Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23 : Canda

Nai dapat melepaskan diri dari rentetan pertanyaan Rega setelah sampai di lokasi tempat bimbingannya. Sebuah gedung ruko tiga lantai bekas sebuah rumah makam yang bangkrut disulap menjadi tempat les dengan cat hijau lumut mendominasi. Bergaya modern dengan garis-garis struktur menghiasi penampakan gedungnya.

Perempuan itu turun dari motor bebek milik si abang kelas dengan bergegas melepas helm. Memberikan senyum kecil yang dipaksakan, ia membungkuk sebentar lalu mengucapkan, "Terima kasih, Bang Rega. Nai masuk dulu semenit lagi pelajaran dimulai."

Rega tidak menahan Nai kendati hatinya jengkel akibat pertanyaan yang tidak dijawab barang satu saja. Ia tahu Nai sungguhan mengenai satu menit pelajarannya dimulai. Makanya alih-alih memaksanya menjawab itu malah mengulurkan tangan mengacak rambut ikal milik Nai yang kini diikat menyerupai ekor kuda.

"Semangat," ucapnya, Nai mengangguk dua kali lantas segera membalikan badan.

Kakinya berjalan cepat, membuka pintu kaca. Udara dingin yang dihasilkan oleh teknologi bernama air conditioner menyambutnya, memberikan kesejukan di wajahnya yang tengah memanas.

Sudah tiga kali, Nai ingin memberikan kulkas pada Rega. Ia ingin berteriak di depan wajah Abang kelasnya tersebut mengatakan bahwa perbuatannya itu sungguh tidak hanya membuat rambutnya ambyar tetapi juga hatinya.

Memejamkan mata, bibirnya berkendut akibat kesulitan menahan senyuman lebar. Ia menggeleng-geleng berusaha menyingkirkan pikiran ini untuk sementara waktu karena sudah semenit berlalu artinya kini ia resmi terlambat.

Kepalanya menatap sebuah pintu yang menjadi penghalang saat ia ingin masuk ke dalam ruangan. Melihat nomor yang tertera di sana, lalu mengingat-ingat bahwa itu ruangan yang pekan lalu ia masuki juga.

Tangannya memutar kenop, mihat seorang wanita berkacamata dengan rambut sebahu. "Maaf terlambat, Miss," katanya sambil memberikan mimik memelas penuh penyesalan.

"It,s ok. Masuk dan duduklah di bangku.  Saya akan mengulang kembali materinya, kebetulan memang kita baru beberapa menit mulai. Kamu tidak terlalu terlambat."

Nai mengembuskan napas lega, ia berjalan masuk mencari kursi yang masih kosong, ada satu di bagian paling belakang.

***

Durasi bimbingan belajar yang Nai ikuti hanya sekitar tiga jam sama, per-jadwal beda-beda mata pelajaran. Hari ini matematika, meskipun pelajaran yang cukup sulit tetapi cara Miss Anna mengajar tidak membuat kepalanya mengepulkan asap.

Setelah Miss Anna mengakhiri kelas, Nai segera merapikan alat tulis di mejanya. Bersiap untuk pulang. Seliruh teman sekelasnya sudah keluar, ia sedikit ketinggalan mencatat tadi, akhirnya menjadi yang terakhir selesai.

Semuanya sudah masuk dalam ransel hitam milik Nai. Sebuah kaki mendekatinya, sepatu Converse yang membalutnya sangat familiar, ia segera mendongak mendapati Vrinn.

"Bagaimana Rega beneran mengantar kamu?"

Pertanyaan Vrinn membuat Nai mengingat kejadian Rega tiba-tiba menawarkan diri untuk mengantarnya. "Sudah gue bilang, gue bisa menjelaskannya sendiri."

"Maaf, Kakak enggak sengaja. Tadi kita ketemu di kantin. Dia maksa menjelaskan hubungan antara aku dan kamu. Jadi aku jelasin saja."

Nai mengingat kejadian di kantin, rasa kesal kembali menghampiri. Mukanya cemberut dengan bibir maju sesenti, bola matanya berputar. "Kakak enggak suka Bang Rega, kan?"

"Enggak lah," sergah Vrinn cepat. Ia tidak pernah kepikiran menyukai laki-laki. Berbeda dengan Bagas, Rega itu urakan, sering melanggar aturan sekolah. Contohnya memanjangkan rambut, seragam tidak dimasukkan dalam celana, jarang memakai ikat pinggang. Dulu langganan masuk ruang bimbingan konseling karena hobi mewarnai rambut, Rega selalu berlindung di organisasi yang dulu ia pimpin. Teater. Mengatakan warna rambutnya yang sering gonta-ganti adalah bentuk keprofesionalan.

Memang dalam masa Rega sebagai ketua teater, organisasi itu berada dalam masa jaya-jayanya. Sering memenangkan perlombaan, menyumbang banyak piala untuk sekolah. Meskipun begitu, reputasinya masih buruk di mata Vrinn. Ia menjauhi orang-orang penuh masalah.

"Jangan bilang kamu cemburu sama Kakak? Itu alasan kamu enggak jadi ketemuan sama dia?"

Air muka Nai langsung berubah, wajahnya memerah menahan malu. Sebagai bentuk pelindung diri, ia membuang muka, segera berdiri dan beranjak dari kursinya. Segera melengos meninggalkan Vrinn tanpa menjawab pertanyaan tersebut, yang justru menjadi validasi bagi Vrinn bahwa pertanyaan itu adalah pernyataan.

"Adikku ini lucu banget." Mengejar Nai yang kini berjalan cepat menghindari dirinya. "Kakak enggak suka Rega, bukan tipeku. Kamu jangan khawatir," katanya setelah berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Nai.

Sampai di depan, mobil bara sudah menunggu. Sebelum melanjutkan langkah, Nai berhenti sejenak dan menyerong. "Jangan sampai Papa tahu," katanya seperti perintah yang tidak boleh dibantah.

Vrinn mengangguk, ia kemudian kali ini mendahului Nai untuk menghampiri ayahnya. Seperti biasa Vrinn duduk di samping kemudi, sedangkan Nai memilih duduk di belakang.

"Bagaimana hari ini?" tanya Bara pada Vrinn sebagai awal pembicaraan mereka.

Nai memasang earphone ke telinga, malas mendengar obrolan dua manusia itu yang akan terjadi di sepanjang jalan.

***

Vrinndani tidak menyukai Rega. Lebih tepatnya tidak ada laki-laki di sekolahnya yang berhasil mengambil hatinya.

Itulah yang membuat kedua temannya itu berisik apalagi teman semejanya.

"Lo masih normal 'kan, Vrinn?" Wynaa bertanya seperti itu sambil mengunyah sebuah kerupuk ikan, yang setiap kali digigit berbunyi 'kress'.

"Pertanyaan kamu itu enggak perlu aku jawab, kamu tahu sendiri." Nai mencoba memfokuskan diri menjawab soal matematika di dalam buku tugasnya. Sedari tadi ia diganggu oleh sederet pertanyaan yang dilemparkan Wynaa dan Bona.

Ada satu orang lagi bersama mereka, Lia. Tetapi perempuan itu memilih untuk sama-sama mengerjakan tugas alih-alih ikut nimbrung dalam pembahasan Bona dan Wynaa.

Orang yang berkacamata biasanya dipandang sebagai murid kutu buku yang ambis, rajin belajar dan hobi baca buku. Bona lain, perempuan itu lebih menyukai nonton drakor, sering melupakan tugas dan hobi menggosip.

"Sebagai bukti, coba kasih tahu kriteria cowok idaman lo," celetuk Bona tidak membiarkan Vrinn lepas begitu saja.

Vrinn terpaksa meninggalkan tugasnya, ia mengetuk-ngetuk pulpen pada meja. Berpikir keras, sebelum tidak pernah ia memikirkan itu. Otaknya menyortir beberapa kriteria yang harus di sebutkan. Mulutnya terbuka ingin memberitahu, tetapi lebih dulu diserobot oleh seseorang.

"Pria kaya raya, lebih tua darinya."

Keempat perempuan itu segera melihat si sumber suara.

"Lingga!" teriak Wynaa, sudah hampir satu bulan tapi sikap Wynaa masih sama, selalu heboh bila ada Lingga. "Gue juga gitu, kok. Omong-omong katanya Lingga itu pernah mundur kelas karena sakit, ya? Pasti Lingga umurnya di atas kami, terus Lingga anak pemilik yayasan pasti kaya. Lingga emang idaman."

Bona menoyor kepala Wynaa, tingkah perempuan itu memang kerap buat malu. "Dia memang gitu, Ngga. Kayaknya lupa minum obat tadi pagi," seloroh Bona yang dihadiahi pelototan tajam dark Wynaa. Mereka kemudian tertawa setelahnya, tidak dengan Vrinn.

Benaknya mendadak tidak enak, apapun yang berhubungan dnegan Lingga selalu bersifat merusak keadaan perasaannya.

"Om-om, sih. Vrinn suka om-om," kata Lingga sambil tertawa.

Bona, Wynaa dan Lia tertawa menganggap perkataan Lingga barusan adalah lelucon biasa. Sedangkan Vrinn bersuara menahan diri untuk tidak kabur dari sana. Tangannya sudah dingin bersamaan dengan irama jantung yang berdetak kencang.

"Iyes, Vrinn memang sukanya om-om. Butuh Sugar Daddy, sebenarnya gue juga mau sih. Males kuliah apalagi kerja gue setelah lulus nanti." Wynaa mengelap jemarinya yang sedikit kotor akibat remahan kerupuk ke tisu. "Lo ada kenalan sugar Daddy nggak, Ngga?" tanyanya meneruskan candaan Lingga.

"Ada." Lingga lalu melihat Vrinn dengan senyum miring. "Bokap gue. Udah cerai, butuh belaian tuh." Laki-laki itu tertawa, kini terdengar begitu getir di telinga Vrinn. Tetapi teman-temannya tidak ada yang menyadari.

Wynaa masih tertawa. "Gila, dark banget candaan lo, Ngga. Tapi boleh juga."

"Iya, Ngga. Ajarin kita untuk meluluhkan bokap lo dong." Bona ikut menimpali, memegang perut karena terlalu bersemangat tertawa perutnya jadi sedikit sakit.

"Tanya Vrinn saja, dia pintar pasti tahu caranya."

Vrinn merasakan tubuhnya gemetaran. Teman-temannya masih menganggap itu candaan, tentu saja Lingga bermaksud menyindir dirinya.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro