2: Nama
Naeena Prameswari, perempuan itu tidak masalah dengan nama belakangnya, lagi pula itu indah. Hanya saja nama depannya yang begitu ambigu. Naeena, kurang satu huruf saja, maka artinya akan berubah total. Sebenarnya namanya dibaca Nai-na, tetapi kalau orang baru yang tidak tahu cara pelafalannya bakalan ketawa baca namanya.
Seperti Andien yang masih terbahak setelah membaca nama di atas sampul bukunya.
"Aseli, Nai. Orang tua lo kreatif banget menciptakan nama, lagi pula lo tercipta oleh proses itu."
Nai tidak marah pun tidak kesal. Tapi, Andien sudah ia masukkan dalam daftar hitam orang-orang yang tidak ia sukai. Menurutmu saja siapa yang suka namanya diolok-olok, semenjijikan itu pula. Nai pikir sebagaimana anehnya namanya, Andien tak pantas segamblang itu untuk menghina.
"Maaf-maaf, Nai. Gue cuma gak tahan aja dengan nama lo yang super unik. Gue enggak maksud menghina," kata Andien melihat wajah Nai yang dari tadi datar saja mengahadapinya.
Sayangnya Nai tidak peduli lagi dengan gadis tersebut. Ia mengangkat bahu cuek lalu sibuk dengan ponselnya, tidak menghiraukan Andien yang mendadak merasa tidak enak, apalagi sekarang ia malah dicuekin begitu saja.
Kalau bisa, Nai sebenarnya juga ingin mengubah namanya. Ia tidak menyukainya. Kenapa, sih, seorang anak tidak bisa menentukan namanya sendiri? Bukannya seorang manusia berhak atas segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya sendiri, bahkan bila itu nama? Nai bingung kenapa namanya bisa seaneh ini, ketika jelas-jelas Vrinn punya nama yang sangat indah.
Vrinndani Prameswaray. Astaga, nama saja sudah tidak adil, pikir Nai. Tayangan komedi yang berputar di layar ponselnya tidak menarik minatnya lagi. Setiap kali memikirkan betapa tidak adilnya kehidupan terhadap ia dan Vrinn, Nai selalu saja mendadak bad mood.
"Gue mau ke kantin, lo ikut enggak?" Sebenarnya pertanyaan ini hanya sekadar basa-basi saja, Nai tidak serius untuk mengajak Andien. Seperti katanya tadi, Andien telah ia masukkan dalam daftar hitam. Namun, ia masih punya sedikit sopan santun, jadi alih-alih langsung melenggang pergi, ia justru bertanya seperti itu pada Andien.
"Ikutlah, laper juga gue ini."
Ternya basa-basi itu seharusnya tidak ia lakukan, ia pikir Andien bakalan menolak, soalnya perempuan itu terlihat serius saat memindahkan materi dari papan tulis ke buku catatannya.
"Ya, udah, ayok. Keburu perut gue makin berbunyi."
Perihal nama tadi, Nai sebisa mungkin membuat orang-orang hanya kenal dirinya sebagai "Nai", ya N-a-i. Mereka tidak perlu tahu yang lain, sebab itu akan membuat ia digunjingkan.
Pada masa orientasi siswa kemarin, ia bahkan hanya mengenalkan dirinya sebagai Nai di depan kelompoknya. Yang tahu nama panjangnya hanya senior, itu pun beberapa.
Sudah kenyang dulu sewaktu SMP ia di-bully karena nama tersebut. Ia tidak akan pernah mau mengulanginya sekarang.
Kantin SMA Bakti Jaya ada dua, kantin satu di dekat kelas dua belas MIA 1 (matematika dan ilmu alam), kantin dua di dekat ruang guru. Yang paling ramai adalah yang dekat kelas dua belas MIA 1, selain karena jaraknya yang lebih dekat, para siswa juga enggan bertemu dengan guru saat jajan bila ke kantin yang satunya. Lagi pula, kantin ini juga memiliki menu makanan yang lebih beragam.
Jadi, Nai dan Andien sama seperti mayoritas siswa yang lain juga memilih makan di kantin Satu. Sayangnya mereka tidak tahu, kalau jam istirahat sudah berbunyi sejak lama, maka tempat itu bisa di pastikan sudah dipadati banyak siswa. Tidak ada lagi meja kosong yang tersisa. Antrian panjang sudah mengular di stan-stan penjual.
"Nai, ini kantin apa pasar tanah Abang. Ramai banget."
"Mana gue laper banget." Nai mengelus perutnya yang berbunyi. Kalau tahu begini ia pasti akan langsung lari ke kantin saat bel istirahat berbunyi. "Yaudah kita beli makanan terus makannya di kelas."
Tidak ada pilihan lain yang lebih baik, Andien setuju dan mereka kini mengambil posisi di salah satu stan yang antriannya panjang.
"Semoga aja kita enggak kehabisan, ini panjang banget, gue jadi sangsi."
Ada sesal tersendiri bagi Nai melewatkan sarapan, perutnya sensitif dan punya asam lambung yang hobi naik membuat ia tersiksa. Saat perutnya mulai nyeri, bayangan nasi yang berhamburan di lantai mengusiknya.
Mungkin ini balasan dari perbuatan menghina makanan. Tapi, Nai tidak suka saat Vrinn mulai sok baik padanya. Ia kira dengan mengasihani Nai seperti itu bisa membuat Nai luluh? Salah besar.
Panjang umur sehat selalu, orang yang ia pikirkan masuk ke dalam kantin. Bersama dua temannya, mereka celingukan mencari tempat kosong. Nai tersenyum mencemooh, ia merasa menang satu poin terhadap Vrinn. Sebab bakso juga makanan kesukaan Vrinn, dan dia sekarang hampir mendapatkannya. Sedangkan di belakangnya antrian masih panjang.
Bisa dibilang Vrinn berpeluang kehabisan bakso. Dan, hal itu membuat Nai senang.
"Lo kenapa senyum-senyum sendiri?"
Suara Andien membuat ia tersadar dari pikirannya dan melihat ke depan bahwa satu orang lagi maka gilirannya.
Pesanan siswa di depan Nai selesai, dengan semangat perempuan itumaju ke depan dan hendak bersuara memesan makanan.
"Pak baks--"
Siswa tadi kembali, "Pak Ucup satu mangkok lagi, dong!"
Nai melotot begitu pun Andien di belakangnya. Tapi karena siswa itu adalah abang kelas, maka ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, ia tidak mau cari masalah dengan siapapun di hari pertamanya.
Lagi pula hanya perlu bersabar sedikit lagi. Benar saja tidak sampai lima menit pesanan tambahan laki-laki itu selesai.
"Pak baksonya satu, pakai yang gede dua!" Karena sangat lapar tidak sadar ia memesannya setengah berteriak.
"Yah, dek. Bakso besarnya habis, yang tadi terakhir."
Nai berdecak tidak terima, karena lapar akhirnya tetap memesan yang ada saja. Saat Pak Ucup, si penjual bakso, sibuk membuat pesanannya. Nai melihat abang kelas yang membuatnya kehabisan bakso tadi.
Betapa terkejutnya ia mendapati laki-laki menyebalkan itu menyerahkan semangkuk bakso itu pada Vrinn, ditambah lagi perempuan itu mendapatkan bangku kosong.
Astaga, mulut Nai ternganga lebar. Apa-apaan itu, kenapa jadi ia yang kalah pikirnya.
"Punya gue enggak sekalian lo pesankan?" Andien menoyor bahu Nai gemas. "Jahat banget, sih."
Perasaannya mendadak buruk, setelah membayar baksonya ia segera pergi, tidak mengindahkan Andien yang melihatnya keanehan.
"Anak itu absurd banget, dah."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro