27 : Salah Paham
Kalau bukan karena paksaan Bagas, Rega tidak akan mau melakukan ini. Meskipun ia kasihan juga, tetapi dirinya tipikal orang yang menghindari masalah.
"Lo sakit apa?" tanya Rega membuka kain putih penyekat bangsalnya dengan bangsal gadis itu. Yang ditanya terkejut, ia tadinya menangis kini berhenti lalu cepat-cepat mengusap matanya, menghilangkan jejak-jejak air mata.
Tidak terlalu berguna karena Rega sudah tahu gadis itu menangis, suara tangisannya yang pelan masih cukup terdengar. "Sakit banget, ya?"
Vrinndani menggeleng, ia tidak sakit apa-apa. Ia hanya kabur dari kelas dan berakhir di sana, karena wajahnya yang pucat petugas UKS percaya saat ia bilang mau istirahat di ruangan tersebut.
"Gue tahu lo ke sini bukan karena sakit apa-apa. Gue juga bertanya untuk hatimu, apakah sakit?"
Gadis itu tertegun, matanya merah sedikit membengkak, hidungnya mampet cairan putih berusaha keras untuk turun dari dua lubangnya, ia menariknya buru-buru, malu bila Rega melihatnya ingusnya meler.
"Orang-orang ramai membicarakan lo, pasti sakit banget mendengar semua ocehan mereka," ujar Rega.
Ia sedikit banyak tahu mengenai dicemooh orang-orang. Dulu sebelum ia menjadi ketua teater dan memenangkan banyak lomba, ia juga mengalami hal yang sama. Banyak orang membicarakannya di belakang, mengatakan ia anak yang bandel suka buat onar hanya karena penampilannya yang serampangan.
Rambutnya selalu gondrong, padahal sudah ditegur guru berkali-kali. Seragamnya tidak pernah ia masukkan, juga ikay pinggang yang selalu kelupaan dipakai.
Anak badung.
Begitulah orang-orang memanggilnya dulu. Mungkin yang Vrinn rasakan sekarang adalah kebalikannya. Dulu ia dipuja-puja, banyak yang mengagumi. Mengatakan ia manusia sempurna, orang baik dan segala pujian lainnya.
Lihat kini, semua orang berbalik menyerang hanya karena sebuah foto. Eh, tiga bua foto.
Kalau dilihat-lihat, Vrinn pasti sangat syok dan tidak menyangka dengan sikap yang orang-orang itu berikan padanya. Rega tahu sendiri Vrinn suka sekali menolong tanpa melihat ia kenal orang yang ditolong atau enggak, tetapi sekarang manusia-manusia yang pernah ia tolong itu bahkan membicarakannya di belakang. Mencaci maki seolah Vrinn adalah manusia paling hina di muka bumi.
"Tidak apa-apa kalau mau lanjut nangis, gue akan menemani lo." Rega beranjak duduk di samping perempuan itu, ia memberikan kresek yang tadi Bagas titipkan. "Karena nangis juga butuh energi, lo makan dulu, nih."
Ia mengambil sebungkus roti menyobek bungkusnya lalu memberikan pada Vrinn. Ragu-ragu tapi tangannya tetap menerima, perlahan memasukan roti dengan isi cokelat ke dalam mulut.
"Gue enggak tahu berita itu benar atau enggak, tapi apa yang orang-orang itu lakukan padamu itu sudah pasti salah." Rega kembali bersuara sambil membenarkan ikat rambutnya yang agak goyang. Memiliki rambut gondrong juga sedikit membuat Rega repot karena kadang saat rambutnya tidak diikat, ia merasakan gerah yang teramat sangat.
"Kenapa kamu bela aku? Aku ini perempuan nggak beres, jalan sama om-om ke hotel. Kenapa kamu masih baik ke aku?" tanya Vrinn, ia menghentikan kunyahannya, is sudah tidak berselera lagi.
"Karena gue nggak punya hak menghakimi lo, semua orang punya sisi gelapnya sendiri, sayangnya beberapa pandai menyembunyikannya rapat-rapat." Kali ini Rega mengambil sebotol air mineral, lagi-lagi membukakan penutupnya untuk Vrinn.
"Lo pasti punya alasan masuk akal kenapa melakukan itu. Lagipula cewek secantik dan pintar kayak lo nggak masuk akal banget jadi simpenan om-om."
Hati Vrinn menghangat, mendengar ucapan Rega ia sedikit lega. Dunianya belum bisa berakhir di sini, ia harus kuat. "Terima kasih Rega."
"Yo, sama-sama. Tetepi ini semua enggak gratis."
Senyum Vrinn menyurut, ia mengernyitkan kening menatap tidak percaya bahwa Rega ternyata meminta imbalan. "Aku bayar berapa untuk roti, minuman dan waktu kamu untuk mendengar curhatan aku?"
"Bayarannya lo harus tetap kuat, senyumnya jangan pernah surut. Lo pasti bisa melewati ini semua, gue yakin."
Lagi-lagi hatinya terenyuh mendengar penuturan Rega. Saking terharunya, air matanya menetas.
"Nah, kok nangis lo harus bayar loh."
Vrinn tertawa, ia berusaha menyeka air matanya yang terus menerus jatuh. "Terima kasih, Ga. Aku ... aku ...."
Tiba-tiba Rega menariknya dalam dekapan, lalu mengusap-usap punggung Vrinn. "It's ok. Lo kuat Vrinn. Semua akan baik-baik saja."
***
Nai melewatkan istirahat makan siang dengan mengerjakan tugas dari Bu Ade, guru ekonomi yang ternyata memberikan lima puluh tugas minggu kemarin dan ia baru tahu sekarang, tiga puluh menit sebelum pelajaran dimulai.
"Lo kok nggak ngasih tahu gue, Ndien?" protesnya sambil menyalin jawaban dari buku teman semejanya ke buku tugasnya.
"Gue udah ngasih tahu leway chat kemarin." Andien mengalihkan pandangan dari layar ponsel melihat temannya kini ketar-ketir. "Makanya kalau orang nge-chat tuh dilihat, terus dibales! Keseringan mengabaikan pesan gue berakhir kayak gini, kan? Lo 'sih sombong amat."
"Yee, kalau aja lo nggak suka nyepam aneh-aneh gue nggak bakalan mengabaikannya."
Nai masih ingat memorinya penuh karena Andien mengirimkan foto seorang idol Korea kepadanya, alasannya ia hanya menitip gambar tersebut. Belum lagi video-video hasil download Andien dari aplikasi tok-tik, link-link aneh.
Siapa yang mau membuka chat kalau punay tema sejenis Andie?
Awalnya bahkan ia ingin memblokir akun perempuan itu, hanya saja ia tidak setega itu.
"Dih, nyolot. Siniin kalau gitu buku gue," Andien menarik buku tugasnya yang langsung direbut Nai dengan gesit.
"Ih, gue belum siap. Pelit banget jadi orang."
Lalu Andien tidak lagi membahasnya karena mendapat notif biasnya update konten baru di voutube
Begitulah cerita Nai mengapa sampai kelewatan makan siang, ia juga meminum kopi kalengan agar tetap segar melihat tulisan-tulisan di buku tugas.
Sayangnya ia lupa punya penyakit maag, maka di setengah jam pelajaran Bu Ade, lambungnya kumat, nyeri teramat melanda ia rampai meringis tidak tertahan.
Panik ia merogoh obat dalam tasnya, mencari-cari obat maag. Bodohnya, ia lupa bahwa obat itu lupa ia masukkan tadi pagi, memang biasanya ia selalu menyimpan obat dalam tas untuk jaga-jaga hanya saja sudah habis dua hari yang lalu dan lupa ia isi ulang.
Tangannya teracung ke atas, menghentikan Bu Ade yang sedang menjelaskan di depan kelas.
"Bu saya permisi ke UKS, maag saya kambuh.... Saya... mau ambil obat."
Bu Ade melihat wajah pucat anak muridnya dengan keringat membanjiri kening. Tidak banyak bertanya ia langsung mengizinkan, sempat menawarkan agar ditemani salah seorang teman, Nai mengatakan masih bisa sendiri.
Di sanalah ia, tertatih-tatih menuju ruang UKS yang terletak di dekat ruang teater.
Memegangi perut yang nyerinya minta ampun, ia berusaha untuk tetap kuat. Hanya beberapa langkah lagi. Begitu sampai pintu, ia menarik kenop. Melangkah masuk menuju sebuah lemari yang biasanya menyimpan obat-obatan.
Tumben sekali tidak ada penjaga pikirnya saat ia kesulitan menemukan obat yang ia cari. Merogoh - rogoh lemari yang penuh obat, gerakannya terhenti mendengar tangisan.
Lagi-lagi tangisan perempuan, ia merinding, mendadak rasa sakitnya tidak terasa karena ketakutan. Suaranya kali ini terdengar jelas dari balik sebuah bangsal yang tertutup tirai putih.
Tidak seperti tangisan perempuan yang di kamar mandi membuatnya lari terbirit-birit, kali ini ia penasaran tangannya menyingkap kain itu dnegan jantung yang bertalu-talu.
Begitu dibuka matanya melotot, napasnya tercekat, tubuhnya mematung.
Bukan penampakan hantu yang ia lihat melainkan sepasang manusia yang tengah berpelukan erat.
"Nai?" si perempuan lebih dulu mendorong si laki-laki, juga terkejut melihat kehadiran Nai di sana.
Nai tidak memerlukan obat maag lagi, karena sakit yang ia rasakan kini bukan berasal dari lambung, tetapi dari hatinya. Ia langsung berbalik dan berlari keluar, tidak peduli namanya dipanggil berulangkali.
Ia hanya ingin kabur dari sana.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro