25: Peduli
Mobil yang Vrinn dan Bara tumpangi mogok di perjalanan, san ayah panik meminta Vrinn untuk naik ojek online atau taksi saja. Tetapi putri sulungnya itu menolak, berisikeras menemani Bara membenarkan mesin yang diduga rusak.
Untung saja Bara sudah pakem dalam pengalaman menyetir dan membenarkan mobil sehingga seperti seorang montir profesional ia mengutak-atik mesin tidak sampai tiga puluh menit akhirnya mobil bisa dihidupkan kembali. Melihat tangan ayahnya yang kotor, memikirkan bahwa pria itu harus ke kantor untuk bekerja, tidak tega Vrinn membiarkannya begitu saja. Ia mengambil botol minumnya, menuangkan ke tangan sang ayah.
"Nanti kamu minum apa?" tanya Bara kala itu melihat isi botolnya tinggal setengah.
"Di kantin banyak jual minuman, papa tenang aja," jawab Vrinn sambil mengambil tisu di dalam tasnya, mengelap tangan basah Bara tanpa diminta.
Tindakan impulsif Vrinn membuat Bara terenyuh, tangannya terulur untuk mengusap bahu perempuan itu. "Terima kasih putri ayah yang baik hati."
Karena malu dipuji oleh ayahnya, Vrinn menundukkan kepalanya, buru-buru memasukkan tisu dan dan botol ke dalam tas. "Ayo, Pa, berangkat. Nanti Papa telat masuk kantor."
Lagi-lagi Bara tertegun dengan anaknya, bagaimana Vrinn lebih memikirkan dirinya dibandingkan kenyataan bahwa kemungkinan perempuan itu terlambat lebih besar dibandingkan dirinya. Kendati begitu, Bara tetap melaksanakan perintah anaknya, ia masuk ke dalam mobil dan membawa mereka ke tujuan.
Ia melirik Bara yang mengembuskan napas lega karena berhasil sampai di depan gerbang sekolah sebelum bel masuk berbunyi. Vrinn menyalin tangan pria itu pamit untuk masuk ke sekolah, ia memberikan senyuman lebar.
"Terima kasih, Pa. Vrinn masuk dulu," ucapnya lalu melambai, menunggu mobil yang dikendarai oleh ayahnya itu bergerak semakin menjauh barulah ia berbalik lalu masuk ke dalam sekolah.
Ia memang terbiasa datang lebih awal, ketika sekolah masih sepi, rasanya lebih menyenangkan ketimbang saat sekolah sudah ramai. Bukan apa, ia hanya benci keributan. Seperti saat ini, keadaan sekolah sangat riuh ramai.
Sepanjang perjalanan ia merasakan semua mata memandangnya. Tidak pertama kali ia mendapatkan hal ini, hampir setiap hari. Apalagi saat-saat ia baru pulang lomba dan berhasil membawa banyak piala.
Namun, Vrinn sadar bahwa ada yang berbeda dengan pandangan mereka, karena mereka melihatnya lalu berbisik satu sama lain. Ia juga tak melihat muka kagum melainkan lirikan mengejek juga merendahkan.
Tubuhnya seketika kaku, langkah berat, ia berhenti sejenak di koridor. Melihat ke sekitar, benar saja saat ia menatap balik orang-orang itu, mereka seketika diam seperti seseorang yang ketahuan berbuat salah. Vrinn semakin yakin ada yang tidak beres, biasanya mereka akan menyapa atau setidaknya saling melempar senyum.
Langkah menuju kelas berhenti ketika melihat kerumunan di depan mading, jantungnya berdetak kencang, telapak tangannya dingin. Napasnya memburu, perlahan ia membawa dirinya untuk melihat apa yang terjadi.
Kedatangan Vrinn disambut tatapan terkejut juga dari manusia-manusia di sana, kembali ia mendengar bisik-bisik itu. Tanpa dikomando semuanya membuka jalan membiarkan Vrinn melihat tiga foto di sana, karena ukurannya yang sangat besar dari jauh pun ia sudah dapat mengetahuinya.
Tubuhnya membeku, kakinya lemas, kepalanya seakan dihantam batu besar, matanya mulai berair. Belum sempat ia bereaksi, tangannya direnggut oleh seseorang, menarik tubuhnya untuk menjauh dari sana.
Sampai di tempat yang lumayan sepi, ada tiga orang yang menunggu ia menjelaskan sesuatu. Tetapi bibir Vrinn terlalu rapat terkunci, juga lidahnya yang kelu, tenggorokan kering.
"Itu bohong, kan, Vrinn?"
Seorang gadis berambut pendek, mata belonya menatap Vrinn dengan harapan sahabatnya itu bisa menjelaskan bahwa foto-foto yang barusan mereka lihat hanyalah editan.
"Gila jahat banget yang ngelakuin itu. Kita udah menghubungi petugas mading, istirahat nanti fotonya bakalan dicopot." Bona menjelaskan sambil mengelus punggung Vrinn.
Lia hanya terdiam sambil memegang erat tangan temannya itu. "Kamu sabar, ya, padahal kamu baik ada aja yang benci."
Seharusnya perkataan teman-temannya itu bisa menenangkan, hanya saja hatinya seakan tercubit mendengar segala pembelaan itu.
Vrinndani menggeleng, ia mengecewakan mereka semua. Ternyata sudah tiba masa yang dikatakan Lingga. Pemuda itu beneran ingin menghukum dirinya.
Satu isak meluncur bersamaan dengan air matanya yang mengalir dengan deras, kemudian semakin pecah saat Wynaa mendekapnya, memberikan pelukan erat.
Entah apa yang lebih menyakitkan, foto yang terpajang di mading atau mengetahui teman-temannya tetap membala dam berusaha berpikiran positif padanya, padahal fakta yang ada foto itu asli bukan editan.
***
Setelah mendapatkan kuncinya, Bagas buru-buru mengambil foto-foto itu lalu ia sobek sampai menjadi beberapa bagian kecil-kecil. Amarahnya bergejolak, ia menatap nyalang tiga pengurus mading yang kini menunduk ketakutan di depannya.
"Di antara kalian siapa yang melakukannya?" tanyanya sambil melemparkan puing-puing kertas ke wajah mereka.
"Sialan kalian berani bermain-main, ya? Ngaku atau kalian akan kuhabisi!" bentak Bagas yang langsung ditahan oleh temannya Rega.
"Sabar bro. Lo mau dipanggil guru BK karena melakukan senioritas?" ucap Rega menahan agar Bagas tidak melewati batas pada anak kelas sebelas di depannya.
Mereka kini memegang kendali atas mading, itu artinya segala hal yang dimuat dalam majalah dinding itu adalah tanggung jawab mereka. Tidak mungkin hal ini tidak ada campur tangan mereka.
"Sialan kalian, anjing!" Lagi-lagi Bagas tidak tahan untuk membentak sambil mengumpat. Membuat Rega harus melihat ke kanan dan kiri memastikan tidak ada guru lewat.
"Udah-udah, Gas." Rega kini beralih pada dua siswa dan satu siswi itu, masih dengan kepala tertunduk menatapi keramik putih di bawah kakinya. "Kalian bisa pergi sekarang, tapi nanti siang selepas pulang sekolah kalian jumpai kami. Jangan ada yang kabur atau kalian tahu sendiri konsekuensinya," ancam Rega supaya tiga adik kelasnya tidak macam-macam apalagi kabur.
Setelah mereka pergi kini Rega menepuk pundak Bagas tiga kali. "Katanya mau move on, tapi gini aja lo enggak bisa nahan diri," sindir Rega yang langsung dihadiahi tatapan menyeramkan oleh Bagas.
"Diem lo!"
Rega tertawa lalu menyugar rambutnya yang kali ini tidak ia ikat sehingga rambut panjangnya tampak ia jatuh tepat di bahunya. "Santai, sensitif amat lo kayak pantat bayi."
Bagas tidak menggubris, karena mereka juga punya kelas yang akan mulai lima menit lagi, Bagas lebih memilih membawa kakinya beranjak menuju kelas ketimbang menanggapi Rega. Kelas mereka berada berhadapan lima kelas setelah kelas Vrinn.
Itu berarti ia akan melewati kelas perempuan itu sebelum sampai di kelasnya. Ketika melewati kelas IPA 1, langkahnya melambat, melihat ke dalam kelas lewat jendela berkaca bening. Mencari keberadaan Vrinn yang biasanya duduk di bangku paling depan. Tidak ada.
Hal itu membuat ia berhenti, Rega yang dari tadi mengekor dari belakang ikutan berhenti. Melihat temannya mencari-cari keberadaan Vrinn membuat Rega berdecak.
Bagas beberapa Minggu lalu mengumumkan akan melupakan Vrinn, juga pernah mengata-ngatai perempuan itu di salah satu sore. Kini Bagas malah terlihat sangat khawatir akan keadaan Vrinn. Sangat aneh, pikir Rega.
Kalau masih suka seharusnya diperjuangkan saja, tidak perlu gengsi lalu pura-pura ingin move on.
"Itu dia ada di belakang, di samping Bona," ujar Rega membantu Bagas mencari keberadaan Vrinn.
Benar kata Rega, perempuan itu ada di belakang di samping Bona. Tumben sekali tidak di depan, mungkin efek foto itu cukup mengguncang jiwa Vrinn. Bagas juga melihat wajah lusuh dan pucat Vrinn. Hatinya sakit, ia sangat cemas.
Tidak jadi melanjutkan ke kelas, Bagas malah memutar tubuh lalu berlari ke arah berlawanan meninggalkan Rega yang kebingungan.
***
"Please, bantuin gue untuk sekali ini aja," ujar Bagas memohon.
Ini sudah istirahat ke dua. Seharusnya Rega menghabiskan waktunya di kantin sambil menyantap mie ayam kesukaannya. Tetapi Bagas malah menariknya ke UKS, berhenti di depan ruangan berukuran empat kali enam meter itu. Ada empat bangsal di sana yang disekat oleh tirai putih. Seorang gadis terbaring lemas di bangsal paling depan, matanya terpejam dengan kening berkerut.
"Kenapa enggak lo aja, Bagas? Lo bisa nunjukin ke dia betapa pedulinya Lo sama dia," kata Rega berusaha menolak.
Ia ingin segera ke kantin, perutnya sudah meraung-raung meminta diisi.
"Di situasi seperti ini, gue enggak mau semakin membuat dia sakit." Bagas melihat tirai putih yang menjadi penutup keberadaan Vrinn di sana. "Gue bakalam isiin bensin lo selama sebulan, tapi tolong banget bantu gue."
Telinga Rega naik mendengar penawaran yang tidak main-main itu, kepalanya cepat mengangguk. "Deal!" Ia meraih plastik kresek dari tangan Bagas. "Cuma menemani dia dan ngasih makan doang, kan?"
Bagas menghela napas saat Rega menyebutkannya seolah-olah yang ia titipkan adalah kucing. "Gue serius, Ga. Gue takut dia kayak gini karena foto itu, gue pengen lo bantuin dia supaya agak hepi, lo kan anak teater pasti bisa dong."
"Yeee, gue anak teater bukan badut, Bang-ke!"
"Sama aja, lo hibur dia, ya. Gue mohon banget."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro