impLOVEssible - 5
MAI NINA
"Sudah Mai, jangan nangis terus. Nanti maskaranya luntur." Ceu mumun, make up artis yang cukup tersohor di kampung berulang kali mencoba membujukku agar tidak menangis. Mahakaryanya sudah berulang kali pula di ulas kembali karena luntur terkena air mata.
"Ceu Mumun nggak tahu gimana rasanya dipaksa nikah." Lagi-lagi aku mengambil tisu dari meja rias dan menghapus air mata yang tentunya sekaligus menghapus segala macam tetek bengek riasan yang ada di wajahku.
"Iiih ceu Mumun emang nggak tahu, ceu Mumun mah taunya nikah itu enak, jadi nggak usah di paksa, ceu Mumun langsung hayuk," sahutnya sambil memulas kembali maskara di mataku.
Seingatku ceu Mumun ini sudah nikah empat kali. Suami pertamanya meninggal. Suami kedua ternyata masih punya istri jadi akhirnya baru menikah tiga bulan, langsung bercerai. Suami ketiga berondong, kerjaannya minta duit sampai ceu Mumun harus utang sana sini dan berakhir cerai. Suami keempat konon katanya suka mukul pantat kalau lagi begituan jadi ceu Mumun nggak tahan dan akhirnya cerai lagi. Malang nian nasib ceu Mumun.
Oiya lupa tadi lagi nangis, lanjut lagi. Aku kembali terisak dan ceu Mumun kembali sibuk membujukku agar berhenti menangis. Pintu kamar tiba-tiba terbuka, ibu dan Abah yang sudah mengenakan pakaian resmi, kebaya dan jas, berjalan masuk. Tangisku sengaja kukeraskan agar mereka tahu bahwa aku tidak menginginkan pernikahan ini.
"Duh kasian si Mai, segitu senengnya mau nikah sampe nangis terharu," ujar ibu sambil mengelus pundakku. Tangisku makin keras.
"Mai..jadi istri yang baik ya nanti. Jangan ngelawan ama nak Rivay, dosa." Abah mulai menasihatiku.
"Bah, Mai nggak cinta sama Rivay." Sahutku sambil sesengukan.
"Ibu juga dulu nggak cinta ama abah. Ini mah mending, nak Rivay ganteng, gagah gitu. Nah abah dulu udah hasil di tolak sana sini. Cuma ibu aja yang akhirnya nerima karena kasihan," ibu tersenyum sambil menyenggol lengan abah.
Abah langsung manyun. "Yang bagian di tolak sana sini nggak usah di ceritain kenapa bu."
"Eh sekarang malah ibu yang cinta mati sama abah. Cinta itu dateng karena terbiasa, Mai," ujar Ibu sambil tersipu. Mau tidak mau aku ikut tersenyum. Ya senyum dengan air mata mengalir. Kebayang kan? Abah emang nggak ganteng tapi cinta banget sama ibu. Nah aku, bakal di lepeh trus di injek-injek sama om sinting itu.
Ceu Mumun menghembuskan nafas lega sambil menatap wajahku. Susah payah dia mendadaniku dari jam 4 pagi tadi, akhirnya perjuangannya selesai sudah. Ceu Mumun bergeser sedikit agar aku bisa melihat ke arah cermin. Hmm lumayan juga, setidaknya aku nggak kelihatan kayak bocah petualang yang kulitnya gosong karena kebanyakan main panas.
Ketukan di pintu membuat kami berempat menoleh, Dian, sahabatku yang sudah resmi menikah minggu lalu muncul dari balik pintu. "Mas Rivay sama keluarganya udah dateng." Abah dan ibu bergegas keluar kamar untuk menyambut mereka.
Dian berjalan ke arahku dan duduk di pinggir tempat tidur. "Grogi ya, Mai?" Dia tersenyum menggodaku yang langsung kusambut cibiran.
"Di, aku mau kabur. Tolongin dong, please." Rengekku.
Dian menggeleng sambil tertawa. "Mai calon suami kamu ganteng banget, dewasa, sopan, mapan lagi. Malah mau kabur. Kamu emang maunya sama mang jambrong ya?"
"Iiiih ya enggaklah, Di. Tega bener sih, temennya lagi ketakutan juga."
"Yaudah jalanin aja dulu ya. Kan belum tentu mas Rivay sesompret itu. Siapa tahu dia berubah jadi pangeran baik hati pas udah nikah," ujar Dian mencoba meyakinkanku. Nggak bakalan bisa mundur lagi kalau gini, nggak ada yang belain, semua orang sudah jatuh simpati kepada om sinting itu.
Aku menghela nafas berat kemudian bangkit dari tempat dudukku. Pasrah, Mai, pasrah..
***
Rumahku sudah di sulap dengan berbagai macam bunga mawar berwarna putih. Semua dekorasi dan catering di datangkan Rivay dari Jakarta. Ayah, ibu hanya menyediakan tempat. Sementara aku hanya menyediakan badan. Menyedihkan.
"Bentar lagi jalan ya, Mai. Inget, senyum. Jangan kayak orang nahan kentut gitu." Dian berbisik di telingaku kemudian berjalan menuntunku. Terlihat beberapa orang berbisik sambil tersenyum. Dian menghentikan langkahnya. "Udah sampe, Mai. Duduk ya." Di depanku ada Rivay yamg memakai beskap berwarna putih yang senada dengan kebayaku, dan di depan Rivay ada abah, dan seorang pria yang kutebak adalah penghulu.
Aku duduk perlahan dan bapak penghulu langsung mempersiapkan akad nikah. Otakku berpikir dan berputar bagaimana caranya agar akad nikah ini batal. Akad nikah ini bencana, suatu hari karena kejadian hari ini bisa saja aku menjadi janda di usia muda jika om sompret di sampingku ini menceraikan aku. Aku harus bagaimana?
Tiba-tiba ide menarik melintas di pikiranku. Setidaknya kalau tidak bisa di batalkan pasti bisa di tunda. Tanpa berpikir panjang aku langsung memejamkan mata dan melemaskan badan. Tubuhku sukses merosot yang sialnya malah langsung ditahan Rivay. Ibu berteriak dan seketika suasana menjadi heboh. Karena memejamkan mata jadi aku nggak tahu persis bagaimana kejadiannya. Aku hanya bisa mendengar percakapan mereka.
"Gusti Allah, Mai. Kamu kenapa Mai? Kok bisa pingsan." Suara ibu yang kemudian di ikuti tepukan di pipiku. Duh sakit juga ternyata, nepuknya jangan keras-keras knapa bu..
"Kita harus bawa Mai ke rumah sakit," ujar abah panik. "Ayo nak Rivay tolong digendong Mai nya." Diam-diam aku tersenyum. Mampus lu, om. Makanya jangan coba berani main-main sama Mai. Aku bisa membayangkan setelah ini aku akan dibawa ke rumah sakit, dan setidaknya aku bisa menunda akad nikah ini sampai aku menemukan jalan keluar untuk membatalkannya.
Tubuhku tiba-tiba terangkat. Yes! Udah di gendong. Rumah sakit, tunggu aku. Beberapa saat aku menunggu namun tidak ada pergerakan berarti. Aku tidak merasakan si om mulai berjalan menuju mobil, malah dia duduk dengan tenang dan aku berada di pangkuannya (?)
Suara berat Rivay membuyarkan lamunanku. "Abah, ibu dan semua yang hadir. Jangan cemas. Saya yakin Mai cuma kekurangan oksigen karena terlalu banyak orang di dalam ruangan, di tambah dia juga sedang nervous. Jadi saya akan memberinya nafas buatan."
Hah? Apa? Maksudnya apa? Nafas buatan yang gimana?
Aku bisa merasakan wajahnya mendekat, harum menthol yang menguar dari mulutnya dengan tidak sopan menyapa hidungku. Gawat! Benar-benar gawat! Aku harus gimana? Kalau bangun pasti ketahuan aku tadi hanya pura-pura pingsan. Tapi kalau nggak bangun alamat si sompret nyosor bibirku.
Sebelum aku memutuskan membuka mata, sesuatu yang lembut dan basah menyentuh bibirku. Mengulumnya sejenak sebelum meniupkan nafasnya ke dalam mulutku. Ya Tuhan, kenapa aku pakai pura-pura pingsan tadi? Kenapa malah jadi dia kasih nafas buatan begini? Lagian yang aku tahu prosedur nafas buatan kan bukan begini.
Perlahan aku membuka mata dan langsung bertatapan dengan mata tajam milik Rivay. "Kamu nggak apa-apa?" Dia terlihat tersenyum setan dan tidak ada tatapan khawatir dari matanya. Sial sekali bukan? Dia sepertinya tahu aku pura-pura pingsan.
"Haduh untung ada nak Rivay. Yaudah karena Mai udah bangun, mari kita lanjutkan prosesi akad nikahnya," sahut abah dengan semangat.
Mai, mai..pasrah ajalah, Mai.
***
RIVAY
Aku tengah asyik memandangi orang-orang yang sedang merapikam kembali sisa-sisa pesta pernikahanku tadi siang. Syukurlah diluar dari ABG yang pura-pura pingsan itu, semuanya berjalan lancar. Kedua orang tuaku hadir dan meskipun sedikit heran saat berkenalan dengan Mai, namun mereka tidak berkata apa-apa. Setelah pesta usai, mereka membawa Raisa pulang ke Jakarta.
"Kapan rencana balik ke Jakarta, nak Rivay?" Abah muncul dari dalam rumah dan duduk di kursi kosong disampingku.
"Secepatnya, bah. Mungkin besok pagi."
Abah mengangguk. "Tolong nanti Mai dibantu untuk tes dan urusan masuk universitas ya nak Rivay. Soal biaya, sudah abah berikan ke Mai."
"Abah, sesuai janji saya, Mai jadi tanggung jawab saya mulai sekarang. Abah dan ibu nggak usah khawatir."
Aku ikut tersenyum saat melihat abah tersenyum lega. "Baiklah kalau begitu. Abah masuk dulu. Nak Rivay kalau mau istirahat langsung ke kamar Mai saja." Abah beranjak masuk lagi ke dalam rumah.
Kepalaku terasa sedikit pusing, mungkin efek dari bangun terlalu pagi. Aku masuk ke dalam rumah dan tanpa mengetuk langsung masuk ke kamar Mai. Saat melihat ke tempat tidur, Aku langsung mengangkat alis sambil menggelengkan kepala berkali-kali. Ini bocah bener-bener nggak ada manisnya. Kasur ukuran queen size di kuasai dengan tangan dan kaki yang melebar kemana-mana.
Aku duduk di kasur dan dengan sekali sentak aku menggeser tubuh Mai. Mai kaget dengan gerakanku yang tiba-tiba dan dengan manisnya mendarat di lantai.
"Adduuuuuh.." keluhnya sambil mengusap bokongnya.
"Eh sorry, saya kira guling." Ujarku cuek dan langsung merebahkan diri.
Wajah Mai terlihat memerah karena menahan marah. "Om sompret! Ngapain di sini? Keluar sana, tidur di dipan!" Gertaknya.
Aku diam saja dan memejamkan mata, pura-pura tidak mendengar ocehannya. Biarlah ABG labil itu marah-marah.
"Aku hitung sampai tiga ya! Satu..dua..-"
"Kenapa kamu nggak ikut tidur disini aja? Sekalian merayakan malam pertama kita." Sahutku sambil menepuk-nepuk kasur di sampingku.
Buk!
Sebuah bantal yang di lempar si Mai mendarat di mukaku. "Om jangan asal ngomong ya! Aku bukan cewek murahan." Wajahnya memerah. Karena malu atau marah?
Aku duduk dan menatap tajam padanya. "Berapa kali saya bilang? Jangan panggil saya om! Mau nanti om perkosa?!" Gertakku.
Mata Mai melebar, kemudian matanya terpejam dan tubuhnya melemas jatuh ke tempat tidur. Aku mengambil bantal dan melemparnya kepada bocah itu. "Pura-pura pingsan sehari kok dua kali! Nggak kreatif!" Aku bangkit dan berjalan keluar. Lebih baik tidur di gigit nyamuk daripada tidur sekamar dengan ABG yang berniat membunuhku saat aku tidur nanti.
----------------------------------------------------------------
Hai,
Om rivay dan mai koplak dataang :D
Selamat membaca, semoga jatuh cinta ama om Rivay ya ;)
Jangan lupa vote dan komen kalau kalian suka biar cerita ini rameeee :p
Terima kasih yg sudah bersedia mampir, dan maaf ini agak slow update ya.
Happy weekend, love..
Vy.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro