Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hak Milikku

Langit bernuansa kelabu menghiasi cakrawala tanpa adanya cahaya dari sang mentari. Kapas-kapas yang berjejeran menghalangi sang surya untuk menerangi dunia. Sesekali semilir angin berhembus menyapu permukaan kulit. Bahkan kini gedung-gedung, jalanan, dan pepohonan dihiasi oleh warna putih yang bersih. Suhu berubah dari hangat ke dingin secara drastis.

Menghembuskan nafasnya sehingga tercipta uap putih yang melayang di udara, si surai merah bergumam, "Ini sudah musim dingin ketigaku." Senyum terpaut di wajahnya sembari menyembunyikan telapak tangannya ke dalam saku jaket. 'Baiklah, ini tahun terakhirku untuk menempuh pendidikan... Ganbatee!!' Ia menyemangati dirinya sendiri.

Cukup puas menikmati pemandangan sekitar, si surai merah pun akhirnya sampai di apartemen. Bisa bahaya jika ia berada di luar terlalu lama. Ia sama sekali tidak ingin penyakitnya kambuh.

( Twitter: StrwBnny_7 )

Lelaki ini langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur sembari sejenak menatap langit-langit kamar. Ruangan yang ditempatinya selalu hening. Yah, terkadang ada seseorang yang sekadar mampir. Tetapi sebagian waktunya dominan dipakai seorang diri.

Tangan kanannya pun meraih sebuah handphone. "Apa pekerjaan Tenn-nii semakin berat ya?" tanyanya bermonolog. Dengan kecewa ia kembali meletakkan ponselnya. 'Aku akan senang jika Tenn-nii tidak lupa denganku.'

Kelopak matanya terpejam. Tubuhnya kini terasa lelah, mungkin karena beberapa hari terakhir ia begadang menyelesaikan skripsi. Belum lagi pekerjaan paruh waktu yang menantinya. Rasa lelahnya baru tiba saat ini.

'Kira-kira Kujo Takamasa ada di mana dan sedang apa sampai-sampai aku bisa hidup dengan tenang begini?'

"Ah! Ya sudahlah..."

...

⋘ 𝑙𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑡𝑎... ⋙

.

↺1%

.

↺18%

.

↺35%

.

↺67%

.

↺99%

.

⋘ 𝑃𝑙𝑒𝑎𝑠𝑒 𝑤𝑎𝑖𝑡... ⋙

.

.

.

𝐍𝐨𝐰 𝐥𝐨𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠. . .

.

███▒▒▒▒▒▒▒

.

█████▒▒▒▒▒

.

███████▒▒▒

.

██████████

.

ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇ!

.

.

.

.

.

╔⏤⏤⏤╝❀╚⏤⏤⏤╗

IN ANOTHER LIFE
By : MonMonicaF

╚⏤⏤⏤╗❀╔⏤⏤⏤╝

Pemuda bersurai putih itu meregangkan tubuhnya. "Gila dingin banget!" gerutunya memeluk tubuhnya sendiri. Habis dirinya tidak punya orang lain untuk membantu memeluknya. Begitulah nasib pria nomor 1 yang ingin dipeluk sejagad raya itu.

"Ini karena sedang musim dingin. Perlukah kita cari minuman hangat?" tanya pemuda lainnya dengan badan tinggi dan kulitnya yang bewarna sedikit coklat. Sebagai yang tertua, ia berupaya untuk menjaga member yang lebih mudah darinya.

Pemuda lainnya lagi dengan tinggi yang cukup terpaut itu menyahut, "Abaikan saja si sobaman itu, Ryuu." Wajah bak tenshi itu kadang sangat menyebalkan bagi leader grup itu. Dengan wajah cantik dan sikap perfeksionisnya itu, center Trigger berhasil memikat hati penggemarnya.

"Oi, bocah! Kau punya masalah apa denganku huh?!" balasnya menaikkan nada bicaranya.

"Aku hanya ingin menjaga pengeluaran Trigger," begitu elaknya acuh tak acuh.

"Hah? Maksutmu aku boros?!"

"Entahlah. Akan bagus jika leader Trigger bisa sadar diri."

"Aku tidak boros!"

"Siapa yang bilang kau boros?"

"Bocah sialan!!!" Yaotome Gaku berniat menghantam center berwajah malaikat yang menyebalkan itu. Namun sayang sekali Ryuu menengahi perang mulut keduanya.

"Tenn, Gaku jangan membuat keributan..." Sedangkan Tsunashi Ryunosuke hanya bisa menghela nafas melihat kedua rekannya terlalu akrab--

"Demi Ryuu aku akan diam," ujar Tenn dengan entengnya. Ia hanya terus melanjutkan langkahnya diikuti oleh kedua temannya itu.

Gaku hanya bisa memaklumi centernya yang begitu mahir dalam meroasting dan provokator. Mungkin dirinya juga sama? "Kau memang menyebalkan ya..."

"Sama-sama" -- Tenn

"Dasar bocah kurang ajar!" -- Gaku

"Haha... Dari pada bertengkar bagaimana jika kita ke bar saja?" saran Ryuu. Perdebatan Gaku dan Tenn sudah menjadi rutinitas jadi melerai pun hanya buang-buang stamina. "Katanya di sini ada bar yang terkenal lho, ayo ke sana!" ajaknya riang.

Tenn hanya berwajah datar ketika memikirkan apa yang akan terjadi saat pemuda itu kebanyakan minum. "Ryuu..."

"Baiklah! Ayo kita turuti ajakan Ryuu untuk kali ini, Tenn." -- Gaku

"..." -- Tenn

"Yatta!" -- Ryuu

.
.
.

Sesuai perkataan Ryuu, bar yang mereka datangi benar-benar ramai pengunjung hingga terdapat ruang-ruang di dalamnya. Tempatnya cukup luas dan mewah untuk ukuran bar. Benar-benar bar kelas elite di kota ini.

Trigger yang memasuki bar itu, langsung disambut oleh bar waiter dan dituntun untuk menuju tempat yang nyaman. Benar saja mereka ditempatkan di suatu ruang pribadi sama seperti pengunjung lain. Dengan pemandangan kota yang terlihat dari jendela.

"Gila, bar apa ini sampai ada ruangan pribadinya?!" pekik Gaku terkagum-kagum dengan keunikan bar tersebut.

"Dia tidak akan mengerti jika kita berbicara dengan bahasa Jepang Gaku...," ujar Ryuu. Bahkan pelayan di sini terlihat berwibawa dengan topeng yang menutup separuh wajahnya.

"Tidak masalah tuan. Saya bisa berbahasa Jepang," balas sang bar waiter dengan sopan dan senyum ramah. Ia mengeluarkan daftar menu dan merekomendasikannya. Melakukan tugasnya sebagai bar waiter dengan profesional.

"Wah, bahasa Jepang anda sangat bagus!" puji Ryuu mendengar logatnya yang begitu fasih bahkan seperti warga Jepang asli. Apa memang pekerja di bar sefasih ini dalam berbahasa? Bukankah itu hebat?

Membungkukkan badan sekilas sebagai bentuk balasan, waiter itu menanggapi, "Terima kasih atas pujian tuan. Tapi itu terlalu berlebihan bagi saya."

Dia terlihat begitu tenang dan profesional dalam menjalankan pekerjaan. Mungkin Ryuu jadi ingin belajar menjadi profesional sepertinya. "Jadikan aku muridmu!"

"Ya, maaf?"

"Sumimasen. Padahal dia belum minum tapi sudah melantur," sahut pemuda bersurai putih itu. Mereka tidak bisa menahan waiter itu terlalu lama. "Ini saja," ujarnya mengkorfimasi pesanan mereka.

"Tidak masalah. Kalau begitu saya akan mengantarkannya sebentar lagi," begitu ujarnya menyimpan daftar menunya kembali. Kembali ia membungkukkan badan sebagai bentuk kesopanan, namun seseorang pun angkat bicara.

"Excuse me, bisakah aku memesan dessert?" tanya Nanase Tenn dengan nada bicara yang sopan. Senyuman terlukis di wajahnya dengan tatapan manik amaranth pinknya yang lurus dan dalam seakan berusaha menjerat orang itu. Sorot mata yang tajam itu terus menatap sedari waiter itu mengantar mereka.

[ Nanase Tenn 22 tahun ]

( Twitter : Personaparamuki )

"Tentu, menu apa yang tuan inginkan?"

"Pesankan saja sesuai seleramu. Apa permintaanku terlalu sulit?"

"Tidak, hanya saja saya khawatir selera saya berbeda dengan tuan."

"Tidak masalah."

"Baiklah, saya permisi dulu."

Hanya butuh waktu beberapa menit, sang waiter kembali dengan membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. Ia hendak meletakkannya di atas meja sebelum keseimbangan tangannya tiba-tiba berantakan dan nampan tersebut bergoyang.

Untung saja dengan sigap si surai baby pink membantunya dengan menahan nampan tersebut supaya tidak tercipta suara gelas pecah yang memekik telinga. "Hampir saja..." Tenn seringkali menghadapi situasi serupa berkat adiknya, jadi responnya terbilang cepat.

"Mohon maaf," ujarnya menghela nafas lega. Jika seandainya gelas itu pecah, maka ia harus mengganti rugi. "Terima kasih, tuan."

"Tenang saja jangan panik! Kesalahan kecil tersebut seringkali terjadi kok," ucap Ryuu.

"Tidak tidak... Pasti mahal jika harus membayar ganti rugi atas gelas itu kan," ucap Gaku.

Dan sang waiter hanya bisa tertawa kecil menanggapinya, "Haha... Saya sering menghabiskan gaji saya untuk itu. Maafkan ketidaksopanan saya, Apa wajah panik saya begitu terlihat?"

"Bahkan tadi sempat kukira kamu akan berteriak panik," balas si surai baby pink yang berjasa telah menyelamatkan gelas-gelas itu. Tenn tersenyum miring sembari memangkuk wajahnya dengan manik amaranth pink yang melirik melalui sudut matanya. "Lain kali berhati-hatilah supaya gajimu tidak terpakai sia-sia."

"Baiklah tuan..." Memilih untuk mengulas senyum, Waiter itu kembali berkata, "Sebenarnya hari ini hari terakhir saya bekerja. Jadi saya cukup khawatir jika sampai melakukan kesalahan pada pelanggan."

Tenn membalas, "Kalau begitu baguslah aku menyelamatkanmu di hari terakhir bekerja." Tatapan kedua irisnya senantiasa tertuju pada waiter itu hingga membuat kedua rekannya memiringkan kepala terheran-heran.

"Ini pertama kalinya aku melihat Tenn banyak bicara pada orang," ungkap Ryuu tidak percaya. Karena sang center biasanya hanya berucap satu dua kata atau kalimat saja jika berinteraksi dengan orang asing.

Gaku pun mengangguk-angguk setuju. Dirinya memasang pose berpikir sembari mencari tau alasan Tenn seramah itu dengan orang. "Kau benar. Rasanya Tenn aneh sekali sejak tiba di sini--" Perkataannya terputus ketika manik abu-abunya menangkap samar-sanar gelang yang dipakai waiter tersebut

"Ka-kau--!"

"Jabgan-jangan... Nanase?!" Refleks ia meraih tangan kiri waiter itu tanpa permisi dan kala ia melihatnya, terpasang gelang bersimbol alto di sana.

"EH-- RIKU-KUN?!!" Menyadari hal yang sama pun membuat pemuda berbadan kekar itu berdiri dari duduknya dengan mata membelalak tak percaya.

Di pergelangan tangannya memang terpasang gelang yang memiliki simbol yang mewakili center Trigger dan gelang serupa dengan simbol double sharp dikenakan oleh Tenn. Karena itu Gaku cukup terkejut, "Kau... Nanase Riku kan?!"

Tersenyum kecil menanggapi keterkejutan Trigger, waiter tersebut menggaruk pipinya sembari menanggapi, "Ah...... Ketauan ya?"

"Seriusan?!!" -- Gaku.

"Kapan kau menyadarinya Tenn?" tanya Ryuu kembali duduk setelah keterkejutannya menghilang.

"Sejak bar waiter ini menghampiri kita," jawabnya tersenyum penuh kemenangan saat menatap waiter tersebut.

Karena identitasnya sudah terbongkar, Ia pun melepaskan topeng yang terpasang di wajahnya sejak tadi. Senyum khas miliknya terlukis dengan cantik di wajahnya. "Tidak kusangkan Trigger akan menyadarinya, padahal kurasa aktingku sudah sempurna."

Menepuk-nepuk kursi di sampingnya, Tenn mengisyaratkan agar si surai merah duduk. "Aku cukup terkejut saat mengetahui Nanase Riku kerja di bar," ungkapnya.

"Aku juga terkejut saat melihat Tenn-nii, Yaotome-san dan Tsunashi-san di sini," balasnya menjalankan isyarat kakaknya.

"Jangan-jangan Nanase sering minum?!" -- Gaku.

"Tidak kok." -- Riku.

"Tapi aku beneran kaget lho. Aku tidak mengira akan bertemu dengan Riku-kun saat liburan ke sini." -- Ryuu.

"Aku juga tidak tau jika Trigger ada rencana liburan ke sini...." -- Riku

"Tapi katamu hari ini terakhir kerja kan. Sudah mau pulang ke Jepang?" -- Gaku.

"Akhir tahun nanti--" Riku menolehkan kepalanya kala menyadari tatapan yang terus tertuju padanya. "Kenapa Tenn-nii menatapku?"

"Tidak ada." -- Tenn.

Menghela nafas kecil, Riku berdiri dari duduknya dan memakai topeng itu kembali. "Kalau begitu saya pamit terlebih dahulu," tuturnya memeluk nampan yang awalnya tergeletak di meja.

"Kau tidak ikut minum Nanase?" tanya leader Trigger.

"Maaf, tuan. Saya hanya seorang waiter." Waiter itu hanya tersenyum tipis dan ia menolak ajakan tersebut dengan sopan. "Tuan bisa mengajak saat saya sedang tidak bekerja," lanjutnya.

"Baiklah! Mungkin aku harus mengundang Nanase untuk bergabung setelah ini," ujar Gaku

.
.
.

Dinginnya angin malam mulai menyelimuti tubuh dan dibawah gelapnya langit malam beberapa bintang kecil berusaha memancarkan kilauannya. Karena jalanan yang sepi dan hening suara si surai merah pun dapat terdengar dengan keras.

Adiknya yang berjalan dengan langkah linglung dan mulut yang tak berhenti mengoceh membuat sang kakak hanya bisa menghela nafas lelah. Begini jadinya jika seseorang yang mempunyai ketahanan alkohol rendah mencoba untuk minum karen ajakan dari leader Triggernya.

Berbagai ocehan tidak jelas dari sang adik terus didengarnya dengan sabar hingga keduanya sampai ke apartemen tempat adiknya tinggal untuk sementara.

"Riku lepas sepatumu!" Tenn yang melihat adiknya berjalan masuk dengan sepatu yang terpasang pun membuatnya harus mengeluarkan tenaga. Karena berbicara kepada seseorang yang sedang mabuk itu sangat susah.

Tidak hanya sampai disitu, Tenn harus kembali mengomel ketika sang adiknya dengan entengnya merebahkan diri di atas lantai. Ah, jadi beginilah hidup Riku selama ini tanpa dirinya. Begitulah batin Tenn.

"Cuci wajah, tangan dan kakimu lalu ganti baju! Jangan tidur di sini!" perintahnya berkacak pinggang. Adiknya benar-benar tidak bisa hidup mandiri jika pola hidupnya terus seperti ini.

"Gamau! Aku capek banget habis kerja!!!!" rengeknya tetap berada pada posisinya. Hingga sang kakak pun memasang wajah seram dan menatapnya dengan dingin. "Nanase Riku!" sebutnya dengan menampilkan senyum malaikat di wajahnya penuh dengan intimidasi.

"Gamau!!"

"Riku... Ganti baju!"

"Maunya sama Tenn-nii!!" rengeknya beralih menyergap tubuh kakaknya dengan pelukan hingga membuatnya hampir kehilangan keseimbangan.

"Mulutmu bau alkohol," celetuk sang kakak mengibaskan tangannya untuk mengusir aroma alkohol di dekatnya.

"Eehhh?? Memangnya kenapaaa? Tenn-nii ga suka????" tanyanya masih dengan merengek. Bibirnya telah terpout merasa tidak puas dengan celetukan kakaknya.

Melepas pelukan itu, si surai baby pink ini menarik nafas panjang. "Nee Riku... Apa menurutmu aku tidak bisa marah huh?" Ia bertanya dengan nada yang halus namun kedua matanya tidak demikian. Tatapan dingin nan tajam dari manik amaranth pink itu membuat sang adik diam tak berkutip. "Anak baik. Sekarang ganti bajumu!"

Tidak berani untuk menatap senyum dan tatapan penuh intimidasi itu membuat Riku terpaksa harus menurut. Dengan malas ia membawa langkahnya menuju kamar mandi dan melakukan semua titah kakaknya.

"...."

"...."

"...."

Setelahnya, Nanase Riku tidak bisa mengingat apapun. Kala ia membuka matanya, visual kamar mandi menjadi pemandangan pertamanya. Sudah pasti ia tertidur di dalam sana selama beberapa menit. Ia sontak memegang kepalanya kala mengingat tindakannya yang merengek seperti anak kecil. "Memalukan sekali......"

Segera, Riku membasuh wajahnya dan berganti pakaian. Tak lupa ia membersihkan mulutnya supaya bau alkohol dapat dihilangkan. 'Aku tidak akan minum lagi,' sesalnya.

'Apa Tenn-nii kembali ke hotel?' begitu dugaannya. Namun ternyata itu salah.

Ketika memasuki ruang tengah, Riku menemukan kakaknya yang sedang tertidur dengan posisi duduk. "Nanti Tenn-nii masuk angin-- Ah, ya sudahlah." Riku membalut tubuh kakaknya dengan selimut. Dilihat dari wajahnya, Tenn pasti terlalu lelah. 'Aku ga tega mbangunin....'

Sementara si surai merah memilih untuk membaca buku, menamatkan novel yang sedang di bacanya. Hingga tanpa sadar satu jam lebih berlalu begitu saja. Perhatiannya teralihkan ketika bel kamar apartemennya berbunyi.

Layar persegi panjang tersebut menampilkan sosok Izumi Iori. "Iori, pulanglah. Ini sudah terlalu larut untuk bertamu," ujarnya.

"Jarang sekali Nanase-san langsung mengusirku. Apa ada tamu lain?"

Mengabaikan tebakan Iori, Riku langsung bertanya, "Ada urusan apa Iori?" Tidak mungkin seseorang repot-repot datang selarut ini hanya sekadar untuk mampir bukan.

"Tidak, aku hanya datang untuk memperingatkanmu supaya berhati-hati."

"Terima kasih sudah repot-repot mengatakannya," balas Riku tersenyum kecil. Ah! Dirinya tidak boleh membuat temannya menunggu di luar, terlebih dengan cuaca yang tidak mendukung. "Sebentar kubukakan--"

"Tidak perlu. Aku kemari hanya untuk mengatakan hal itu."

"Eh?"

"Aku akan kembali. Karena aku lelah berhadapan dengan orang yang keras kepala."

"..."

"Baiklah, aku pamit."

"Hati-hati di jalan!"

Apa pun itu, Riku tidak mengerti kenapa orang sesibuk Iori bertamu hanya sekadar menyampaikan hal tersebut. Ia pikir Iori akan memaksanya kembali lagi, tapi ternyata itu salah total.

Menghela nafas kecil, si surai merah berniat kembali melanjutkan aktivitasnya. Namun kala ia kembali ke ruang tengah, ia mendapati Tenn yang sudah terbangun. "Ah... Tenn-nii jadi terbangun."

"Tenn-nii mau kubuatkan kopi atau teh?" tanyanya berjalan menuju pantry.

Menguap kecil, si surai baby pink ini sudah selesai mengumpulkan 100% kesadarannya. "Teh saja," jawabnya. Meletakkan selimut yang tadi dipakainya dengan rapi, Tenn menatap Riku selama beberapa saat. "Tadi--" Belum sempat berkata lebih banyak, sang adik dengan cepat menyelanya.

"Tolong lupakan tindakan memalukanku tadi...." semburat merah terlukis di wajahnya kala membayangkan betapa memalukan dirinya tadi.

"Pfft-- Apa kau malu karena memelukku sambil merengek tadi?" ucapnya hampir tertawa. Padahal rasanya baru saja ia menghadapi bocah 3 tahun yang merengek.

"Tenn-nii!!!!"

Wajahnya benar-benar merah, apa sebegitu malunya ia bertingkah seperti bocah? Yang penting, menjahili adiknya benar-benar seru. "Baiklah baiklah... Menjahilimu itu yang terbaik..."

"Tenn-nii!!!"

"Maaf deh. Jangan marah padaku," ujarnya. Ia menerima secangkir teh yang diberikan oleh adiknya dan meminumnya. "Sudah 3 tahun ya..."

"Benar, sudah 3 tahun lamanya Nanase Tenn sibuk dengan pekerjaannya sampai-sampai jarang menghubungiku," sindirnya blak-blakan.

"Bisa tolong maklumi? Aku mencari uang juga untukmu lho," balas Tenn.

"...." Diam seribu bahasa. Si surai merah merenung, memikirkannya baik-baik... Bukankah ini sama saja dengan masa lalu? Salah satu alasan Kujo Tenn yang membuang marga Nanase, adalah sebagai imbalan untuk membiyaai rumah sakitnya. "Menyebalkan, aku masih saja sama. Kujo Tenn di masa lalu dan Nanase Tenn di masa ini sama," ujarnya.

Ucapan Riku membuatnya bingung. "Bukankah aku memang adalah aku?"

"Memang ada Tenn-nii yang lain?" timpalnya. Riku hanya tersenyum tipis sembari memainkan jari-jemarinya. "Berpura-pura tidak tau adalah kebiasaanku dan mungkin itulah hukumanku."

"Aku yang dulu suka mengatai Tenn karena meninggalkan keluarga, aku yang tanpa tau malu merangkak ke atas panggung, aku yang berkeinginan egois, aku yang terus memaksamu untuk pulang, aku yang merebut semua perhatian orang tua kita, aku yang asal berbicara, semuanya kulakukan tanpa sadar bahwa aku berpura-pura polos selama ini."

"Karena aku masih menganggap diriku sebagai anak kecil yang selalu dimanja. Anak yang merasa paling tersakiti padahal selama ini banyak orang berusaha menghiburku."

"Aku mengakuinya." -- Riku.

"Ada apa?" tanya Tenn menaruh cangkir yang telah kosong itu di atas meja. "Kenapa kau merasa gelisah?" 

"Kenapa Tenn-nii pikir aku gelisah?" -- Riku

"Entahlah." Ia menempelkan punggung tangannya pada pipi orang di sebelahnya. "Apa kau sedang sakit?" tanyanya memeriksa.

Si surai merah menggeleng. Permata crimsonnya sempat menyendu sebelum akhirnya ia bertanya, "Bolehkah aku bersandar padamu?"

"Huh? Aku tidak mempermasalahkannya," balas Tenn. Sepertinya ia berusaha menghindari kalimat yang mengatakan bahwa ia tidak keberatan secara langsung. Benar-benar tsundere.

"Gomenasai Tenn-nii..." Riku menyandarkan kepalanya pada bahu sang kakak. Kelopak matanya terpejam dan ia mengulas senyum yang jelas sekali berkesan sendu.

"Ada apa? Kau yang seperti ini pasti karena banyak pikiran, gelisah, atau sedang sakit." -- Tenn.

"Aku tidak tau. Mungkin aku gelisah?" ujarnya. Di balik kelopak matanya yang terpejam, perlahan genangan air muncul dan jatuh keluar menjadi bulir-bulir air. Senyuman itu masih dipertahankannya. "Aku sangat lelah...," keluhnya lirih.

"Riku?" Tenn memanggilnya. Ia juga mengganti posisinya untuk mendekap tubuh rapuh itu. Dapat ia rasakan perasaan gelisah yang memenuhi dirinya. Sesekali ia menepuk-nepuk punggung adiknya. "Aku baik-baik saja dan kau juga akan baik-baik saja."

Kehangatan yang mendekap tubuhnya membuatnya terhanyut. Ia membenamkan kepalanya pada pundak kakaknya. "Aku ingin mengatakan banyak 'terima kasih' dan 'maaf' pada Tenn-nii..."

"Kau bisa mengatakannya setiap hari..." Lirihan dan air mata adiknya seringkali keluar. Bahkan itu bisa menjadi sangat parah kala adiknya berada di kondisi terburuk. Tangisan dalam diam seakan tidak bisa berteriak menandakan bahwa ia benar-benar terluka. "Beban pikiran itu sangat tidak baik untuk asmamu."

Tenn melepas pelukannya agar bisa menangkup wajah adiknya. "Riku masih saja cengeng ya?" godanya. Ia pun mengusap air mata tersebut. "Apa kau tidak ada niatan kembali ke industri hiburan?" tanya Tenn.

"..."

"IDOLiSH7 tidak akan ada di zaman ini jika kau terus melarikan diri...."

"Jika kita tetap sama maka masa lalu akan kembali terulang. Apakah Tenn-nii sebegitu inginnya hubungan kita kembali menjadi rival saja seperti dulu?"

"Aku tidak mengulang masa lalu," ujar si surai baby pink dengan tegas. Ia menatap permata crimson yang kini memandangnya dengan kosong. "Aku merencanakan masa depan."

"Aku juga. Aku sudah memikirkannya baik-baik," begitu balasnya. Ia tersenyum dengan tatapan kosong. Inilah salah satu ciri jika adiknya tidak jujur.

"Riku..." Tenn memanggil nama adiknya. Ia menyatukan kening mereka. "Aku tidak peduli dengan pikiranmu. Tetapi jangan berharap aku akan melepaskanmu," ujarnya.

Hal itu membuat si surai merah sedikit tersentak. Sorot matanya kembali dan perasaan lega mulai memenuhi dirinya. "Itulah jawaban yang kuinginkan."

"Lalu apa tidak masalah Tenn-nii tidak bersama member Trigger?" tanyanya mengalihkan topik. Ia kembali mengusap matanya yang terasa sembab.

"Aku diusir leader Trigger," jawabnya melirikkan matanya ke samping. Mungkin kedengarannya begitu, tapi bisa saja Yaotome Gaku sebagai leader Trigger mempunyai maksut tertentu kan.

-- sisi Gaku --

*hatchuu

"Apa kau terkena flu, Gaku?"

"Tidak... Sepertinya ada seseorang sedang membicarakanku?"

-- sisi Tenn & Riku --

Si surai merah bertanya kembali, "Apa tidak ada yang terjadi selama 3 tahun ini?" Karena Iori ada di sisinya selama ini  mungkin semua ancaman sudah teratasi? 'Yang mengacaukan aliran waktu adalah Iori. Tapi dia juga berbahaya.'

Tenn menggeleng. "Aku hanya bekerja seperti biasa," jawabnya. Ia dapat melihat ekspresi adiknya yang sedikit lega.

"Aku juga menjalani hariku dengan normal. Iori yang membantuku beradaptasi. Dibalik obsesinya, Iori selalu mendukungku dan menjaga perasaanku sehingga tingkat kambuhku menurun," ungkapnya. Awalnya Riku enggan mengakuinya tapi memang dirinya terbantu berkat kehadiran Iori.

"Nee.. Tenn-nii..." Riku menutup wajahnya dan suaranya pun semakin pelan. Punggungnya bergerak naik turun berusaha mengatur nafasnya. "Aku bingung...." Ketika ia mencoba mengulas seluruh kenangannya, semakin ia yakin bahwa dirinya tidak bisa membenci Iori. "Kuharap Tenn-nii tau," lirihnya.

"Aku tau jika Izumi Iori berhasil merebut tempatku," ujarnya. Raut wajah datar kembali ditunjukkannya. Ia menekan dadanya sendiri merasakan sesuatu yang perlahan seperti menusuknya. 'Kenyataan itu sangat kejam bagiku,' benaknya. Ia menarik nafas panjang berusaha menetralkan emosinya.

"Aku merasa kesal..." -- Tenn

Riku menyingkirkan tangan yang menutupi wajahnya. Ia dapat melihat raut wajah tenang milik kakaknya. Namun ketenangan itu membuatnya merasa takut. 'Ah... Aku membuatnya sangat marah...' Kini manik amaranth pink itu tidak menatapnya dengan lembut. "Tentu saja karena aku mengecewakanmu..."

"Aku adalah orang yang tidak tau diri, yang bahkan ragu untuk berpihak pada kakakku sendiri atau kepada orang lain." -- Riku

Mengepalkan telapak tangannya dengan erat, Tenn menatap adiknya dengan dingin. Karena kekecewaan itulah, satu kalimat berhasil lolos dari bibirnya, "Kau yang terburuk, Nanase Riku." Entahlah, hari ini emosinya mudah sekali tersulut.

Perkataan itu berhasil membuatnya membisu. Suaranya seakan tertahan di tenggorokan. Ia merasa jantungnya seakan berpacu dengan tidak normal. Kedua matanya bergetar hebat.

"Padahal aku telah mencurahkan banyak perhatian untuk merawatmu sedari kecil yang sakit-sakitan. Akulah yang mengorbankan kasih sayang orang tua kita demi kau dan salah satu alasannya karena aku menukarkan diri demi biaya pengobatanmu.

Apa kau tau bagaimana perasaanku ketika adik yang kurawat mati-matian naik ke atas panggung dan mencoba mengejarku?

Aku yang berusaha menjaga perasaan adik kecilku mati-matian, namun akhirnya aku dibuang?

Apa kau tau bagaimana perasaanku selama ini?"

'Aku tidak membuangmu Tenn-nii...'

Ini buruk karena emosinya seperti akan meledak. Pundaknya naik turun berusaha menahan amarah yang memuncak. Namun biarlah, dirinya sudah lelah untuk berpura-pura sabar. "APA KAU MENGERTI BAGAIMANA PERASAANKU RIKU!?" bentaknya.

"JAWAB AKU!" -- Tenn.

Si surai merah menunduk. Nafasnya mulai tersengal-sengal dan genangan air pun kembali tercipta di matanya. Riku hanya bisa menggeleng sekali. Bahkan kata maaf pun sulit diucapkan.

"BUKAN CUMA KAMU YANG BISA MERASA TERSAKITI! ITULAH SEBABNYA KAU YANG--" Tenn menghentikan kalimatnya. Ia yang paling tau jika perkataannya sangat kejam. Tapi rasa kesal dan kecewa itu tidak bisa dihilangkan begitu saja. Tenn marah pada Riku, itu adalah fakta. "Sialan!" Ia berdiri dari duduknya. "Aku pergi." Ia berkata demikian dengan nada dingin.

'Tidak, tunggu....' Suaranya masih tertahan di tenggorokan. Nafasnya semakin tak beraturan. Perkataan kakaknya tidak salah, hanya saja itu membuatnya semakin merasa bersalah. Dari posisinya ia dapat mengetahui jika kakaknya keluar meninggalkannya. Padahal udaranya sedingin ini, namun bulir-bulir keringat mulai menghiasi wajahnya.

'Apa Tenn-nii tidak akan kembali?'

"TIDAK BISA." Riku memegang benda di sekitarnya untuk menjadikannya penumpu. Ia berusaha berdiri dari duduknya dan melangkahkan kakinya. "Hah... Hah... A-aku... sangat... egois..."

'Setelah semuanya aku masih bergantung padanya...'

Ia menekan dadanya dengan kuat berusaha mengatur nafasnya yang terengah-engah. Tanpa mempedulikan bagaimana keadaan tubuhnya saat ini, Riku langsung berlari keluar dari apartemen.

Melangkahkan kakinya dengan cepat, Tenn meninggalkan apartemen tempat di mana adiknya tinggal. Ia berulang kali menarik nafas panjang sembari merasakan dinginnya salju yang menjatuhi dirinya. "Pada akhirnya aku mengatakan hal yang kejam lagi," gumamnya menatap langit malam yang suram.

Menggelengkan kepalanya, Tenn menghentikan langkahnya. "Tidak boleh begini, aku harus kembali--"

"--nii"

Samar-samar ia mendengar suara. Tenn langsung berbalik dan ia dapat menangkap visual adiknya.

"Tunggu Tenn-nii!"

Riku berhenti berlari ketika jarak diantara keduanya tidak terlalu jauh. Ia menjadikan kedua lututnya sebagai penopang. "Hah.. Hah.. Ja-jangan... hah.. pergi..." Kelopak matanya menyipit dan sesekali pendangannya memburam. Ia berusaha meraih kakaknya.

- Tenn POV -

Sepertinya aku mendengar suara Riku?

Benar saja, saat aku menoleh aku menemukan adikku yang tengah berlari menyusulku. Apa dia bodoh? Ini sedang turun salju dan dia keluar tanpa memakai mantel tebal?

Padahal dialah yang memancingku marah. Dia sendirilah yang berlari mengejarku. Tetapi aku tidak bisa membiarkannya terlalu lama di luar.

"Hah.. Hah.. Ja-jangan... hah.. pergi..."

Riku mengulurkan tangannya padaku. Dia ini memang tidak bisa menyembunyikan perasaannya ya? Dia tidak ingin berpisah denganku, jadi untuk apa dia membuatku marah?

Dengan segera aku melangkahkan kaki menuju padanya. Aku berniat meraih tangannya itu sebelum akhirnya Riku jatuh ke depan.

Dalam seperkian detik waktu seakan melambat. Dengan tergesa-gesa aku menangkap tubuhnya sebelum ambruk.

"Ri-Riku?"

Kala tanganku menopang tubuhnya, dapat kurasakan kulitnya yang menjadi sangat dingin dan tubuhnya bergetar hebat. Warna bibirnya sangat pucat. Nafasnya yang terengah-engah dan ia mulai terbatuk-batuk.

"Riku--"

- Tenn POV End -

"Go-gomena--" Dengan suara lirih si surai merah berusaha untuk berbicara. Namun batuk terus mengganggunya untuk berucap. Ia harus berbicara supaya tidak terjadi kesalahpahaman. "Ja-jangan... hah.. hah.. pergi..."

"Diamlah!" Tenn dengan segera melepas mantel yang masih dikenakannya dan membalutkannya pada tubuh Riku. "Aku tidak akan pergi. Jadi atur nafasmu..."

Air mata mulai membanjiri wajahnya. "Hiks... Tenn-nii..." Riku memegang tangan kakaknya dengan erat seakan tidak ingin melepasnya.

"Ya, ayo kita pulang bersama."

.
.
.

Jam menunjukkan tengah malam. Setelah meyakinkan Riku bahwa ia tidak akan ke mana-mana, Tenn kembali membalut tubuh yang menggigil itu dengan selimut. Wajah Riku semakin pucat dan frekuensi batuknya semakin parah.

Dia tidak tau rumah sakit terdekat dan di jam segini tidak mungkin ada taksi. Membawa adiknya dengan kondisi seperti ini bisa sangat berbahaya. "Gunakan inhalermu Riku," suruhnya.

Dengan terburu-buru ia menuju pantry dan kembali dengan membawa segelas air hangat.

*uhuk-uhuk

"Tenn..nii..

Meneguk air itu sedikit demi sedikit, Riku berharap asmanya segera mereda. Karena ia merasa seperti tercekik tiap kali penyakitnya kambuh. "Ukh.. Aku benci ini..."

"Di mana rumah sakit terdekat?" tanya Tenn mengusap punggung itu naik turun.

Namun si surai merah hanya menggeleng. "Aku baik-baik saja..." 

"Kau tidak baik-baik saja," ujar Tenn mengusap punggung tangan adiknya yang terasa dingin. Alisnya tertekuk sehingga kerutan tercipta di dahinya. "Orang bodoh mana yang keluar tanpa memakai mantel?"

"Gomenasai," sesal Riku menyembunyikan wajahnya. Ia mengangkat tangan kirinya dan memperhatikan aksesori yang telah menemaninya selama 3 tahun. Sebuah gelang yang mengingatkannya bahwa Nanase Tenn masih hidup. "Memikirkannya kembali semakin membuatku tidak percaya."

"Tentang apa?"

"Para fans mengenalmu sebagai NANASE Tenn dan bukan KUJO Tenn," jawabnya tersenyum kecil. Entah kenapa ia merasa senang karena satu keinginannya di masa lalu terwujud.

"Aku lebih suka hidup dengan marga daripada tanpa marga," balasnya mengingat kehidupan sekolahnya, di mana ia dikenal sebagai siswa tidak bermarga. "Apa kau sudah tidak takut denganku huh?" tanya Tenn dengan cepat melepas gelang di tangan adiknya.

"W-wah?! Kembalikan Tenn-nii!!" marahnya berusaha meraih barang miliknya yang diambil kakaknya dengan begitu saja. Namun apa daya seseorang yang sedang sakit, tentu ia kalah jika beradu dengan kakaknya. "Tenn-nii kembalikan....," lirihnya berwajah sendu.

Si surai baby pink ini mengangkat tangannya tinggi, supaya adiknya tak mampu merebut barang itu kembali. Melihat ekspresi adiknya yang seakan ingin memangis bak anak kecil yang direbut mainannya, Tenn berucap, "Ini hanya sebuah barang, kenapa kau ingin menangis?"

Riku memeluk lututnya sendiri sembari menundukkan kepala. Raut wajah sendu tak luput darinya. "Barang itu berharga karena Tenn-nii yang memberikannya padaku...," gumamnya.

"Meskipun itu hanya sebuah barang?" -- Tenn

"Iya... Jadi tolong kembalikan Tenn-nii..." -- Riku

Senyum kecil tercipta di wajahnya. "Maaf aku hanya berniat mengusilimu," ujarnya mengulurkan tangannya sembari menyodorkan gelang milik adiknya itu.

Perlahan wajahnya mulai terangkat dan ia mengambil kembali gelang miliknya. Manik crimsonnya sedikit melebar kala baru mendapati aksesori serupa yang dikenakan kakaknya. "Yokatta..."

Mempertahankan senyuman di wajahnya, Riku menggenggam gelang bersimbol alto itu dindekat dadanya. "Tenn-nii kau adalah segalanya untukku, baik itu ratusan tahun yang lalu maupun saat ini." Kelopak matanya terpejam dan beberapa bulir air mata menjatuhi pipinya. "Aku juga sudah menyerah dengan hidupku yang berantakan."

"Kehidupan kita yang terus berulang adalah hukuman. Hukuman karena aku berupaya untuk tetap hidup ketika itu tidak tertulis dalam takdirku." -- Riku

Tenn terus menyimak perkataan adiknya tanpa  berucap satu pun kata. Andai saja ia juga memiliki memori atas kehidupannya yang dulu, dia pasti akan seperti Riku saat ini.

Putus asa.

Tentu seseorang ingin tetap hidup kan? Terlebih jika ia memiliki seseorang yang berharga. Pasti membutuhkan keberanian yang besar untuk meninggal seseorang tersebut.

Walaupun itu sudah menjadi takdirmu, apa salahnya jika kita berharap? Kenapa seseorang harus melewati takdir sekejam itu? Sepanjang hidupnya ditemani oleh penyakit, bukankah itu sudah cukup?

Tenn mengepalkan telapak tangannya dengan erat. "Lalu kenapa?" tanyanya menatap lurus pada sosok sang adik yang mungkin saja siap untuk menghilang jika dia menginginkannya. "Kau berharap aku membuangmu?"

Permata crimson itu terlihat redup, ia menatap kakaknya dengan sendu. Tanpa ia sadari sebelah maniknya telah berubah, menjadi cerminan dari manik amaranth pink milik kakaknya yang menampilkan warna kekuningan dengan jarum jam yang terus bergerak. "Tenn-nii jangan menukarkan nyawamu demi orang lain."

"Tentu saja aku tidak sudi menyerahkan nyawaku demi orang lain," ucapnya tersenyum miring. Ia memangkuk wajah adiknya, lalu kembali berkata, "Tidak jika itu adalah belahan nyawaku." Apa yang telah rusak tidak bisa diperbaiki. Jadi kerusakan itu hanya bisa dicegah dan dihentikan.

"Jangan lupa bahwa aku tidak akan melepaskanmu. Untuk itulah aku berjanji untuk menemukanmu."

Manik kuningnya seakan menyala, memperlihatkan tekadnya yang tidak akan pernah meredup. Sepasang clock eyes dengan tampilan yang berbanding terbalik. Milik sang adik memang sudah rusak tapi miliknya masih utuh.

"Kau lah yang memilihku Riku. Jadi kau harus menerima konsekuesinya."

( pinterest )

"Mana mungkin aku melepaskan harta yang telah kujaga selama ini?"

.
.
.

- To be continue -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro