Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4: Suka

Pagi yang cerah, meja bundar terisi beberapa menu sarapan, aroma manis dari semur ayam menguar menggelitik indera penghidu, satu kursi dari empat yang mengelilingi meja masih kosong. Tiga lainnya sudah terisi oleh sepasang suami-isteri dan satu putrinya yang masih belum memulai makan karena menunggu sang adik.

"Kita mulai aja, ya?" tanya Bunga pada Vrinn. "Nanti Nai bisa nyusul."

Vrin merasa tidak enak membuat mama dan papanya ikutan menunggu, tetapi ia tidak mungkin meninggalkan Nai sendirian. Mereka mempunyai kebiasaan makan bersama, sebelum makan akan berdoa bersama juga. Bara, papanya, sudah berulangkali mengecek arloji di pergelangan tangan tanda bahwa ia memperhatikan waktu yang semakin menipis. Perempuan itu hampir menyetujui permintaan sang Mama dengan berat hati, tetapi tiba-tiba Nai muncul menarik kursi kosong di sebelahnya dan duduk.

Dari penampakannya adiknya itu kelihatan terlambat bangun lagi, rambutnya hanya diikat asal, bajunya tidak dimasukkan, kerah bajunya bahkan tidak tertekuk dengan seharusnya. Tangan Vrinn gatal ingin membantu merapikan, ia menahan diri. Bara akhirnya membawakan doa sebelum sarapan, semuanya sontak menutup mata dan menyatukan kedua tangan.

"Amin."

Nai mengambil sepotong paha ayam ke piringnya dan makan dengan lahap, itu semua tak lepas dari pandangan ketiga orang di sana.

"Kamu jangan kebiasaan bangun kesiangan terus," kata Bunga ketika menunggu giliran mengambil lauk, sebagai orang mama, ia kebiasaan akan memberikan anak-anak dan suaminya mengambil lebih dulu. "Kasihan Kakak dan Papa harus menunggu, mereka bisa ikutan telat."

Anaknya itu mendengus, tidak terlalu peduli dengan perkataan mamanya, ia malah fokus menyantap makanan di depannya. Sangat nikmat, ia sampai tambah lagi. Bunga memang paling jago urusan mengolah daging ayam.

"Kamu dengar kata mama, nggak?"

Nai hanya mengangguk, ia mulai menggigit paha keduanya, daging empuk dengan bumbu yang meresap hingga tulang-tulang. Manis gurih rempah memanjakan lidahnya. Begitu paha itu tinggal tulang, tangannya terulur untuk mengambil satu potong daging lagi. "Enak banget masakan Mama, besok buat lagi ya," pintanya.

Antara senang dan jengkel, Nai tidak mendengarkan nasihatnya tapi memuji masakannya. Bunga akhirnya hanya bisa mengembuskan napas panjang, merasa mungkin tidak tepat mengomel lebih banyak saat makan.

Di sampingnya Bara sudah selesai dengan makanannya, mengambil selembar tisu lalu mengelap mulut. "Vrinn berangkat sama Papa, kan?" tanya pria itu menatap putri sulungnya itu.

Vrinn sengaja melama-lamakan makannya, menunggu Nai selesai. Padahal jika mau sudah sedari tadi ia selesai sarapan. Tetapi lagi-lagi tidak tega dengan Nai, begitu ia selesai pasti papanya langsung mengajak berangkat. Hanya tinggal dua sendok saja makanan Vrinn habis tapi perempuan itu berlagak masih banyak, ia mengambil sedikit-sedikit.

"Kamu kalau menunggu Nai selesai bisa telat Vrinn, adik rakusmu itu tidak pernah ingat waktu."

Perkataan Bara mengambil atensi tiga orang di sana, Bunga melihat kedua anaknya bergantian. Ia menyelesaikan makannya dengan cepat, meminum air putih.

"Kalian cepatin makannya," ujarnya sebelum beranjak menyusul suaminya ke depan.

Nai yang hendak mengambil daging lagi merasa amat tersinggung. Hilang sudah nafsu makannya, meskipun masih belum puas ia menghentikan sampai di sana.

"Jangan masukin hati, Papa cuma kesal karena mau terlambat ke kantor," seru Vrinn menenangkan adiknya. "Mau Kakak buat bekal makan siang kamu, nggak?" tawar gadis itu melihat adiknya terlihat sangat suka menu hari ini.

Meskipun terdengar sangat menggiurkan, Nai malah bersikap sebaliknya. "Enggak usah sok baik, sudah sana berangkat sama Papa."

Jawaban ketus dari adiknya tidak mematahkan semangat Vrinn. Ketika adiknya beranjak ke kamar, ia dengan cepat mengambil kotak bekal lalu memasukkan beberapa potong daging, sayur dan nasi. Diam-diam memasukkan benda itu ke dalam tas Nai yang berada di sofa ruang tamu.

Bunyi klakson dari mobil papanya berbunyi nyaring membuat Vrinn buru-buru menyampirkan tas ke pundak. Ia menoleh ke belakang untuk menunggu Nai sekali lagi, tetapi adiknya memang lagi-lagi sangat tidak mau berangkat bersama.

Akhirnya ia dengan berat hati menyalim Bunga lalu masuk ke mobil duduk di sebelah Bara. Tangannya melambai ke arah bunga saat mobilnya mulai bergerak.

"Kamu jangan terlalu memanjakan Naeena, dia perlu dikerasin biar nggak semena-mena," kata Bara sambil fokus menyetir membela jalanan pagi yang mulai ramai, hal yang dihindarinya ketika berangkat kesiangan, berharap dalam cemas tidak terjebak macet.

"Iya, Pa. Tapi Papa juga jangan terlalu kasar sama Nai, Papa gahu sendiri akhir-akhir ini dia jadi menjauh."

Vrinn merasakan perubahan Nai yang semakin drastis. Mulai dari keputusan untuk tidak mau berangkat bersama lagi, permintaannya untuk tidak saling mengenal di sekolah bahkan tidak pernah mau berbicara dengannya lagi.

"Kamu memang bijak sekali, Papa bangga sama kamu," tangan kirinya melepas setir untuk mengelus puncak kepala Vrinn. "Seandainya adikmu memiliki pemikiran sama sepertimu."

Vrinn tersenyum lebar, kendati sebagian kecil hatinya tidak setuju dengan kalimat akhir Bara. Menurutnya mereka tidak perlu menjadi sama untuk membuat pria itu bangga.

***

Sialan, sialan, sialan!

Gara-gara angkutan umum yang ia tumpangi tadi siang mogok di tengah perjalanan ia akhirnya terlambat. Berdiri bersama dua siswa yang memiliki nasib sama, Nai harus bertahan di jemur sambil hormat bendera di bawah langit yang hari ini sangat cerah, matahari tampak sangat cantik bertengkar di atas sana memberikan cahaya yang senantiasa terasa membakar kulit Nai.

Tangannya sudah sangat pegal kalau tidak ingat sedang diawasi oleh guru BK yang sedang santai berbincang dengan petugas kebersihan di sebelah sana ia pasti sudah menurunkan tangannya sedari tadi.

Dua siswa di samping kanan kirinya berhasil beberapa kali menurunkan tangan tanpa dilihat guru BK, Nai iri tapi mengetahui kedua siswa itu adalah kakak kelas satu tahun di atasnya membuat ia tidak berkutik. Meskipun katanya sekolahnya ini sudah menentang keras senioritas, ketakutan Nai dari sekolahnya sebelum ini masih terbawa. Waktu SMP ia bertemu dengan senior yang gila dihormati, beberapa juga ia jadi sasaran perisakan. Karena rupanya yang tidak enak dipandang banyak senior menjadikan itu sebagai bahan goyun, tubuhnya yang berisi juga tidak luput dari hinaan.

Nai takut sekali hal itu terulang kembali, ia sebisa mungkin untuk tidak berurusan dengan kakak tingkat.

Kepalanya mulai pening karena panas yang menyerang, ia melirik diam-diam ke kanan kiri dua orang itu merasakan hal yang sama. Begitu bell tanda pergantian mata pelajaran terdengar dengan cepat Nai menurunkan tangannya yang sudah nyeri, guru BK berteriak memberitahu mereka sekarang bisa masuk ke kelas dari seberang sana tanpa berniat menghampiri mereka di terik matahari.

Nai berjalan gontai mengekor dua kakak tingkatnya yang berjalan ke pinggir lapangan untuk mengambil tas. Ia duduk di kursi yang tersedia menetralkan tubuhnya yang panas, bajunya penuh keringat, rambutnya sudah lepek bau matahari. Ia merogoh tas dan mengumpat dalam hati lupa membawa minum.

Akhirnya hanya bisa memejamkan mata, ia beristirahat sebentar di sana sebelum masuk ke kelas, masih ada lima menit sebelum pelajaran kedua di mulai. Itu waktu yang lumayan, sedangkan dua orang tadi sudah menghilang, Nai menduga sudah balik ke kelasnya masing-masing.

Masih dengan mata terpejam Nai merasakan benda dingin menyentuh wajahnya, matanya segera terbuka lalu terbelalak melihat wajah seseorang di depan. Ia menegakkan tubuh mulutnya terbuka hendak bertanya tetapi laki-laki di depannya lebih dulu buka suara.

"Nih, lo pasti capek banget. Dijemur hampir satu jam, gila memang hukuman Pak Budi," kata pria itu menyodorkan sebotol minuman isotonik dingin padanya sambil mencibir guru BK nya yang hingga kini masih berbincang dengan petugas kebersihan sambil tertawa-tawa.

Nai mengambil botol itu dengan gugup, ia mengucapkan terima kasih dengan oelam karena tenaganya sudah benar-benar habis. Hingga membuka tutup minuman itu saja rasanya sulit, ditambah tangannya masih sakit habis menghormat tiang bendera.

Peka akan hal tersebut, laki-laki tadi cekatan membantu Nai membukakan botol tersebut. "Capek banget ya?" tanyanya lalu mengibas tangan berusaha mengipas tubuh Nai.

Melihat itu adalah debaran berbeda yang ia rasakan, Nai merasakan wajahnya kini memanas. Untung saja karena habis berjemur perubahan wajahnya yang memerah tidak terlalu kentara.

"Terima kasih Bang Rega."

"Sama-sama Naeena," balas Rega menyebutkan namanya panjang, penyebutannya benar, nai-na. Tetapi Nai terkejut laki-laki itu tahu darimana, padahal ia memperkenalkan diri sebagai Nai saja kemarin.

"Sudah lima menit, sana masuk ke kelas kalau enggak masu dihukum lagi."

Nai masih enggan tetapi memilih menurut. Melihat dari pakaian olahraga yang Rega kenakan, Nai mengerti mengapa Rega bisa ada di sana, berarti pria itu memperhatikan dia dihukum sedari tadi, karena pelajaran olahraga biasanya dilakukan di lapangan.

"Nai masuk dulu, Bang. Terima kasih banyak untuk ini," katanya menunjuk botol di tangannya lalu membungkuk kecil sebelum berbalik meninggalkan Rega. Menyentuh dadanya yang terasa aneh, debaran tidak biasa itu tak jua berhenti, bibirnya tidak berhenti tersenyum.

Aneh sekali rasanya. Tapi ia suka.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro