Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[4] Orientasi Diri

Mau sampai kapan pun, sosok yang tergolek lemah itu tetaplah menarik. Bekas luka di atas alis dan pelipisnya menambah pesona tersendiri. Melody masih saja mengerjap-ngerjap.

"Enak banget jadi lo, gak perlu takut foundation luntur," gumamnya kala mengabsen garis wajah Al.

Gadis itu menggeleng, mengusir kalimat tak penting yang mampir. Ia memundurkan badan lalu merapikan duduknya. Kain setengah basah pun ia letakkan kembali ke dalam baskom.

Melody mengelap tangannya ke celana sebelum mengusap wajah gusar. Embusan napas lolos begitu saja saat ia mendongak, bersandar pada kursi tua yang dipinjam dari perlengkapan. Hari masih panjang dan ia mesti sabar menanti, menunggu pengganggu tersebut untuk bangkit dan membebaskannya.

Terlampau bosan, ia menegapkan tubuh dan berusaha meraih novelnya. Susah payah Melody lakukan tanpa enyah sedikit pun dari tempat duduk. Maklum, tangan panjangnya tak dapat menjangkau nakas--tempat ia meletakkan buku--dengan mudah.

Mahasiswi tahun ketiga itu kembali membaca halaman-halaman buku yang sempat ia tangguhkan. Sesekali ia melirik Al, barangkali ada pergerakan yang ia tunggu-tunggu. Melody berdecak dan memandang remeh, masih tak habis pikir dengan kapasitas laki-laki tersebut.

"Ganteng doang, tapi push up dikit langsung pingsan," ejeknya sambil menggeleng.

Tentu Melody masih ingat bagaimana para senior menyiksa angkatannya di hari pertama. Tidak hanya triple kill--push up, sit up dan squat jump--ia dan kawan-kawannya juga harus berlari mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh kali. Mereka menghabiskan waktu sehari penuh hanya untuk membayar sanksi. Disiplin dan solidaritas di fakultasnya sungguh mendarah daging.

Meski banyak yang mengumpat sana-sini dan berakhir tumbang, Melody tetap menikmatinya. Ia hanya merapalkan doa agar suatu saat bisa membalas dendam ke adik-adik tingkat. Sampai akhirnya di sinilah Melody sekarang. Menjadi salah satu panitia killer yang beralih fungsi menjadi penunggu orang sakit.

Bosan, gadis itu berniat beranjak. Akan tetapi, kakinya membeku saat bajunya ditarik dari samping.

"Woi!" serunya seraya mengelus dada. Melody menghela napas lalu kembali duduk, mengamati gerak-gerik Al. "Ada yang lo butuhin?"

Mata laki-laki itu masih berkedip pelan, menyesuaikan cahaya terang yang menabrak masuk korneanya. Ia melepaskan tangan Melody dan meremas kasur kuat-kuat, menjadikannya tumpuan agar bisa bangkit dari tidur. Terlampau peka, Melody berdiri 'tuk membantunya hingga duduk dengan tegap. Ia bahkan menata bantal yang disandarkan pada tembok supaya Al bisa bersantai.

"Mau minum?" tawarnya lembut.

Al menggeleng. Pandangannya masih kosong dan linglung. Melody kembali duduk dan merapikan selimut.

Namun, Al buru-buru menyibak benda tersebut, seakan sudah benar-benar sadar dan tahu harus berbuat apa. Laki-laki itu meraba seluruh tubuhnya tanpa terkecuali. Ia menyingsingkan lengan baju dan melipat celananya sampai lutut.

"Heh! Mesum ya lo!"

Melody berteriak hingga melengking. Ia segera berbalik badan dan menutup mata. Sial, umpatnya dalam hati. Mata sucinya telah dinodai oleh betis nan putih dan minim bulu.

"Ada balsem?"

Melody menelan air liurnya. "A-ada."

Gadis itu bergeser sebanyak dua langkah ke kanan tanpa menghadap ke arah Al. Ia segera mencari obat yang diminta dan memberikannya pada laki-laki itu. "Nih!"

Al sontak memundurkan badan. Hampir saja balsem itu mengenai wajahnya. Salahkan gadis itu karena menyodorkan sesuatu tanpa melihat.

"Makasih," ucapnya tak lupa, masih datar dan ala kadarnya.

Melody menarik kursi di sampingnya dan duduk dengan kikuk. Ia merapatkan kedua kakinya dan mengentak-entak kecil. Jari-jarinya menari di atas paha bak menekan tuts piano. Ia sungguh canggung dengan situasi ini.

"Lo ngapain masih di sini?" tanya Al polos sambil membalurkan balsem ke siku, pergelangan tangan, betis dan mata kaki.

"Gue dihukum buat jagain lo."

Al mengangguk, meski hanya punggung Melody yang melihatnya. "Selesai."

"Hah?"

"Balsemnya."

"Ooh."

Gadis itu bersyukur lalu memberanikan diri untuk berbalik. Ia melirik sebentar, memastikan bahwa laki-laki itu telah memakai pakaiannya dengan pantas. Ia menghela napas lega saat berhasil melihat celana panjang Al.

"Ehm." Melody berdeham saat mengambil alih balsem tersebut. "Lo udah gak apa-apa?"

Lagi-lagi Al mengangguk. "Dari tadi juga gak apa-apa," ungkapnya.

Melody terkekeh dan mengejek, "Saking gak pa-pa, sampai pingsan dan nyusahin banyak orang."

Al menatap Melody dengan serius, tidak terima atas kalimat yang terucap dari mulut senior itu. Ia mengeluarkan sebuah amplop yang ada di saku celana dan melemparnya ke pangkuan Melody. Seringainya kembali muncul. Kali ini diiringi dengan gelengan tak percaya.

"Apa ini?" tanya Melody dengan nada tinggi.

Al menarik napas sebelum menjelaskan, "Gue gak boleh ikut kegiatan fisik, terlebih berbau outdoor kayak tadi. Lari aja gak bisa, apalagi push up dan tetek bengeknya. Belum sampai kertas itu ke tangan pendamping, kalian udah koar-koar sambil ngangkat megafon dengan bangganya."

Melody membuka amplop berisi surat dokter dari salah satu rumah sakit swasta. Ia membacanya sekilas lalu menutupnya kembali. Ia mengalihkan pandangan dan menggaruk tengkuk. Hatinya berkecamuk tak keruan.

"Sori, kita--"

"Lain kali, tanya dulu kondisi peserta kalian. Jangan asal nyuruh dan setelah makan korban ... mulai meremehkan."

Garis tawa yang semula muncul itu luntur, berganti sendu dan rasa bersalah. Melody menggigit bibir hingga tertunduk. Ia menggenggam surat tersebut kuat-kuat. Mulai detik ini, ia kehilangan mukanya.

Rumi menggigit kukunya panik. Ia tidak pernah absen melakukan hal itu bila putra semata wayangnya mendapatkan perawatan. Kadang, ia merem-melek sendiri saking takutnya.

"Ma?"

"Hem?" jawab Rumi secepat kilat.

"Al gak apa-apa."

Wanita itu merekahkan senyumnya. Suatu kalimat paten yang keluar dari mulut Al selalu berhasil mengusir gundah. Ia menggenggam tangan anaknya erat, mencoba menguatkan.

Al menikmati belaian sang ibu. Tubuhnya kembali tenang setelah limbung dan menabrak gerbang rumah. Kesialannya hari ini sungguh berlipat ganda. Alhasil, ia berakhir di rumah sakit langganannya sejak kecil.

Pandangan laki-laki itu beralih pada aksi dokter yang mulai menjahit kepalanya tanpa bius lokal. Jarum cutting 3.0 dan benang polipropilene dimainkan dengan mahir. Rumi sudah berbalik badan dan mengatup mulut.

Al tak kuasa menahan tawanya. Meski telah menyaksikan kejadian serupa berulang kali, Rumi tetap geli, takut, dan tidak tega saat melihatnya. Hal yang membuat wanita itu terlihat menggemaskan di umur yang tak lagi muda.

"Menikmati banget kayaknya, Al," ujar Fahri, dokter yang merawatnya dalam beberapa minggu terakhir.

"Apanya, Dok? Jahitannya atau--"

"Ya mamamu, lah," potong dokter tersebut.

Al mengedipkan mata sebagai pengganti anggukan. "Mama Al imut, ya, Dok?"

Dokter Fahri mengangguk tanpa ragu. "Untuk seumur dia emang juaranya."

Al tersenyum mengiakan. Apa pun hal yang menyangkut ibunya akan berbuah baik tanpa bantah. Sosoknya lembut, tidak pernah memakai nada tinggi. Pribadinya juga sabar, meski Al sukar diatur pada masanya.

"Selesai!" seru dr. Fahri sembari menyerahkan peralatannya pada perawat, sekaligus melepas sarung tangan untuk dibuang.

Rumi mengusap wajah lalu meneruskannya ke area baju dan rok, sebuah kebiasaan yang entah apa tujuannya. Ia segera berbalik dan melihat pelipis putranya yang telah dilapisi kasa. Wanita itu mengacungkan jempol pada Al saat sang anak memberi kedipan mata.

"Terima kasih, Dok," ucap Rumi sambil membungkuk.

"Sama-sama, jaga kesehatan." Fahri beranjak dan menepuk pundak Al. "Kamu sudah hafal 'kan harus kapan ke sini lagi dan apa saja pantangannya?"

Al tersenyum bangga dan menaikkan kedua alisnya. Dokter Fahri hanya tersenyum tanpa menimpali. Ia memilih menghampiri Rumi yang kembali bersikap anggun dengan kedua tangan di depan perut.

"Karena tidak bisa merasakan sakit, hal utama yang harus Al lakukan adalah menghindari infeksi. Ia harus selalu berhati-hati," terangnya dengan suara pelan agar Al tidak mendengar apa pun.

"Baik, Dok."

Rumi mengembuskan napas panjang setelah para petugas medis itu mengucap pamit. Ia kembali duduk dan meraih tangan kanan Al yang bebas infus, mencium dan menggenggam erat. Mata laki-laki itu bergerak liar berkat aksi ibunya.

"Ma?"

"Hem?" Rumi menoleh ke arah anaknya. Ia biarkan pipinya bersandar pada punggung tangan Al.

Anak laki-laki itu tersenyum licik. "Ditembak Dokter Fahri, ya?"

"Hus!"

Al tertawa pelan, berusaha menutupi beberapa keraguan. Sebuah senyuman ia tarik paksa saat ibunya kembali mengeluarkan lawakan. Batinnya mengatakan, itu semua manipulatif.

Ia tahu, ibunya menyimpan segudang takut, terutama takut akan kehilangan. Namun, Al tidak dapat berkutik. Ia tak memiliki alarm apa pun. Sewaktu-waktu ia bisa hilang ditelan angin tanpa merasakan apa-apa.

Al hanya berharap, ia segera menemukan rasa sakit yang akan memanusiakan dirinya.

Day 4
18 April 2020

Re-Pub
5 Februari 2021

2nd Re-Pub
2 Januari 2022

Edisi mata Al yang berbicara 😎

Marah

Biasa

Mikir

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro