikan sepenuhnya. "Dari pada menjadi boneka yang dipermainankan orang lain."
"Tapi." Perkataannya itu dijeda selama beberapa saat. Kedua telapak tangannya menangkup pipi kakaknya. "Aku menyayangimu," lanjutnya menurunkan pandangannya.
"Harta kecilku ini sangat rapuh, mana mungkin aku tidak menjaganya?" Tenn membalas dengan menyentuh tangan adiknya yang menempel di pipinya.
"Seseorang telah mencuri harta kecilmu selama ini," balasnya kembali. Entah kenapa tubuh fisiknya terasa begitu lelah. Indra penglihatannya menurun seakan berusaha ditarik dalam kegelapan. ''Dan harta kecil itu terpaksa mengikuti pemilik barunya dan pergi,'' begitu ucapnya.
Kelopak matanya menyipit bersamaan dengan pandangannya yang memburam. Sepertinya ia harus mengistirahatkan diri sebentar. "Meskipun tidak mau..." Begitulah kalimat sebelum kelopak matanya menutup secara keseluruhan.
Dengan sigap Tenn menahannya dan membaringkannya perlahan. Ia membelai surai merah itu dengan lembut. "Harta kecilku diambil karena aku tidak mampu melindunginya."
"Tapi aku sudah berjanji, bahwa aku akan menjemputmu"
.
.
.
- To be continued -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro