Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20 : Rega

Vrinn menepati janjinya begitu ia sepakat dengan perjanjian malam itu. Pagi tadi Bara tidak lagi mengingatkan untuk pergi bimbingan seperti hari-hari sebelumnya. Entah bagaimana cara perempuan itu membujuk sang ayah hingga mau berubah pikiran, seingat pria yang bulan depan memasuki kepala lima itu sangat tegas, bila sudah mengatakan A maka A, tidak terbantahkan.

Mungkin Nai yang melupakan kenyataan bahwa Vrinn adalah anak kesayangan termasuk anak yang paling dekat dengan sang ayah. Tetapi apapun itu ia sudah tidak terlalu peduli, mungkin di awal-awal mengetahui sifat pilih kasih ayahnya Nai sangat cemburu, hampir tiap hari marah-marah.

Sekarang ia sudah memilih untuk bodo amat. Ya, meski sesekali Nai juga ingin merasakan kedekatan yang sama. Ia lupa bagaimana cara bicara dengan sanga ayah sambil menatap pria itu dengan berani, atau kapan terakhir kali ia bisa bersenda gurau dengan beliau.

Nai rasa sudah lama sekali.

Menggeleng kepala kuat-kuat, ia tidak boleh cengeng!

Menguatkan diri saat matanya mulai berkaca-kaca, mengerjap-ngerjap beberapa kali agar cairan bening di dalamnya tidak terjatuh.

Ia seperti biasa tidak pulang, memilih menunggu di sekolah karena lagi-lagi sayang uang. Kali ini Andien keras kepala ingin menemani Nai hingga jam tiga. Katanya ia tidak tega membiarkan Nai sendirian di kelas.

"Nai-Nai!"

Panggilan dengan suara cempreng membuat ia segera menengok ke sampingnya. Matanya menemukan wajah berseri-seri dengan mata berkilauan milik teman semejanya.

"Kenapa lo?"

"Gue di-follow back Bang Bagas!"

Ia mendengus, bukan informasi yang penting dan luar biasa seperti ekspektasinya ketika melihat ekspresi Andien.

"Lo tahu 'kan Bang Bagas itu pentolan sekolah? Asal lo tahu dia juga terkenal di Instagram. Followers-nya tiga belas ribu. Sedangkan yang dia ikuti cuma seratus akun, dan akun gue salah satunya. Seneng banget gilaaa."

"Oh. Congrats."

Tanggapan singkat yang diberikan Nai membuat Andien mengerucutkan bibirnya, tidak suka dengan cara perempuan itu seakan tidak peduli.

"Kenapa lagi sekarang?" tanya Nai melihat perubahan raut wajah Andien.

"Kok cuma gitu doang?"

Memutar matanya malas, sungguh ia tidak pandai berakting, memangnya harus bagaimana dirinya menanggapi? Mungkin harus ikutan heboh?

"Wow, Andien. Selamat anda sangat beruntung sekali menjadi manusia paling hoki karena telah difollback Abang tingkat super kece. Wow. We, o, we. Wow. Selamat."

Bukannya senang, Andien semakin cemberut ia mendorong bahu Nai kesal hingga tubuh temannya bergeser ke samping, untung saja tidak sampai membuatnya jatuh dari kursi.

"Rese lo, ah! Nyebelin banget!"

"Ye, gue udah berusaha Ndien."

"Malesin. Gue bad mood."

Semenit setelah Andien melancarkan aksi mogok bicara, perempuan itu kembali berteriak heboh memanggil Nai. Mau tidak mau Nai harus terusik kembali.

"Nai-Nai!"

"Ya. Kali ini apa?"

Andien masih menutup mulutnya tidak percaya, tangannya menggoyang-goyangkan ponsel di tangan.

"Gue beruntung banget hari ini, Nai. Tadi bang Bagas sekarang Bang Rega juga mengikuti Instagram gue!"

Satu nama dengan empat huruf itu membuat Nai menegakkan tubuhnya dan memandang tidak percaya pada Andien. Kali ini ia ikutan syok. Matanya membulat sempurna, kemudian menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Bagaimana mungkin Andien sudah difollback sedangkan dirinya yang sejak pertemuan pertama sudah mengikuti laki-laki itu saja tidak jua dapat follback sampai sekarang.

Nai mengambil ponsel perempuan itu untuk melihat langsung notifikasi yang menunjukkan ia difollback.

"Kok bisa sih?" tanyanya sewot lalu berulangkali mengecek itu beneran apa tidak. Sampai melihat di daftar akun yang diikuti Rega, nama Andien ada di sana. Ia mengerang keras, hendak melempar ponsel itu untungnya ditahan Andien.

"Emangnya dia kenal lo?"

"Sejak kapan juga lo follow bang Rega?

"Kok gue enggak?"

Tiga pertanyaan beruntun itu disertai nada menggebu-gebu. Tanggapan temannya kali ini membuat Andien terperangah, keningnya berkerut. Sangat berbeda dengan yang pertama, membuat ia menaikkan sebelah alisnya lalu mengamankan ponsel ke dalam laci karena takut Nai bisa berbuat nekat lalu melemparnya.

"Lo suka Bang Rega?" tuduhnya sebagai spekulasi pertama juga alasan yang masuk akal akan reaksi berlebihan Nai.

Nai segera menggeleng kuat "Enggak!"

"Ganteng, sih, meskipun lebih gantengan Bang Bagas. Bang Rega manis, senyumnya lucu matanya menyipit gitu sampai hilang."

Penjelasan Andien membuat gelora cemburu di dadanya kian membara, mengapa Andien sampai menghapal kebiasaan menutup mata Bang Rega kala tersenyum?

"Biasa aja." Nai membuang muka memberikan respon tidak tertarik pada pembahasan Andien.

"Bang Rega tinggi banget, kayaknya seratus tujuh delapan atau mungkin seratus delapan puluh sentimeter. Gue pasti kalau sebelahan sama dia kelihatan mungil banget. Apalagi lo, Nai."

Andien masih terus membicarakan Rega, sedangkan Nai berusaha mengabaikan, tak mau kedapatan memberikan respon berlebihan lagi. Ia harus mengontrol diri.

"Desas-desusnya dulu Bang Rega sama Bang Bagas pernah berantem gara-gara cewek."

Telinganya menangkap sebuah topik menarik, ia tak sanggup menguasai diri kini malah menunggu Andien berbicara lagi. Ia penasaran.

"Tapi itu dulu. Sekarang mereka jadi sahabatan. Belum ada kabar mereka dekat sama siapa, terakhir kali Bang Bagas nembak Kak Vrinn di kantin tapi ditolak mungkin mereka memilih untuk fokus belajar. Anak kelas dua belas kan harus mempersiapkan diri untuk kelulusan."

Diam-diam Nai mengembuskan napas lega, bersyukur ternyata Rega belum ada gandengan. Perlahan perasaan Nai membaik ia tidak sabar bertemu Rega di latihan nanti.

"Sekarang jujur, lo suka sama Bang Rega, kan?"

Nai tetap tidak mengaku dengan menggeleng. Ia merasa tidak perlu mengumbar perasaannya pada orang lain, lagipula rasa sukanya ini memiliki potensi bertepuk sebelah tangan. Ia sadar diri kalau Rega terlalu jauh untuk ia jangkau, mengingat di organisasi teater juga banyak cewek cantik mana mungkin ia bisa bersaing dengan mereka.

"Aku anggap iya. Lo enggak perlu berbohong wajah lo udah menjelaskan semuanya."

"Sok tau lo, udah jam setengah tiga aku ke ruang teater aja. Lo bisa pulang sekarang."

Nai menyampirkan ransel ke pundaknya, ia merogoh laci untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Bergerak lebih dahulu pergi sebelum Andien selesai membereskan barang-barangnya.

"Langsung pulang, ya, Andien!" kata Nai yang kini sudah di depan pintu, ia melambai pada Andien yang masih menyusun beberapa bukunya ke dalam tas. Meskipun sibuk perempuan itu tetap membalas lambaian Nai sambil mengangguk.

Meskipun terkesan tidak tahu terima kasih, Andien tidak marah pada Nai. Mungkin memang tidak ada ucapan terima kasih yang terucap dari bibirnya, pun Nai yang meninggalkan Andien begitu saja tanpa menunggu.

Menurutnya Nai punya bahasanya sendiri. Seperti perkataannya tadi sebelum pergi, itu menyiratkan rasa peduli pada Andien untuk tidak berlama-lama di sana.

Memang butuh kepekaan tinggi untuk melihat kepedulian dalam diri Nai.

***

Sudah pukul tiga sore, pandangannya menyapu sekeliling mencari-cari sesosok laki-laki yang bersemayam di kepalanya beberapa hari ini.

Para senior sudah membagikan kertas dialog, tentunya Nai tidak kedapatan sebab tugasnya sebagai pohon hanya diam dan bergoyang saja.

Sesil sebagai pemeran utama sedang memeragakan hasil latihannya selama seminggu ini di depan bersama seorang laki-laki saling bertukar pujian.

Kaku, mana enggak hapal dialog.

Nai mencibir dalam hati, ia masih belum bisa menerima kenyataan Sesil sebagai pemeran utama hanya karena cantik. Ia tidak bersemangat latihan kali. Sejam berlalu begitu berat, ia bosan setengah mati karena orang-orang di sana seakan mengabaikan dirinya.

Mereka sibuk memberikan arahan pada Sesil karena ini sudah kesalahan ke dua puluh lima yang perempuan itu lakukan. Dari bulir-bulir keringat sebiji jagung di keningnya, Nai tahu sebenarnya Sesil sudah lelah hanya saja segan menolak seniornya untuk terus mengulangi bagiannya.

Nai meletakkan kardus yang dibentuk menyerupai pohon di atas lantai, ia tidak akan pernah dipanggil sebab mungkin ini adalah latihan khusus pemeran utama.

Ia mengembuskan napasnya berat. Biasanya latihan teater tidak pernah semembosankan ini.

Mengambil benda pipih berwarna putih dalam saku celana trainingnya. Hendak melihat-lihat Instagram untuk membunuh rasa bosan yang menghinggapi dirinya.

"Dialog sependek itu saja lo enggak hapal, seminggu ini kamu latihan di rumah nggak, sih?" seorang senior perempuan mulai tidak kuat mengajari Sesil. Ia melempar kertas naskah ke lantai dengan cukup keras membuat semuanya mendadak diam.

Suasana mendadak tegang, Nai memilih menyimpan kembali ponselnya karena takut terkena imbas kemarahan si senior.

"Ini juga untuk kalian semua!" Reno si ketua bersuara membenarkan kemarahan Linda si sekertaris. "Kalau disuruh latihan di rumah ya, latihan. Kalau kayak gini buat habis waktu."

Laki-laki itu mendekat ke Sesil lalu mengelus bahu perempuan itu karena dari rautnya Sesil sudah hendak menangis. "Sudah lo jangan sakit hati, Dek, Linda ngomong gitu karena capek aja."

Ck! Nai mendengus pelan. Reno kelihatan sekali peduli dengan Sesil melebihi sekedar senior ke junior. Masih ada dendam di hati Nai pasal penukaran peran tempo hari.

"Coba sekali lagi kalian peragakan, enggak apa-apa baca teks. Gue mau lihat chemistry kalian." Lina menyuruh Sesil dan Gala, cowok pemeran utama, untuk mengulang sekali lagi.

Mereka kemudian melakukannya. Tetapi hasilnya sama, malah kelihatan cuma seperti membaca doang tidak memerankan apa-apa.

"Bener-bener nol banget kalian!" bentak Linda lalu menyugar rambutnya.

"Sampah! Dasar sampah, baru kali ini anak teater ada sekaku ini. Tujuan kalian masuk sini untuk apa? Kalau kaku begitu mending ikut paskibra sana!"

Mungkin lebih baik menghadapi kebosanan daripada mendengarkan amarah senior pikir Nai menyesali sempat mengeluh tadi.

"Kenapa teriak-teriak sih? Kayak orang kesurupan aja."

Sebuah suara mengambil atensi semua orang. Berani sekali orang itu menyela Linda saat sedang mengomel, sebelum melihat dari mana asal sumber suara itu, Linda sudah bersiap untuk mengamuk. Tetapi ketika matanya melihat sosok jangkuk dengan rambut gondrong yang diikat berjalan mendekat, ia merapatkan mulutnya.

"Begini kamu mengajari juniormu?"

Itu Rega.

Nai besorak riang dala hati akhirnya bisa melihat orang yang ia tunggu-tunggu sejak tadi, semakin senang kini Rega sedang mengakhiri drama marah-marah para seniornya.

"Saya dulu mengajari kamu caranya begini?"

Mendengar kalimat formal dari Rega membuat Linda, Reno juga pengurus lainnya mati kutu.

Rega sudah di depan, berdiri di depan Sesil yang menunduk takut, perempuan malang itu kini tidak bisa menahan air matanya. Selain takut, Sesil juga merasa bersalah telah membuat kekacauan.

"Kamu jangan takut, saya tidak akan teriak-teriak." Rega menepuk pundak Sesil dan mengisyaratkan perempuan itu agar menegakkan pandangan.

"Apa yang membuat kamu kesulitan menghapal dialog?"

"Sa ... saya takut, Bang. Sebenarnya saya agak gugup soalnya ini pertama kali menjadi pemeran utama," aku Sesil.

"Kamu demam panggung?"

Sesil menggeleng. "Hanya kurang persiapan, Bang. Mungkin benar kata Kak Linda saya kurang latihan di rumah."

"Oke, janga dipaksakan. Kita masih punya waktu banyak untuk latihan. Kamu bisa istirahat dulu, saya tahu kamu capai."

Setelah itu latihan dihentikan sementara, Rega menyuruh semuanya istirahat dahulu lima belas menit.

Matanya tidak berkedip melihat Rega, ia takjub. Jiwa pemimpin Abang kelasnya itu cukup menguar kuat.

Rega juga tidak memarahi Reno, Linda dan pengurus lainnya tadi, melainkan meminta mereka pergi ke belakang sebentar untuk berdiskusi dan memberitahu baik-baik.

Kalau begini Nai semakin jatuh hati padanya.

Lima belas menit berakhir, latihan dilanjutkan semua pemeran kini mendapatkan giliran menunjukkan hasil latihan termasuk Nai, ia bahkan tidak diminta untuk mengulang karena sudah memuaskan ekspektasi para seniornya.

Dua jam yang tersisa untuk latihan berlalu tanpa terasa. Nai berpamitan untuk pulang lebih dulu saat mereka berencana untuk nongkrong di sebuah cafe dekat sekolah.

Ia tidak mau ketinggalan angkot, bisa kena omel Bara, ayahnya, jika pulang saat langit sudah gelap.

Tidak hanya Nai, beberapa teman seangkatannya juga lebih memilih pulang dibanding nongkrong. Termasuk Sesil. Untuk pertama kalinya ia berbicara dengan perempuan itu sejak masuk teater.

Itu juga karena kondisinya ia tinggal berdua dengan Sesil ketika menunggu angkot, teman-temannya yang lain lebih dahulu pergi karena bawa motor sendiri.

"Semangat, ya. Lo pasti capek banget tadi," ujar Nai melakoni peran teman baik yang terbiasa berbagi semangat ke orang lain, padahal kenyataannya ia masih menyimpan sedikit rasa isi juga rasa tidak terima Sesil menjadi pemeran utama.

"Badanku rasanya remuk, Kak Linda terlalu memaksa gue. Sebal, tapi senior," keluh Sesil.

"Sabar aja, masih permulaan."

Sesil mengangguk, ia lalu mengangkat kepala mengingat sesuatu. "Ah, ya, tadi penampilan lo keren. Lo seharusnya dapat peran yang lebih lagi," ucap Sesil bersemangat, perempuan itu mengingat penampilan Nai yang menurutnya bagus sekali.

"Ah, cuma goyang-goyang mah semua orang juga bisa." Nai mengibaskan tangannya di wajah, sedikit malu mendapati pujian dadi Sesil.

"Serius, bukan cuma peran lo jadi pohon. Tapi waktu seleksi hari itu juga. Gue heran kenapa bukan lo aja yang jadi pemeran utama, you deserve better."

Nai menatap tidak percaya pada ucapan Sesil, hatinya terenyuh. Ada rasa tidak enak mengerubungi perasaannya, rasa bersalah karena sempat menaruh dendam pada Sesil padahal kenyataannya dari awal Sesil sama sekali tidak bersalah.

"Thank you, Sil. Lo yang lebih cocok jadi  pemeran utama, cuma mungkin lo terlalu grogi tadi. Wajar, sih, ini pertama kali buat lo. Semangat, ya, semoga minggu depan bisa lebih baik."

Sesil mengangguk, ia pamit pada Nai saat mobil jemputannya datang. Meninggalkan Nai sendirian.

Selama ini ia membenci Sesil tanpa alasan, mengatasnamakan ketidakadilan yang ia terima, padahal kenyataannya bukan salah perempuan itu. Ia terlalu berlebihan.

Mulai sekarang ia tidak akan membenci Sesil lagi, kelihatannya Sesil juga teman yang baik.

"Dor!"

Dari belakang tubuhnya dorong kecil, tetapi karena ketidaktahuan membuat ia terkejut dan agak oleng, untuk saja ia masih sigap mempertahankan diri, kalau tidak bisa jatuh tersungkur dirinya. Posisinya kakinya terangkat sebelah dengan posisi seperti senam lantai gaya pesawat.

Sambil memegang dadanya, jantungnya sempat serasa mau copot tadi. Suara gelak tawa membuat ia semakin jengkel. Tetapi pelaku yang mengagetkan dirinya kini memegangi perut saking tidak kuat melihat ekspresi Nai.

"Bang Rega. Kalau jantung gue tadi copot gimana?" katanya lalu memberikan pukulan ringan pada bahu laki-laki.

"Sorry-sorry. Enggak bermaksud, tapi lo lucu banget."

"Enggak lucu." Nai memasang wajah datar.

Rega berhasil menghentikan tawanya, "Lo kok belum pulang?"

"Angkotnya belum lewat, Bang. Mungkin bentar lagi."

"Mau bareng gue aja, nggak?"

Perempuan itu menggeleng, "enggak perlu, Bang. Angkotnya bentar lagi, kok. Lagipula emang Bang Rega bawa kendaraan? kemarin Nai lihat kok naik angkot."

Rega memasukkan tangannya ke dalam saku sweaternya, lalu mengendikkan bahu. "Motor gue rusak. Beneran enggak mau sama gue? Lebih cepat dan hemat ongkos loh."

"Nai enggak mau merepotkan, Bang."

Sebuah decakan keras dari mulut Rega, "Halah gaya lo. Jangan sungkan-sungkan."

Mereka mungkin sudah cukup dekat karena sudah melalui beberapa kali pertemuan. Tetapi benaran Nai merasa tidak enak.

"Ya sudah deh kalau kamu ngotot nolak. Gue balik duluan ya." Rega pun berbalik setelah mendapat anggukan dari Nai.

Pria itu menghampiri motor maticnya yang ia parkir tidak jauh dari posisi Nai. Menaikinya dan menghidupkan mesin, ia melambaikan sebelum bergerak maju bergabung bersama kendaraan lain di jalan.

"Huft, Nai bodoh padahal itu penawaran menari! Gengsi Lo gede banget." Nai merutuk diri selepas kepergian Rega.

Ia kembali menunggu angkot yang tidak jua datang, semenit berubah menjadi setengah jam, lalu satu jam. Angkotnya tidak lewat-lewat. Langit sudah menghitam, perasaan Nai mulai tidak enak. Ia membayangkan Bara di rumah sudah menunggunya untuk diomelin.

Kakinya yang sudah lama berdiri mulai sakit, pegal-pegal merayapi betisnya. Ia berjongkok, matanya mulai memanas. Uang disakunya hanya cukup untuk ongkos naik angkot tidak cukup bila digunakan memesan ojek online. Terlebih ia cukup enggan meminta ayahnya menjemput.

Hidungnya berair, ia takut. Bingung harus pulang dengan apa jika angkot beneran tidak datang-datang. Berencana nekat menelepon Bara dengan ketentuan akan disemprot selama perjalanan hingga sampai rumah.

"Sudah gue bilang pulang bareng gue aja."

Suara Rega membuat Nai mendongak mendapati pria itu di depannya, masih dengan pakaian yang sama sejak terakhir kali ia lihat.

"Ayo, naik. Lo mau sampai pagi nunggu angkot datang?"

Nai menggeleng, ia kini patuh lalu naik ke boncengan motor metik Rega.
Lalu motor itu dipacu bergerak cepat seakan tahu Nai ingin pulang secepatnya.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro