Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[2] Berani Bertindak

Ketegangan dua insan yang tidak lekang menatap satu sama lain itu belumlah usai. Tak sedikit yang beringsut-ingsut, senggol lalu berbisik, seakan bertaruh siapa pemenangnya.

Laki-laki yang belum genap satu hari menginjak lantai fakultas itu menggaruk tengkuk. Ia mengabsen barisan kakak tingkat di belakang gadis yang melotot tajam. Alis hitam lebat Al tampak naik-turun meremehkan. Bola matanya berputar malas. Ia pun mendengkus.

"Kenapa saya harus melakukannya? Kakak pikir tugas sebanyak itu bisa dilakukan dalam satu hari? Bukan, bukan satu hari, tapi sekian jam," ujar Al santai. Ia menggigit kukunya dan meludahkan ke kiri.

Ubun-ubun gadis itu lekas mendidih. Ia mundur satu langkah seraya mengepalkan tangan. Sebelum mengayun, dengan cepat salah seorang rekannya menahan dari belakang.

"Jangan, Mel," larangnya sambil menggeleng. Ia bahkan memejamkan mata erat, memohon dengan sangat.

"Tapi, Go--"

Vigo terus menggeleng, begitu pula kawan panitia yang lain. Tidak lucu jika masalah seperti ini mengundang kemahasiswaan untuk turun tangan. Sekeras apa pun pelayanan yang diberikan, mereka tetap patuh pada norma hukum yang mengatur.

Melody mengembuskan napas panjang. Ia menghempaskan tangannya lalu merapikan almamater. Ia pun mengangguk lalu kembali menyantap anak baru superbelagu yang sudah muncul di hari pertama tersebut.

"Bisa. Kalian bisa--"

"Enggak," potong Al datar.

"Bisa! Kalau kalian belum mencoba, dari mana kalian tau itu?" Melody berucap lantang, memastikan bahwa tidak hanya Al, melainkan seluruh mahasiswa baru di aula tersebut dapat mendengar jawabannya.

Al kembali tertawa receh. Ujung bibir sisi kirinya tertarik, menyeringai. Ia mengangkat bahu lalu menajamkan fokus pada senior yang kalah tinggi darinya.

Dahi laki-laki itu berkerut. Ia bubuhkan senyum manis saat mimik Melody hendak memakannya hidup-hidup. Mata minimalis dengan pipi penuh membuat gadis itu semakin menggemaskan. Terlebih alisnya yang tak sama rata bertaut membentuk jembatan gantung. Al cukup salah fokus.

Laki-laki itu membuang napas dan mendekatkan diri lagi. "Have the courage to say no. Have the courage to face the truth. Do the right thing because it is right."

Melody kian memicing saat bahasa kalbu itu mampir ke telinganya. Ia lantas berseru tanpa berpikir, "Hah?"

"These are the magic keys to living your life with integrity."

Mata gadis itu masih liar, mencari maksud anak baru yang tidak hanya belagu, tetapi juga sok bule. Akan tetapi, kalau dilihat dari raut muka dan perawakan, bisa dipastikan Al memang berdarah campuran. Rahang superproporsional, hidung tinggi dan alis lebat membuatnya nyaman 'tuk dipandang sepanjang hari. Ditambah dengan hawa dingin yang menyelimuti laki-laki itu menambah sensasi cool tersendiri.

"To the point!" gertak Melody. Ia kesal sebab tampak begitu bodoh di depan ratusan mahasiswa lain.

"Gak tau W. Clement Stone? Ck, kenapa harus heran?"

Melody menggigit bibir. Ia refleks mengangkat dagunya tanpa mengucap apa pun. Karena jujur, ia benar-benar tidak tahu. Otak ebinya terlalu kecil untuk menampung bahasa asing.

Hening, Al lantas mengedarkan pandangannya ke atas lalu berhenti tepat di depan Melody. Kini, jarak mereka tidak lebih dari lima senti.

"Tugas kayak gini cuma nunjukin kalau otak kalian itu padat ...."

Al kembali mendekati telinga Melody dan memandang anting berbentuk rantai yang dikenakan. Ia pun tersenyum kemudian berbisik, "Isinya gak jauh dari hal-hal struktural yang haus akan pengakuan kaum bawah."

Melody mengepal kuat hingga otot-otot tangannya terlihat. Sebisa mungkin ia menahan amarahnya, terlebih saat napas Al menggelitik telinga hingga ke tengkuk. Wajahnya merah padam tak keruan, besar hasrat untuk melayangkan sebuah tamparan di rahang kanan Al. Namun, ia menahannya dengan mencengkeram paha.

Selesai bersenang-senang, Al memundurkan tubuhnya dan berseru, "Kalian ingin kami berani bertindak, 'kan? Ini ... kalian sudah mendapatkannya, dari saya."

Laki-laki itu berjalan gontai. Bukan lelah, ia hanya malas setelah seharian disidang para senior. Meski tak ada sepatah kata yang ia hidangkan, telinganya tetap jenuh menerima kalimat-kalimat tersebut. Semuanya terdengar sama, hanya berbeda intonasi dan logat dari masing-masing orang.


"Sudah pulang, Al?"

Hanya anggukan yang menjawab sapaan hangat tersebut. Al melempar tasnya ke sembarang arah dan menghampiri sang ibu. Harum aroma masakan mengundang indra penciumannya untuk mendekat.

Al memeluk ibunya dari belakang. Tak lupa ia mencium pipi perempuan tersebut dari samping. Di umur yang hampir menginjak setengah abad, wanita yang melahirkannya itu tetap cantik dan minim kerutan.

"Masak apa, Ma?" ucapnya berbasa-basi, mengingat matanya sudah jelas melihat apa yang tersuguh di wajan.

"Terong balado kesukaanmu. Mandi dulu, gih."

"Ma--"

"Gak pakek nawar. Udah sana mandi! Bau!" ucap Rumi sambil menutup hidung.

Sang anak mendengkus. Ia kembali mencium pipi ibunya sebelum melepaskan pelukan. Ia beranjak mengambil tas yang telah ia campakkan, lalu naik ke kamar yang berada di lantai dua.

Ransel yang tak seberapa berat tersebut ia seret dengan malasnya. Tangga demi tangga Al jajaki dengan embusan napas yang berulang. Entah mengapa keheningan ini memanggil memori yang tak menyenangkan, walaupun di satu sisi relungnya ingin menolak.

Al meletakkan tasnya pada kapstok. Ia menghempaskan tubuh saat kasur telah di depan mata. Langit-langit kamar yang selama seminggu belum dibersihkan itu lantas menjelma menjadi layar ingatan.

"Kebetulan itu bullshit. Semua hal di dunia ini punya sebab musabab yang jelas. Sejarah dipelajari sejak kecil bukan tanpa alasan. Hal yang lo sebut struktural adalah pemegang peran yang penting. Tanpa mereka, lo gak akan bisa berdiri di sini."

Satu dari sekian kalimat yang menghardiknya kembali berputar. Satu per satu bayangan senior saat menghadang kepulangannya itu muncul bak pemutaran film.

Namun, Al tak dapat pungkiri bahwa satu-satunya gadis mesin yang berdiri di tengah merekalah yang menarik minat. Gaya bicaranya yang khas menuntun otak pemberontaknya untuk memutar haluan. Ia sedikit luluh saat suara lembut itu beradu dengan semilir angin. Tenang menenangkan.

Sadar, Al pun bangkit dari tidurnya. Ia menggeleng cepat dan mengusap wajahnya gusar. Laki-laki itu beranjak mendekati meja belajar dan duduk di kursi goyang favoritnya.

"Termo, termo," monolog Al sambil menggeledah kotak obat.

Ia tersenyum tipis saat berhasil menemukan benda yang dicari. Al lantas membuka penutupnya kemudian meletakkan ujung termometer di bawah lidah. Ia menutup mulut dan mendiamkannya.

Setelah berbunyi, Al mengeluarkan pengukur suhu tersebut. "Normal," ucapnya kala melihat angka 36,5.

Lelaki yang menyandarkan kepala itu mengangkat kedua kaki ke atas meja, menggoyangkan kursi ke kanan dan ke kiri. Sebuah kebiasaan saat ia tengah bosan atau melamunkan sesuatu.

Melody. Nama yang masih setia terngiang. Al pikir, ia telah menemukan motivasi baru di kampus swasta yang telah ia hindari selama ini. Berurusan dengan gadis itu agaknya akan masuk ke daftar kegiatan Al semenjak hari ini.

"Let's see!"

"Kalian boleh tegas ke mahasiswa baru, tapi semua ada batasan. Terlebih lo, Mel. Jangan sampai fakultas kena skors seperti tahun kemarin."

"Maaf, Bang."

Melody hanya bisa menggerutu dalam batin. Ia berulang kali mengumpat saat senior tahun keempat itu menegur seluruh panitia ospek. Apa lagi masalahnya, kalau bukan si cowok baru yang tengil dan sok berkelas tadi siang.

"Kalian boleh pulang."

Akhirnya, Melody pun menghela napas lega. Ia lekas melepas ikat rambut yang telah menyiksanya seharian. Ia biarkan rambut panjangnya jatuh terurai dan acak-acakan. Setidaknya, rasa pening sedikit berkurang karena perlakuan tersebut.

Senior yang memasukkan tangannya ke saku almamater berjalan mendekati Melody. Dengan sigap gadis itu membenahi duduknya lalu sedikit membungkuk, sebagai bentuk menghormati orang yang lebih tua. Laki-laki itu membalas dengan anggukan lalu duduk di samping Melody.

Ia menepuk bahu gadis itu pelan. "Santai, gue tau maksud lo."

Melody tersenyum sekilas. "Makasih, Bang Bim. Dan maaf, Mel tadi bablas."

Bima menggeleng, "Enggak. Vigo masih sempet nahan lo. It's OK."

Raut wajah Melody berubah sendu. Ia merasa bersalah karena memancing kedatangan senior di hari pertama. Pandangan rekan-rekannya yang lain penuh isyarat kebencian. Tentu tidak ada yang menginginkan hari berjalan seintens ini. Pengawasan yang ketat dari kampus cukup menjadi momok bila mereka salah mengambil langkah.

"Mel siap kok kalau--"

"Kalau apa? Berhenti di kepanitiaan? Mau kabur?"

Melody menggeleng cepat, "Bukan, bukan gitu, Bang, tapi--"

"Udahlah, Mel. Santai aja. Ospek masih ada empat hari lagi. Diklat jurusan juga menanti." Bima beranjak dari duduknya dan kembali berucap, "Anak itu bagian lo!"

Laki-laki itu menepuk pundak juniornya lalu melenggang pergi, tanpa sedikit pun mendengar sautan yang ingin dilontarkan. Melody pun terpaku di tempat dengan mulut ternganga. Tangannya terangkat ingin menahan, tetapi tak lagi berarti. Hanya desiran angin yang menyambutnya.

"Sial!"

Day 2
16 April 2020

Re-Pub
3 Februari 2021

2ND Re-Pub
1 Januari 2022

Savage banget, sih, Bang Al.
Kan aku jadi pengin ngajak kencan.
Kasih love dulu ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro