3: Cantik
"Lo cantik makanya Bagas suka," kata Wynaa seraya memberikan buku kas kepada Vrinn.
"Hais!" Vrinn mengibaskan tangannya, merasa pendapat itu berlebihan, "semua cewek emang cantik. Berarti Bagas suka sama semua cewek gitu?"
Wynaa tergelak dan ikut duduk lesehan di samping Vrinn yang tengah sibuk mencatat pengeluaran dana pada semester lalu. Sebenarnya Vrinn sendiri masih tidak habis pikir dengan perbuatan Bagas waktu di kantin tadi. Pikirannya masih gelisah, ia tidak bisa semudah itu melupakan ungkapan rasa suka yang dikatakan laki-laki itu.
Mungkin ia emang terlihat sibuk, tugas-tugasnya selalu banyak, ia tidak pernah kelihatan kurang kerjaan. Makanya waktu Wynaa menganggap Vrinn sudah mengabaikan kejadian itu, sebenarnya ia malah terus saja kepikiran.
Bagas tadi mengatakan bahwa ia suka pada dirinya, dan ia mengatakannya di depan semua orang. Meja mereka saat itu di tempati sekitar tujuh atau delapan orang, suaranya saat mengatakan juga begitu jelas. Semua mengetahuinya, Bagas suka Vrinn, tapi Vrinn menolaknya. Iya, seharusnya sudah selesai sampai di sana.
Namun, entah kenapa ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba melanda hati perempuan itu, jarinya berhenti menulis. Bagaimana jika Bagas marah kepadanya? Seharusnya ia menolaknya tidak di depan semua orang. Ia tidak bisa fokus, ia meraba ke samping untuk mengambil botol air mineral.
Otaknya butuh asupan oksigen yang cukup, meskipun kini cara minumnya mencuri perhatian Wynaa.
"Pelan-pelan, Vrinn. Gue gak minta, kok."
"Iya-iya," katanya sembari menutup kembali botol minumnya.
"HELOW EPRIBADEH." Sebuah suara menggelegar terdengar bersamaan dengan pintu terbuka lebar.
Seorang gadis dengan senyuman ceria masuk, kedua tangannya menenteng plastik kresek yang penuh jajanan. Lalu tanpa permisi segera mengambil tempat di depan Vrinn dan Wynaa.
"Lihat gue bawa apa?" ucap gadis itu mengangkat tinggi kreseknya ke atas. "Snack party!"
Wynaa ikutan bersorak lalu mengambil salah satu jajanan dalam plastik tersebut, sedangkan Vrinn geleng-geleng melihat tingkah kedua sahabatnya yang bak anak SD, padahal sebentar lagi akan lulus SMA.
"Tugas jangan lupa dikerjain," perempuan itu kembali menuliskan angka-angka pada bukunya.
"Siap, Bu guruuu," seru Bona dan Wynaa, temannya bersamaan sudah sangat hapal dengan perangai Vrinn yang rajin, kendati begitu mereka malah asik makan jajanan alih-alih mengerjakan tugas yang tadi Vrinn ingatkan.
Vrinn hanya bisa menghela napas, mereka memang bebal tapi ia yakin mereka bakalan mengerjakan tugasnya nanti, mungkin mepet waktu masuk kelas.
Ia ingin mengisi kolom-kolom kosong yang masih banyak, pikirannya mulai sedikit kusut kala lupa menghitung sampai mana tadi, sebab kedatangan Bona mengalihkan perhatian Vrinn cukup lama. Karena tidak kunjung mengingat ia akhirnya menghitung kembali jumlah kredit dan debit supaya tidak ada kesalahan.
Baru saja selesai menghitung kredit saat ingin menghitung debit, gawai di saku roknya bergetar cukup mengganggu ketika ia berniat mengabaikan. Akhirnya ia pasrah, Vrinn menandai kolom terakhir yang ia hitung agar tidak kerja tiga kali.
Nomor tanpa nama membuat alisnya menyatu, ia melihat Wynaa dan Bona kini asik menggibah sambil menikmati cemilan. Bona menyodorkan satu bungkus snack rasa coklat, Vrinn menggeleng lalu menunjuk ke ponselnya. Kedua temannya paham, membiarkan gadis itu bangkit dan keluar untuk mengangkat telepon tersebut.
Sesampainya di luar ia menempelkan gawai ke telinga, "Hallo?"
"Hai, Cantik! Akhirnya lo angkat juga."
Sebuah suara yang amat familiar membuat Vrinn membeku, tangannya gemetaran.
"Lo nggak bisa kabur dari gue."
•••
Bukannya ingin memuji diri, tetapi ia sangat yakin penampilannya jauh lebih baik dari tiga perempuan di depan sana. Bibirnya mencebik, mau protes tapi sadar tidak mungkin ada yang membelanya. Lagipula ia masih anak baru, tidak boleh banyak bertingkah kalau tidak mau dapat masalah.
Nai memutuskan untuk masuk ekstrakurikuler teater setelah menolak mentah-mentah ajakan Andien. Dari SMP ia memang menyukai seni pertunjukan, berlakon di panggung sudah biasa, tempat satu-satunya yang membiarkan ia berpura-pura menjadi orang lain dengan bebas.
Ketika Nai mendaftar, bertepatan dengan pengumuman pentas seni yang akan dilaksanakan dua bulan lagi untuk memperingati hari guru. Nai senang bukan main saat seniornya mengatakan akan memilih pemain dengan seleksi. Itu artinya ia berkesempatan untuk mendapatkan peran penting.
Namun, nyatanya harapan Nai dijatuhkan oleh hasil akhir. Tiga gadis di depan sana terpilih untuk menjadi tokoh utama dan tokoh penting, karena hanya ada tiga cowok yang mendaftar maka ketiga cowok itu juga mendapatkan peran bagus tanpa diseleksi. Tersisa dirinya dan lima siswi yang pasrah hanya mendapatkan peran pendukung.
Ia menatap gadis bernama Sesilia, salah satu dari tiga junior baru yang beruntung. Jelas-jelas waktu seleksi tadi penampilannya sangat kaku bahkan lupa dialog, bisa-bisanya jadi pemeran utama.
Nai merapatkan bibir erat-erat menahan umpatan yang akan keluar, di ruangan berikut tujuh kali enam itu terdapat satu pria paruh baya yang merupakan pembina teater, juga sekitar belasan senior. Sangat nekat bila ia memaki di sana.
Semua orang sibuk membicarakan pembagian peran sehingga tidak sadar ada seorang laki-laki dengan seragam yang dikeluarkan, kancing bajunya tidak ada yang terpasang menampilkan kaos hitam polos. Rambut gondrongnya diikat setengah, duduk di samping Nai tanpa permisi.
"Sudah ketebak. Pasti mereka memilih siswi yang cantik lagi." Cowok itu bersuara, Nai sampai harus melihat ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa ia yang diajak bicara.
"Yang cantik, mah, selalu mudah mendapatkan sesuatu," balas Nai menatap Pak Gunawan, pembina teater, beberapa kali memuji Sesilia. Tanpa busa ditahan lagi Nai mendengus kasar, muak dengan ketimpangan sosial ini.
Cowok itu menoleh karena Nai terlalu terbuka untuk berpendapat, biasanya banyak perempuan yang menutup-nutupi perasaan karena tidak enakan mengatakan keiriannya pada perempuan lain.
"Penampilanmu tadi bagus, gue sampai hampir ikut menangis saat lo akting nangis tadi," puji cowok itu lalu mengulurkan tangannya, Nai menyambut uluran itu dengan kikuk. "Gue Aurega, panggil aja Rega. Kelas dua belas IPS satu."
Nai sedikit terkejut mengetahui teman ngobrolnya itu adalah kakak kelas, ia lalu segera membenarkan cara duduknya agar lebih sopan, tingkah Nai membuat Rega tertawa kecil. "Saya Nai, Bang. Sepuluh IPS dua."
"Jangan takut gitu, sekolah kita menentang keras senioritas. Dan jangan terlalu formal, Nai. Pakai gue-lo juga enggak apa-apa."
Suasana riuh tadi berubah senyap, Pak Gunawan memberikan pengumuman jadwal latihan berikutnya tak lupa mengingatkan semua harus telah berlatih sebelumnya agar ketika latihan tidak terlalu lama.
Sebelum latihan hari ini bubar Rega kembali berkata pada Nai, "Senang akhirnya teater kita punya anggota yang benar-benar paham teater, semoga lo nggak kapok terus keluar. Semangat terus, Nai, nanti ada saatnya lo jadi pemeran utama."
Nai tersenyum lebar mendengar perkataan Rega, hatinya menghangat. Dari banyak laki-laki yang ia tahu selalu memandang rupa, Rega salah satu yang langka. Hilang sudah rasa kesalnya tadi, ia tidak sabar ingin latihan Minggu depan, ia tak sabar bertemu Rega lagi.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro