14: Beda
Belakangan ini ada sesuatu yang berbeda dengan kedua sahabatnya, mereka seakan menjauh, selalu punya alasan untuk menghindar. Sebagai mantan bendahara OSIS, Vrinndani merasa bertanggung jawab untuk membimbing bendahara yang baru saja dilantik seminggu yang lalu, juga melakukan serah terima habat untuk versi non-formalnya. Seharusnya seperti biasa Wynaa akan menemaninya, meskipun tidak memiliki jabatan seprestisius Vrinn, Wynaa tetaplah mantan anggota OSIS.
Namun, saat tadi siang di sela pelajaran fisika yang memusingkan, Vrinn meminta Wynaa ikut, gadis itu menolak beralasan akan menemani ibunya belanja.
Bukannya tidak bisa pergi sendiri, hanya saja terasa ada yang kurang bila dilakukan sendiri. Bona juga pun begitu, perempuan dengan kacamata mata itu mengatakan ingin mengganti kacamata karena minusnya bertambah.
Kebetulan yang membuatnya harus pasrah. Ia berdiri di depan ruangan OSIS, kakinya tertahan seakan begitu berat masuk ke sana.
"Lo kalau mau masuk, masuk aja."
Sebuah suara dari belakang membuat ia tersentak lalu segera membalikan badan untuk melihat sepasang mata dengan iris cokelat tua tengah menatapnya. Tiba-tiba ia menjadi semakin gugup saat tahu siapa sosok itu. Bagas Geo Febrio.
Sejak kejadian Bagas menyatakan perasaannya di kantin tempo hari, ia belum pernah sekalipun bersitatap seperti ini. Selain karena mereka memang jarang bertemu sebab kelasnya berbeda, juga karena Vrinn selalu mencoba untuk tidak bertemu dengannya. Ia merasa sedikit bersalah.
"Kenapa jadi melamun?" Bagas melambaikan tangannya di hadapan Vrinn yang sedang melihatnya tanpa kedip. Kalau tidak ingat penolakan gadis ini, ia mungkin akan membiarkan Vrinn berlama-lama melakukannya.
Namun, Bagas ingin membulatkan hati untuk segera melupakan perasaannya pada Vrinn, sebab buat apa tetap berharap jika sudah punya jawabannya.
Vrinn tidak menyukai dirinya, seberapa besar pun ia berjuang. Lagipula untuk siswa akhir seperti dirinya ia sekarang lebih memusingkan memilih jurusan apa yang akan diambil setelah lulus nanti.
"Ah, Bagas. Hai," ucap Vrinn membalas lambaian tangan Bagas membuat satu alis Bagas menungkik. Ada apa dengan Vrinn pikirnya.
"Bagas lama banget elah!" sebuah tangan merangkul pundak laki-laki itu sambil menoyor kepalanya, dan tertawa melihat tindakannya membuat Bagas marah dan hendak membalas, tetapi orang itu cepat menghindar.
"Katanya lo cuma mau ngasih buku apa itu, gue lupa. Buku absensi?"
Bagas memang sebelumnya adalah sekretaris OSIS, jangan heran meskipun seperti yang kita ketahui kebanyakan sekretaris itu perempuan tapi pada masa mereka, sekertarisnya laki-laki.
Rega melihat gadis di depannya ia mengenali sosok itu, senyum jahil terbit di wajahnya sambil memandang Bagas dan Vrinn secara bergantian. "Ternyata ada Vrinn di sini," katanya sok kenal sok akrab. Ia memang mengenal Vrinn, pernah beberapa kali berbicara dengannya tetapi tidak sedekat itu.
"Apa temen gue ini ganggu lo? Gue udah nyuruh dia move on, cuman anaknya bebal kayaknya cinta mati sama lo."
Perkataan Rega dihadiai jitakan di kepala, cukup keras hingga ia sampai mengaduh setengah berteriak sambil memegang kepalanya. Benjolan kecil muncul, muka Rega memerah menahan sakit dan marah.
"Sialan lo! Kalau gue sampai geger otak gimana?"
Bagas tidak mengindahkan Rega, baginya jitakan tadi merupakan balasan dari perbuatan Rega menoyornya juga hukuman atas mulut lemesnya.
"Baguslah kalau sampai begitu, soalnya percuma juga otak lo ada di kepala, enggak pernah lo pakai juga."
Bagas segera menarik tangan perempuan yang sedari tadi hanya memperhatikan mereka untuk segera masuk ke ruangan OSIS. Membiarkan Rega mengoceh sendiri di luar.
***
Suasana di dalam cukup ramai, mungkin karena ini hari pertama siswa kelas sebelas akhirnya mengambil alih pekerjaan mereka. Ada rasa tidak tega saat menyerahkan buku kas pada bendahara baru. Baginya selama setahun mengabdi untuk sekolah, ia memiliki banyak kenangan.
"Kalau kamu ada bingung sesuatu bisa hubungi Kakak, bisa telepon, kirim pesan atau temui di kelas," jelas Vrinn saat buku kas yang selama ini di bawah tanggung jawabnya kini sudah berpindah ke tangan adik kelasnya itu.
Si perempuan, bendahara baru mengangguk senang. "Terima kasih banyak, Kak Vrinn."
Setelahnya tidak ada kegiatan yang berarti selain berbincang-bincang ringan. Vrinn melihat arloji di pergelangan tangannya, ia kemudian pamit ke pada teman-temannya untuk pulang lebih dulu sebab sudah waktunya untuk mengikuti bimbingan.
Pada saat yang bersamaan Bagas melakukan hal yang sama, laki-laki itu juga ikutan izin keluar. Vrinn tidak mau besar kepala tetapi ia yakin sekali Bagas melakukannya karena dirinya.
Semua terbukti sebab sekeluarnya ia dari sana, Bagas mengikuti dirinya.
Sehingga ia menghentikan kakinya lalu melihat Bagas juga menghentikan langkahnya membuntuti dirinya.
"Kamu mau apa ngikutin aku?"
Bagas menoleh ke kanan dan kiri seperti memastikan bahwa dirinya yang ditanya Vrinn. Karena di sepanjang koridor memang hanya ada mereka berdua ia pun segera buka suara.
"Gue enggak ngikutin lo, kita memang punya tujuan yang sama, lo mau ke luar, gue juga."
Vrinn merapatkan bibirnya, sedikit malu karena tersadar ia benar-benar terlalu percaya diri Bagas mengikutinya. Ia kembali melanjutkan langkahnya menuju gerbang sekolah.
Bagas diam-diam tersenyum melihat tingkah Vrinn. Ia merutuki hatinya yang berdesir kembali, jantungnya yang berdegup cukup cepat. Padahal seharusnya perasaan itu tidak ada lagi.
Di gerbang sudah ada Nai dengan hoodie hitam, ia memasang menutup kepalanya, masker hitam dan kacamata hitam. Vrinn menggeleng kepala dengan tingkah sang adik.
"Kamu enggak gerah pakai kayak gini?" tanya Vrinn begitu sudah berdiri di samping Nai.
Adiknya ia memiringkan tubuhnya menurunkan sedikit kacamata. "Lama banget, sih, lo! Gue nunggu hampir setengah jam, kaki gue udah kebas. Buruan pesan taksi."
Perempuan itu kembali membetulkan letak kacamata begitu melihat ada Bagas menyusul dari belakang.
"Lo jangan bicara sama gue," perintah Nai sambil menjauh dari Vrinn.
Perempuan itu sedikit bingung tetapi kehadiran Bagas membuatnya mengerti.
"Tempat bimbingan lo ada di mana?"
Vrinn sudah selesai memesan taksi online, menyimpan kembali ponselnya dalam saku rok, barulah ia mau menjawab pertanyaan Bagas.
"Kamu bilang enggak ngikutin aku."
Nagas mendengus membuang muka, agaknya ia memang tidak pandai berbohong apalagi pada perasaannya sendiri. Bagas masih menyukai Vrinn.
"Memang enggak, gue cuma nanya. Enggak boleh?" balas Bagas berusah terdengar cuek.
"Aku sudah pesan taksi. Kamu sebenarnya punya janji sama Rega, kan? Sudah sana pergi."
Ucapan Vrinn lagi-lagi melukai hatinya, mengapa perempuan ini sangat frontal bila menyangkut dirinya. Padahal dulu sebelum ia menyatakan perasaannya, Vrinn selalu berbicara lembut.
"Lo punya dua kepribadian, Vrinn? Lo kelihatan beda."
"Ini aku yang sama, kamu cuma enggak pernah lihat aja. Jadi jangan ganggu aku lagi. Kamu sudah dengar jawabanku, aku tidak akan balik menyukaimu apalagi berpikir akan memiliki hubungan denganmu."
Nai sedikit terkejut menyaksikan percakapan kakaknya dengan Abang kelasnya itu. Sedikit takjub mendengar suara tinggi dan penolakan tegas Vrinn. Itu memang sedikit berbeda dari yang ia ketahui tentang Vrinn.
Rahang Bagas sedikit mengeras, memang tempat mereka cukup sepi sehingga kecil kemungkinan ada yang menyaksikan mereka. Tetapi tetap saja Bagas malu, ini kedua kalinya ia ditolak, bahkan kali ini lebih kasar.
Ia mendekatkan diri dengan Vrinn hingga jarak keduanya hanya sejengkal. "Dengar, ya. Gue emang suka sama lo. Tetapi enggak sehina itu, gue cuma beraniat menawarkan bantuan."
Melihat tatapan Bagas, Vrinn sampai harus membuang muka tidak tahan dengan sorot tajam itu.
"Aku enggak butuh bantuan kamu. Sekarang pergi sana," usir Vrinn, suaranya masih tenang meski tangannya sedikit gemetar. Ia harus terlihat kuat agar bisa lepas dari Bagas, pikirnya.
Bagas hendak membalas tapi taksi sudah datang, Vrinn buru-buru masuk.
Bagas mengepalkan tangannya erat-erat, harga dirinya dilukai. Segera berbalik menyusul temannya di lapangan sesuai janjinya.
Nai di sana menganga di balik masker hitam yang menutup mulut. Memandangi taksi yang membawa Vrinn pergi juga Bagas yang telah balik masuk ke sekolah secara bergantian. Ia buka hoodie yang menutup kepalanya.
"Kenapa gue jadi ditinggal, sialan! Semua gara-gara si Bagas itu. Terus Vrinn kok tega banget pergi sendirian. Gue gimana dong?" katanya berujar pada diri sendiri.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro