28: Cemburu
Niat hati untuk melarikan diri, justru keadaan tidak memberikannya kesempatan. Nai lupa hari ini adalah hari Rabu yang artinya jadwal latihan teater. Maka sudah pasti ia akan bertemu dengan Rega lagi.
Kalau biasanya ia sangat ingin bertemu Abang kelasnya itu, kali ini tidak. Selepas insiden tadi siang ia hanya ingin menenangkan diri.
Saat waktunya pulang sekolah Nai masih berada dalam kelas bersama Andien seperti biasa. Perempuan itu bergerak gelisah di bangkunya, membuat Andien terheran-heran.
"Pantat lo bisulan, ya?" Andien mengatakan karena sedari tadi Nai bergoyang di tempat duduk sambil sesekali berdiri lalu duduk. "Atau lo kena ambeyen?"
"Ngadi-ngadi lo!"
"Ya terus kenapa nggak bisa duduk anteng aje lo, gue capek liatnya."
"Ya, udah. Kalau cape pulang sono. Gue enggak ada minta lo nungguin gue, berhenti sok baik ya," sewotnya sambil bersidekap.
Andien ini fangirl boyband asal Korea Selatan dan doyan menikmati konten-kontennya, juga sangat mengikuti kegiatan atau update-an terbaru grup favoritnya apalagi biasnya. Tetapi kali ucapan Nai berhasil membuat ia mengalihkan perhatian dari ponselnya yang sedang menayangkan live idol kesukaannya.
"Ngomong sekali lagi," tantangnya dengan wajah datar.
Respon Andien sungguh di luar dugaan, biasanya Nai selalu berkata pedas tetapi Andien tak pernah tersinggung.
"Lo pulang aja kalau enggak suka sama tingkah---"
Andien benar-benar berdiri, mematikan ponselnya lalu memasukkan ke dalam saku rok. Ia kemudian mengambil tas ransel pink, menyampirkan ke bahu. "Oke."
Melihat Andien benar-benar pergi membuat Nai buru-buru menahannya. Ia berjalan mengejar teman semejanya yang sudah hampir keluar kelas, ia menarik tangannya agar berhenti. "Maksud gue bukan gitu, Ndien."
"Jadi?" Andien masih tetap dengan ekspresi datar, seakan wajah ceria cewek itu telah hilang entah kemana, hal itu membuat Nai takut.
Ia takut Andien marah padanya, padahal sejak awal memang ia tidak pernah menganggap Andien teman dekat. Hanya kebetulan semeja, sejak kapan juga ia lama-lama nyaman dan takut kehilangan.
"Gue cuma gelisah, banyak pikiran," jelasnya kemudian melepaskan tangan Andien, ia membuang muka ketika mengatakan kata terakhir. "Maaf."
Senyum lebar terbit di wajah tirusnya dengan lesung pipi di kedua sisi muncul. "Ciee takut gue marah," ledek Andien tertawa setelahnya.
Muka Nai langsung berubah bete, bibirnya maju hidungnya kembang kempis. Ia kesal Andien mempermainkannya, jantungnya sudah berdebar tak karuan tadi. Tapi mengetahui Andien tidak benar-benar marah membuat Nai lega.
"Kalau gitu ayo cerita, lo punya masalah apa? Sini-sini, sebelum jam tiga," kata Andien mengamit lengan Nai membawanya ke bangku terdekat.
"Nyebelin banget, sih, lo!" sungut Nai berhasil mendaratkan bokongnya pada permukaan kursi kayu. "Jadi males cerita."
"Yakin enggak mau cerita? Dipendem sendiri bikin lo makin enggak tenang. Mana tahu aku bisa kasih saran."
Andien melepaskan ransel, meletakkannya di atas meja.
"Tapi jangan ketawain, ya!"
Andien mengangkat tangan lalu mengangguk.
"Janji?" tanya Nai memastikan. Ia memberikan jari kelingking ke hadapan Andien.
"Janji!" Andien menerimanya lalu menautkan jari mereka. Kemudian ia kembali tersenyum melihat tingkah lucu Nai. Walaupun perempuan sangat amat jutek, mulutnya kalau bicara pedas. Tetapi pada sisi yang jarang orang-orang lihat, Nai itu lucu menggemaskan.
"Ini tentang Bang Rega."
Kemudian Nai menceritakan secara detail perihal ia melihat Rega berpelukan dengan Vrinn. Tentu saja ia tidak memberitahu identitas Vrinn pada Andien. Ia hanya bilang Rega berpelukan sama seorang cewek cantik di UKS ketika tadi ia mengambil obat.
Nai juga menceritakan bagaimana perlakuan Rega padanya, yang membuat ia dengan mudah jatuh hati. Tindakan dan perkataan yang selalu sukses membuat Nai membawa perasaan lebih dalam hubungannya. Seperti janjinya Andien tidak tertawa kendati Nai terdengar sangat kekanak-kanakan cemburu pada cowok yang bukan pacarnya.
"Dih, Bang Rega. Kalau dia enggak suka sama lo nggak usah sok-sokan baperin anak orang, deh!" sungut Andien ikutan kesal.
"Nah, kan! Kalau dari awal dia enggak ngasih perhatian lebih mungkin gue biasa-biasa saja sama dia."
"Gue paham perasaan lo, Nai. Tapi lo nggak bisa kabur. Lo malah kelihatan banget suka sama Bang Rega, justru aneh karena memang kalia mah cuma teman adik kelas dengan Abang kelas."
Hati Nai sedikit sakit mendengar fakta tersebut, mereka memang bukan apa-apa.
Apa haknya untuk marah?
Rega bebas memilih perempuan yang ia suka, mau peluk siapapun juga tidak masalah.
Hanya saja karena Nai terlanjur suka, terlanjur berharap lebih. Apalagi Vrinn menjanjikan akan membantu mendekatkan mereka, nyatanya saudarinya itu penipu. Rega malah kecantol Vrinn.
Seharusnya Nai sadar kakaknya itu tidak pernah baik padanya, selalu merebut perhatian semua orang agar ia menjadi pusat.
Mulai dari Papa, mama, guru-guru, teman-temannya. Kini Rega, semuanya diambil Vrinn. Ada api membara yang membakar perasaan Nai. Ia mendengus.
"Lo tetap datang aja, kalau ketemu bang Rega, cuekin. Jawab seadanya kalau ditanya, tunjukkin, yang tadi siang itu nggak berefek apa-apa."
***
Andien, mah, gampang kalau bicara, batin Nai.
Kini ia berada di ruangan teater, latihan kali ini lancar sekali berkat kehadiran Rega yang mengatur sedemikian rupa.
Hanya saja hati Nai kini tidak aman.
Pesona Rega masih tidak bisa terelakkan, apalagi saat memberikan contoh di depan sana. Penampilan laki-laki mengagumkan, mata berbinar-binar melihat Rega mengganti posisi pemeran utama pria, ia beradu sandiwara dengan Sesil.
"Keren," ucap Nai pelan.
Hilang sudah rasa cemburunya, ia malah semakin tergila-gila dengan Abang kelasnya itu.
Latihan selesai dengan cepat tanpa Nai sadari. Semua orang bersiap-siap untuk pulang. Kak Linda mengintruksikan agar semua anggota latihan di rumah lagi untuk seminggu ke depan sebelum ketemu jadwal hari Rabu.
Serempak para junior mengatakan, "Baik, Kak."
Lalu mereka bubar.
Nai bersiap pulang ketika Rega menjumpai dirinya. Ia menahan napas laki-laki sangat dekat dengannya.
"Gue mau bicara sesuatu sama lo."
Jantung Nai ini sangat mudah berdebar-debar, baru mendengar kalimat itu aja sudah bertalu-talu dengan kecepatan tinggi.
Rega berjalan keluar, Nai mengekor dari belakang. Mereka kemudian berhenti di sebuah kelas yang sudah kosong.
"Kenapa, Bang?" tanya Nai setelah berhasil menetralkan jantung nya juga karena penasaran mengapa Rega perlu berbicara di tempat sepi seperti ini.
"Ini tentang tadi siang."
Sudah Nai duga, Rega tidak akan membiarkannya lolos dari perbincangan tentang itu. Ia buru-buru bertingkah polos agar tidak sangka yang tidak-tidak. "Ah, maaf, Bang. Tadi siang Nai sedang cari obat maag. Seriusan enggak ada niat mengganggu Bang."
"Nai."
Rega mengabaikan permintaan maaf Nai, wajah laki-laki tampak serius. Ia sudah pernah melihat Rega serius sebelumnya, tetapi saat berbincang dengannya, Rega selalu terlihat santai. Kali ini sorot mata laki-laki itu berbeda.
"Ya, Bang?"
"Lo sama Vrinn beneran Kakak adek?"
Seandainya ia lupa bahwa Rega pernah melihat Vrinn di rumah yang sama dengannya, Nai sudah jelas akan mengatakan tidak. Tetapi untuk kondisi saat ini, ia hanya bisa jujur.
"Iya, Bang. Kak Vrinn itu Kakak aku."
"Ah, astaga. Gue masih enggak percaya. Muka kalian jelas beda banget," kata Tega sembari menatap lekat - lekat wajah Nai. Mengamati bagian mana yang sekiranya mirip dengan Vrinn.
Karena risih dilihat seperti itu, Nai membuang muka. "Memang beda jauh, Kak Vrinn cantik, aku burik."
"Hey, bukan gitu maksud gue." Wajah serius Rega kini menghilang, kembali ia pada ekspresi jenaka seperti biasanya. "Oh, ya. Membahas tadi siang. Gue cuma bilang lo jangan mikir aneh-aneh. Gue peluk Vrinn cuma untuk menenangkan dia."
Nai tidak percaya, banyak keanehan yang membuat ia sangsi.
Kenapa Vrinn harus ditenangkan?
Kenapa Rega yang ada di UKS alih-alih petugas PMR?
Sejak kapan Rega dekat dengan Vrinn?
Namun, semua pertanyaan di kepalanya hanya ia pendam. Ia mengangguk pura-pura percaya.
"Bagaimana keadaan Vrinn sekarang? Apa dia baik-baik saja?"
Yang Nai benci jika orang-orang tahu ia adiknya Vrinn adalah ini. Orang-orang berlomba untuk bertanya padanya tentang Vrinn. Seakan ia adalah juru bicaranya Vrinn, atau sumber informasi tentang Vrinn.
"Enggak tahu," jawab Nai singkat.
"Hey, kok bisa lo enggak tahu keadaan kakak lo sendiri? Gue khawatir sama dia, nih."
Letupan api cemburu lagi-lagi membakar hatinya. Nai marah.
Kenapa Rega perlu khawatir pada Vrinn? Ia juga tidak peduli pada perasaan Nai.
Apa jangan-jangan selama ini hanya Nai yang jatuh hati sendirian? Rega sama sekali tidak punya perasaan yang sama?
"Enggak tahu, Bang." Jawaban Nai masih sama, "saya mau izin pulang takut ketinggalan angkot."
Perempuan itu beranjak dengan cepat, membuat Rega harus menahan pergelangan tangannya supaya Nai berhenti.
"Gue anter, takutnya--"
"Nggak perlu, Bang. Kalau nggak ada angkot saya bisa pesan ojek atau minta papa jemput."
Nai marah pada Rega. Ia kecewa pada ekspetasinya yang patah begitu saja. Matanya berkaca-kaca, hatinya seperti dicubit kuat-kuat.
"Lo marah Nai?"
Perempuan itu tidak menjawab, ia menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Rega. Lalu berlari meninggalkan laki-laki. Semakin lama ia berada di sana, ia takut Rega akan melihatnya menangis.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro