Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[23] Sadar

Tidak ada suara.

Salah satu ciri khas tempat ini. Penghuninya menjatuhkan diri ke alam mimpi, berharap kabar baik akan datang saat mereka terbangun. Laki-laki yang masih terjaga pun turut terkantuk-kantuk. Susah payah ia menyangga dagu.

Rahman mengusap wajahnya lalu berjalan ke kamar mandi. Beruntunglah kamar VIP ini memfasilitasinya. Ia lekas membasuh wajah dan berkumur, menyegarkan mulut. Lewat cermin, ia menatap raut yang tampak berantakan berkat begadang semalam suntuk.

Lelaki hampir setengah abad itu pun beranjak mengambil sebuah selimut yang ia bawa dari rumah. Benda tersebut masih teronggok di sofa, tanpa dilipat oleh pemakai sebelumnya--Melody. Gadis itu telah hilang tanpa pamit.

Tangan Rahman terangkat, menutup separuh badan Rumi menggunakan selimut hello kitty milik putrinya. Dingin AC menuntunnya untuk melakukan hal tersebut. Wanita itu tertidur dengan posisi duduk, menggenggam tangan sang putra yang belum bebas dari infus. Tak seinci pun mereka terpisah.

"Berdasarkan CT Scan dan MRI, Al mengalami pendarahan otak."

Kepala Al diusap lembut saat penjelasan dokter terngiang. Anak itu terpejam dengan damai. Dadanya naik dan turun dengan teratur. Rona pucat yang melekat itu perlahan memudar. Kata dr. Fahri, mereka hanya perlu menunggu Al membuka mata. Semua masalah waktu.

Rahman menggeleng. Bayangan saat Al tiba-tiba mengejang di mobil membuatnya bergidik. Suara panik dan isakan yang mengiringi pun kembali muncul. Tidak ada yang tenang saat itu. Malam yang dipersiapkan dengan matang menjadi malapetaka dalam sekejap.

"Apakah sebelumnya Al mengalami kecelakaan?"

Fakta yang terlambat mereka ketahui itu memukul semua orang, terutama Melody. Hanya gadis itu yang mengaku sebagai saksi. Ia lantas bercerita, bagaimana Al tersungkur menghantam kursi trotoar tanpa mengeluarkan darah setetes pun. Semua terlontar dari mulutnya yang bergetar.

Netra pekat Rahman menatap teduhnya lelap Al. Perlahan, ia mendekatkan diri. Meski ragu, ia bubuhkan kecupan penuh sayang di kening anak itu.

Ia pun tersenyum seraya merapikan rambut Al. "Cepet bangun, ya, Jagoan."

Melody mengentak-entakkan kaki. Tangannya masih terlipat di depan dada dengan kesal. Bibir bawahnya pun tergigit tanpa sadar.

Berulang kali ia menengok jam tangan resah. Pandangannya mengedar pada lalu lalang mahasiswa berjubah putih. Tajam, ia menatap sinis setiap mata yang memandangnya aneh.

Tentu bukan hal lazim melihat almamater fakultas lain mejeng di tempat parkir. Tampang yang tak santai turut menyita perhatian. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyadari antek-antek yang dibawa oleh Melody.

"Sial, lama banget sih, Mel!" seru Idon dari kejauhan.

"Tai! Sabarlah."

Entah berapa kali mereka saling umpat. Harusnya urusan mereka telah usai setengah jam yang lalu. Namun, batang hidung orang yang ia cari tak segera menampakkan diri.

Melody masih hafal. Bukan, lebih tepatnya ia masih menyimpan jadwal sang mantan--baginya. Repot-repot berdiri di tempat penuh mobil itu bukanlah tanpa alasan.

"Mel?"

Sang empunya nama menoleh secepat kilat. Suara ini sangat dikenalnya. Amarah Melody kembali terdidih saat Eren menghampirinya tanpa dosa. Bahkan senyum lelaki itu telah merekah sempurna.

"Aku tau kamu masih peduli sama aku. Iya 'kan? Mel--"

"Nih!"

Satu kepalan Melody berhasil melayang ke perut lelaki itu. Sangat tepat sasaran sampai mampu memukul Eren mundur. Ia lekas terkekeh saat dirasa tangannya kebas. Melody takjub dengan kemampuan barunya. Semua berkat ajaran Idon dan pengorbanan Vigo, yang mau ia jadikan sebagai kelinci percobaan.

"Apa-apaan sih, Mel!"

"Kenapa? Kurang, ya?"

Tak perlu menunggu jawaban, Melody menghadiahi Eren dengan tendangan tepat di lututnya. Tak ayal laki-laki itu jatuh hingga menabrak mobil di belakangnya.

"Shit!"

Umpatan tersebut cukup memanggil perhatian mahasiswa yang datang dan pulang. Namun, tidak satu pun yang berinisiatif mendekat. Melody kembali tertawa dengan tangan menutup mulut. Miris, pikirnya.

Eren pun bangkit dengan perih yang bertubi. Mulai dari perut, lutut, hingga pantat. Tak lupa ia membersihkan celananya dari debu yang menempel.

Laki-laki itu berjalan cepat menghampiri Melody. Tangannya telah terangkat dan bersiap mendarat di pipi sang pujaan. Alis tebalnya terangkat dan bertaut kesal. Rautnya telah berubah merah padam.

"Cewek sial--"

"Eits!"

Melody mendongak, melihat Idon yang dengan santainya menahan tangan Eren. Genggaman itu cukup kuat hingga sang lawan pun bergeming. Di sisi lain, Bandi dan Vigo turut berjaga. Sedetik saja Eren berulah, kedua singa itu akan siap menerkam.

Melody tersenyum dan berlagak mengecup Idon dari jauh. Tak lupa juga mengedipkan satu matanya pada dua laki-laki di sisi kanan. Kali ini tak ada sumpah serapah yang keluar. Gadis itu lekas menyeringai dan berjinjit, mengimbangi tinggi Eren.

"Gue memang cukup sial karena harus membuang waktu buat cowok kayak lo."

Jarak napas Melody dan Eren kini tak lebih dari satu jengkal. Dengan sinisnya ia tak berkedip, menatap nyalang laki-laki yang telah lama menyampah di hatinya. Sepuluh detik kemudian, ia pun meludah ke lantai, nyaris menyentuh sepatu Eren.

"Breng--"

Idon melepaskan genggamannya. Vigo pun lekas beralih ke belakang Eren, mengikat kedua tangan lelaki itu dengan erat. Bandi yang tak sedang melakukan apa pun memilih menutupi dari samping.

"Lakuin apa yang lo mau, Mel," bisik Idon.

"Mana dulu?"

"Terserah."

Gadis itu mengangguk. Ia tersenyum manis sebelum meregangkan otot. Eren hanya bisa menelan ludah dan berusaha melepaskan diri. Sayangnya, tubuh Vigo jauh lebih besar darinya.

Tanpa sungkan, Melody mendaratkan tangannya ke pipi kanan Eren. Cukup kuat hingga suaranya mengisi keheningan tempat parkir.

"Ini balasan buat tamparan lo ke gue!"

Setelahnya, Melody menyeimbangkan tamparan di pipi kiri. Raut Eren pun memerah.

"Ini balasan buat hinaan lo ke temen-temen gue!"

Gadis itu menghabisi rahang Eren hingga empat kali. Kemudian, ia meminta kawan-kawannya untuk menjauh. Dengan tenaga yang tersisa, Melody mendorong lelaki itu hingga kembali membentur mobil. Amarahnya tak lagi terbendung. Ia menginjak kaki Eren dengan brutal.

"Dan ini balasan karena lo udah main-main sama nyawa Al!"

Eren memekik sekian detik. Ia lekas menutup mulut agar tidak ada yang mendekat dan melihat kemirisan ini. Idon yang menyadari lalu lalang mahasiswa menuju parkiran pun segera menarik tubuh Melody dan memberi isyarat kepada rekan lainnya.

Urusan selesai, mereka langsung enyah dari kampus tersebut. Berlama-lama di sana hanya akan menambah masalah. Urusan bisa kacau bila kemahasiswaan turun tangan.

Melody meminta Vigo untuk mengantarnya kembali ke rumah sakit. Ia sudah izin terkait absennya di rapat himpunan sore nanti.

"Makasih ya, Boys!" ucapnya setelah keluar dari mobil.

"Our pleasure, Bosku. Kalau ada apa-apa, jangan ragu buat ngubungin kita-kita. Inget, teknik itu satu, Mel."

"Alay lo, Go."

Laki-laki itu hanya terkekeh. Ia dan kedua kawan lainnya melambaikan tangan sebagai bentuk pamit. Melody tersenyum membalasnya.

Setelah mobil itu lenyap dari pandangan, Melody melanjutkan langkahnya menuju saat rawat Al. Kakinya seketika berlari kala sebuah pesan muncul di notifikasi.

Di mana, Mel? Al sadar.

Tidak ada standar yang dapat mengukur rasa bahagia Melody saat ini. Ia hanya meminta maaf saat tidak sengaja menabrak bahu orang lain. Umpatan dan hinaan yang mereka lontarkan bak angin lalu yang tak ia hiraukan. Tujuannya hanya satu, ruang rawat VIP yang ada di lantai dua.

Kakinya melemas saat tiba di ambang pintu. Ia mengatur napas kembang kempis yang tak keruan tersebut. Tidak lupa ia merapikan penampilannya mulai dari ujung rambut sampai mata kaki.

"Asalamualaikum."

"Wa alaikum salam," jawab Rahman dan Rumi kompak.

Melody berlari-lari kecil menuju ranjang pasien. Ia menatap wajah Al yang tak lagi menyeramkan seperti semalam. Senyum tipis lelaki itu kala melihatnya membuat Melody menghela napas lega. Refleks, ia mengusap kaki Al yang tertutup selimut putih.

"Mumpung kamu udah di sini, Papa sama Tante cari makan dulu, ya."

Melody mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya pada Al. Ia langsung mengambil alih tempat duduk yang semula Rumi tempati. Sejoli yang sebentar lagi akan mengikat janji itu telah hilang di balik pintu.

Air mata yang tak terencana itu turun begitu saja. Melody berhamburan memeluk tubuh yang masih dipenuhi kabel. Ia tumpahkan tangisnya pada dada bidang milik Al.

"Gue lega, lega banget … lega banget, Al."

Tangan Al yang tertancap jarum itu terangkat, mengusap rambut Melody yang dibiarkan terurai. Meski kaku, ia masih bisa melakukannya. Perlahan, gerakannya semakin cepat hingga mampu mengacak tatanan gadis itu.

"Al!"

Melody bangkit dan mengikat rambutnya asal. Ia memandang Al dengan kesal, tetapi juga khawatir. Ia tertegun, sebelum akhirnya meraih tangan kosong Al. Jari-jari mereka saling bertaut tanpa sela.

"Please, jangan terluka karena gue," pinta Melody lembut.

"Gue--"

Melody menyela dengan gelengan. "Gak ada pembelaan."

Al terdiam. Raut serius dari gadis itu memukul hasratnya untuk membuka mulut.

"Gue cuma izinin lo buat jatuh cinta, bukan jatuh sakit."

Melody mengeratkan genggamannya. Ia mengangkat dan menopangkan wajahnya di sana. Kedua netra anak adam itu saling tatap dengan tenang.

"Just stop, Al. Lo gak perlu jadi tameng buat gue. Lo bukan samsak tinju."

Cukup menohok. Al mengabsen kelam iris gadis itu sebelum tersenyum dan mengangguk. Tidak ada hal lain yang bisa ia suguhkan.

"Gue sayang sama lo."

Kalimat yang belum pernah Al dengar itu membuatnya berbunga. Kalau saja sakit ini tidak seberapa, pasti langsung sembuh hanya dengan mendengar tulus suara Melody. Ia pun mengangguk dan mengusap pipi kakaknya lembut.

"Gue juga sayang sama lo, Kak."

Day 23
7 Mei 2020

Re-Pub
23 Maret 2021

2nd Re-Pub
12 Januari 2022

Ada yang nungguin?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro