Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11: Rona

Kaca mata hitam bertengger menutupi mata, jaket dengan tudung menyembunyikan kepalanya, ia sengaja datang lebih awal karena tahu jika orang-orang melihatnya dengan penampilan seperti itu maka akan banyak pertanyaan yang dilemparkan padanya.

Ia bersyukur mendapatkan bangku di di pinggir dekat jendela, meskipun tidak di belakang sekali, tetapi ia yakin keberadaannya tidak terlalu mencolok. Ia meletakkan tas di atas meja lalu melipat kedua tangan di atas meja kemudian menaruh wajahnya di sana.

Aman, pikirnya. Setidaknya ia punya sedikit waktu untuk tiduran. Semalaman menangis membuat ia masih ngantuk, mungkin ia bisa menyambung tidurnya yang hanya sebentar itu sekarang. Tetapi baru saja semenit matanya terpejam bunyi kursi yang ditarik membuat Nai mau tidak mau mengangkat wajahnya,

"Pagi, Neng. Tumben datengnya cepet." Andien meletakkan tas dalam laci setelah mengeluarkan seperangkat alat make up sederhana seperti liptin, cushion, maskara, blush on, foundation. Oke. Nai menarik ucapan ternyata tidak sederhana.

"Lo mau kondangan di mana?" tanya Nai dengan mulut setengah terbuka. Ia memang sering melihat temannya ini berias di kelas, pun wajahnya yang selalu memakai bedak, tetapi tidak pernah sampai sejauh ini. Ini terlalu menkr untuk anak sekolahan.

"Ini biar penampilan gue makin menarik," jawab Andien sembari merapikan bedak di wajahnya dengan merata tidak lupa bagian lehernya agar tidak terlihat jomplang tone warnanya. "Lo mau pakai, nggak?" Perempuan itu menawari cushion.

Nai menggeleng kuat, wajahnya tidak terbiasa dengan benda-benda itu. Dan, yang paling penting adalah ia tidak pandai memakai make up, bisa-bisa ia kelihatan seperti badut ulang tahun.

"Yang ini?" Kali ini Andien menawarkan liptin bewarna peach, saat perempuan itu mengoleskannya di bibir tipisnya, Nai terpukau karena sangat cocok menambah kesan segar di wajah putihnya. "Bibir lo pucet banget, tuh. Lo sakit?"

Nai refleks menyentuh bibirnya, meminjam cermin kecil milik Andien. Benar saja bibirnya pucat, ditambah karena terlalu kering beberapa bagian pecah-pecah.

"Terus kenapa pakai kacamata hitam? Ini bukan pantai Nai, lo bakalan kena marah kalau pakai kacamata di kelas," tutur Andien melihat beberapa keanehan yang baru ia sadari setelah selesai merias wajahnya.

"Mata gue sakit bintitan," jawab Nai asal, haus ia meraba kantung kecil di bagian samping ranselnya, tidak ada botol minum. Ia lupa bahwa tidak sempat mengisi botolnya tadi karena terlalu buru-buru.

Andien tertawa. "Makanya jangan sering ngintip orang mandi."

"Mata lo ngintip orang mandi, dah, ah sana mekap-mekap lagi."

Tidak mengindahkan perkataan Nai, Andien memajukan lengannya menjamah kening Nai dengan telapak tangan dan punggung tangan bergantian. "Enggak panas, sih, cuma anget-anget biasa. Lo beneran nggak sakit?" Perempuan itu tampak cemas.

Ini sungguh asing bagi Nai, mengapa Andien perlu repot-repot memperdulikan dirinya. Sedangkan Nai sendiri hanya menganggap Andien sekedar teman semeja, tidak lebih, tidak juga berniat memiliki hubungan pertemanan yang dalam.

"Sakitlah, mata gue bintitan."

Ekspresi Andien berubah cerah setelah sebaris jawaban Nai menjawab kegelisahan hatinya. "Astaga iya juga, GWS ya, Neng!" Perempuan itu membereskan perlengkapan make up nya, memasukkan benda-benda itu ke dalam pouch pink.

Sebenarnya Nai berbohong, perutnya sakit, ia belum sarapan. Karena mau pergi lebih awal, ia menghindari interaksi dengan orang-orang di rumahnya. Bahkan sebelum sarapan paginya selesai dibuat oleh sang Mama.

Bunga sempat menahannya, mengingat anaknya satu ini punya penyakit mag. Nai keras kepala, ia tidak bisa dibujuk apalagi masih dalam kondisi kesal pada mereka. Bunga hanya memberikan uang saku lebih agar anaknya bisa sarapan di sekolah. Sayangnya Nai lebih memilih tidur alih-alih pergi ke kantin membeli makanan. Ia malas bergerak kalau bokongnya sudah mendarat di kursi.

Lama-lama kelas menjadi ramai seiring waktu menuju bel masuk terakhir berbunyi, kebiasaan murid-murid yang sering datang mepet waktu.

Pelajaran pertama hari ini adalah olahraga. Karena delapan puluh persen kelas olahraga dilaksanakan di luar ruangan alias di lapangan, setiap pelajaran ini semua murid wajib mengganti pakaian menjadi setelan training baju olahraga sekolahnya.

Biasanya untuk menghemat waktu, siswi-siswi akan ganti baju di kelas sedangkan laki-laki memilih ke kamar mandi.

Saat berganti baju, Nai melepaskan kacamatanya sebentar karena sulit mengganti baju saat benda itu di kepalanya. Andien melihat matanya, tidak ada bintitan seperti yang Nai katakan tadi, hanya mata bengkak sembab.

Andien tahu itu efek dari kebanyakan menangis, sebagai yang pernah mengalaminya ia tahu betul Nai pasti habis menangis kemarin.

Meskipun tahu Nai membohongi dirinya, ia tidak ambil pusing, mungkin perempuan itu enggan berbagi cerita atau masih sedih sampai sekarang. Apapun alasannya Andien memilih menghormati keputusan Nai.

Semua sudah selesai ganti baju, mereka di barisan empat baris, dua untuk siswi dua untuk siswa. Nai dan Andien sejajar bersampingan, itu membuat keduanya bisa bercerita.

"Gue pandai menyervis, lo kalau setim sama gue pasti menang," bisik Andien sembari memamerkan lengan kurusnya, Nai menyipitkan matanya tidak percaya. Bagaimana gadis yang suka bersolek ini bisa pandai bermain voli, pasti ia hanya bohong, batin Nai. Kita lihat saja apakah Andien nanti akan berani melihat bola melayang ke arahnya atau berlari sambil berteriak cempreng seperti perempuan pada umumnya.

"Ya, Tuhan. Tolong jangan buat gue setim sama Andien, amin ya Tuhan."

Respon Nai membuat Andien kesal, meskipun terlihat sangat girly sekali, tapi ia tak lemah dalam olah raga. Ia mendorong Nai sampai perempuan itu keluar dari barisan karena tidak siap dengan seragan mendadak.

"Itu di belakang kenapa ribut-ribut?" Pak Naik, guru olahraga mendapati kegaduhan Nai dan Andien.

Kedua perempuan itu langsung diam lalau merapikan barisannya. Mendongak ke depan mendengarkan Pak Naik kembali berbicara.

"Jadi kalian akan dibagi menjadi dua tim campuran. Perempuan yang baris paling kanan bersama laki-laki kanan juga, begitu sebaliknya. Kalian bebas menentukan posisi masing-masing dan memilih siapa yang main di lapangan siapa yang menjadi berjaga sebagai pengganti."

Nai dan Andien otomatis menjadi tim yang berbeda karena tidak sebaris, Nai menaik-naikkan alisnya pada temannya itu. "Akhirnya keberuntungan memihak gue, tim kamu bersiap kalah," ejek Nai lalu berkumpul bersama tim seregu.

Andien pasrah lalu melakukan hal yang sama. Merembuk pada timnya untuk menentukan posisi di lapangan, Andien juga pamer pada timnya kalau ia pandai servis, alhasil ia di letakkan di belakang.

Sedangkan di tim-nya Nai di letakkan di depan, karena Nai mempunyai pengalaman bermain voli sebelum ia cukup pandai memblok bola yang masuk.

Permainan pun dimulai dengan tim nai yang mendapatkan giliran membawa bola, semuanya terlihat seru sampai saat Nai melompat sambil mengangkat tangan untuk membloking bola yang datang, perutnya terasa sakit ia sampai terjatuh dan bolah akhirnya masuk ke dalam tim. Teman-temannya sempat protes tetapi berubah panik saat melihat Nai memegang perut sambil kesakitan.

Andien dengan cepat berlari menghampiri Nai, "Nai lo kenapa?" tanyanya sambil membantu Nai berdiri.

Saking sakit perutnya, ia bahkan tudaknbisa berbicara. Ini ulah asam lambungnya yang naik bahkan menyebabkan dadanya sakit.

"Sa--sakit ba--bang--et," lirihnya masih memeluk perutnya sebelum ia kehilangan kesadaran.

•••

Bau menyengat dari minyak kayu putih yang dioleskan pada bagian leher, dahi dan hidungnya begitu menyiksa ketika bangun. Matanya mengerjap-ngerjap, ia menyapukan pandangan ke sekeliling, ia tahu tempat ini, ini kali kedua ia berbaring di sana.

UKS.

Seorang berpakaian seragam putih abu-abu dengan logo PMR di lengannya menghampiri dirinya. "Sudah bangun?" Pertanyaan retoris itu tidak perlu repot-repot Nai jawab karena orang itu bisa melihat dengan matanya sendiri ia sudah membuka mata.

Orang itu menyerahkan sebotol air mineral kepadanya. "Air bisa mengontrol kadar pH lambung lo. Sebelum minum obat lo minum dulu, setelah itu makan," ujarnya lalu menunjuk sebuah kresek hitam yang terbuka, di dalamnya ada beberapa roti. "Lalu minum ini." Ia melemparkan satu kapsul berwarna hijau kepada Nai.

"Terima kasih, Bang."

Nai masih sempat melihat tiga bintang kuning di seragamnya. Dia kakak kelas, meskipun jengkel dengan tingkahnya yang tidak ramah. Nai harus tetap mengontrol emosi.

"Kalau bukan lo sendiri yang peduli sama kesehatan lo, siapa lagi?" Laki-laki itu beranjak mengambil satu roti untuk Nai setelah setengah botol air mineral tadi sudah selesai Nai tenggak.

"Kebiasaan anak sekarang, tuh, enggak peduli sama dirinya sendiri. Jarang menjaga pola makan."

Berisik sekali, batin Nai membuka rotinya. Laki-laki itu mengomel seperti mamanya, sebenarnya ia ingin segera pergi setelah berhasil meminum obat. Mungkin lebih menyenangkan beristirahat di kelas dibandingkan di sini. Berlama-lama dengan orang ini akan membuat kepalanya sakit.

"Lo dengar nggak gue ngomong apa?"

"Saya, tuh, lagi sakit, Bang. Kok dimarahi, sih?" Cukup, pikir Nai. Ia harus menghentikan manusia satu ini.

"Supaya lo enggak ngilangin kesalahan yang sama."

Nai setuju sekali dengan pihak sekolah untuk melarang anak kelas tiga untuk mengikuti organisasi lagi, karena mereka kebanyakan menyebalkan kalau sudah tua.

"Bagas!" panggil seseorang dari luar da tanpa menunggu jawaban main masuk aja.

"Enak banget lo, ya. Bolos supaya enggak ngikutin kelasnya Bu Sumi."

Nai melihat bordiran nama di atas saku baju laki-laki yang tadi memarahinya.

Bagas Geo Febrio.

Terlihat familiar. Nai membulatkan matanya mengingat Bagus adalah orang yang menyerobot antriannya waktu di kantin demi membelikan Vrinn bakso.

Astaga, ia jadi semakin membenci laki-laki itu. Tetapi Nai tidak terlalu memperdulikan Bagus begitu menyadari siapa satu lagi kakak kelas yang datang ke ruangan ini.

"Gue enggak bolos, lo lihat anak ini?" Bagus menujuk Nai yang melanjutkan memakan roti setelah minum obat. "Maagnya kambuh, anak-anak yang lain enggak tahu menanganinya manggil gue."

Aurega melihat keberadaan Nai yang sekarang duduk sambil menyender dengan mulut mengunyah roti, senyum lebar terbit diwajahnya. Nai sampai salah tingkah karena senyumnya yang begitu menawan.

Aduh, ada apa denganmu, Nai!

"Gus, mending lo balik ke kelas aja, deh. Gue juga tahu cara mengobati maag."

Bagus menaikkan sebelah alisnya, perkataan Rega terlalu janggal untuk dipercaya. Selain kenyataan bahkan ia sendiri tidak bisa mengobati Maag, juga karena mengapa temannya itu terlihat sangat antusias.

Matanya menyipit memandangi Rega dan Nai yang kini bersitatap tanpa memperdulikan adanya dirinya di dalam ruangan. Ia mengerti, meskipun sama sekali tidak percaya, ia menuruti perkataan Rega.

"Oke, gue balik ke kelas. Bilang aja lo mau bolos juga, kan?"

Rega tergelak lalu menepuk-nepuk pundak Bagas. "Yoi, Bro. Bu Sumi kalau ngejelasin bikin ngantuk."

"Terserah. Gue cabut dulu." Bagas pun bernajak dari sana saat sampai di depan pintu ia menyerong badan sambil melihat Nai dan Rega bergantian. "Jangan berbuat tindakan yang melanggar asusila, Ga. Masih bocah tuh anaknya."

Rega berdecak. "Sialan nih anak, udah pergi sana, elah."

Nai hanya bisa mengamati interaksi dua Abang kelasnya dalam diam, rotinya sudah habis, obat maag itu sudah bekerja. Ia sudah baik-baik.

Seharusnya ia sudah bisa kembali balik ke kelas, ada tiga mata pelajaran lagi sebelum istirahat ke dua. Tetapi Rega yang kini berdiri di depannya seakan menyedot seluruh dunia Nai, ia enggan pergi.

"Gimana udah enakan?" tanya Rega.

Nai mengangguk, ia memamerkan plastik bungkus rotinya ke hadapan Rega. "Sudah minum obat dan makan, udah mendingan."

Tangan laki-laki itu terulur untuk mengelus puncak kepala Nai, "Bagus-bagus. Jangan sakit, ya. Gue enggak suka lihat lo kayak gini."

Seperti kepiting yang direbus, wajah Nai memerah dan panas. Menyingkirkan tangan Rega dari kepalanya. "Bang Rega apaan banget, sih, ngomongnya," sungut Nai merapikan kembali rambutnya yang sedikit acak-acakan.

"Emangnya omongan gue kenapa?" Rega terkekeh geli melihat reaksi Nai, apalagi wajah yang memerah itu. Lucu sekali pikirnya. Ia ingin mencubit pipi tembam Nai tetapi ia tahan karena mungkin Nai bakalan tidak suka, kepalanya dielus aja dia marah.

"Omongan Bang Rega kayak peduli, Nai jadi baper," aku Nai jujur.

"Lah, gue emang peduli kali, Nai. Gue nggak mau lo sakit."

Aduh kali ini Nai sampai harus menutup wajahnya saking malunya karena wajahnya mungkin semakin memerah sekarang.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro